expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Leads to You #30


Ketika Sasuke tiba di rumah pada Jumat malam, ia disambut oleh aroma kayu manis ketika ia melangkah ke teras. Saat mengamati rumah itu, ia melihat tiga lilin baru menyala di perapian namun tidak ada orang disana. Sakura jelas sudah 'bersarang' disana lagi. Sambil tersenyum pada dirinya sendiri, Sasuke melepas sepatunya, menggantung mantelnya dan tidak melemparnya ke sandaran sofa karena ia telah melakukan itu dua hari sebelumnya dan telah mengalami gempuran kemarahan-kemarahan dari Sakura dan bersumpah untuk tidak ingin melihat hal itu lagi. Ia melangkah ke ruang makan dimana Sakura dan Mebuki duduk di meja, mug di tangan mereka, mengobrol pelan.

Berjalan menghampiri istrinya, Sasuke membungkuk, meletakkan tangannya di perut wanita itu dan bertanya, "Bagaimana keadaan gadis kecil kita hari ini? Ada tanda bahwa dia siap untuk keluar dan bermain?"

Bahu Sakura merosot dan ia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tidak ada. Kurang tiga hari dari tanggal diperkirakannya aku melahirkan dan aku benar-benar merasa kulitku mulai membelah."

Mebuki memandang simpati pada putrinya. "Kalian ingin memesan makan malam? Aku akan dengan senang hati membelikannya. Aku tahu kau sedang tidak ingin memasak, Saku-chan, dan aku tidak akan berpura-pura bahwa aku ingin mencoba makanan apa pun yang dimasak oleh Sasuke."

Sasuke merengut. "Kaasan, aku koki yang hebat, tapi... jika tidak apa-apa denganmu, kita bisa memesan pizza atau semacamnya. Sakura terlihat sangat lelah."

Sakura menganggukkan kepalanya dan Sasuke memeluknya erat-erat, mencium pelipisnya dan melangkah pergi untuk menelepon, memesan pizza dan roti. Setelah selesai, ia berjalan kembali ke ruang makan.

"Sasuke-kun... aku ingin tidur. Bisa kau bangunkan aku ketika makanannya tiba di sini?"

Sasuke mengangguk setuju dan membantu Sakura bangkit dari kursi. Mebuki dan Sasuke memperhatikan Sakura berjalan keluar dari ruang makan sebelum Sasuke menjatuhkan diri di kursi di seberang Mebuki dan menyesap teh yang tersisa di mug Sakura.

"Dia terlihat sangat sedih." desah Mebuki.

"Benar," Sasuke menyetujui. "Dan aku tidak bisa melakukan apa pun untuk membantunya. Aku benci itu. Aku tahu dia siap untuk melahirkan. Aku hanya berharap bayi ini akan keluar pada satu atau dua hari berikutnya karena Sakura mungkin akan frustasi jika kehamilan ini berlangsung sampai melebihi jadwal."

Mebuki menyesap tehnya dan kemudian tertawa. "Dia mengatakan padaku hari ini bahwa dia sedang membaca metode-metode alami untuk memicu kontraksi. Jadi jangan kaget jika dia merecokimu malam ini."

Sasuke tertawa kecil. "Akan kuingat, jadi aku tidak akan begitu terkejut." Ia menatap mug dan kemudian menatap Mebuki. "Mau kopi, Kaasan?"

Mebuki mengangguk dan Sasuke melangkah ke dapur untuk membuat kopi. Mebuki berjalan di belakang Sasuke dan bersandar pada meja, lengannya disilangkan ketika ia menatap menantunya. "Sasuke, aku mungkin belum mengatakan ini... dan tidak benar-benar memberitahumu bahwa kau sangat baik pada putriku. Kau melakukan semuanya dengan baik. Kau benar-benar melakukannya. Kita berdua menyayangi Sakura tapi kita berdua tahu, aku bisa menambahkan, betapa pemarahnya dia. Aku belum pernah melihat suami yang sabar sepertimu. Aku bangga padamu, Nak."

