Sasuke menghabiskan sebagian besar harinya di ruang kerja. Ia merampungkan seluruh tumpukan dokumen yang dikirim Janny untuk ditinjau atau ditandatangani. Ia membalas satu-satu ucapan berduka atas kematian ayahnya. Ia menulis email pada para investor dan satu lagi untuk staf Uchiha Industries, meyakinkan mereka bahwa ia tidak berencana untuk membuat perubahan langsung pada perusahaan, dan dengan terbuka menerima ide atau saran.
Menjelang sore, seseorang mengetuk pintu ruangannya.
"Masuk." ucap Sasuke, menduga bahwa itu adalah Ayame atau Aiko.
Tapi itu adalah Sakura dan Nichi.
Sasuke sesaat sangat terkejut sehingga ia hampir lupa berdiri ketika mereka melangkah masuk ke ruangan.
"Sasuke." Sakura tersenyum tenang pada Sasuke. "Apa kau keberatan jika Nichi dan aku berjalan-jalan di kebunmu?"
"Tidak, tidak sama sekali," Sasuke menggelengkan kepalanya, otaknya butuh beberapa detik untuk menambah kata-katanya. "Kalian bebas berkeliling rumah dan halaman, selain ruangan ibuku, tentu saja. Kalian juga bisa bersantai di pinggir kolam di luar sana."
"Ayo, ayo kita kesana bersama, Papa!" Nichi berlari melintasi ruangan dan memeluk kaki Sasuke.
Sasuke menatap Sakura, yang masih tidak menunjukkan tanda-tanda apapun. "Kurasa aku bisa, jika ibumu tidak keberatan. Aku hampir selesai dengan pekerjaanku di sini."
"Tentu saja aku tidak keberatan." jawab Sakura.
Sasuke membimbing mereka ke luar dan ketiganya berjalan melewati halaman. Sasuke menyadari untuk pertama kalinya bahwa ia seharusnya membawa Nichi ke kebun rumahnya saat Sakura berada di rumah sakit. Anak itu terpesona dengan segalanya, matanya berbinar senang.
Mereka mendapati Mikoto duduk di kursi malas di bawah pergola wisteria tertutup. Mikoto mengundang mereka untuk bergabung sebentar, melambaikan tangan ke dua bangku di dekatnya.
"Kami berkeliling kebun!" Nichi memberitahu Mikoto dengan penuh semangat. "Kau punya banyak tanaman dan burung putih yang berbunyi nyaring. Dan Papa mengatakan ada ikan di dalam kolam, tapi aku harus berhati-hati agar tidak jatuh. Tapi aku tahu caranya untuk berenang. Aku berenang di bak mandi tadi malam."
"Ya, kau harus sangat berhati-hati dengan kolam itu." Mikoto setuju. "Dan pastikan untuk tetap di jalan setapak dan tidak berkeliaran ke dalam semak-semak. Aku belum mengeceknya dalam setahun ini, tapi ada ular sebelumnya disana."
Nichi mengangguk, matanya terbelalak. "Aku akan berhati-hati untuk tidak melukai ular."
Sasuke menahan bibirnya agar tidak tertawa mendengar jawaban Nichi.
Seekor burung merak berjalan melewati mereka saat itu, ekornya terbentang lebar.
"Oooooooooh!" Nichi memekik, menunjuk burung itu dan melompat turun dari tempat duduknya.
"Hati-hati!" Sasuke memperingatkan. "Kau boleh mendekatinya dan menatapnya, tapi lakukan pelan-pelan. Jika kau menakutinya, dia mungkin akan mencoba mematukmu."
Nichi membungkuk, membuat langkah lambat yang berlebihan ke arah burung itu. Sakura bangkit dan meraih tangan anaknya, menunjukkan padanya bagaimana cara yang benar.
"Dia benar-benar anak yang menarik." Mikoto menghela napas, memandang Sasuke. "Aku suka menerka-nerka mungkin ayahmu seperti itu sebelum ibunya meninggal."
Sasuke mendengus tapi tidak menjawab.
"Apa kau akan percaya jika ayahmu menjadi orang yang hangat dan perhatian terhadap keluarganya?" Mikoto mengangkat alis ke arah Sasuke, yang agak terkejut mendengar kata-kata seperti itu datang dari bibir ibunya.
"Tidak, aku percaya dia mungkin dilahirkan tanpa hati, atau jiwa, atau hati nurani, atau apapun itu." Sasuke mendengus.
