expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Leads to You #2



Chapter 2 - Berteman

Tahun Pertama Haruno Sakura

Setelah dua minggu berjalan, satu hal yang sangat jelas bagi Sakura; kuliah sangat berbeda dari SMA. Bukan saja kelas-kelasnya lebih intens dan pelajarannya jauh lebih individual, tapi fakta bahwa Sakura mendapatkan begitu banyak perhatian dari populasi laki-laki juga membuatnya bingung. Di SMA, ia dicap 'jalang' atau 'aneh' atau 'pecundang'. Tapi di Universitas Sapporo, tubuhnya yang ramping, kencang, matanya yang indah, rambutnya yang unik, dan senyumnya yang luar biasa dapat membuat banyak pria menolehkan kepala padanya ke mana pun ia pergi. Dan jujur ia menyukai itu. Sangat menyukai itu! Meskipun ia meninggalkan banyak rok super pendek di rumah di Hakodate, ia kadang-kadang akan memakai salah satu rok yang ia bawa ke Sapporo dan memakainya ke kampus hanya untuk mendapatkan beberapa siulan.

Ya, itu bertentangan dengan seluruh argumennya bahwa wanita lebih dari sekedar objek seksual, tapi sisi yang sangat feminim dari seorang Haruno Sakura suka mendapatkan perhatian. Namun demikian, ia menolak hampir setiap ajakan kencan yang ia terima. Ia tahu bahwa saat ini, ia harus fokus pada studinya. Jadi, memang ia banyak menggoda tapi tidak mau melakukan apa-apa karena ia ingin membanggakan kemampuannya untuk mengendalikan diri.

Sasuke menikmati banyak perhatian yang sama besar seperti Sakura. Ia belum pernah mendapat begitu banyak nomor meneleponnya dan beberapa email selama 19 tahun, dan itu termasuk ketika ia menjalankan bisnis saat di Hakodate. Gadis-gadis di sini menginginkannya dan mereka sama sekali tidak malu untuk menunjukkannya. Sebesar apapun Sasuke menginginkannya, ia membuat dirinya tetap fokus dan belajar. Ia ada di sini, di kampus ini, karena ia ingin menjadi ahli terapi fisik. Dan ia tidak akan mendapatkan nilai dan memahami konsep-konsep itu jika ia sibuk mengacau di setiap tempat tidur para gadis yang mengedipkan mata padanya. Jadi ia fokus pada studinya, mandi air dingin sebanyak yang ia bisa, dan mendapatkan teman yang sehat.

Hari terus berganti, dan ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Sakura sampai mereka sering terlihat bersama.

Yang mengejutkan, Sakura dan Sasuke menyukai kebersamaan mereka. Sakura masih menggunakan begitu banyak big-words yang membuat kepala Sasuke sakit dan mengoceh selama berjam-jam tentang omong kosong yang membuat Sasuke bosan, tapi gadis itu juga terlihat sangat rileks. Tidak, Sakura masih disiplin, tapi bagi Sakura sendiri, Sasuke memperhatikan bahwa gadis itu lebih rileks daripada saat di Hakodate.

Sasuke suka pergi ke kamar Sakura karena teman sekamarnya adalah seorang idiot yang menyebalkan. Dan di kamar Sakura ada Ryoka, yang menggodanya tanpa ampun dan sepertinya sengaja mengenakan pakaian lebih terbuka setiap kali ia datang.

Sakura pura-pura mengabaikan pandangan panas di antara mereka berdua. Ryoka akan berjalan ke sana ke mari dengan celana pendek dan kaos ketat dan banyak membungkuk agar Sasuke bisa menatap pantatnya atau melihat ke balik kaosnya. Sakura akan menjentikkan jarinya di depan wajah Sasuke untuk menarik perhatian pemuda itu kembali padanya. Namun tak berselang lama, mata pemuda itu akan berkeliaran kembali ke arah Ryoka dan menatap di putingnya atau mulut gadis itu yang cemberut dalam waktu singkat. Sakura akhirnya hanya akan menghela napas dan menyuruh Sasuke kembali ke asramanya sendiri, memberitahu pemuda itu bahwa jika studinya tidak penting lagi, mengapa pemuda itu harus repot-repot datang ke perguruan tinggi ini.

Sakura tahu bahwa membatasi Sasuke dari berhubungan seks dengan setiap gadis yang tersenyum padanya tidak akan berlangsung lama. Pemuda itu pada dasarnya adalah 'penis berjalan', mengeluarkan aura seksualitas kemanapun kakinya melangkah. Jadi benar-benar tidak mengherankan bagi Sakura, hampir lima minggu setelah dimulainya kelas, Ryoka tidak pulang satu malam setelah kelas jam 6 sore dan Sasuke tidak muncul di hadapannya. Tanpa harus bertanya, ia tahu mereka sedang bersama.

