Chapter 11 - Mengakhiri yang Aku Mulai
Sabtu pagi itu, Sasuke bangun jam 3 pagi, gemetar. Dengan mata merah, ia melihat jam dinding dan mengumpat ketika ia menyadari itu masih terlalu pagi. Tapi bahkan ketika ia berbaring di sana, ia tahu ia tidak akan tidur kembali. Dan ia tidak bisa menghentikan gemetar sialan itu...
Memaksa dirinya untuk menutup matanya lagi, ia mencoba membayangkan bagaimana Miyuki akan terlihat dalam gaun pengantinnya. Ia melihat gadis itu berjalan menyusuri lorong dengan ayahnya, bermata indah dan berseri-seri padanya dibalik cadar tipisnya. Ketika ayahnya meletakkan tangan gadis itu di tangannya, ia akan mendorong cadar ke belakang dan tersenyum pada wajah bahagia Sakura. Sakura. Sasuke tersentak membuka matanya. Dammit.
Dengan kata-kata kasar yang sarat dengan sumpah serapah, Sasuke melemparkan selimut ke belakang dan keluar dari kehangatan tempat tidurnya.
Saat berjalan ke dapur, ia mengambil teko kopi dan memanaskannya di atas kompor. Bersandar di meja, ia berdiri dengan tangan bersedekap dan menatap ke luar jendela sementara kopi mulai memanas.
9 jam. Aku punya sembilan jam sampai pernikahan. Aku punya sembilan jam untuk mencari tahu apa yang akan kulakukan dengan hidupku dan kekacauan yang kubuat.
Ketika aroma kopi segar mulai memenuhi apartemen, Sasuke berjalan ke rak buku yang memuat foto-foto berbingkai kenangan favoritnya dan juga foto-foto Miyuki. Ia mencari di barisan bingkai untuk foto yang ia inginkan, kemudian menariknya sehingga ia bisa membawa foto itu kembali ke dapur bersamanya. Sambil menuang secangkir kopi untuk dirinya sendiri, ia menyesap kopi dan menatap foto itu. Itu adalah foto mereka berdua saat kelulusannya. Ia memeluk Sakura dengan santai dan mereka berdua tersenyum bahagia ke arah kamera. Ingatan akan hari itu, salah satu hari terbaik dalam hidupnya, masih begitu segar di benaknya. Ia, orangtuanya, kakaknya, dan Sakura pergi keluar untuk makan malam sesudahnya dan kemudian, kembali ke kamar asrama Sakura, ia memeluk gadis itu, mencium bibir gadis itu dengan lembut, dan berbisik "Jadi siapa Pecundang Hakodate sekarang?"
Ia juga ingat bagaimana suara Sakura dan sorot mata gadis itu saat berbicara. Tatapan yang mengatakan 'Aku percaya padamu, Uchiha Sasuke, dan kau bisa melakukan apapun yang kau mau'; tatapan yang selalu Sakura berikan padanya, bahkan ketika ia merasa seperti seluruh dunia berpikir ia adalah pecundang yang tidak baik dari sisi jalan yang salah.
Jantungnya berdebar, telinganya hampir berdengung, dengan pikiran mengerikan 'Aku mungkin tidak akan pernah melihat itu lagi. Aku tidak pantas melihat sorot mata itu lagi'. Tiba-tiba, kopi itu tampak masuk di perutnya seperti timah. Sambil meletakkan gelasnya ke wastafel, ia mengumpat dan berjalan ke kamar mandi. Ia lega gym dibuka lebih awal karena ia harus mengatasi ketegangan ini sebelum ia pergi ke country club. Country club sialan...
Sembilan jam. Aku punya sembilan jam untuk mencari tahu apa yang kuinginkan.
***
Sakura memperhatikan dari jendelanya ketika truk pindahan berhenti di depan apartemennya pada jam 7 pagi. Ia sudah bangun beberapa jam sebelumnya untuk membereskan tempat tidur dan mengemasi seprai dan bantal. Ia sarapan cepat dengan yogurt dan pisang, dua item makanan terakhir di apartemennya, dan kemudian mengemasi piring terakhir. Pada saat truk pindahan tiba, ia menunggu dengan tidak sabar. Ia ingin segera pergi. Sudah waktunya untuk pergi.