"Dia pernah punya semua yang kusebutkan." Mikoto menggelengkan kepalanya dengan sedih. Ia meraih dan menepuk tangan Sasuke. "Apa kau tidak tahu apa yang terjadi pada nenekmu?" Ia melanjutkan.
"Tousan jatuh ke kolam. Baasan mengeluarkannya, tapi tenggelam dalam prosesnya." jawab Sasuke, seolah membacakan sebuah fakta untuk seorang guru.
"Kolam itu beku. Ayahmu berusia tiga tahun. Dia berlari melintasi permukaan air yang membeku itu, terpesona dengan es layaknya anak-anak seusianya. Tapi es itu pecah dan dia jatuh. Nenekmu menariknya keluar, tapi dia turut jatuh. Dia hamil enam bulan, dan tidak bisa menarik diri. Bantuan sampai tidak tepat waktu. Kakekmu menyalahkan ayahmu atas kematian istri dan anaknya. Bayangkan seorang anak seusia Nichi, jika ayahnya memberitahu dia setiap hari bahwa itu adalah kesalahannya, bahwa ibu dan saudara laki-lakinya sudah mati, dan bahwa ayahnya berharap dia juga mati."
Sasuke memperhatikan Nichi tersenyum pada Sakura, merasakan dingin merasuk sampai ke jiwanya.
"Bukankah kau seharusnya makan malam dengan keluarga Hyuga malam ini?" Mikoto mengingatkan, menyela pikiran anaknya.
"Sial!" Sasuke mendengus, segera berdiri. "Jam berapa sekarang?"
Ia mengumpat lagi setelah melirik jam tangannya.
"Sakura, Nichi!" panggil Sasuke, menakuti burung merak. "Aku harus kembali ke rumah. Ada makan malam yang harus aku hadiri malam ini, dan aku harus segera pergi."
Nichi tampak agak kecewa.
"Tapi aku ingin kau makan malam bersama kami, Papa." Nichi memohon, bibir bawahnya mencuat keluar.
Mikoto tertawa. "Ya ampun. Bibir itu. Aku tidak bisa mengatakan berapa kali aku melihat bibir itu dari bocah laki-laki berambut hitam yang lain."
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Kaasan." Sasuke memelototi ibunya.
"Kau masih sering melakukannya ketika kau tidak mendapatkan apa yang kau inginkan." Ibunya memberitahu Sasuke sambil tersenyum.
Sasuke mengabaikannya.
"Aku harus pergi." Sasuke berlutut di depan Nichi. "Tapi aku akan kembali nanti malam, dan aku akan memberikan ciuman selamat malam."
"Janji?" tanya Nichi.
"Aku janji. Bahkan meskipun kau sudah tidur." Sasuke mengangguk.
Nichi mengangguk.
"Ayo, aku akan mengantarmu kembali ke rumah." Sasuke mengulurkan tangannya pada Nichi.
"Aku yang akan mengantarnya nanti kembali ke rumah, jika mereka ingin tinggal disini sedikit lebih lama." Mikoto menawarkan.
Sakura tampak agak terkejut, tapi menoleh ke arah Mikoto. "Sepertinya ide yang menyenangkan. Aku ingin bertanya tentang beberapa tanaman, jika kau tidak keberatan."
Mikoto tersenyum lagi. "Tentu. Aku adalah kutu buku Sains selama masa-masa sekolah."
Sakura balas tersenyum pada wanita yang lebih tua itu.
Sasuke melihat mereka dan menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu, aku akan meninggalkan kalian disini."
Sasuke kembali ke rumah, mandi dengan cepat dan mengenakan pakaian formal. Hyuga selalu mendahulukan formalitas. Kadang-kadang Sasuke bertanya-tanya apakah Hyuga Hiashi membutuhkan gelas kristal dan pakaian formal hanya untuk memakan camilan di tengah malam.
Sesaat setelah Sasuke tiba di depan rumah besar Hyuga, ia disambut oleh seorang pelayan dan mengantarnya ke ruang duduk tempat Hinata menunggu.
Sasuke segera menyadari ada sesuatu yang salah setelah melihat Hinata. "Apa yang terjadi?" tanyanya.
Hinata menghela napas. "Oh, tidak apa-apa."
"Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu." Sasuke menyipitkan mata pada Hinata.
Hinata menghela napas. "Bisakah kita membuang formalitas ketika orang tuaku tidak ada?"
Sasuke sedikit kaku, tidak terbiasa melihat gadis didepannya itu bersikap kurang formal. "Baiklah," Ia mengangguk. "Jadi, apa yang terjadi?"