Pipi Sasuke memerah tapi ia tersenyum. "Well, Sakura seperti itu karena anakku yang membuatnya begitu. Paling tidak yang bisa kulakukan adalah berusaha untuk tidak menjadi seorang bajingan, bahkan jika suasana hatinya sering berubah. Jadi apa pun yang dia lakukan padaku, aku akan menerimanya."

"Dan aku yakin dia juga membuatmu stres."

"Setiap hari. Tapi jujur, aku tidak akan menukarnya dengan apapun di dunia ini. Dia unik dan aku tidak ingin kehilangannya."

Mebuki tertawa. "Dia benar-benar unik. Dan dia akan menjadi ibu yang hebat."

Pikiran Sasuke melayang pada istrinya, berharap semoga sekarang wanita itu tertidur lelap di lantai atas. "Tentu. Dia akan luar biasa. Dia luar biasa dalam segala hal yang dilakukannya dan untuk menjadi ibu tidak akan berbeda. Aku hanya berharap aku tidak mengacaukan anak kami."

Menggeleng, Mebuki mengangkat panci kopi yang baru saja mendidih dan menuangkannya ke dalam dua cangkir. Sambil menyerahkan satu cangkir pada Sasuke, ia menyesap dan kemudian menatap menantunya dengan serius. "Dengar, Sasuke, meskipun saat remaja kau tidak lebih dari sekedar remaja nakal, tapi kau telah membuktikan, berulang-ulang, bahwa kau pria yang kuat dan terhormat," ucap Mebuki sambil tersenyum, "Kau peduli dan setia, dan bersemangat tentang bayi ini. Kau mungkin akan mengajarinya untuk mengumpat dan Sakura akan marah tapi dia akan bisa mengatasinya. Mengumpat seperti yang kau lakukan, tidak mungkin tidak akan terjadi."

Sasuke menarik napas panjang. Dukungan penuh oleh ibu mertuanya, yang ia tahu adalah ibu yang luar biasa, sangat menenangkan kegelisahan pra-kelahiran anaknya. Menyeruput cairan hitam pahit dalam cangkirnya, Sasuke mengangguk dan memandang Mebuki dengan malu-malu. "Terima kasih, Kaasan... itu sangat berarti."

Mebuki mengangguk dan menyeruput kopinya lagi. "Tidak masalah." Melirik ke arah pintu, ia melihat kembali ke arah Sasuke. "Ngomong-ngomong, kenapa pizzanya lama?"

***

Malam itu, ketika lampu terakhir di rumah dimatikan, Sasuke menaiki tangga dan bergabung dengan Sakura di kamar tidur. Istrinya itu duduk di tepi tempat tidur, menyisir rambut panjangnya. Sasuke memperhatikan saat Sakura meletakkan sisir di meja dan memutar rambutnya menjadi kuncir kuda.

"Sasuke-kun, kita harus berhubungan seks yang kasar dan kotor malam ini," ucap Sakura tanpa basa-basi.

Sasuke menyeringai dan bersandar di lemari. "Serius?"

Sakura menganggukkan kepalanya. "Ya, aku membaca artikel bahwa hubungan seks yang dilakukan dekat dengan jadwal melahirkan dapat membantu menginduksi persalinan. Dan aku tahu aku belum merasa seperti itu akhir-akhir ini, tapi aku bersedia untuk melakukan seks meskipun itu akan terasa tidak nyaman sekarang jika itu membantu mengeluarkan anak ini dari diriku. Jadi, lepas pakaianmu dan cepat ke sini dan..." Ia menatap Sasuke, "...dan jangan bersikap lembut."

Sasuke mendengus dan dengan cepat membuka pakaiannya. Ketika ia naik ke tempat tidur, ia menarik Sakura ke dadanya dan membuka tiga kancing di bagian atas gaun tidur istrinya, menyelipkan tangannya ke dalam untuk menggenggam payudara istrinya yang bengkak. Bibirnya berada dekat di telinga Sakura, berbisik, "Aku tidak ingin terlalu kasar, tidak. Aku tidak ingin menyakitimu dan bayi ini. Tapi 'sedikit' kasar, demi mempercepat persalinan? Aku paham itu."