Sakura duduk di kamarnya, menatap ke luar jendela, benar-benar menikmati keheningan. Sejak ia berada di sini, ia terus-menerus mendengarkan ceramah profesor atau Sasuke yang mengeluh tentang bagaimana melewatkan kelas matematika bertahun-tahun di SMA benar-benar mengacaukannya atau tentang obrolan Ryoka yang obsesi dengan audisi menjadi Cheerleaders suatu hari nanti. Singkatnya, hidupnya sangat ramai dan ia membutuhkan sedikit keheningan.

Setelah tak melakukan apa-apa dan hanya duduk diam, ia menyalakan Mac-nya dan mengetik email ke sahabatnya dari SMA, Yamanaka Ino. Kemudian ia mengirim email ke Utakata untuk menanyakan bagaimana keadaan pemuda itu di Okinawa. Akhirnya, ia juga memutuskan untuk mengirim email ke Tenten dan Rock Lee. Semua teman-teman sepermainannya, mereka akan terkejut mendengar bahwa Sakura tidak hanya satu kampus dengan Sasuke tapi juga menghabiskan waktu dengan pemuda itu.

Sakura segera menyadari bahwa keheningan sebenarnya setara dengan kebosanan. Ia sudah terbiasa dengan Sasuke. Mereka berdua biasanya pergi ke pusat kota dan makan malam bersama. Ia tidak pernah menghabiskan makanannya dan Sasuke yang akan melahap sisa makanan miliknya itu, mengklaim bahwa pemuda itu perlu membakar banyak kalori untuk menjaga 'senjata'nya tetap hebat. Sakura akan memutar matanya tapi juga sekaligus tertawa.

Pukul 10 malam, Sakura memutuskan untuk tidur. Sekali ini, suara Ryoka tidak akan membuatnya begadang. Ia mengganti pakaian ke gaun tidurnya dan berbaring dalam kegelapan. Dua puluh menit setelah ia berbaring, ketika ia akhirnya hampir masuk ke alam mimpi, pintu terbuka dan Ryoka melangkah masuk. Gadis itu menyalakan lampu, dan berseru, "Aku tahu kau sudah di tempat tidur, tapi kita perlu bicara."

Sakura duduk, matanya sakit karena cahaya lampu, dan ia memelototi Ryoka. "Apa?" ketus Sakura, lebih kesal daripada yang seharusnya. "Aku ingin tidur."

Ryoka duduk di tepi tempat tidur Sakura dan meraih tangan gadis itu. Melihat ke matanya, "Tapi Sakura, ini sesuatu yang positif. Ini tidak bisa menunggu!"

Sakura mengangguk karena ia tahu ia tidak akan menang, akhirnya ia mengalah, "Apa? Apa sesuatu yang begitu penting itu?"

Ryoka naik ke tempat tidur Sakura dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Menutup matanya, ia bernapas perlahan, "Aku berhubungan seks dengan Sasuke malam ini."

Sakura sama sekali tidak terkejut. "Aku sudah menebaknya ketika kalian berdua tidak muncul di hadapanku malam ini. Kau sudah menarik perhatiannya selama berminggu-minggu."

"Oh, Sakura," seru Ryoka. "Dia luar biasaaa. Maksudku... aku hanya... Ya Tuhan." Tubuhnya bergetar. "Apa dia mengambil kelas olahraga saat di Hakodate? Tubuhnya berotot, dan tidak ada pria yang pernah berhubungan seks denganku seperti dia." Ryoka memejamkan mata ketika memikirkan tentang malamnya berada di lengan Uchiha Sasuke yang sangat berotot.

Sakura ingin muntah. Ia tidak membutuhkan detail tentang Sasuke karena kepalanya akan dipenuhi dengan bayangan aneh dan ia mungkin harus bunuh diri hanya untuk menyingkirkannya. "Dia dulunya berhubungan seks dengan banyak cougars. Kurasa mereka mengajarinya beberapa hal," jelas Sakura, menatap bantal seolah ia ingin menekannya ke wajah Ryoka sampai gadis itu berhenti bernapas dan payudara besar itu berhenti naik-turun.

"Oh, Sakura, terima kasih sudah mengenalkan aku padanya. Aku hanya... Ya ampun. Aku akan mandi." Ryoka turun dari tempat tidur dan kemudian mendadak berhenti. "Tunggu, tidak! Jika aku mandi sekarang, aroma tubuh Sasuke akan hilang dari kulitku. Ohhh, aku belum mau kehilangan itu. Aku ingin tidur dengan aromanya di kulitku." Ia mendesah. "Aku akan mandi besok pagi."