"Orangtuaku dan Hanabi bertengkar hebat." Hinata memberitahu Sasuke. "Kupikir sebaiknya kita membatalkan makan malam ini, tapi ayahku bersikeras agar makan malam dilanjutkan dan bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Hanabi, diperintahkan untuk tetap di lantai atas."
"Apa yang sebenarnya terjadi jika kau tidak keberatan dengan pertanyaanku?" Sasuke mengerutkan kening.
"Hanabi makan siang dengan Konohamaru hari ini." Hinata memalingkan muka. "Ayahku mengetahuinya dan dia menolak untuk menjelaskan. Ayahku pikir Hanabi sedang mencoba hamil dengan orang lain untuk merusak pertunangannya dengan Shimura Danzo."
"Oh Tuhan." Sasuke duduk di sofa di seberang Hinata. "Dan tentu saja Konohamaru..."
"Adalah lelaki dari keluarga biasa, yang benar-benar membuat segalanya... tidak menyenangkan." Hinata menyelesaikan kalimat Sasuke.
"Apa kau mau menikah dengan Shimura Danzo seandainya itu terjadi padamu?" tanya Sasuke.
"Tidak." Hinata menggelengkan kepalanya. "Aku bertanya pada Ayahku kenapa Hanabi harus menikah sekarang. Dia mengatakan padaku bahwa lebih cepat lebih baik. Dan dia juga tidak ingin membuang kesempatan saat ada pria terhormat yang menginginkan Hanabi."
"Dia masih muda." Sasuke menggelengkan kepalanya.
"Berapa banyak wanita berdarah bangsawan yang kau kenal yang belum mempunyai pasangan?" Hinata mengingatkannya.
Sasuke mengangguk, mengakui maksudnya.
"Uchiha-san!" terdengar suara berat dari ambang pintu. "Senang sekali melihatmu di malam yang indah ini!"
"Hyuga-san," Sasuke berdiri, menyeberangi ruangan untuk menjabat tangan pria itu. "Terima kasih sudah mengundangku. Putrimu yang cantik adalah nyonya rumah yang paling menawan." ucapnya berbasa-basi.
"Tentu saja." Pria tua itu sepenuh hati setuju. "Dia dididik oleh tutor terbaik, dan tentu saja, oleh ibunya yang anggun. Ini mungkin terdengar sombong, tapi aku yakin Hinata-ku adalah wanita muda paling cantik di kalangan bangsawan, bersama istriku yang juga cantik."
"Aku tidak pernah tahu bagaimana istrimu saat muda, tapi dia cukup cantik dan menawan sekarang." ucap Sasuke.
Hyuga Hiashi tertawa dan menepuk pundak Sasuke. "Aku menyukaimu, nak. Ayo, makan malam sudah siap."
Mereka berjalan ke ruang makan, Hyuga Hiashi, tentu saja, duduk di ujung meja, dengan istrinya di sebelah kanan dan Hinata di sebelahnya. Dan Sasuke duduk di seberang Hinata.
Mereka berbasa-basi tentang udang dan sup. Kemudian seorang pelayan membawakan Trout Grenobloise, dan tentu saja Hyuga Hiashi memberitahu Sasuke bagaimana ikan itu diambil dari sungai yang mengalir di tanah mereka, tepat pada saat itu salah satu pelayan tak sengaja menjatuhkan mangkuk kosong.
Ekspresi marah melintas di wajah tuan rumah sesaat, sebelum ia mengingat adanya tamu mereka.
"Bersihkan ini." Hiashi melambaikan tangan pada pelayan itu. "Hal seperti ini memang bisa saja terjadi." ucapnya pada Sasuke dan memaksakan tersenyum.
"Sungguh menyedihkan bahwa kau menunjukkan lebih banyak kebaikan pada pelayan daripada anakmu sendiri." Suara dingin terdengar dari pintu. "Tapi itu hanya untuk kepentingan tamu kita, bukan? Kau biasanya akan berteriak pada pelayan itu jika saja Uchiha yang berharga tidak ada di meja makan kita."
Mereka semua menoleh dan melihat Hanabi sedikit terhuyung dan bersandar di ambang pintu.
"Hanabi, apa kau baru saja minum?" Ayahnya bangkit. "Tami, Akari, bawa dia ke kamarnya." perintahnya pada dua pelayannya.
"Kau mengabaikan aku lagi." Hanabi berteriak. "Selalu melarang adanya ketidaknyamanan di sekitar Hinata-neesan yang sempurna!"
"Hanabi." Ibunya memperingatkan.
