expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Leads to You #25

 

"Sasuke-kun! Kita harus pindah!" Suara Sakura terdengar nyaring, bergema di kamar tidur mereka yang gelap ketika ia meneriakkan 'pengumuman' itu di malam hari. Sasuke langsung duduk di tempat tidur, mendadak terbangun dari tidurnya karena ledakan istrinya, dan melihat ke sekeliling dalam kegelapan.

"A-Apa, Saku?" Sasuke menggosok matanya, penglihatannya tertuju pada istrinya yang duduk tegak di tempat tidur, wajahnya yang cantik diterangi oleh cahaya bulan.

"Kita harus pindah!" Sakura mengulangi, menempatkan tangan di lengan Sasuke dan mencengkeramnya erat.

"Sekarang?" Sasuke menatap Sakura, jelas bingung. "Sekarang masih jam 2 pagi, Sayang," desahnya, menekankan bahwa istrinya harus tidur.

"Tidak, tidak sekarang! Tapi secepatnya! Harus secepat mungkin. Kita tidak bisa membiarkan bayi kita tinggal di apartemen ini! Ini terlalu kecil! Tidak ada cukup cahaya! Tidak ada cukup jendela untuk membiarkan udara segar masuk. Ada terlalu banyak suara dan bau aneh yang berasal dari apartemen lain. Ini lingkungan yang tidak pantas untuk bayi!"

Sasuke mengerang, menjatuhkan diri ke bantal. Ia menutup matanya dan menghela napas. "Saku, serius. Ini masih jam 2 pagi. Aku setuju bahwa kita perlu pindah tapi kita tidak bisa pergi mencari rumah sekarang. Kembali tidur, Sayang, tolong?"

Sakura menghela napas, berbaring kembali di bawah selimut. Ia bergeser ke arah Sasuke dan meletakkan kepalanya di dada suaminya. "Maaf karena membangunkanmu... Aku hanya punya seribu hal di pikiranku. Sejak aku hamil, aku sepertinya selalu memikirkan bayi ini." Tangannya bergerak ke perutnya yang masih rata.

Tangan Sasuke bergerak ke perut Sakura dan menutupi tangan wanita itu. Dengan lembut mencium kening istrinya, ia berbisik, "Dia akan baik-baik saja, Saku. Aku juga memikirkannya terus-menerus. Tapi kau baru hamil tujuh minggu. Kita masih punya 33 minggu untuk mencari tempat tinggal baru."

Sakura mengangguk di dada Sasuke.

"Bagaimana kalau kita mulai mencari rumah baru akhir pekan ini?" usul Sasuke, sambil menguap.

Sakura tersenyum dalam gelap. "Sasuke-kun, itu ide yang luar biasa! Aku ingin segera pindah. Kita harus benar-benar punya rumah baru jauh sebelum bayi ini lahir."

Sasuke menarik Sakura lebih erat ke arahnya. "Tidur, Sayang. Lagipula kau harus bangun pagi untuk muntah. Jadi ayo tidur sebelum kau melakukan 'edukasi'mu."

Memukul pelan dada Sasuke, Sakura terkikik mendengar kebenaran yang baru saja pria itu ucapkan. Morning sickness membuatnya menderita akhir-akhir ini. Begitu ia muntah di pagi hari, ia bisa melewati sisa hari itu, biasanya, tanpa terlalu banyak masalah lain. Namun, setiap melewati pintu Natsumi tampaknya menjadi tantangan baginya. Ia tidak pernah memperhatikan aroma yang berasal dari apartemen wanita tua itu sebelum hamil, tapi sekarang, aroma apa pun yang terus-menerus Natsumi masak sepertinya membuat Sakura sakit. Aromanya seperti kombinasi kubis dan... kaus kaki. Ia akan terengah-engah dan menahan mual ketika berlari ke apartemennya sendiri dan membuka kunci pintu. Jika Natsumi memanggilnya untuk berbicara, dibutuhkan segala kekuatan agar tetap tenang untuk tidak muntah di depan wanita tua itu. Ya, kami pasti harus pindah.