Ryoka melangkah ke tempat tidurnya dan membuka ikatan rambutnya. "Selamat malam, Sakura!" Ia bersenandung pelan sebelum naik ke tempat tidurnya sendiri.

Sakura mematikan lampu dan menatap langit-langit. Ia tahu Sasuke akhirnya akan tidur dengan Ryoka tapi astaga, ini bahkan jauh lebih tidak nyaman daripada yang ia perkirakan.

***

Keesokan paginya, Sasuke sedang menunggu Sakura ketika gadis itu melangkah keluar gedung asrama untuk menuju kelasnya.

"Aku membencimu," ucap Sakura ketika Sasuke mendekat.

Sasuke memasang ekspresi terluka. "Apa yang aku lakukan?"

"Teman sekamarku. Dan sekarang dia akan terus mengoceh tentang betapa menakjubkannya dirimu dan bagaimana kau..." Sakura berhenti, memelototi Sasuke. "Tunggu... aku tidak akan membahas detailnya karena aku hampir tidak tahan untuk menatap matamu sekarang. Tapi perlu kau tahu, kita lebih baik belajar di kamarmu malam ini, kecuali jika kau berencana untuk meniduri teman sekamarku lagi, karena aku tidak akan duduk di sana dan menonton kalian berdua bermain mata sementara aku mencoba untuk belajar."

Sasuke tertawa terbahak-bahak. "Monologmu sudah selesai?"

Sakura mengangguk.

"Bagus, karena besok aku ada ujian. Aku tidak ingin gagal, jadi tidak akan ada 'perjalanan menyusuri Ryoka' malam ini."

Sakura memutar matanya hingga ia yakin ia akan terserang pusing. "Aku membencimu," ucapnya lagi. Sasuke hanya terkekeh sebagai respon sebelum mengucapkan sampai jumpa pada Sakura dan pergi menuju kelasnya.

Malam itu, Sakura bergegas mengitari ruangan, mencoba mengumpulkan barang-barangnya sebelum Ryoka pulang dan mulai mengganggunya dengan ocehan tentang Sasuke. Berhasil menyelinap keluar, ia berlari menyeberang jalan, menuju asrama Sasuke dan mengetuk pintu kamar pemuda itu setelah sampai di lantai tiga.

Pintu terbuka dan ia bertatapan dengan seorang pemuda gemuk pendek dengan rambut merah dan kacamata besar. "Um... apa Sasuke... dia di sini?"

Senyum pemuda gemuk itu melebar. "Kau pasti Haruno Sakura. Sasuke bilang kau akan datang. Dia sedang pergi membeli beberapa makanan. Silakan masuk, cantik."

Sakura merasakan getaran di punggungnya. Pemuda itu terlalu mirip dengan pemuda mesum di Hakodate, yang menghabiskan tahun-tahun SMA-nya dengan penuh nafsu menatap dan melecehkan Sakura secara seksual.

Sakura duduk di tempat tidur Sasuke dan meletakkan buku-bukunya. Kitaro duduk di kursi komputernya, menatap Sakura tapi tidak mengatakan apa-apa. Kecanggungan itu mengerikan dan Sakura mulai berharap ia membawa Mace bersamanya ketika untungnya, Sasuke melangkah masuk, membawa Suzy Q's dan makanan ringan lainnya.

Melihat Sakura, Sasuke menyeringai. "Oh, bagus, kau sudah di sini." Ia meletakkan makanan-makanan itu di atas meja dan tersenyum pada Sakura. "Aku butuh makanan untuk otak." ucapnya seraya mengambil buku-bukunya, "Ayo kita mulai. Aku perlu lolos ujian ini!"

Sakura dan Sasuke duduk di meja, belajar dengan tenang, sampai Sakura merasakan tatapan seseorang padanya. Ia menatap Sasuke tapi pemuda itu fokus menatap bukunya, bibirnya diam-diam bergerak membaca kembali konsep yang sedikit membingungkan. Mata Sakura kemudian bergerak dan mendarat pada Kitaro, yang menatapnya seolah ia telanjang dan dilapisi sirup pancake. Sakura segera bergeser mendekat pada Sasuke, dan berusaha fokus pada bukunya lagi.

Saat itu, ponsel Sasuke bergetar di sakunya. Sasuke membaca pesan itu, terkekeh, dan kemudian mengetik sesuatu sebagai balasan.

"Siapa?" Sakura bergumam, tidak mendongak dari bukunya.

"Ryoka. Dia bertanya apa aku ada waktu luang nanti."

Sakura melirik Sasuke. "Kau akan menurutinya?"

Sasuke menyeringai, "Mungkin. Payudaranya luar biasa."