"Oh, apa kau tidak bertanya-tanya di mana dia berada kemarin, apa yang dia lakukan ketika dia pergi sendirian kemarin. Apa kau takut untuk mengetahuinya? Takut putrimu yang sempurna itu mungkin mencemari nama baik dirinya sendiri? Aku bisa memberitahumu di mana dia berada kemarin. Dia bersamanya!" Hanabi menunjuk Sasuke. "Tapi jangan khawatir, mereka tidak berdua. Istri dan anaknya ada di sana juga."
Nyonya Hyuga tersentak.
"Kau pikir Hinata-neesan akan punya pernikahan yang indah, bukan?" ucap Hanabi tajam pada ibunya. "Kalau begitu kau salah. Uchiha hanya akan membuatnya sedih. Dia punya Haruno Sakura dan sudah memiliki seorang anak." Ia menoleh pada kakaknya, "Dia tidak akan pernah mencintaimu seperti dia mencintai mereka, neesan. Dia akan bercinta denganmu tapi kau akan dibiarkan jatuh cinta sendiri. Dan itu tidak terlalu bagus."
Ada keheningan sesaat sebelum Hyuga Hiashi mendekati putrinya dengan tatapan mengancam. "Menikahi seseorang karena cinta adalah gagasan paling konyol yang pernah ada!" teriak ayahnya. "Cinta berlalu dengan cepat! Pernikahan lebih dari sekedar cinta! Ini tentang menjalin ikatan yang akan dibawa ke keturunanmu! Ini bukan tentang apapun yang kau pikir kau rasakan saat ini!"
"Dan bagaimana kau mengharapkan aku akan menghasilkan keturunan?" potong Hanabi. "Kau mencoba menikahkanku dengan seorang lelaki tua yang sebenarnya pantas menjadi kakekku. Apa kau benar-benar berpikir dia masih bisa terangsang?"
Hiashi menampar wajah putrinya. "Kau tidak bisa seenaknya berbicara seperti itu di depan tamu atau ibu dan saudara perempuanmu!"
"Kenapa?" tantang Hanabi. "Apa kau takut telinga perawan mereka mungkin akan menyusut?"
"Bawa dia keluar dari ruangan ini!" Hiashi memerintahkan pelayannya.
Salah satu dari mereka berlari untuk meraih tangan Hanabi dan memaksanya keluar ruangan.
Hiashi berbalik pada wajah-wajah tertegun di meja dan tersenyum. "Uchiha-san, aku benar-benar minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada putri terakhir kami. Neji, anak tertua kami, dia adalah anak yang menyenangkan, dan menciptakan pernikahan yang indah dengan istrinya. Dan Hinata kami tercinta, juga menarik dan menyenangkan. Sedangkan Hanabi selalu keras kepala dan..." Ia menggelengkan kepalanya. "Menyusahkan. Kuharap ketidaknyamanan malam ini tidak mencegahmu dari membatalkan rencana pernikahan."
Sasuke menggelengkan kepalanya dan berdeham. "Tidak baik bagiku untuk meminta pertanggungjawaban Hinata atas tindakan orang lain."
"Bagus. Luar biasa." Hiashi menggelengkan kepalanya. "Aku juga minta maaf karena perkataan tidak senonoh Hanabi. Aku bisa menjamin, dia dibesarkan lebih baik daripada tindakannya sekarang..."
"Bisakah kita tidak membicarakan ini di meja makan?" tanya Nyonya Hyuga, terlihat sangat tidak nyaman.
"Sebenarnya," Sasuke mendorong kursinya mundur seraya melirik Hinata, yang tampak sedikit terguncang. "Mungkin lebih baik jika aku pergi sekarang, dan kita bisa mencoba ini lagi lain kali."
"Jangan terburu-buru, Uchiha-san." Hiashi memprotes.
"Kurasa akan lebih baik dan kita bisa melupakan semuanya yang terjadi malam ini." Sasuke menggelengkan kepalanya. "Terima kasih sekali lagi, karena mengundangku malam ini. Dan Hinata," Ia memandang gadis itu. "Mungkin aku akan menghubungimu lagi sebelum kau pergi ke Osaka."
"Tentu saja." Hinata bergumam, tidak menatap mata Sasuke.
Hiashi mengantar Sasuke ke pintu depan. "Jangan khawatir, Hinata mungkin sedang sedikit terguncang saat ini, tapi dengan istirahat yang cukup, dia akan baik-baik saja. Aku yakinkan kau, nak, masalah ini akan sepenuhnya dilupakan."
