Chapter 1 - Hello
Jika ada seseorang yang memberitahu Haruno Sakura bahwa hari pertamanya sebagai mahasiswa baru di perguruan tinggi akan mengawali rangkaian peristiwa yang akan mengubah jalan hidupnya selamanya, ia akan tersenyum dengan anggun sebelum tertawa tepat di depan wajah orang itu. Hari pertamanya di kampus Sapporo University, menurut perkiraan Sakura, sangat melelahkan. Setelah bersikeras pada ayahnya bahwa ia sangat mampu mengemudi sendiri ke kampus tanpa bantuan mereka, ia mencium kedua orang tuanya dan segera meluncur dari halaman depan rumah masa kecilnya di Hakodate, menuju kehidupan barunya di Sapporo.
Perjalanan ke Sapporo berlangsung lama dan lancar, dengan koleksi lagu-lagunya yang menemaninya. Dan berkat sistem GPSnya, ia sama sekali tidak khawatir tersesat. Hal yang tidak ia antisipasi adalah kemacetan lalu lintas besar di utara pusat kota Sapporo yang mengakibatkan ia hanya duduk di mobilnya, mematikan mesin, selama tiga jam. Pada saat ia berhasil sampai di kampus, hari sudah senja. Untung saja, ia tahu jalan menuju asramanya dan bahkan memiliki kunci kamarnya.
Mengemudi menuju asramanya, Sakura berubah frustrasi dan kemudian merasa ngeri saat ia tidak menemukan tempat parkir yang dekat dengan gedung asramanya. Ia telah berputar-putar, berharap menemukan tempat yang tidak mengharuskannya untuk menyeret barang-barangnya terlalu jauh. Setelah mencari selama lima belas menit, ia mengumpati tempat parkir itu dan mengambil tempat seadanya yang bisa ia temukan, yang berjarak tujuh blok penuh dari gedung yang akan ia huni hingga tahun depan.
Begitu ia memarkir mobilnya, ia membuka bagasinya dan menatap isinya dengan sedih. Tidak mungkin ia bisa membawa semua koper itu sekaligus ke kamarnya. Ia harus melakukan setidaknya empat kali bolak-balik sementara hari sudah mulai gelap. Sambil mengusap rambut merah mudanya frustasi, ia menghela napas dan mencoba memutuskan apa yang harus dibawa terlebih dahulu. Kepalanya menunduk ke dalam bagasi, umpatan kecil keluar dari bibirnya, dan tepat saat itu ia mendengar suara seseorang.
"Tidak mungkin... shit..."
Suara itu, dalam, serak, dan jelas seorang pria, mengejutkan Sakura dari rasa frustasinya. Menolehkan kepalanya pertama ke kiri dan kemudian ke kanan, matanya tertuju pada seorang pria muda berotot, tampan, dengan rambut hitam dan mata onyx yang sangat familiar. Mulut Sakura menganga. Ini tidak mungkin terjadi.
"Sasuke?" Sakura benar-benar tidak percaya. Uchiha Sasuke, kakak kelasnya yang berubah menjadi musuhnya, yang berubah menjadi kekasihnya yang sangat singkat, kemudian berubah menjadi mantan kekasihnya, kemudian berubah menjadi teman, kini menatapnya seperti sedang melihat hantu.
Ekspresi terkejut Sasuke berubah perlahan menjadi seringai, tubuhnya rileks dari tempat ia berdiri sebelum melangkah maju dengan hati-hati. "Haruno Sakura. Apa yang kau lakukan di sini? Kupikir kau akan kuliah di L.A!"
Sakura tergagap. "Aku? Terakhir kali yang kudengar, kau akan melanjutkan ke perguruan tinggi di Hakodate." Ia bertemu mata dengan Sasuke, memperhatikan bahwa pemuda itu tampak sedikit lebih dewasa dibanding terakhir kali ia melihatnya, yang lebih dari setahun lalu. "Kau membuang kami semua dari hidupmu begitu kau lulus dan meninggalkan kami begitu saja tanpa kabar apapun." Sakura tidak bermaksud terdengar pahit, sungguh. Tapi teman-teman mereka telah menghabiskan banyak waktu untuk membahas bagaimana Sasuke seolah ditelan bumi setelah kelulusannya. Tidak ada yang pernah melihat Sasuke dan pemuda itu pun tidak membalas telepon atau semacamnya meskipun semua orang tahu pemuda itu masih di Hakodate.