Sasuke berguling ke arah Sakura, mencium istrinya dalam-dalam, dan terlelap lagi beberapa menit kemudian. Sakura akhirnya meringkuk ke tubuh suaminya, menyerah untuk tidur. Suaminya benar... ia akan muntah hanya dalam beberapa jam lagi.

***

Di tempat kerja keesokan paginya, setelah Sasuke selesai menangani seorang pasien dan berjalan kembali ke kantornya, bosnya, Hatake Kakashi, menghampirinya di lorong.

"Sasuke, aku berhasil menyesuaikan jadwalku untukmu besok jadi aku sudah menyetujui permintaan cutimu."

Sasuke menatap bosnya. Apa? Aku tidak mengajukan permintaan cuti. "Maaf?"

Kakashi terkekeh, melemparkan tangannya dengan nyaman ke bahu Sasuke. "Aku mendapat voicemail dari istrimu pagi ini. Dia mengatakan bahwa kau besok akan pergi bersamanya ke bank untuk mengurus persetujuan awal hipotek. Dan kemudian dia mengatakan sesuatu tentang bagaimana kau menghadapi perubahan hidup yang besar dan dia berharap aku akan mengabulkan permintaannya karena dia benci melibatkan tentang hak asasi manusia atau semacamnya."

Sasuke memucat. Aku akan mencekik Sakura. "Aku... maaf..." Ia tergagap, wajahnya memerah ketika kata-kata Sakura pada bosnya bergema di kepalanya. Ia bisa membayangkan dirinya dipecat karena ancaman hormon istrinya.

Kakashi tertawa, ia membimbing Sasuke ke kantornya dan memberi isyarat bagi Sasuke untuk duduk. Sasuke mengambil tempat duduk di kursi kulit yang nyaman, menyilangkan kakinya dan mengetuk-ngetuk pulpen dengan gugup di lututnya.

"Jadi, Sasuke, apa yang terjadi?"

Sasuke mengusap rambut hitamnya. "Istriku sedikit panik jam 2 pagi ini dan memutuskan bahwa kami harus pindah. Dan ketika dia memutuskan sesuatu, aku sudah belajar bahwa hal terbaik yang bisa kulakukan adalah menutup mulutku. Aku minta maaf atas voicemail darinya, Kakashi, sungguh. Dia... hanya sedikit... mudah panik sekarang."

Kakashi menyeringai, mengangguk. "Jadi, kapan dia akan melahirkan?"

Mata Sasuke sedikit membelalak dan kemudian Kakashi tertawa. "Kau sudah terbiasa dengan wanita hamil? Oke, aku mengerti. Dia diperkirakan akan melahirkan 23 Desember."

"Aku sudah punya seorang istri dan empat anak perempuan, Sasuke. Salah satu anak perempuan itu sekarang juga sudah memiliki bayi. Aku sudah melewati waktu cukup banyak dengan wanita hamil untuk mengetahui tanda-tandanya."

"Tapi sekali lagi maaf, Kakashi," Sasuke memulai. "Aku akan mengingatkan Sakura bahwa dia tidak perlu menghubungi bosku dan mengancamnya di lain waktu. Itu pun, jika aku masih memiliki pekerjaan ini."

Kakashi mengangkat tangan untuk menghentikan anak buahnya berbicara. "Sasuke, aku sudah bertemu Sakura berkali-kali. Dia wanita yang cantik. Dia juga hamil dan kau akan menjadi ayah untuk pertama kalinya. Jika kau butuh sesuatu, kau hanya perlu memberitahuku. Kau sudah bekerja sangat baik dan telah memberikan semua kemampuanmu selama lima tahun terakhir ini, Jadi jika kau perlu sesuatu, kau akan memberitahuku, kan?"