Sasuke mengangguk, berterima kasih kepada lelaki tua itu, bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada Hinata seandainya gadis itu memberontak pada keinginan ayahnya.
***
Sesampainya di rumah, Sasuke bisa mendengar tawa Nichi di lantai atas.
Ia melonggarkan dasinya dan menuangkan anggur, meminumnya dalam satu tegukan sebelum menuju ke kamar Nichi.
Sakura sedang menggerakkan naga mainan Nichi dengan tangannya, naga itu ia goyang-goyangkan dan ia menyanyikan lagu tentang kelinci bernama FooFoo. Membuat Nichi terkikik terus menerus.
"Papa, lihat!" Nichi menunjuk. "Nagaku menari."
"Tentu saja." Sasuke duduk di karpet di samping bocah itu.
Nichi segera naik ke pangkuannya.
"Aku senang kau kembali, Papa. Aku merindukanmu." ucap Nichi, meringkuk di dada Sasuke. "Apa makan malammu menyenangkan?"
"Tidak juga." jawab Sasuke jujur. "Aku senang bisa kembali ke rumah."
"Makan malam kami tadi menyenangkan." Nichi memberitahu Sasuke. "Kami makan dengan ibumu. Dia mengatakan padaku untuk memanggilnya Mikoto-baachan."
"Sungguh?" tanya Sasuke, terpana.
"Sungguh." Nichi mengangguk dengan serius.
Sasuke berada di kamar Nichi selama setengah jam, ia dan Sakura sama-sama bermain dengan Nichi.
Ketika Sakura memberitahu anaknya bahwa sudah waktunya Nichi ke kamar mandi dan bersiap-siap tidur, Mikoto muncul di pintu.
Mikoto berhenti sejenak, ekspresi aneh melintas di wajahnya, lalu ia berjalan menyeberangi ruangan dan berlutut di samping Sasuke dan Nichi. "Aku datang untuk mengucapkan selamat malam." Ia tersenyum.
Nichi bangkit dan memeluk Mikoto, yang tampaknya mengejutkan wanita paruh baya itu. "Selamat malam, Mikoto-baachan." ucapnya, memberikan ciuman di pipi Mikoto.
"Selamat malam, Nichi." sahut Sasuke, mulai bangkit.
"Tidak!" Nichi mengayunkan tangannya ke arah Sasuke. "Aku ingin kau yang membantuku di kamar mandi, Papa!"
"Kenapa tidak dengan Mama?" tanya Sasuke.
"Aku bersama Mama seharian. Aku ingin Papa sekarang." Nichi memberitahu Sasuke.
Sasuke tersenyum, dadanya terasa aneh. "Baiklah. Biarkan aku mengajak Mikoto-baachan keluar lebih dulu, sementara Mama membantumu untuk menyiapkan airnya. Lalu aku akan segera menyusul."
"Ayo, Mama," Nichi menghampiri dan meraih tangan ibunya. "Kau dengar apa kata Papa."
Sakura membiarkan dirinya ditarik ke kamar mandi oleh Nichi, sementara Sasuke mengajak ibunya keluar ruangan.
"Mikoto-baachan?" tanya Sasuke, mengangkat alis pada ibunya.
"Yeah, jika dia akan sering berada di sekitar sini, dia harus memanggilku sesuatu." Mikoto menatap putranya dengan tatapan sayu.
"Kupikir kau tidak ingin melakukan apapun dengan anak Tousan." Sasuke mengingatkannya.
"Ini bukan kesalahan anak itu." Mikoto menghela napas. "Dia anak yang manis sekali. Dan aku sudah mengganti potret ayahmu dengan lukisan bagus, jadi sekarang aku merasa sedikit lebih baik tentang berbagai hal."
Sasuke menganggukkan kepalanya tapi tidak menjawab.
"Kalian bertiga membuat pemandangan sebuah keluarga yang indah." Mikoto tersenyum sedih. "Aku berharap segalanya bisa berbeda."
"Tapi nyatanya tidak." Sasuke memalingkan muka dan berjalan kembali ke kamar Nichi.
Pada saat membersihkan Nichi, Sasuke dan sebagian besar isi kamar mandi sudah basah kuyup. Ia membantu Nichi mengenakan piyama dan menggendongnya ke tempat tidur.
"Lempar aku ke tempat tidur, Papa!" seru Nichi.
Sasuke dengan lembut melemparkan anak itu ke tengah tempat tidur, dan kemudian menekan permukaan kasur dengan tangannya untuk memantulkan Nichi beberapa kali, membuat bocah itu tertawa.