Sasuke mengangkat bahu. "Aku berada di titik yang buruk setelah lulus. Aku perlu... bernapas." Ia memandang Sakura, masih terkejut bahwa gadis itu berdiri di depannya. "Aku memulai tahun pertamaku di Hakodate University tapi kemudian memutuskan untuk pindah ke sini karena jurusan Exercise Science mereka." Ia menyilangkan lengannya, bisep berototnya menonjol di lengan kemeja abu-abunya, dan bersandar di mobil Sakura. "Jadi, kenapa kau di sini dan tidak di L.A?"
Pandangan Sakura jatuh ke trotoar yang retak dan pada tumpukan kecil puntung rokok yang telah dibuang dengan sembarangan. "Ayahku didiagnosis menderita kanker tahun lalu," Ia memulai, kesedihan mengisi tenggorokannya dan membebani lidahnya, "Dan dia masih dalam perawatan. Aku tidak ingin... berada jauh kalau-kalau dia... memburuk." Sakura menahan air matanya yang hampir keluar, menghela napas dan tersenyum. "Lagipula, disini memiliki jurusan medis yang sangat populer jadi kurasa ini pilihan yang paling tepat, mengingat situasi yang aku hadapi."
Sasuke menatap Sakura. Ia tidak mengharapkan jawaban itu. "Uh... aku ikut sedih tentang ayahmu. Dan tentang L.A."
"Tidak apa-apa. Keluarga Haruno sangat kuat." ucap Sakura setengah bercanda.
"Aku tahu itu," Sasuke tersenyum. Ia melirik ke bagasi Sakura, "Apa kau perlu bantuan untuk masuk ke asramamu? Kau punya banyak koper sialan ini."
Meringis mendengar kata-kata Sasuke, Sakura mengangguk. "Akan luar biasa jika kau bisa membantuku, Sasuke." Sakura memperhatikan pemuda itu meraih ke dalam bagasi dan mulai menarik keluar barang-barangnya. Setelah mengeluarkan tiga koper, Sasuke mengambil koper merah muda yang warnanya sudah sedikit memudar dan mendorongnya ke tangan Sakura.
"Kau bawa koper kecil itu. Kau di asrama mana?"
Sakura memandangi kertas kecil di tangannya dan menyebutkan nama gedungnya.
Sasuke tersenyum. "Itu asrama di seberang jalan dari asramaku."
Setelah menutup bagasi dan mengunci mobilnya, Sakura memasukkan kunci mobilnya ke dalam tas kecilnya dan meraih koper merah muda. Ia dan Sasuke mulai berjalan menuju asrama dalam keheningan. Ia tersenyum, senyuman pertamanya pada hari itu ketika ia melirik Sasuke dari sudut matanya. Sangat menyenangkan bisa bertemu pemuda itu setelah sekian lama.
Setelah mereka berjalan sekitar satu setengah blok, Sasuka menoleh pada Sakura, "Jadi, bagaimana kabar Utakata?"
Tanpa memandang Sasuke, Sakura menjawab, "Kami putus."
"Oh... Aku tidak tahu itu."
Suara Sakura terdengar tanpa sedikit pun penyesalan. "Oh, tidak apa-apa. Dia akan kuliah di Okinawa dan kami berdua cukup pragmatis untuk menyadari bahwa hubungan jarak jauh tidak mungkin berhasil... Jadi kami berpisah secara damai, tapi kami masih berteman."
"Senang mendengarnya," Sasuke mengangguk. "Dia pria yang baik."