Di satu sisi ruangan ada tas selempangnya dan kotak kecil yang perlu ia antar ke kantor pos. Segala sesuatu yang lain akan dimuat langsung ke truk. Membiarkan petugas itu masuk, mereka mengangkut barang-barang miliknya dengan cepat. Dalam waktu dua jam, truk itu memuat semua barang-barangnya dan bagian belakang truk terkunci dengan aman. Mobilnya kemudian dimuat ke trailer yang dipasang ke bagian belakang truk. Dengan konfirmasi akhir dari alamat pengiriman sekitar 2400 mil jauhnya, Sakura mengawasi dari trotoar ketika truk menjauh dan mulai perlahan-lahan bergerak menyusuri jalan.
Aku benar-benar melakukan ini. Aku benar-benar pergi.
Perut Sakura bergolak ketika ia berjalan menaiki tangga dan masuk ke apartemennya yang sudah kosong. Memandang sekeliling untuk terakhir kalinya, ia memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal di sana. Menelepon taksi, ia meminta taksi tujuan ke bandara dan kemudian mulai menunggu 20 menit sampai kedatangan taksi itu.
Berjalan ke jendela, ia menatap langit Sapporo.
Selamat tinggal, Sasuke.
Hanya memikirkan kata-kata itu, rasanya menyakitkan sampai ke pundaknya. Ia menjalani dengan baik selama beberapa hari terakhir, hanya memikirkan Sasuke setiap empat atau lima menit. Sisa waktu ini, ia lebih suka pikirannya mati rasa atau fokus pada kehidupan baru yang menunggunya.
Empat jam. Sasuke akan menikah empat jam lagi.
Pesawatku berangkat tiga jam lagi.
Sakura mendengus memikirkan kedekatan waktu kedua peristiwa itu. Ia menghitung waktunya seperti itu, sungguh. Tanpa sadar, ia memperkirakan, mungkin saja, mungkin, Sasuke sadar beberapa saat dalam dua minggu sejak mereka berbagi waktu malam itu. Tapi sekarang, fakta bahwa Sasuke mengabaikannya benar-benar meninggalkannya dengan pil pahit yang tidak bisa ditelan; pil itu hanya diam seperti benjolan di tenggorokannya sampai ia takut itu akan membuatnya tercekik.
Ia berusaha untuk tidak memikirkan pernikahan Sasuke. Ia berusaha untuk tidak memikirkan apa yang terjadi pada mereka. Ia melawan keinginan untuk kembali ke memori lama ketika hal-hal menyenangkan dan tidak terasa rumit; sebelum ia jatuh cinta pada Sasuke, sebelum lulus, sebelum Miyuki, sebelum Gaara, sebelum malam itu.
Sambil menghela napas dengan sedih, ia tahu bahwa mengingat semua itu hanya akan menyebabkan lebih banyak air mata dan ia tidak yakin ia memiliki air mata yang tersisa untuk diberikan pada Sasuke.
Aku tidak bisa melakukan ini lagi.
Sudah waktunya untuk pergi.
Tepat saat itu, Sakura mendengar taksi membunyikan klakson di lantai bawah. Berjalan ke pintu, ia meraih tas selempangnya dan kotak kecil, dan menatap apartemen itu sekali lagi, kemudian ia berjalan keluar dan menutup pintu di belakangnya. Ia berhenti di dekat kantor pemilik gedung, memasukkan kunci-kunci itu ke dalam amplop, dan memasukkannya ke bawah pintu. Berlari ke luar, ia masuk ke taksi yang telah menunggu.
"Ke mana, Nona?" tanya supir taksi.
"Bandara. Tapi bisakah kita mampir dulu ke kantor pos?"
"Tentu." Supir itu menjalankan taksi, berbelok ke jalanan yang padat.
Beberapa menit kemudian, Sakura keluar dari kantor pos tanpa kotak yang penuh dengan kenangan bersama. Sekarang kotak itu dalam perjalanan kembali ke Sasuke. Sakura tidak membutuhkan pengingat. Dan jelas, karena pemuda itu sudah selesai dengannya juga, ia bisa membuang sampah itu seperti yang ia inginkan. Ia tidak peduli lagi.