Sasuke tersenyum, beban stresnya mereda. "Terima kasih. Kurasa aku akan ambil cuti besok untuk pergi ke bank..." Ia kemudian pamit dan melangkah keluar.

Kakashi masih terkekeh kecil ketika Sasuke sudah meninggalkan kantornya. Bocah itu sudah cukup dewasa.

***

Ketika Sasuke pulang kerja beberapa jam kemudian, tampak jelas bahwa Sakura telah menyadari jika yang dilakukannya cukup buruk untuk mendapatkan cuti bagi suaminya. Sasuke berjalan masuk ke apartemen dan menjatuhkan kuncinya di atas meja, tapi Sakura hanya berdiri di depan kamar dan tidak menyambutnya seperti biasa. Ketika Sasuke memeluk Sakura dan membimbing wanita itu ke kamar mereka, wajah istrinya itu memerah dan matanya berkaca-kaca.

"Maaf, Sasuke-kun! Aku tidak membuatmu dipecat, kan? Apa yang kubicarakan keluar begitu saja... Aku sedikit panik saat memikirkan tentang bayi kita dan semua yang perlu dilakukan sekarang dan nanti. Aku benar-benar minta maaf," Mata hijau Sakura yang besar menatap Sasuke, penuh pertanyaan dan penyesalan.

Mencium Sakura tepat di keningnya, Sasuke dengan lembut mendorong Sakura ke tempat tidur, melepas kemejanya dan melemparkannya ke keranjang di dekat tempat tidur. Setelah melepas celana dan boxernya, ia naik ke tempat tidur dan menempatkan dirinya di antara paha Sakura.

"Kau mengancamnya, Saku! Aku belum pernah mendengarmu melibatkan tentang 'hak asasi manusia' sejak SMA. Aku mendapat banyak masalah, Sayang, terima kasih untuk mulut besarmu." Sasuke memasang ekspresi sedih di wajahnya untuk lebih mendramatisir. "Kupikir dia akan memukulku. Mengerikan..." Menjatuhkan kepalanya, ia menjilati garis leher Sakura dan payudara wanita itu, kemudian menambahkan, "Kau harus membayarnya..."

***

Siang keesokan harinya, keluarga kecil Uchiha mengurusi hipotek di bank. Satu setengah jam setelah mereka tiba, dokumennya sudah lengkap dan mereka memiliki persetujuan awal untuk hipotek yang enam kali lebih banyak dari yang mereka mampu. Ketika mereka melangkah ke luar bank di hari yang cerah itu, Sakura nyaris melompat-lompat karena gembira.

"Sasuke-kun, kita harus memutuskan di lingkungan mana kita akan tinggal. Dan kemudian kita harus menentukan kisaran harga rumah yang wajar. Dan kemudian kita perlu memikirkan perabotan apa saja yang kita inginkan di rumah itu. Dan kita perlu menentukan apakah kita ingin dinding dengan batu bata, batako, atau yang lainnya. Dan apakah kita membutuhkan bilik shower?" Sakura menyingkirkan helai rambutnya ke belakang telinganya dan menatap suaminya tepat pada waktu ia memergoki pria itu memutar matanya. "Sasuke-kun! Apa kau memperhatikan apa yang kukatakan?"

Sasuke memasukkan tangannya ke saku dan merengut. "Lingkungan. Batu bata. Shower. Aku paham, Sayang."

"Oke!" Sakura mengangguk. "Apa kau punya keinginan lain?"

Sambil melingkarkan lengan di pundak Sakura, Sasuke membimbing wanita itu menuju mobil dan membuka pintu. Sakura masuk dan memasang sabuk pengaman sementara Sasuke berjalan ke sisi kemudi. Ketika mereka melesat ke jalanan Kagoshima yang sibuk, Sasuke akhirnya menjawab istrinya. "Aku hanya punya satu permintaan, Sayang; rumah baru kita harus sejauh mungkin dari Natsumi-baasan. Aku sudah seperti di neraka berada di sekitar kelelawar tua itu. Kita harus pindah sejauh mungkin..."