Nichi meminta sebuah cerita, yang ia baca lebih banyak daripada yang Sasuke lakukan. Sakura kemudian masuk dan memberikan putranya ciuman selamat malam.
Mereka menyelimuti Nichi, dan kemudian Sasuke mengikuti Sakura keluar ruangan.
"Selamat malam." ucap Sakura, tanpa menatap Sasuke.
"Sakura," Sasuke mengacak rambutnya, tapi tidak bisa memikirkan apapun untuk membuat situasi menjadi tidak terlalu canggung. "Selamat malam." ucapnya akhirnya.
Ia melangkah ke kamarnya, meminum obat tidur sebelum naik ke tempat tidurnya sendiri.
Saat sarapan keesokan paginya, Sasuke mengingatkan Sakura bahwa gadis itu harus pergi ke kantor pengacara untuk menandatangani surat-surat rumah. Ia mengatakan pada Sakura dan Nichi bahwa asistennya yang akan menemani mereka, karena Sasuke harus bekerja. Nichi kecewa dan memohon pada Sasuke untuk tetap di rumah. Sedangkan Sakura hanya mengangguk dan mengucapkan 'semoga harimu menyenangkan' pada Sasuke.
***
Sasuke mengerjakan tumpukan laporan di mejanya dengan sepenuh hati, menyelesaikan sebagian besar dari mereka tepat hingga jam makan siang. Ia makan siang dengan sandwich dan kentang goreng yang dipesan Janny untuknya seraya membalik-balik sisa dokumen di mejanya.
Dokumen itu adalah kontrak rumah Sakura. Gadis itu rupanya sudah menandatangani semuanya, jadi pengacara Sasuke mengirim dokumen itu ke kantor agar Sasuke bisa menandatangani sisanya. Sasuke dengan cepat membubuhkan tandatangannya dan nantinya dokumen itu akan dikembalikan ke pengacaranya.
Tiba-tiba otaknya memutar sebuah ide, Sasuke menitip pesan pada sekretarisnya bahwa ia akan kembali sebentar, kemudian berjalan keluar dan pergi mengunjungi rumah baru Sakura.
Para pekerja tampak telah menyelesaikan pekerjaan mereka. Lemari dapur sudah diganti. Kamar tidur Sakura dicat kuning cerah dan kamar Nichi berwarna biru laut. Beberapa jendela yang lebih kecil telah diganti dengan yang lebih besar. Mereka bahkan telah menyelesaikan area loteng di atas ruang tamu, menambahkan jendela besar dan langit-langit. Sasuke membayangkan Sakura di sana, bersandar di tumpukan bantal, membaca atau menulis artikel di pagi yang cerah sementara Nichi bersamanya.
Ia memutuskan untuk mencari ruangan di rumahnya sendiri yang bisa ia atur dan dibuat sesuatu yang serupa.
Mandor datang menyambut Sasuke. "Kami sudah membersihkan dan memeriksa cerobong asap." Pria itu mengangguk. "Kami akan mengerjakan bagian beranda, dan mudah-mudahan kami bisa menyelesaikan semuanya hari ini kecuali lantainya. Kami akan menyelesaikannya besok, dan kemudian rumah ini akan siap."
Sasuke berterima kasih pada pria itu, lalu memutuskan untuk kembali lagi ke kantor.
Begitu ia kembali ke kantornya, ia mengirim pesan pada Sakura, meminta mereka untuk bersiap pada jam 5:15 sore nanti. Ia mengatakan ia memiliki sesuatu yang ingin ia tunjukkan pada mereka, dan kemudian mereka bisa keluar untuk makan malam.
"Keripik ikan." Sasuke berkata keras pada dirinya sendiri, tertawa pada apa yang ia yakini akan menjadi saran dari Nichi untuk makan malam.
Sasuke merampungkan semua pekerjaan di mejanya. Ia kemudian mulai mengirim pesan singkat pada Hinata, memutuskan bahwa mereka mungkin perlu berbicara, dan mengundangan gadis itu untuk bertemu di jam makan siang pada hari berikutnya.
Sasuke meraih jasnya, berencana pulang, tapi kemudian terpikir olehnya bahwa ia dan Sakura harus membuat daftar perabotan apa saja yang dibutuhkan. Ia mulai mencatat beberapa daftarnya.
Pintu terbuka, dan Janny masuk.
"Senang sekali kau kembali, Uchiha-san." ucap Janny.
"Janny, maaf, tapi aku memiliki rencana..."