Sakura bersandar di dada Sasuke, getaran kecil mengalir di dalam dirinya, dan ia menutup matanya. Ketika Sasuke menarik lepas gaun tidurnya di atas kepalanya, mendorongnya berbaring di tempat tidur dan menggerakkan bibir di atas tubuhnya, ia berpikir, semoga berhasil, semoga berhasil, semoga berhasil. Bayi ini perlu keluar!

***

Tapi itu tidak berhasil. Lima hari kini telah berlalu dan bayi mereka sekarang resmi terlambat dari jadwal yang diperkirakan. Sasuke menikmati lonjakan hubungan seksual dimana Sakura terus bersikeras untuk melanjutkan dengan harapan bahwa setidaknya satu dari orgasme akan mendorongnya untuk kontraksi. Sasuke, tidak pernah mengeluh atau menolak seks, dengan senang hati menuruti istrinya.

Ketika Sasuke berjalan masuk ke dalam rumah seusai hari kerja pertamanya setelah Natal, ia disambut dengan pemandangan Sakura yang berjalan bolak-balik naik turun tangga. Ketika ia melepas mantelnya, ia memandang Mebuki. "Apa yang dia lakukan?"

Mebuki memutar matanya. "Dia membaca artikel bahwa naik turun tangga dapat membantu mendorong proses persalinan. Dia sudah melakukannya selama satu jam. Aku takut dia akan jatuh dari tangga. Dia sangat berat."

Sasuke berdiri di anak tangga terbawah dan ketika Sakura mencapai anak tangga terakhir, ia menyambar pergelangan tangan istrinya. "Sayang... berhenti. Ini tidak membantu. Dan kau terlihat kelelahan!"

Sakura menatap mata Sasuke dan Sasuke memperhatikan bahwa istrinya akan mulai menangis. "Aku tahu," desah Sakura saat air mata menyelinap di pipinya. "Aku sangat lelah. Anak ini terlambat tiga hari dari jadwal seharusnya dia keluar. Dia tidak akan pernah keluar. Aku akan menjadi salah satu keanehan di dunia medis karena tetap hamil selamanya. Kita akan merayakan ulang tahun pertamanya dengan dia masih di dalam perutku."

Tertawa, Sasuke menarik Sakura ke arahnya dan mengusap punggung istrinya. "Dia akan keluar, Sayang, aku jamin. Sekarang tenanglah. Aku akan menyiapkan makan malam."

Mengangguk dengan sedih, Sakura berjalan ke ruang tamu dan duduk di sofa. Mebuki memandang Sasuke dari seberang ruangan dan mereka berbagi pandangan dalam diam, keduanya berharap bayi itu segera keluar sebelum Sakura semakin frustasi.

***

Pada tanggal 29 Desember, Sasuke berada di toko kelontong membeli bahan-bahan untuk menyiapkan makan malam ketika Sakura menelepon.

Sasuke dengan cepat menempelkan ponsel ke telinganya. "Ada apa, Sayang? Kau merasa ingin melahirkan?" tanyanya penuh harap.

"Tidak," jawab Sakura sedih. "Dan apa kau tahu bahwa dokterku jelas-jelas semacam masokis jahat? Aku baru saja meneleponnya dan bertanya padanya tentang operasi sesar dan dia mengatakan padaku untuk bersantai dan membiarkan ini terjadi secara alami. Dokter macam apa itu! Aku mulai berpikir bahwa gelar dokternya palsu karena, jelas, itu satu-satunya gagasan yang paling menyebalkan yang pernah kudengar."

Sasuke menghela napas dan bersandar ke pegangan trolinya. "Mungkin dia akan keluar besok?"

Sakura mengerang. "Dia tidak akan pernah keluar."

"Sayang, Saku... dia pasti keluar. Tenanglah."