Sakura menatap Sasuke tajam. "Aku menyukai Natsumi-baasan, bahkan meskipun dia beraroma aneh. Dia..." Ia mengingat kembali kepindahannya yang mendadak ke Kagoshima lima tahun sebelumnya, "Dia adalah teman pertamaku di sini. Meskipun aroma yang keluar dari apartemennya tidak enak, aku akan merindukannya."

Sasuke mendengus, menyalakan lampu sein saat berbelok ke tempat parkir sebuah toko kelontong. "Apa kau akan merindukan ketika dia menggedor pintu apartemen kita tepat di tengah-tengah saat aku memasukkan penisku padamu? Aku tidak akan melupakan itu. Wanita tua itu licik! Apa kau akan merindukan ketika dia berdiri di depan pintu dan berbasa-basi menyerahkan kaleng minuman... atau apa pun... yang menghabiskan waktu berjam-jam dan yang kelihatannya akan membunuh kita seolah kita mencoba memakannya? Shit, Sayang, menjauh dari kelelawar tua itu adalah alasan #1-ku untuk pindah."

Setelah Sasuke mematikan mesin mobil di tempat parkir, Sakura menoleh pada suaminya, ekspresi bertanya muncul di wajah cantiknya. "Kenapa kita ke sini?"

Sasuke terkekeh. "Tunggu di sini. Aku akan segera kembali."

Sakura mengawasi Sasuke keluar mobil dan berlari masuk ke dalam toko. Tiga puluh detik kemudian, Sasuke kembali dengan membawa setumpuk majalah di tangannya. Masuk kembali ke dalam mobil, ia meletakkan tumpukan majalah itu ke pangkuan Sakura. Mata Sakura menatap ke bawah dan kemudian berbinar. Ia menoleh pada Sasuke dan mencium suaminya itu. "Majalah rumah! Oh Sasuke-kun, aku mencintaimu! Kau membaca pikiranku!"

Mulai menjalankan mobilnya lagi, Sasuke seakan ingin memberi penghargaan pada dirinya sendiri. Sakura mengetuk-ngetukkan kakinya ketika alunan musik lembut terdengar di dalam mobil saat ia membalik-balik majalah, melipat ujung halaman-halaman yang memuat detali rumah yang ia sukai. Ketika mereka tiba di rumah dua puluh menit kemudian, sudah ada lebih dari tiga puluh rumah yang ditandai Sakura untuk dipertimbangkan.

Ketika mereka berjalan masuk ke apartemen, Sakura mulai mengoceh tentang rumah dan persyaratan untuk rumah masa depan mereka. Sasuke tidak mengatakan apa-apa, ia tahu bahwa ia lebih aman untuk mengangguk dan setuju saja. Sambil meraih bir dari kulkas, Sasuke duduk di meja ruang makan bersama Sakura dan mereka mulai membicarakan rumah masa depan mereka. Meskipun ini menyebalkan bagi Sasuke, tapi ini adalah hal yang penting, jadi ia pikir untuk sekali ini, ia sebaiknya mendengarkan apa yang akan dikatakan istrinya.

***

Pada hari Sabtu, Sakura dan Sasuke berencana menghabiskan hari itu dengan melihat-lihat rumah. Sakura serius untuk pindah dan harus sesegera mungkin. Berkat banyaknya diskusi yang mereka lakukan, mereka memutuskan untuk memfokuskan pencarian rumah baru mereka di lingkungan Mountlake—setelah Sakura menghabiskan satu setengah hari untuk mempelajari sistem sekolah, harga rumah, laporan kejahatan, dan Sasuke juga menduga bahwa istrinya itu juga mempelajari laporan kandungan tanah.