Sasuke sejenak terdiam ketika sekretarisnya itu melepaskan ikat pinggang pada dressnya dan menarik jatuh dress abu-abunya hingga berada di sekitar kakinya dan menyisakannya hanya berdiri dalam balutan lingerie berenda hitam.
Sasuke menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Janny, aku tidak..."
Ada suara terkejut dari belakang Janny.
Sebuah suara kecil yang terdengar bertanya, "Apa yang terjadi dengan pakaian bibi ini, Papa?"
Sakura dan Nichi berdiri di ambang pintu, dengan tangan Sakura menutupi mata Nichi.
Janny buru-buru meraih gaunnya untuk menutupi dirinya, dan berlari keluar dari ruangan.
Sasuke membenamkan wajahnya di tangannya.
"Sakura, aku..." Sasuke memulai.
"Aku berpikir untuk menemuimu di sini, dan kita bisa segera pergi." Sakura menyela. "Tapi mungkin ini bukan ide yang bagus. Kurasa aku tidak akan membawa Nichi lagi ke kantormu."
Sasuke menghela napas. "Sakura, ini bukan seperti apa yang kau pikirkan. Oke, baik, dia mungkin menginginkan seperti itu, tapi aku sudah menolaknya."
"Sasuke, ini bukan urusanku." jawab Sakura, tidak menatap mata Sasuke.
Sasuke menghela napas lagi, sejenak menatap Sakura. "Baiklah, kalau begitu." Sasuke berdiri, melipat kertas berisi daftar perabotan yang ia tulis dan menyelipkannya ke dalam saku jas yang ia pakai. "Ayo pergi."
Sasuke membimbing mereka keluar dan kemudian mereka bertiga melesat ke rumah baru Sakura.
***
Sakura terkesiap gembira saat menginjakkan kakinya di teras depan yang lengkap dengan ayunan.
"Masuk, dan periksalah." Sasuke tersenyum pada Sakura. "Aku sudah memeriksanya tadi." Ia meraih tangan Nichi.
Sasuke membawa Nichi ke kamar tidur berwarna biru laut. "Bagaimana menurutmu rumah ini, Nichi?" tanya Sasuke pada bocah itu.
"Ini rumah yang bagus." Nichi mengangguk. "Siapa yang tinggal di sini?"
"Kau dan ibumu akan tinggal di sini." jawab Sasuke.
"Tidak!" teriak bocah itu. "Kami tinggal di mansion bersamamu!"
Sasuke berlutut di depan bocah itu. "Kau dan Mama akan tinggal di sini. Kau bisa datang menemuiku kapanpun kau mau. Aku juga akan datang menemuimu di sini. Kemudian tahun depan, ketika Hinata dan aku menikah... "
"Tidak!" Nichi berteriak lagi. "Kau Papaku! Kami tetap tinggal denganmu dan Hinata-basan bisa pergi!"
"Nichi, Mama menyayangimu dan aku menyayangimu dan Hinata-basan menyayangimu. Kau akan punya kita bertiga." Sasuke berusaha menenangkan bocah itu.
"Tapi Hinata-basan tidak mau menikah denganmu!" Nichi bersikeras.
"Aku harus menikahi Hinata. Kau dan ibumu akan tinggal di sini, dan ini sudah keputusan final." Sasuke memberitahu Nichi dengan tegas.
"Tidak!" Ekspresi wajah Nichi berubah dan ia mulai menangis. "Aku tidak menginginkanmu menjadi Papaku lagi!"
Nichi mendorong Sasuke dan berlari keluar pintu depan, membantingnya tertutup.
"Sial!" Sasuke meninju dinding terdekat dengan tangannya.
"Dia hanya belum bisa menerima semunya dengan baik." ucap Sakura menenangkan Sasuke, ia muncul dari arah ruang dapur.
Sasuke menggelengkan kepalanya. "Dia keluar dari pintu depan. Sebaiknya kau kejar dia. Kurasa dia tidak mau bicara denganku sekarang."
Sakura mengangguk, berjalan melintasi ruangan. Ia membuka pintu dan melangkah ke teras. "Nichi-kun!" panggilnya.
Tidak ada jawaban.
"Nichi!" Sakura berteriak lagi.
Ia berbalik ke arah Sasuke, yang melangkah keluar ke teras depan. "Nichi, sebaiknya jawab panggilan ibumu sekarang!"
Tetap tidak ada jawaban.
"Sasuke.." Wajah Sakura mulai berubah cemas.
"Nichi!" Sasuke berteriak, berjalan cepat ke sekitar rumah.
Tidak ada tanda-tanda ada seseorang.