Sakura menghela napas keras dan Sasuke hampir menertawakan sifat dramatis istrinya. Tapi ia tahu bahwa tertawa, pada tahap ini, akan menjadi pintu kematian baginya sehingga ia memilih untuk menutup mulut.

"Oke, Sasuke-kun," Sakura menghembuskan napas ke telepon beberapa detik kemudian, "Kembalilah berbelanja. Tapi... bisakah kau belikan aku beberapa bungkus keripik?"

"Tentu," Sasuke setuju, membuat catatan mental.

"Dan setoples marshmallow," tambah Sakura.

"Tidak masalah," jawab Sasuke otomatis.

"Dan sekotak keju?"

Sasuke menyeringai. "Oke. Ada yang lain?"

"Umm," pikir Sakura sejenak. "Tidak... mungkin beberapa bungkus wafer juga dan kurasa itu saja."

Mendengus, Sasuke menutup telepon dan menghela napas. Bayi ini tidak akan pernah keluar.

***

30 Desember adalah hari kerja terakhir Sasuke untuk tahun ini. Ia seharusnya sudah libur sejak beberapa hari kemarin karena Sakura dijadwalkan akan melahirkan dalam minggu ini, tapi karena bayinya jelas lebih cinta berada di dalam rahim Sakura, Sasuke terus berusaha menyelamatkan hari-hari liburnya. Ia tidak ingin membuang cuti atau liburnya dengan sia-sia sampai Uchiha ketiga dilahirkan.

Ketika ia berangkat kerja pagi itu, salju turun dengan lembut. Kantornya tutup jam 2 siang untuk menyambut liburan Tahun Baru, jadi ia punya hari yang singkat.

Ketika Sasuke melangkah masuk ke kantornya, ia disambut dengan pertanyaan-pertanyaan "Masih belum lahir?" oleh rekan kerjanya.

Sasuke menghela napas putus asa dan mengangguk. "Dia tidak akan keluar! Sepertinya dia menolak keluar!"

"Coba berpikir positif," salah satu rekan kerja Sasuke menyela, "Jika dia bertahan setengah hari lagi di dalam perut ibunya, kau bisa memiliki bayi pertama yang lahir di malam tahun baru dan itu bisa masuk koran!"

Sasuke mengerang. "Jika bayi ini belum lahir sampai tahun depan, Sakura akan sangat frustasi." Berpikir sejenak, ia kemudian menyeringai. "Tapi jika bayi ini lahir malam nanti, bukankah kami bisa mendapatkan banyak barang gratis? Karena tanggal lahirnya akan sangat luar biasa."

***

Pada pukul setengah 2 siang, ketika Sasuke telah menyelesaikan dokumen-dokumen dan memperbarui berbagai hal dalam sistem komputernya, ponselnya berdering. Menyadari bahwa itu nomor telepon Mebuki, ia menarik napas saat menjawab.

"Sasuke? Sakura akan melahirkan. Aku sedang membawanya ke rumah sakit. Temui kami di sana!" Mebuki berteriak di telepon.

"Baik! Sampai jumpa di sana! Dan hati-hati!" Sasuke cepat-cepat menutup telepon dan meraih mantelnya. Bergegas keluar pintu, ia menuju lobi dan memberitahu resepsionis, "Istriku sedang melahirkan. Dalam perjalanan ke rumah sakit. Sampai jumpa tahun depan!" Dan kemudian ia berlari ke tengah salju, ingin menemui istri dan putrinya sesegera mungkin.

Sasuke hampir kehilangan ketenangannya dalam perjalanan melintasi kota ke rumah sakit terdekat dengan rumah mereka. Berkat salju, lalu lintas macet hampir di mana-mana. Pada saat ia akhirnya berhasil memarkir mobilnya di gedung rumah sakit, ia hampir gemetar karena stres dan gugup. Tapi ketika melesat ke UGD, ia menepis salju dari mantelnya dan berusaha menenangkan diri sebelum melangkah ke meja UGD. "Uchiha, Uchiha Sakura. Istriku. Dia melahirkan."