Ekspresi wajah Sakura berubah jijik. "Sasuke, hanya karena kita berteman, bukan berarti kau harus berbagi segalanya denganku. Serius. Ketika itu berkaitan dengan kehidupan seksmu, aku tidak mau mendengarnya."

"Baik, baik... aku akan menyimpannya sendiri..."

"Hanya itu yang kuminta. Terima kasih," ketus Sakura.

Pada jam 10 malam, Sakura berdiri dan mulai membereskan buku-bukunya. Ia siap untuk besok dan Sasuke meyakinkannya bahwa ia juga 'siap' untuk ujiannya. Tepat saat Sakura akan pergi, Ryoka tiba di sana.

"Hei, Sakura. Aku mungkin akan kembali larut malam," ucap Ryoka bahagia, sebelum melemparkan dirinya pada Sasuke dan mengunci bibirnya ke bibir pemuda itu. Kitaro duduk di kursinya, tersenyum melirik wajah Sakura. Tanpa bicara, Sakura pergi dan menutup pintu di belakangnya.

"Penjahat mesum," gumamnya ketika ia menyeberang jalan.

***

Beruntung bagi Sakura, ia tidak perlu jengkel terlalu lama. Tiga hari setelah hubungan seks kedua antara Sasuke dan Ryoka, Sakura tiba di kamar dan menemukan Ryoka menangis di tempat tidurnya.

"Ada apa, Ryoka?" tanya Sakura, jujur ia hanya sedikit khawatir.

"Teman bodohmu, Sasuke. Aku melihat dia mencium gadis lain hari ini. Dan dia mengabaikan pesan teksku."

Sakura mengangkat bahu. "Ketika kau bermain-main dengan Uchiha Sasuke, kau tidak harus mengharapkannya. Dia adalah playboy dengan urutan tertinggi. Dia sudah seperti itu sejak berusia sekitar 14 tahun. Dia mungkin masih akan seperti itu ketika dia berada di panti jompo dengan bantuan tangki oksigen."

Ryoka memekik dengan air mata mengalir. "Tapi aku... kurasa aku mencintainya!"

Sakura mendesah dan kemudian duduk di sebelah Ryoka. Ia memegang tangan gadis itu, "Ryoka... dengarkan aku. Jangan buang air matamu hanya untuk Uchiha Sasuke. Dia bukan tipe pria berkomitmen. Jatuh cinta dengannya hanya akan menyebabkan bencana. Percayalah... aku mengenal dia sangat baik."

Ryoka mengangguk sedih, matanya memerah. "Terima kasih, Sakura. Aku hanya..." Ia mulai menangis lagi dan menjatuhkan wajahnya ke bantal.

Sakura menghela napas karena harus berurusan dengan kebodohan ini, ia meraih ponselnya dan mengirim pesan pada Sasuke.

Terima kasih telah memberiku tugas untuk membersihkan kekacauanmu.

Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar.

Maaf. Aku akan menebusnya.

Sambil mendesah, Sakura duduk di tempat tidurnya sendiri. Ia tahu berteman dengan Sasuke akan sulit dan sepertinya ini adalah salah satu dari waktu-waktu sulit itu.

Pagi berikutnya, Sasuke menghampiri Sakura, "Aku akan pulang ke Hakodate akhir pekan ini. Kau tidak pulang? Kau bisa ikut denganku dan aku akan menjemputmu pada hari Minggu supaya kita bisa kembali ke sini bersama."

Sakura tampak terkejut dengan tawaran Sasuke tapi kemudian tersenyum hangat. "Apa ini untuk menebus setelah kau mengacaukan teman sekamarku dan kemudian melemparkannya begitu saja dan membuatku berurusan dengan dia yang menangis menyebalkan sepanjang malam?"

Sasuke tidak mau berbohong. "Sedikit," jawabnya.

"Baiklah, kalau begitu. Berkendara pulang bersamamu sepertinya akan menyenangkan. Aku berniat pulang ke rumah dan ini kebetulan yang sempurna. Orangtuaku sangat khawatir tentang prospek mengemudiku bolak-balik sendirian. Ini mungkin akan membuat mereka tenang."

"Bagus... Aku harus pergi, Sayang. Sampai jumpa lagi!"

Sakura mengawasi Sasuke berjalan pergi, menuju kelas berikutnya. Sambil menggelengkan kepalanya, ia melangkah ke kelasnya sendiri.

***

Perjalanan pertama pulang bersama ke Hakodate terus berlanjut hingga menjadi kebiasaan sepanjang tahun ajaran mereka. Setiap enam minggu sekali, di hari Jumat setelah kelas terakhir mereka, mereka akan berkendara pulang menggunakan salah satu mobil mereka. Setelah menghabiskan akhir pekan dengan keluarga masing-masing, mereka akan bertemu lagi pada hari Minggu sore untuk kembali ke Sapporo. Selama perjalanan panjang antara Hakodate dan Sapporo itulah persahabatan Sakura dan Sasuke benar-benar mulai berkembang.