"Ya, benar. Dia pacar yang luar biasa..." Pikiran Sakura membayangkan sosok Utakata, yang mungkin kini sedang berjemur di pantai berpasir di Manza Kunigami sekarang. Mereka mulai berkencan di tahun pertamanya di SMA setelah hubungan singkatnya dengan Uzumaki Naruto berakhir dengan tumpukan rasa sakit dan kekecewaan. Utakata juga merupakan teman Sasuke, secara mengejutkan sangat cocok untuk Sakura karena cara-cara Utakata yang santai membantu menyeimbangkan kepribadiannya yang sangat kaku. Mereka berpacaran selama hampir satu setengah tahun sebelum berpisah selama pertengahan musim panas. Tetap saja, Sakura tidak akan terlalu sedih karena itu. Ia telah berbagi banyak hal dengan Utakata dan ia tidak akan pernah menyesali waktu yang mereka habiskan bersama.
"Bagaimana... bagaimana kabar Naruto?" tanya Sasuke ketika mereka melangkah ke penyeberangan. Suaranya pelan karena ia jelas tidak nyaman dengan topik yang ia pilih.
"Dia baik-baik saja. Dia melanjutkan ke perguruan tinggi di Kyoto. Ada sekolah fotografi di sana..." Suara Sakura menghilang, merasa ragu untuk mendiskusikan ini.
"Aku sangat bertanya-tanya tentang dia... well, kau tahu."
Sakura memandang ke bawah, merumuskan kata-katanya. "Tentu saja aku tahu, Sasuke."
Sasuke jarang berbicara tentang Naruto, bahkan setelah dua tahun berlalu, memikirkan fakta bahwa di tahun keduanya di SMA, ia meniduri Hinata, kekasih sahabatnya itu. Hubungannya dengan Naruto rusak, karena pengkhianatannya, dengan cara yang tidak akan pernah bisa disembuhkan.
Ketika mereka akhirnya mendekati asrama, Sakura menghela napas lega. Koper merah muda yang dibawanya semakin berat. Ia tidak tahu bagaimana Sasuke membawa kopernya yang lain dengan mudah.
"Kapan kau sampai di sini?" tanya Sakura, berusaha meringankan suasana setelah masalah 'Naruto' yang sangat serius.
"Aku sampai di sini sekitar empat hari yang lalu. Aku ingin mulai mengenal Sapporo sebelum kelas dimulai."
Sakura mendesah keras. "Seandainya saja aku bisa melakukan itu. Aku hanya... seperti tidak bisa memilah mana yang harus kubawa. Apa kau tahu betapa sulitnya untuk memutuskan barang-barangmu yang pantas untuk dibawa bersamamu dan yang mana yang harus tetap di rumah?"
Sasuke tertawa. "Aku seorang pria. Aku tidak peduli dengan semua omong kosong itu. Cukup gitar, pakaian, laptop, dan beberapa hal lainnya dan aku siap untuk pergi. Mungkin butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk berkemas." Sasuke dan Sakura berbalik untuk menaiki tangga ke asrama Sakura. "Asramaku tepat di belakang gedungmu."
Sakura menoleh dan memandangi gedung asrama Sasuke, yang ukuran dan bentuknya hampir identik dengan asramanya. Jalan dan trotoar penuh sesak dengan mahasiswa. Rupanya, lebih banyak pendatang baru memilih 'cara' Sakura untuk sampai di sana pada menit terakhir daripada 'cara' Sasuke yang sampai di sana lebih awal.
Ketika mereka berjalan ke dalam gedung, Sasuke bertanya, "Berapa nomor kamarmu?"
Melirik kertas, Sakura membaca, "118."
"Bagus, kau di lantai dasar. Karena aku sepertinya akan mati konyol. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam koper ini, tapi aku mulai berpikir ini potongan-potongan tubuh."
Sakura tertawa. Kepribadian Sasuke masih sedikit kurang ajar tapi pemuda itu baik dan ia tahu itu sejak pemuda itu berhenti melemparkan Slushies ke wajahnya dan menyeret Rock Lee ke tempat sampah, meskipun fakta bahwa mereka kini sudah tidak berkomunikasi dalam waktu yang lama.
Asrama penuh sesak dengan para mahasiswa yang membawa koper-koper mereka. Sasuke dan Sakura terjepit di antara seorang gadis yang dipeluk seorang wanita yang terisak-isak dan seorang pemuda yang diperintahkan oleh ayahnya untuk "Kencani banyak gadis, Nak. Buat aku bangga."