"Dia tidak mungkin jauh." gumam Sasuke.
Ia berlari sepanjang jalan di sekitar rumah, memanggil anak itu.
Masih belum ada tanda-tanda keberadaan Nichi.
"Nichi!" Mereka berdua memanggil beberapa kali.
Anak itu tidak menjawab.
"Hari akan segera gelap." Sakura melihat sekeliling dengan raut cemas. "Lebih baik kita menghubungi polisi, meminta bantuan untuk menemukannya."
Sasuke mengangguk, mereka segera berlari kembali ke rumah.
***
Shikamaru dan Shino tiba dalam beberapa menit. Enam polisi datang tak lama setelah itu, dan kemudian Yamanaka Inoichi, Sai, Ino, dan Temari menyusul mereka.
"Apa yang mereka lakukan di sini?" tanya Sasuke, menatap Yamanaka Inoichi, Sai, Ino, dan Temari dengan ragu.
"Aku yang menghubungi mereka." ucap Shikamaru. "Mereka cukup tahu daerah ini. Kupikir sekarang yang terbaik adalah mengumpulkan sebanyak mungkin..."
"Kau benar." potong Sasuke, mengangguk. "Terima kasih. Tolong, temukan dia."
"Baiklah kalau begitu," Shikamaru berbalik dan berbicara pada para anggotanya. "Anak ini berusia tiga tahun, berambut hitam, hilang selama... dua puluh menit?" Ia memandang Sasuke dan Sakura, yang mengangguk. "Namanya Nichi. Kita akan berpisah dalam kelompok berdua atau bertiga dan menyebar. Temari, kau ikut denganku..."
"Baik." gumam Temari, menganggukkan kepalanya.
Shikamaru tersenyum. Ia dengan cepat membagi kelompok dan kemudian berbalik ke arah Sasuke dan Sakura, "Kalian berdua tinggal di sini kalau-kalau dia menemukan jalan kembali. Jika ada yang menemukannya, segera hubungi aku."
Setelah itu Shikamaru dan semuanya bergegas meninggalkan rumah baru Sakura itu.
Sasuke menarik Sakura ke dalam pelukannya. "Kita akan menemukannya. Aku bersumpah."
Sakura mengangguk. "Aku tahu."
"Maafkan aku." ucap Sasuke melanjutkan.
Sakura menarik diri untuk menatap Sasuke. "Tidak. Jangan... jangan meminta maaf." Ia berbalik dan berjalan melintasi setengah ruangan. "Lebih baik kau menelepon ibumu."
Sasuke mengangguk dan segera meraih ponselnya, mengabari ibunya.
Mikoto tiba dalam beberapa menit diikuti dua asistennya, ia sedang berada di sebuah butik saat Sasuke menelepon dan memberitahunya bahwa Nichi menghilang.
Dua menit kemudian, Hideyoshi Shinji tiba.
Sasuke menjabat tangan pria itu dan mengerutkan kening. Pria paruh baya itu adalah mantan polisi dan kini menjadi salah satu rekan bisnisnya.
"Aku yang menghubunginya." Mikoto memberitahu putranya. "Terima kasih sudah datang, Shinji." Ia berjalan mendekat dan mencium pipi pria itu.
"Tentu saja, apapun yang bisa kulakukan untuk membantu akan kulakukan." Pria paruh baya itu tersenyum pada Mikoto.
"Dia dulu seorang polisi." ucap Mikoto memberitahu. "Aku yakin dia tidak melupakan apapun hanya karena dia ada di belakang meja sekarang."
"Aku tidak melupakan apapun." Shinji mengedipkan mata pada Mikoto.
Sasuke memutar matanya.
"Maaf, kami menemukan surat di halaman depan yang ditujukan untuk Tuan Uchiha Sasuke." salah satu asisten Mikoto memasuki ruangan.
"Apa lagi? Jangan sekarang!" Sasuke menggeram.
Asisten itu menyerahkannya pada Mikoto. "Di amplop itu tidak tertulis nama pengirimmnya, hanya tulisan Urgent."
Mikoto mengambil amplop dan membukanya, ia terkesiap. "Sasuke!" Ia memanggil dengan tajam.
"Apa?" tanya Sasuke dengan kesal.
Mikoto menyerahkan surat itu, yang hanya berisi satu baris.
Aku memiliki putramu.
"Tolong katakan padaku ini lelucon." Sasuke menggeram. "Tidak lucu, tidak sama sekali."
Sakura segera berdiri dan menatap Sasuke dengan cemas.
***
To be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)