Dalam satu perjalanan pada akhir Oktober, Sakura tampak memprotes pada Sasuke. "Saat di awal kuliah, kau mengatakan bahwa kau akan lebih fokus belajar dan lebih sedikit pada wanita."

Sasuke mendengus. "Aku sudah mencoba! Tapi dammit... ada begitu banyak wanita seksi di kampus. Dan aku pria yang sangat tampan. Wajar kalau aku harus menjarah beberapa gadis di sana-sini. Aku punya kebutuhan, kau tahu."

Mata Sakura melotot pada Sasuke. Pemuda itu perlu dikebiri.

"Bagaimana denganmu? Apa kau berkencan?" Sasuke membalikkan pertanyaan.

"Aku sudah banyak menerima ajakan berkencan. Tapi, aku harus fokus pada studiku agar aku bisa lulus dengan nilai memuaskan. Itu membuatku hanya punya waktu sangat sedikit untuk pria." Sakura melirik Sasuke. "Sebenarnya, ini juga membuatku punya cukup waktu untuk menjadikanmu satu-satunya pria dalam hidupku... menyedihkan."

"Shit, Sakura. Itu sangat menyedihkan." Sasuke menyalakan lampu sein untuk mengitari sedan yang bergerak lambat di depan mereka. Begitu mobil mereka dengan aman kembali ke jalur asalnya, Sasuke bertanya, "Tapi... apa kau tidak gatal dan perlu... uh... menyentuhnya sesekali?"

Warna merah mengalir ke pipi Sakura. "Um..."

"Maksudku, kau bukan perawan lagi, kan? Kau dan Utakata berkencan cukup lama..."

Bahu Sakura menegang dengan kesal dan memandang Sasuke dengan tatapan menyipit. "Itu bukan urusanmu, tapi ya, Utakata dan aku memang punya hubungan seksual yang sehat."

"Dan sejak kalian berdua putus?" tanya Sasuke.

Sakura memandang ke luar jendela, merasa malu untuk melanjutkan percakapan ini dengan Sasuke. "Dan sejak kami putus, aku tidak melakukannya."

"Fuck, itu menyebalkan." Sasuke tidak bisa membayangkan hal itu. Seks itu seperti bernapas. Jika ia tidak melakukannya, ia akan mati.

"Kau selalu fasih untuk mengumpat, Sasuke," gumam Sakura datar. "Ngomong-ngomong..." Ia berkata dengan nada suara lain, berusaha menjauhkan topik tentang kurangnya kehidupan seksnya.

Sasuke tidak siap untuk mengganti topik khusus ini. "Jadi, kau benar-benar tidak melakukannya? Maksudku... sama sekali tidak melakukan apa-apa?"

Wajah Sakura semakin memerah ketika ia memikirkan 'pelarian'nya, begitulah ia menyebut benda itu, yang tersembunyi dengan aman di belakang laci kaus kakinya.

Sasuke dengan cepat mengalihkan pandangan dari jalanan ke arah Sakura. Melihat pipi gadis itu yang memerah, ia menyeringai. "Kau benar-benar melakukannya sendiri, bukan?"

"Sasuke!" Sakura merasa ngeri.

"Oh, Tuhan, Sakura... Jika kau memberitahuku kau punya dildo, aku akan menabrakkan mobil ini karena kaget." Memikirkan Sakura memiliki mainan seksnya sendiri menyebabkan tubuhnya bergidik.

Sakura menyilangkan lengannya, senyum malu muncul di bibirnya.

"Fuuuck," gumam Sasuke, pikirannya penuh dengan bayangan yang seharusnya tidak ia pikirkan. "Sial, Sakura. Aku tahu kita hanya teman tapi kau harus tahu... itu seksi sekali, dan bahkan lebih seksi karena ini adalah dirimu. Wow... Haruno Sakura dengan..." Sasuke bergidik lagi. "Oke, aku harus mengeluarkan pikiran ini dari kepalaku..."

"Bisakah kau diam, Uchiha Sasuke? Dan kau tidak boleh menyebut-nyebut pembicaraan ini lagi." Sakura ngeri dan sekarang ia mati-matian ingin berbicara tentang sesuatu yang lain.

"Baik, baik." Sasuke terdiam sesaat, seringai masih di bibirnya. "Boleh aku mengajukan satu pertanyaan lagi?"

Sakura mendengus dan menoleh pada Sasuke, menatap tajam. "Apa?"

"Warna apa?"