Mereka berhenti di depan pintu kamar Sakura dan gadis itu mencoba memutar kenop pintu. Anehnya, pintu itu tidak dikunci. Ia mendorongnya terbuka dan mereka berdua melangkah masuk. Seorang gadis muda, jelas yang akan menjadi teman sekamar Sakura, berbalik dari tempat ia memasukkan pakaian ke lemari kecil dan bertemu mata dengan Sakura.
"Sakura!" Gadis itu berteriak bersemangat ketika ia berlari ke arah Sakura. "Sangat, sangat, sangat senang akhirnya bisa bertemu denganmu!" Gadis itu, yang beberapa inci lebih pendek dari Sakura dan memiliki rambut pirang pendek dan mata berwarna coklat, dan yang membuat Sakura ngeri—karena ia tahu siapa yang berdiri di belakangnya—berpayudara sangat besar, memantul dengan bersemangat.
"Halo, Ryoka. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu," ucap Sakura ketika Ryoka menyeretnya ke dalam sebuah pelukan. Sakura dan Ryoka telah berbicara di telepon setelah mereka menerima pembagian kamar mereka. Mereka tahu sedikit tentang satu sama lain, selain beberapa basa-basi yang telah mereka bagi selama percakapan di telepon.
Dari belakang mereka, Sasuke berdeham. Sakura melepaskan diri dari lengan Ryoka yang sangat bahagia dan berbalik ke arah Sasuke. "Ryoka, ini Uchiha Sasuke."
Sasuke melangkah maju, menyeringai penuh makna, dan mengulurkan tangannya. "Kau bisa memanggilku Sasuke."
"Aku Narusawa Ryoka," Ryoka dengan bersemangat menerima uluran tangan Sasuke dan kemudian berbalik ke arah Sakura, "Sakura!" Ryoka memekik. "Kau tidak memberitahuku bahwa kau punya pacar!"
Senyum Sakura sangat tidak nyaman. "Sasuke... err... dia berasal dari kota asalku. Kami kebetulan bertemu satu sama lain di sini. Kami tidak berpacaran," Ia menjelaskan.
Pandangan Sasuke bertemu dengan Ryoka dan ia mengedipkan mata, membuat gadis itu memerah. "Hell no, tidak, kami tidak berkencan. Aku pria bebas."
Ryoka memberi Sasuke senyum menggoda dan Sakura nyaris tercekat. Mengedip-ngedipkan bulu matanya, suara Ryoka berubah menjadi selembut sutra. "Umm, mungkin kita bisa jalan-jalan kapan-kapan, Sasuke." Ia memainkan huruf 'S' di mulutnya, membuatnya terdengar sangat sensual.
Sakura sedang menunggu payudara Ryoka yang besar untuk lepas seperti di beberapa film porno yang buruk sebelum Ryoka menyeret Sasuke ke tempat tidur dan membaptis kamar baru mereka tepat di depannya.
"Tentu saja, Ryoka," jawab Sasuke, matanya memandangi payudara gadis itu yang besar. Sakura mencari-cari tempat sampah untuk berjaga-jaga kalau-kalau ia perlu muntah.
Sambil mengalihkan pandangan dari pemandangan dua 'kendi' indah dan besar, Sasuke berjalan ke tempat tidur yang kosong dan meletakkan koper-koper Sakura di atasnya. Kemudian ia berbalik ke arah Sakura, "Kurasa aku akan pergi sekarang dan kalian berdua bisa mengobrol. Tapi kita harus tetap berhubungan, Sakura. Sini... berikan nomor ponselmu."
Sakura merogoh tasnya dan menarik ponselnya keluar. Menyerahkannya pada Sasuke, pemuda itu menambahkan dirinya ke dalam kontak Sakura dan kemudian menyerahkan ponselnya sendiri ke Sakura agar gadis itu melakukan hal yang sama.
Setelah selesai bertukar nomor ponsel, Sasuke berjalan ke pintu, "Senang melihatmu lagi, Sakura. Dan sangat senang bertemu denganmu, Ryoka."
Mengedipkan mata pada kedua gadis itu, Sasuke kemudian melangkah keluar.