Ia juga mengeluarkan amplop kecil berwarna krem yang akan berisi undangan pernikahan Sasuke. Sambil mengeluarkan pulpen, ia menggambar 'X' besar di undangan Sasuke dan memasukkannya kembali ke dalam amplop, dan menyegelnya. Menjatuhkannya ke dalam kotak surat, kemudian bergegas naik ke taksi.
"Ayo pergi," ucap Sakura pada supir taksi ketika ia duduk kembali di dalam taksi. Tangannya gemetar, ia berharap akan sampai di bandara sebelum ia bisa berubah pikiran.
***
Pernikahan dijadwalkan mulai jam 1 siang. Pada jam 11, Sasuke dan Miyuki keduanya telah berada di country club di ruangan masing-masing, bersiap-siap. Miyuki dikelilingi oleh ibunya yang bersemangat dan beberapa pengiring pengantin di ruangan besar di lantai atas. Sasuke bisa mendengar tawa mereka dari tempat ia berdiri.
Setengah jam yang lalu, Sasuke menyendiri di sebuah kamar kecil di lantai dasar. Semua pengiring pria berkeliaran di area lounge tapi Sasuke tidak merasa ingin berbicara. Karena kebanyakan orang mengaitkannya dengan kegelisahan pra-pernikahan, mereka meninggalkannya sendirian dengan senyum dan tepukan di punggung. Sikap riang mereka terasa seperti peluru kecil memantul dari ususnya. Andai saja mereka tahu, pikirnya getir.
Menatap ke luar jendela, ia menyaksikan wedding planner berdiri di sekitar country club dengan clipboard di tangan, mengecek dan memeriksa ulang semuanya. Ia bisa melihat kursi-kursi berjajar rapi dan pemandangan indah dari karpet putih yang akan dilewati Miyuki untuk bergabung dengannya di depan pendeta dan rabbi.
Perut Sasuke mengencang, tiba-tiba ada gelombang mual yang menghantamnya. Menjatuhkan diri ke kursi, ia menyandarkan kepalanya ke belakang dan menatap langit-langit. Ia tidak bisa untuk tidak bertanya-tanya apa yang akan terjadi seandainya ia tetap berada di apartemen Sakura alih-alih lari meninggalkan gadis itu. Apakah mereka akan berbicara tentang apa yang terjadi di antara mereka?
Ada ketertarikan yang jelas di antara mereka berdua. Sakura menginginkannya malam itu sama seperti ia menginginkan gadis itu. Dan ia sangat menginginkan Sakura hingga ia bisa merasakannya. Sejujurnya, keinginan untuk memiliki Sakura merayap ke dalam otaknya sekitar setahun terakhir atau lebih dan itu tidak pernah pergi, bahkan ketika ia mencoba untuk memaksa pikiran itu keluar. Tentu, Sakura sudah seksi sejak gadis itu berusia 16 tahun. Siapa yang tidak terangsang oleh rok pendek yang biasa gadis itu pakai saat SMA? Tapi di suatu tempat, kadang-kadang, selama persahabatan mereka, Sakura berubah menjadi wanita seksi yang menakjubkan dan ia memperhatikan itu. Sial, itu tugasnya untuk memerhatikan wanita seksi, bahkan jika salah satu dari mereka kebetulan adalah sahabatnya.
Ia teringat kembali pada malam ia muncul di apartemen Sakura dan telah menginterupsi gadis itu dan Gaara. Sejak saat itu semua berubah. Wajah Sakura yang memerah dan tubuh gadis itu yang hanya terbungkus jubah tipis telah menyalakan sesuatu pada bagian dalam tubuhnya, dan bagian-bagian luar tubuhnya, yang coba ia abaikan selama berbulan-bulan. Dan kemudian ia muncul di apartemen Sakura lagi, gadis itu menciumnya, ia balas mencium Sakura lagi dan lagi, dan sekarang tidak ada jalan untuk kembali. Ia tidak bisa kembali dan memperbaikinya. Meskipun ia ingin memperbaiki reaksinya, ia merasa bersalah karena tidak ingin memperbaiki apa yang telah terjadi di antara mereka. Malam itu panas dan luar biasa dan seks yang paling intens yang pernah ia miliki.