Oke. Jika Sasuke menginginkan detailnya, Sakura akan memberikannya. "Warna putih... dan sebelum kau bisa bertanya lagi, kuberitahu panjangnya 8 inci."

Sasuke bergidik untuk yang ketiga kalinya. Fuck...

***

Menjelang Januari tahun pertama Sakura, ia dan Sasuke berada di hubungan yang sangat akrab dan nyaman. Mereka biasanya akan bersama ketika waktu luang—dan ketika Sasuke tidak meniduri gadis-gadis. Mereka melakukan perjalanan pulang ke Hakodate setiap enam minggu sekali dan menghabiskan akhir pekan mereka di kampus atau pergi ke museum atau menonton konser dan berjalan-jalan di sekitar Sapporo.

Dalam keheningan di suatu malam, Sakura berpikir tentang bagaimana Sasuke, yang mengejutkan, menjadi teman terdekat yang ia miliki akhir-akhir ini. Ia dan Ino masih saling mengirim email, tapi sulit untuk tetap berteman dengan cara seperti itu. Dan jujur, ia suka menghabiskan waktu bersama Sasuke. Sasuke lucu, menawan, dan yang paling penting, pemuda itu membuatnya tidak kaku dan bersenang-senang. Kau sudah di perguruan tinggi, Sakura. Kau perlu 'hidup' sedikit, pemuda itu akan mengingatkannya hampir sepanjang waktu. Ia tidak bisa menahan untuk tidak berpikir bahwa semua teman-teman SMA mereka akan mati jika mereka melihat ia dan Sasuke sekarang.

Pada Kamis malam di awal Maret, Sakura mendapat telepon yang ia takuti. Perawatan kanker ayahnya tidak berhasil dan mereka harus mencoba sesuatu yang lebih agresif jika mereka ingin menang melawan kanker itu. Kanker itu belum menyebar dari paru-parunya, tapi para dokter mulai terdengar kurang optimis sepanjang waktu. Ketika Sakura memutus panggilan telepon, ia hampir panik. Pada jam 9:30 malam itu, ia mendapati dirinya berdiri di depan kamar asrama Sasuke, air mata menetes di pipinya.

Sakura mengetuk pintu pelan. Tak lama kemudian Sasuke membuka pintu, bertelanjang dada dan tampak terkejut. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran ketika ia melihat Sakura dan menarik gadis itu masuk ke dalam kamar. Untung saja, Kitaro tidak ada di sana.

"Saku, ada apa?" tanya Sasuke, melingkarkan lengannya di pundak Sakura dan membimbing gadis itu untuk duduk di ranjangnya.

Sakura terisak dan kemudian air mata mulai mengalir di pipinya. "Ini... Ayahku. Mereka..." Ia menarik napas. "Mereka... harus mencoba perawatan yang lebih agresif karena... apa yang mereka lakukan tidak berhasil." Ia menangis tersedu-sedu, duduk di sebelah Sasuke.

Sasuke tidak begitu yakin apa yang harus dilakukan karena cara menangani seorang gadis yang menangis tidak masuk dalam daftar keahliannya. Jadi ia merangkul Sakura, menarik gadis itu ke dada telanjangnya, dan berbaring di tempat tidur dengan Sakura di pelukannya. Alih-alih memprotes, seperti yang ia kira akan Sakura lakukan, gadis itu meletakkan kepalanya di dadanya tepat di atas jantungnya. Mereka tetap seperti itu untuk waktu yang sangat lama sebelum Sakura akhirnya berbicara.

"Aku... aku tidak ingin ayahku pergi, Sasuke," gumam Sakura, suaranya tak lebih dari sekedar bisikan.

Tangan Sasuke bergerak ke kepala Sakura dan perlahan-lahan membelai rambut gadis itu, mulai dari pucuk kepalanya, bergerak ke ujung, dan kembali ke atas. "Aku tahu, Sakura. Kau hanya harus percaya bahwa dia bisa membaik."

Sakura mengangguk di dada Sasuke, merasa rileks di dalam pelukan pemuda itu. Mereka berbaring diam selama beberapa menit sampai Sasuke memecah kesunyian.

"Aku tahu ini bukan akhir pekan kita biasanya pulang, tapi jika kau ingin pulang akhir pekan ini agar kau bisa bersama ayahmu, aku akan mengantarmu."

Sakura mengangkat kepalanya, mata hijaunya terkunci dengan mata onyx Sasuke. "Aku sangat menghargai itu, Sasuke. Terima kasih banyak." Ia mencium pipi Sasuke sebelum memutuskan untuk berbaring di dada pemuda itu lagi.