Begitu pintu ditutup, Ryoka meraih lengan Sakura. "Ya ampun, Sakura. Tidak ada pemuda seperti itu di kotaku. Astaga. Kurasa aku akan mati." Ryoka mengipasi dirinya sendiri untuk efek dramatis.
"Dia tampan, bukan?" Sakura mengakui. "Dia sudah seperti itu sejak di SMA."
Ryoka tergagap dan kemudian memiringkan kepalanya untuk berpikir, "Aku bisa membayangkan dia sangat seksi." ucapnya sambil tersenyum-senyum.
Sakura mendesah, "Memang benar."
Ryoka merosot ke tempat tidur dan berkata sambil melamun, "Meskipun dia mengenakan kap lampu di kepalanya, dia akan tetap tampan."
Tidak dapat menahannya, Sakura tertawa. Ia sudah terbiasa dengan ketampanan seorang Uchiha Sasuke. Tapi, ia mengakui, tidak semua orang mengenal Sasuke sejak mereka berusia 12 tahun seperti dirinya. Karena ia sudah mengenal Sasuke selama itu, ia bangga untuk mengatakan bahwa ia kebal dengan rahang Sasuke yang kuat, otot yang seksi, tatapan yang intens. Hampir.
Sakura menghabiskan sisa malam itu membongkar koper-kopernya dan mendengarkan Ryoka mengoceh tentang enam ribu topik berbeda. Ia hanya berharap Ryoka akan diam selama beberapa menit. Dan reaksinya ini terhadap ocehan Ryoka mengejutkannya, mengingat ia dituduh banyak bicara di masa lalu.
Sekitar jam 11 malam, Ryoka memutuskan sudah waktunya untuk pergi tidur dan akhirnya Sakura bisa mengambil napas. Ryoka meluncur ke ranjangnya sendiri dan mengucapkan selamat malam pada Sakura.
Sakura naik ke ranjangnya sendiri, mematikan lampu, dan menatap ke dalam kegelapan. Ia tidak percaya bahwa Sasuke ada di sini di kampus ini. Tapi yang mengejutkan, adalah rasa nyaman dan tenang karena ia tidak sendirian, karena ada seseorang yang berasal dari satu kotanya ada di sini bersamanya. Ia yakin dengan adanya Sasuke akan membuatnya dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus menjadi lebih mudah. Dan mungkin mereka akhirnya bisa menjalin persahabatan sejati.
Di seberang jalan, Sasuke bersandar di ranjangnya sendiri. Teman sekamarnya yang menjengkelkan sedang duduk di meja, dengan headphone di telinganya, memainkan komputer bodoh. Sasuke sekamar dengan kutu buku komputer besar. Kitaro, teman sekamarnya, cukup baik tapi mereka tidak memiliki kesamaan. Ia kecewa ketika ia bertemu pemuda itu, tapi sekarang, mengetahui bahwa Sakura ada di dekatnya, membuat teman sekamarnya yang menyedihkan bukan suatu masalah. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia benar-benar senang bertemu dengan seorang Haruno Sakura. Tapi untuk beberapa alasan yang tidak bisa dijelaskan, melihat gadis itu membuatnya merasa lebih baik. Gadis itu tampak tidak terlalu kaku seperti saat di SMA. Ia bisa tahu Sakura telah banyak berubah sejak terakhir ia berbicara dengan gadis itu. Mungkin kuliah akan lebih menyenangkan tahun ini dengan adanya Sakura di sana. Ia akhirnya jauh dari Hakodate dan bisa bebas sesukanya. Di sini, ia tidak dikenal banyak orang dan bisa menjadi siapa pun yang ia inginkan. Dan sejujurnya, ia suka berpikir bahwa ia tidak akan terlalu menjadi brengsek sekarang.
Ketika Sakura dan Sasuke keduanya tertidur di asrama mereka di kampus Universitas Sapporo malam itu, tidak satu pun dari mereka akan pernah percaya bahwa satu hari kecil yang tidak penting ini pada akhirnya akan mengubah jalan hidup mereka yang sudah direncanakan dengan matang.
***
To be continued