Sabtu pagi, mereka berhenti di depan rumah pertama dalam daftar rumah yang akan mereka lihat. Sasuke membelokkan mobil ke halaman ketika Sakura melongok ke luar jendela, "Sial," Sasuke mendengar istrinya berbisik pelan. Sasuke mulai membuka pintu mobil tapi Sakura meraih lengannya. "Tidak perlu repot-repot turun. Rumah itu seperti gubuk."

Sasuke mendengus, ia melihat keluar melalui jendela di sisi Sakura. Ia menatap rumah putih itu, memiringkan kepalanya ke satu sisi. "Ada apa dengan itu, Saku?"

Sakura menunjuk ke rumah itu. "Lihat jendelanya. Bahkan dari sini, catnya terlihat mengelupas. Halamannya kecil, atapnya terlihat rapuh, dan terasnya menyedihkan." Ia menuliskan tanda 'X' besar di atas gambar rumah dalam majalah dan menatap Sasuke. Mencondongkan tubuhnya, ia mencium rahang suaminya, "Ayo jalan lagi."

Sambil mengerang, Sasuke mulai menghidupkan mesin mobilnya lagi. Aku akan mencekiknya.

Beberapa jam kemudian, mereka sampai di sebuah rumah yang jauh lebih menjanjikan daripada yang terakhir mereka lihat, bahkan Sasuke mengakui itu. Mereka berhenti di depan rumah itu dan Sasuke memandang Sakura, seringai tersungging di bibirnya. "Apa aku bisa mematikan mesin mobil atau aku harus menjalankannya?"

Sakura memutar matanya. "Rumah ini terlihat menggemaskan, Sasuke-kun, ayo masuk!"

Beberapa menit kemudian, mereka berjalan bergandengan tangan ke dalam rumah dan menyapa seorang agen yang menangani open house. Sasuke menyukai ruang tamu di rumah itu. Ada rak buku besar dan perapian. Ini bisa disebut 'rumah' baginya. Ia memandang Sakura dalam diam, mengamati wajah istrinya, dan merasa lega melihat tatapan tenang dan bahagia yang menunjukkan bahwa istrinya juga mengagumi rumah itu. Namun, tatapan berbinar itu langsung lenyap saat mereka melangkah melewati pintu menuju dapur. Sakura menoleh dari kiri ke kanan dan kemudian menatap Sasuke, "Sasuke-kun? Apa ini? Dapur ini lebih kecil daripada yang kita miliki di apartemen! Lupakan rumah ini!" Meraih tangan Sasuke, Sakura menyeret suaminya kembali ke ruang tamu, memperlambat langkah sebentar untuk melemparkan anggukan singkat ke arah agen sebelum berjalan ke luar. Sasuke memandangi rak buku dengan penuh keinginan sebelum membantu Sakura masuk ke dalam mobil. Ini akan menjadi hari yang panjang.

Benar, hari itu adalah hari yang panjang. Setelah melihat-lihat sebelas rumah dan tiga kondominium, Sakura dan Sasuke akhirnya kembali ke gedung apartemen mereka, tampak kelelahan. Mereka berjalan pelan di lorong, sama-sama menyadari kenyataan bahwa sudah berhari-hari mereka tidak bertemu Natsumi. Tapi tiba-tiba keduanya mendengar kenop pintu apartemen di sebelah mereka. Sasuke menatap Sakura dengan panik dan istrinya itu terkikik, tahu bahwa tidak ada jalan keluar untuk mereka kabur. Saat pintu terbuka dan tetangga tua mereka melangkah keluar, wanita tua itu tersenyum lebar seperti seekor singa mendapatkan mangsanya. Dan Sakura sedikit menahan napas saat aroma kubis rebus—dan kaus kaki—menghembus ke arahnya.

"Halo, Sasuke! Halo, Sakura! Aku sudah berhari-hari tidak melihat kalian. Bagaimana kabar kalian?"

Sasuke mengangkat bahu, merangkul istrinya, yang ia perhatikan telah berubah sedikit pucat dan menatap kakinya. "Kami baik-baik saja, Natsumi-baasan. Hanya menghabiskan hari dengan mencari rumah baru."