Fuck!
Andai saja ia tetap di tempat tidur di samping Sakura malam itu, semua mungkin akan sangat berbeda sekarang. Tentu, itu akan membingungkan dan membuat stres dan ia tidak tahu apa yang akan mereka lakukan setelah itu, tapi setidaknya mereka masih akan berbicara, bahkan jika itu dalam bentuk suasana yang canggung.
Duduk tegak, realisasi hampir membuat Sasuke kesal. Aku harus memiliki Sakura dalam hidupku.
"Aku tidak bisa melakukan ini," gumam Sasuke di dalam ruangan kosong itu. "Aku tidak bisa melakukan ini sampai aku memperbaikinya," ucapnya lebih keras, berbicara dengan lantang untuk Sakura, untuk pertama kalinya dalam dua minggu.
Aku harus mendapatkannya kembali.
Sakura, aku ingin kau mendengar bahwa aku meminta maaf.
Aku harus berbicara dengan Sakura.
Memaksa menarik napas dalam-dalam ke paru-parunya, Sasuke bangkit dari kursi.
Aku perlu mengatakan padanya bahwa aku minta maaf. Dia mungkin tidak ingin mendengarnya tapi aku harus memberitahunya. Dia harus tahu bahwa aku tidak pernah bermaksud melukainya.
Melirik ke sekeliling ruangan, ia melihat tas ranselnya di sudut. Menyambar ponselnya dari sana, ia dengan cepat mencari nomor Sakura, menekan 'call', dan menempelkan ponsel di telinganya. Tangannya gemetar ketika ia menunggu bunyi dering tersambung; ia tidak tahu apa yang akan ia katakan begitu Sakura mengangkatnya. Alih-alih sebuah dering, ia disambut dengan tiga nada yang tidak menyenangkan dan kemudian "Nomor yang Anda hubungi tidak terdaftar. Silakan periksa nomor tujuan Anda dan coba lagi".
Ia memeriksa nomor Sakura dan mencoba lagi, namun tetap mendapatkan hasil yang sama.
Tertegun, ia menarik ponsel perlahan-lahan dari telinganya. Ia menatap ponselnya, bertanya-tanya apa yang harus dilakukan. Nomor Sakura tidak terdaftar.
Kekhawatiran menyiram punggungnya dan seluruh tubuhnya kembali gemetar seperti pagi tadi. Nomor Sakura tidak terdaftar.
Mencengkeram erat-erat ponselnya, ia menghela napas untuk memusatkan dirinya dan kemudian membuka aplikasi email. Ia dengan cepat mengetik pesan yang berisi 'Tolong hubungi aku. Aku harus bicara denganmu' dan kemudian mengirimkannya.
Hampir seketika, ia mendapat pesan kembali yang bertuliskan 'Pesan ini tidak terkirim', membuat kepalanya mulai berputar.
Sakura menutup akun emailnya.
Apa yang terjadi?
Sasuke jatuh ke kursi lagi, kepalanya berada di antara tangannya saat ia menarik napas dalam-dalam.
Apa yang kulakukan?
Dimana dia?
Bagaimana jika dia...
Tidak. Dia tidak akan melakukan itu...
Ya Tuhan... Tidak!
Sasuke bergegas meraih ponselnya lagi. Ia menghubungi ponsel ibu Sakura dan menunggu dengan tidak sabar.
"Halo?" Mebuki akhirnya menjawab.
"Basan? Ini aku Sasuke..."
"Sasuke," suara Mebuki berubah dingin dan singkat. "Apa yang bisa kubantu?"
"Aku... aku mencari Sakura. Aku mencoba meneleponnya dan mengirim email padanya tapi... dia... sepertinya dia..." Ia terbata-bata, tidak yakin bagaimana menemukan kata-katanya, tapi ia tahu bahwa ia harus menemukan Sakura.
Mebuki berdeham keras. "Maaf, Sasuke. Dia sudah pergi."