Mereka tidak berbicara. Sebagai gantinya, Sakura hanya mendengarkan detak jantung di dada Sasuke ketika ia mencoba mengatur napasnya dan menghentikan air mata yang diam-diam terus jatuh. Begitu akhirnya ia bisa mengendalikan diri, ia merasa dirinya mulai mengantuk dan menyadari ia perlu kembali ke kamarnya sendiri. Ia akan bangkit saat Sasuke menghentikannya dengan menahan punggungnya.

"Kau boleh tetap di sini." Suara Sasuke terdengar lembut, rendah, dan penuh perhatian pada Sakura.

Sasuke pasti tahu bahwa Sakura tidak benar-benar ingin pergi karena sebaliknya, ia bangkit, membantu Sakura melepas sepatunya, dan menyerahkan sepasang celana pendek dan kaos tanpa lengan. Ia membalikkan punggungnya sehingga Sakura bisa berganti pakaian, ia kemudian mengambil selimut tambahan dari bawah tempat tidur.

"Aku sudah selesai," ucap Sakura pelan, memperhatikan otot-otot pundak Sasuke tegang dan berubah rileks ketika pemuda itu membentangkan selimut di atas tempat tidur.

Sasuke berbalik, terkekeh saat melihat betapa kecilnya Sakura di dalam celana pendek dan kaosnya. "Kau seperti seekor udang, Sakura," ucapnya bercanda. Sakura hanya tersenyum.

Sasuke mematikan lampu dan naik kembali ke tempat tidur. Sakura merangkak naik juga dan meletakkan kepalanya di dada Sasuke lagi. Sasuke melanjutkan membelai rambut Sakura dan terus melakukannya sampai ia mendengar napas Sakura semakin teratur, menandakan bahwa gadis itu sudah tidur. Saat itulah ia membiarkan dirinya memejamkan matanya juga.

Ketika Sakura bangun keesokan paginya, ia menatap wajah Sasuke dan menyadari bahwa semuanya baru saja berubah di antara mereka berdua. Sekarang, Sasuke bukan hanya sekedar teman studinya dan teman mainnya. Mereka adalah sahabat sejati ​​yang dapat berbagi aspek paling rentan dari diri mereka satu sama lain. Kenyataan ini menyebabkan hatinya menghangat, yang membantunya mengisi sisa hari itu. Ia tidak pernah berpikir ia akan mengatakannya, tapi itu benar; ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan tanpa Uchiha Sasuke.

***

Menjelang akhir Mei, Sakura sudah siap untuk liburan musim panas. Ia ingin pulang ke Hakodate karena ayahnya tidak kunjung membaik. Perawatannya terus berlanjut tapi tidak ada kemajuan nyata. Meskipun ia kesulitan mengakuinya pada dirinya sendiri, ia yakin jam kematian ayahnya terus berdetak.

"Apa maksudmu kau tetap di sini, Sasuke?" tanya Sakura, pada hari Kamis sore itu, hanya beberapa hari sebelum akhir semester, dan suaranya sedikit marah.

Sasuke mengangkat bahu. "Aku harus menyiasati kelas-kelas ini agar aku bisa lulus tepat waktu. Aku mengambil kelas-kelas sialan di Univ Hakodate dan perlu terus mengikuti jalur di sini. Jika aku mengikuti kelas di kedua sesi musim panas, aku akan tepat waktu."

Sakura menghela napas. "Aku... aku mengerti. Kurasa sulit bagiku untuk melihatmu secara akademis setelah..."

"Setelah menjadi brengsek di SMA? Ya, aku mengerti, Sakura. Lagipula, apa masalahnya?"

Mengangkat bahu, Sakura menatap Sasuke. "Jujur, aku akan merindukanmu. Kupikir kau akan berada di Hakodate bersamaku musim panas ini."

Wajah Sasuke berubah menjadi seringai dan ia menarik Sakura ke dalam pelukannya. "Uh... Haruno Sakura akan merindukanku!"

Sakura memukul dada Sasuke, tapi kemudian melingkarkan lengannya di leher pemuda itu. "Ya aku akan merindukanmu."

Sasuke menarik diri kembali, "Jangan khawatir, Sayang. Kita bisa tetap berkomunikasi. Dan aku akan pulang beberapa hari di musim panas ini, hanya saja tidak lama."

***

Pada hari terakhir kelas, Sakura merasa agak sedih. Kamar asramanya sudah sesak—ia diam-diam meminta kamar asrama pribadi tahun depan tapi tidak berniat untuk memberitahu Ryoka. Ketika ia memastikan semua barangnya sudah beres, Sasuke menemuinya di kamarnya sehingga pemuda itu bisa membantunya membawa barang-barangnya ke mobil.

Mereka berjalan dalam keheningan, keduanya tampak sedih karena tahun kecil mereka yang hampir sempurna akan segera berakhir.