Mata wanita tua itu melebar di balik kacamata besarnya. "Rumah baru? Kalian akan pindah? Oh, astaga." Ia meletakkan tangannya di atas dadanya dan menatap sedih pada Sakura.

Memaksakan senyum, Sakura menarik napas. "Ya, Natsumi-baasan. Sudah saatnya kita pindah. Kita... kita akan memulai sebuah keluarga." Tangan Sakura bergerak ke perutnya dan mata Natsumi mengikutinya. Lalu wanita tua itu mengangkat kepalanya ke arah Sasuke, memberi Sasuke senyum lebar yang hampir membuat Sasuke meringis, dan meninju lengan pria itu.

"Kau akan punya bayi! Kerja bagus, Sasuke! Aku sudah lama bertanya-tanya apa yang membuat Sakura tidak segera hamil, mengingat betapa berisiknya kalian berdua ketika—" Natsumi memandang sekeliling untuk melihat apakah ada orang di dekatnya dan kemudian volume suaranya menurun, "—kalian melakukan 'itu'. Sepertinya kalian cukup sering mencoba."

Sasuke tertawa terbahak-bahak dan wajah Sakura berubah dari pucat menjadi memerah menjadi pucat lagi.

Natsumi mengulurkan tangan dan meletakkan tangannya di lengan Sakura, "Oh, tidak usah malu, Cantik. Suamiku dulu sering melakukan itu padaku. Sudah kubilang, ini hal-hal yang biasa dilakukan manusia... Dan kita semua tahu betapa tipisnya tembok-tembok ini..."

"Ya Tuhan," gumam Sakura pelan. Ia menatap Sasuke tanpa daya, tapi pria itu terlalu sibuk tertawa hingga tidak memperhatikan istrinya. Sakura mengulurkan tangan dan mencubit sisi tubuh Sasuke untuk mendapatkan perhatian suaminya. Menatap tajam Sasuke dengan tatapan serius, Sasuke akhirnya menengahi.

"Well, Natsumi-baasan. Aku harus membawa Sakura ke dalam. Dia lapar dan lelah." Sasuke meraih tangan Sakura dan membimbing istrinya ke pintu apartemen mereka.

Ketika Sasuke membuka kunci pintu, Natsumi berkata, "Sampai nanti! Lagipula sudah waktunya telenovela favoritku tayang. Selamat atas bayi kalian! Aku senang spermamu akhirnya bisa berenang, Sasuke!"

Sambil mengerang, Sakura masuk ke dalam apartemen. Sedangkan Sasuke masih tertawa. "Tidak lucu, Sasuke-kun! Dia mendengarkan kita berhubungan seks selama bertahun-tahun! Dan oh astaga, Sasuke-kun, pikirkan beberapa hal yang telah kita lakukan juga. Aku malu. Aku benar-benar malu!"

Sasuke berjalan ke belakang Sakura, melingkarkan lengannya di pinggang Sakura dan menundukkan kepalanya ke bahu istrinya. "Ayolah, Sayang... ini bukan masalah besar."

"Ini memalukan! Ya Tuhan, apa kau ingat saat kita..." Suara Sakura menghilang, ingatannya memutar kembali ke beberapa sesi seks intens yang ia dan Sasuke lakukan selama bertahun-tahun. Mengerang, ia membenamkan kepalanya di tangannya dan Sasuke menjatuhkan ciuman di belakang lehernya.

"Aku yakin kelelawar tua itu menempelkan telinganya ke dinding setiap waktu." Menarik diri, Sasuke melangkah ke ruang tamu dan menyalakan TV. Menengok ke belakang, Sakura masih terpaku di tempatnya. "Saku? Ayolah, tidak apa-apa. Tidakkah menurutmu itu alasan yang kuat untuk mencari rumah baru? Dan sesegera mungkin?"