"Pergi? Pergi?" Sasuke mengulangi kata-kata itu seperti burung beo. "Bagaimana dia bisa pergi?"
"Dia meninggalkan Sapporo, Sasuke. Pagi ini, lebih tepatnya."
Ya Tuhan, tidak!
"Ke mana dia pergi? Tolong? Di mana dia?" Sasuke memohon, tapi ia tidak peduli.
"Dia tidak memberitahuku ke mana dia pergi. Dan jujur saja, bahkan jika dia memberitahuku, aku tidak akan memberitahumu. Tidak setelah apa yang terjadi." Nada suara Mebuki terdengar marah sekarang.
"Aku... aku... aku harus menemukannya..." Sasuke terbata-bata.
"Dia sudah pergi, Sasuke. Dan ini yang terbaik. Sekarang jangan menelepon lagi karena aku tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan padamu. Putriku mencoba menjadi teman yang baik untukmu selama bertahun-tahun dan kau mengambil keuntungan darinya dan kemudian membuangnya begitu saja. Aku tidak bisa memaafkan itu." Dengan bunyi klik keras, Haruno Mebuki memutuskan sambungan telepon.
Kepala Sasuke berdenyut saat darah mengalir deras di otaknya.
Sakura sudah pergi. Tanpa sepatah kata pun... pergi begitu saja.
Karena aku.
Karena apa yang kulakukan.
Sasuke dengan panik melihat sekeliling ruangan, mencoba merumuskan pelarian. "Aku harus keluar dari sini," ucapnya ke ruangan kosong itu. "Aku tidak bisa melakukan ini. Aku tidak bisa menikahi Miyuki."
Sakura sudah pergi.
Mata Sasuke melesat dari kiri ke kanan ketika ia mencoba merumuskan semacam rencana. Ia harus mencari tahu apakah Sakura benar-benar pergi. Ia harus memastikan Sakura tidak hanya bersembunyi di apartemennya, menolak untuk berbicara dengannya. Jika gadis itu ada di sana, ia tahu ia bisa membuat gadis itu berbicara dengannya. Segalanya masih bisa baik-baik saja di antara mereka. Itu masih bisa berhasil!
Meraih tas ranselnya, Sasuke masuk kembali ke ruang utama. Ia meraih kunci mobilnya dan bersiap-siap untuk berlari ketika ia mendadak berhenti.
Miyuki. Tunanganku. Gadis yang seharusnya aku nikahi. Sasuke melihat jam tangannya. Satu jam lima belas menit lagi!
Mata Sasuke melesat ke atas tangga dan kemudian kembali memandang ke bawah tangga. Wajahnya menunjukkan ketegangan yang membuatnya terlihat sedikit gila.
Aku harus melakukan ini.
Sebelum ia bisa menghentikan dirinya sendiri, ia berlari menaiki tangga, melangkahi dua anak tangga sekaligus, dan menggedor pintu kamar pengantin wanita.
Salah satu pengiring pengantin membukanya dan berteriak, "Sasuke, kau tidak boleh bertemu Miyuki sebelum pernikahan! Itu nasib buruk!" Gadis itu akan menutup pintu tapi tangan Sasuke terulur ke depan dan menghentikannya.
"Aku perlu bicara dengan Miyuki sekarang." Sasuke memastikan penekanan dalam kata-katanya. Membuat gadis di depannya akhirnya memanggil Miyuki.
Sambil tersenyum, Miyuki mengintip ke luar pintu. "Sasuke-kun, kita seharusnya tidak bertemu satu sama lain."
"Kita perlu bicara." Nada suara Sasuke terdengar sangat tegas.
Senyum memudar dari wajah Miyuki dan gadis itu mengangguk pelan, melangkah keluar melewati pintu dan menutup pintu dengan pelan di belakangnya, ia menatap Sasuke penuh harap. "Apa yang begitu penting hingga tidak bisa menunggu, Sasuke-kun?"
"Aku tidak bisa menyembunyikan kebohongan lagi, Miyuki." Sasuke membiarkan kata-kata mengalir dengan cepat dari mulutnya sehingga ia tidak bisa menghentikannya. Ini perlu dikatakan.