Sasuke memasukkan barang-barang Sakura ke bagasi dan menoleh pada gadis itu. "Hati-hati, oke?"

Sakura mengangguk dan kemudian melangkah untuk memeluk Sasuke. "Jangan lakukan hal gila, Sasuke. Aku tidak akan berada di sini untuk menjadi alasanmu."

Sasuke mencium pucuk kepala Sakura. "Jangan khawatir, Sayang. Aku akan baik-baik saja."

Sakura tersenyum sedih dan kemudian masuk ke mobilnya. Ketika ia melaju pergi, ia menyaksikan Sasuke melambai dari kaca spion.

Sasuke merasakan sedikit kesedihan saat Sakura pergi tapi menyadari bahwa tetap di sini saat musim panas adalah pilihannya, jadi ia harus menghadapinya. Tapi tetap saja, ia akan merindukan Sakura, ia harus mengakui itu. Haruno Sakura adalah teman terbaiknya.

***

Sakura merasa lega bahwa ia kini berada di rumah setelah melihat ayahnya tidak terlihat sehat sama sekali. Wajahnya kurus dan hampir tidak berwarna. Ayahnya tidak makan banyak dan tidur hampir sepanjang waktu. Kanker menggerogoti tubuhnya dan Sakura bisa tahu, saat ia menatap ayahnya, bahwa ayahnya tidak akan memenangkan pertempuran untuk bertahan hidup. Pikiran itu seakan merobek perutnya, di mana pikiran itu berputar dan menggerogoti dirinya sampai ia merasa hidupnya sendiri akan hilang dalam proses itu.

Musim panasnya dihabiskan terutama untuk merawat ayahnya. Sakura mencoba memberi ayahnya makanan sehat dan membuat ayahnya tetap terhibur, tapi sebagian besar waktu, ia hanya duduk di samping tempat tidur ayahnya dan mengawasinya tidur. Sedangkan ibunya terus menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan senang memiliki gadis kecilnya berada di rumah untuk membantunya.

Menjelang akhir musim panas, Sasuke pulang ke rumah selama dua minggu, pada dasarnya hanya untuk bersantai dan berkemas kembali untuk memulai tahun ketiganya di perguruan tinggi. Ketika ia sampai di rumah, ia bergegas ke rumah Sakura karena, yeah, ia benar-benar merindukan gadis itu. Ia sedikit terkejut, ketika Sakura membukakan pintu. Mata gadis itu tampak lelah, ada lingkaran hitam tebal di bawahnya.

Ketika Sakura bertemu mata dengan onyx Sasuke, ia menahan napas, "Sasuke," dan segera memeluk pemuda itu.

Sasuke memeluk Sakura erat-erat dan menyuruh gadis itu berganti pakaian karena ia akan mengajaknya makan pizza. Dan Sakura segera melakukan apa yang diperintahkan. Sasuke menghabiskan empat jam berikutnya menceritakan semua tentang petualangan sesi musim panasnya—hanya tidur dengan tiga gadis—dan tentang jadwalnya untuk tahun ketiga. Sakura senang memiliki Sasuke kembali. Seperti biasa, berada di sekitar pemuda itu membuatnya rileks.

Malam sebelum Sakura dan Sasuke pergi untuk kembali ke Sapporo, Kizashi memanggil Sakura untuk bergabung dengannya dan Mebuki di kamar. Sakura duduk di kaki tempat tidur, dan mereka jujur ​​padanya.

"Nak... aku telah memutuskan untuk menghentikan perawatan."

Mata Sakura memanas ketika air mata mulai menggenang dengan cepat. Ia tahu apa artinya itu.

"Tapi... Tousan..."

"Aku tahu, Sakura, aku tahu," ucap Kizashi, ada kesedihan dalam setiap katanya.

Sakura memandangi ayahnya, lalu pada ibunya. Berbicara dengan menantang, "Kalau begitu aku tidak akan kembali ke Sapporo."

Kizashi meraih dan memegang tangan Sakura. "Nak, kami ingin kau kembali melanjutkan studimu. Kau harus terus hidup dan membuatku bangga." Air mata mengalir di pipinya ketika ia menarik putrinya yang cantik dalam sebuah pelukan, alasan utama mengapa ia berjuang melawan kanker begitu keras. Ketiga Haruno itu menangis bersama dan kemudian berpelukan selama berjam-jam.

Sakura tidak ingin pergi dan kembali ke Sapporo. Tapi ia tahu ia harus melakukannya. Dan satu-satunya hiburan baginya adalah bahwa setidaknya Sasuke akan ada di sana untuk menemaninya. Ia tahu bahwa dengan apa yang akan terjadi di depannya, ia akan membutuhkan pemuda itu.

***
To be continued