Sakura mengangguk, meraih majalah-majalah rumah, dan melangkah ke arah Sasuke dengan semangat baru. Mereka harus pindah secepatnya.

***

Ketika Sakura hamil delapan minggu, mereka telah melihat-lihat enam rumah dan Sakura membenci keenam rumah itu, ada saja kekurangan dan hal-hal menjengkelkan yang Sakura lontarkan untuk setiap rumah. Sasuke hampir mencekik istrinya saat istrinya itu menolak sebuah rumah dengan mengatakan bahwa semak-semak di depan rumah itu bisa menjadi tempat persembunyian pedofil yang mengendap-ngendap di malam hari.

Saat hamil sembilan minggu, mereka telah melihat delapan rumah lagi. Sasuke menyukai salah satu dari rumah itu hingga ia tidak rela pergi dari sana. Tapi Sakura berpendapat bahwa lemari cadangan besar yang ada di sana memiliki 'karma buruk' jika dibiarkan kosong dan bersikeras untuk mencari rumah yang lain.

Saat hamil sepuluh minggu, Sakura mengajak Sasuke melihat-lihat lima rumah lagi. Kemudian, mereka mengecek kembali ke beberapa rumah yang tidak sepenuhnya dibenci Sakura sejak mereka memulai pencarian.

Ketika Sakura berada di minggu kesebelas kehamilannya, mereka akhirnya mengajukan penawaran pada sebuah rumah dan diterima. Rumah dengan lemari besar cadangan yang menurut Sakura memiliki 'karma buruk' sekarang menjadi milik mereka—setelah mereka melihatnya dua kali lagi dan Sakura akhirnya mengakui bahwa rumah itu indah. Dan memutuskan mereka akan menyimpan pakaian musim dingin di dalam lemari besar cadangan itu agar masalah 'karma buruk' menghilang.

Ketika Sakura memasuki trimester kedua, mereka mulai mengemasi apartemen mereka dan bersiap untuk meninggalkan tempat tinggal pertama mereka di Kagoshima. Bagi Sakura, ini rasanya pahit. Apartemen itu adalah tempat perlindungannya ketika ia melarikan diri dari Sapporo untuk menjauh dari Sasuke bertahun-tahun yang lalu. Di tempat itu juga di mana ia menyadari bahwa ia tidak bisa hidup tanpa Sasuke dan benar-benar tidak berniat untuk mencoba lagi. Dan di situlah ia menyambut Sasuke kembali ke kehidupannya dan di mana mereka mulai tinggal bersama untuk pertama kalinya sebagai pasangan. Dan tempat itu telah menjadi rumah pertama yang ia tinggali sebagai seorang 'Uchiha'. Apartemen kecil di Shonan Street di Kagoshima adalah rumah mereka. Cinta tumbuh di sana; seorang bayi diciptakan di sana. Tahun-tahun terbaik dalam hidupnya sejauh ini, telah dihabiskan di ruangan-ruangan kecil di sana.

Ketika mereka memasukkan kotak-kotak ke truk pindahan, Sakura menyeka air matanya, lagi. Meninggalkan sesuatu yang ia cintai itu sulit, bahkan ketika apa yang ada di depannya membuatnya bersemangat.

Begitu kotak-kotak terakhir dimuat dan Sasori bersama Ino mengikuti dari belakang kendaraan Sakura dan Sasuke, Sasuke meraih tangan istrinya dari sisi kemudi dan meremasnya dengan meyakinkan. "Ini akan menjadi luar biasa, Sayang... tunggu saja. Kau akan lihat."

Sakura menangis lagi pada pria yang dicintainya selama hampir seluruh kehidupan dewasanya. Ia tersentuh pada fakta bahwa, seperti biasa, suaminya itu tahu apa yang dipikirkannya tanpa harus berkata-kata.

Sakura tersenyum. Masa depan mereka akan menjadi luar biasa. "Kau benar, Sasuke-kun. Kau benar."

***
To be continued


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)