"Apa... kebohongan?" Alis Miyuki berkerut.
"Aku membohongimu."
"Tentang apa?" Wajah Miyuki penuh kekhawatiran sekarang.
"Aku... aku selingkuh..."
Mata Miyuki melotot. "Apa? Kapan?"
Sasuke menarik napas dalam-dalam, bersiap menceritakan seluruh kisahnya. "Dua minggu yang lalu... dengan Sakura."
Miyuki tidak mengatakan apa-apa, matanya menatap lantai.
"Maaf. Aku benar-benar minta maaf... tapi itu sudah terjadi dan aku sudah berbohong dan aku tidak bisa menariknya kembali." Jantung Sasuke bergetar di balik tulang rusuknya. Rasanya menyakitkan melihat hati seseorang hancur tepat di depan matanya, terutama ketika seseorang itu adalah gadis yang seharusnya ia nikahi.
"Kenapa kau menunggu sampai sekarang untuk memberitahuku?" Miyuki akhirnya bertanya.
"Aku sudah berusaha berpura-pura itu tidak terjadi. Tapi tetap saja. Aku tidak bisa menariknya kembali..."
Mata Miyuki yang berkaca-kaca bertemu dengan mata Sasuke. "Jadi sekarang bagaimana? Bisakah kita berpura-pura semuanya baik-baik saja dan pergi ke sana dan menikah?"
Sasuke menggelengkan kepalanya. "Tidak, Miyuki. Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku minta maaf telah menyakitimu seperti ini tapi aku tidak bisa... Dan aku harus pergi..." Kemudian ia berbalik dan melangkah pergi.
"Kau brengsek," ucap Miyuki pelan ke punggung Sasuke.
Sasuke diam sejenak sebelum menjawab, "Aku tahu."
Dan kemudian Sasuke menghilang dari pandangan Miyuki, berlari menuruni tangga dan menuju ke mobilnya... untuk menemukan Sakura sebelum gadis itu pergi untuk selamanya.
Ketika Sasuke mengemudi ke apartemen Sakura secepat mobilnya bisa dan lalu lintas Sapporo mengizinkan, Sakura telah berada di dalam pesawatnya di Bandara Sapporo. Gadis itu duduk di kursi dekat jendela dan mengeluarkan iPod, majalah, dan sebotol air.
Sakura menghela napas berat, berusaha memaksakan senyum di wajahnya. Ia akan menuju ke kehidupan barunya. Tapi yang lebih penting, ia meninggalkan kehidupan lamanya. Matanya menelusuri halaman-halaman majalahnya dan ia berusaha fokus pada kata-kata di depannya.
Sudah waktunya untuk melupakan dia.
Persahabatan kita sudah berakhir.
Tidak ada 'kita'. Tidak akan pernah ada lagi.
Ketika air mata tumpah di pipinya, Sakura memandang ke luar jendela, menyaksikan pemandangan bergerak saat pesawat mulai meluncur di landasan dan terangkat dari daratan.
Tolong biarkan aku sembuh dari rasa sakit ini. Sakura memohon dalam hati.
Tolong biarkan aku melupakannya begitu aku sudah menetap di Kagoshima.
Selamat tinggal untuk selamanya, Sasuke.
***
Sasuke menggedor pintu apartemen Sakura, meskipun ia tahu itu sia-sia. Ia bisa mendengar gema ketukannya memantul ke ruangan kosong di dalamnya.
Berbalik, ia mengusap rambutnya.
Sudah terlambat.
Napasnya acak-acakan dan kepalanya terasa seperti diperas. Dengan teriakan nyaring, ia membanting tinjunya ke pintu. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Buku-buku jarinya terasa terbakar ketika bersentuhan dengan pintu logam itu lagi dan lagi, kulit jarinya terluka dan tetesan merah muncul dan mulai menyebar ke punggung tangannya. Tapi ia tidak bisa merasakan sakitnya.
Ia tidak bisa berpikir.
Ia tidak bisa bernapas.
Ia tidak bisa melakukan apa-apa sama sekali.
Sakura sudah pergi...
***
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)