Wanita di belakang meja memandang pria di depannya dan dengan cepat melirik komputernya. "Ya, dia bersalin di lantai atas. Kau kembali ke koridor, ke lift. Pergi ke lantai 2 dan belok kiri. Ruangannya ada di sana."

Sasuke mengucapkan terima kasih dengan cepat, lalu bergegas pergi. Ia menekan tombol 'naik' hampir 20 kali sebelum lift terbuka dan ia masuk ke dalam. Perjalanan naik satu lantai itu, menurut perkiraannya, hampir terasa lama sekali dan ketika pintu lift akhirnya terbuka, ia melangkah keluar dan hampir menabrak seorang wanita tua dengan alat bantu berdiri di depannya. Dengan cepat ia mengucapkan maaf dan berlari menyusuri lorong. Ia mencari-cari ibu mertuanya begitu ia memasuki area yang dimaksud perawat di lantai bawah.

"Kaasan!" panggilnya ketika ia menemukan ibu mertuanya. "Dimana Sakura?"

Mebuki meletakkan tangannya dengan meyakinkan di bahu Sasuke. "Mereka baru saja membawanya masuk ke sana. Mereka berpesan bahwa kau harus membunyikan bel di dekat pintu ketika kau sampai di sini dan mereka akan membawamu ke Sakura."

"Bagus!" Sasuke memandang bel dan kemudian mengeluarkan ponselnya. "Apa kau tidak keberatan jika menelepon Sasori dan Ino? Kurasa mereka mungkin ingin berada di sini. Dan juga menelepon ibuku?"

Mebuki mengambil ponsel dari tangan Sasuke yang terulur. "Tentu. Sekarang cepat temani putriku!"

Sasuke tersenyum lebar pada Mebuki dan kemudian berbalik. Ia menekan bel, mengidentifikasi dirinya di speaker kecil di atas tombol, dan kemudian pintu terbuka dan Mebuki menyaksikan Sasuke masuk. Sambil terkekeh atas tingkah semangat menantunya, ia mencari nama Sasori di kontak Sasuke dan menelepon pria itu.

Seorang perawat membawa Sasuke untuk mencuci tangan. Begitu Sasuke tampak steril, perawat itu membimbingnya ke kamar persalinan Sakura. Sakura sedang duduk di sana di ranjang rumah sakitnya, raut kesakitan menghiasi wajahnya ketika Sasuke masuk.

"Maaf, aku lama, Sayang," ucap Sasuke. "Lalu lintas sangat buruk dan salju turun deras dan... shit... apa kau kesakitan?"

Sasuke memperhatikan Sakura menggertakkan giginya dan kemudian menutup matanya, mengambil napas. Ketika ia membuka matanya lagi satu atau dua menit kemudian, ia memberikan senyum kecil. "Hanya sakit saat kontraksi terjadi."

"Seberapa lama?"

Sakura menghela napas. "Berjarak sekitar tujuh menit." Menatap selimut di atas pangkuannya, ia menariknya dengan rapi, lalu menatap suaminya. "Boleh aku menciummu?"

"Oh! Tentu!" Sasuke membungkuk dan mencium istrinya dengan lembut. "Maaf... Aku agak ketakutan sekarang."

Sakura tertawa. "Ini akan baik-baik saja. Kita sudah menunggu ini. Mudah-mudahan hanya dalam beberapa jam, dia akan berada di sini. Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya! Dan itu secara resmi adalah kesempatan terakhirmu untuk mengumpat karena kita akan menjadi orang tua dan tidak akan ada umpatan-umpatan di sekitar putri kecil kita."

Sasuke memutar matanya tapi tidak membantah pernyataan istrinya. Sebaliknya, ia mengangguk ketika pikirannya melayang ke proses melahirkan yang menyakitkan. Menarik diri kembali dari pikirannya, ia melirik tonjolan perut istrinya yang sangat besar dan meletakkan tangannya di sana. Ia bisa merasakan gerakan dan sadar bahwa hanya dalam beberapa jam ia akan menjadi ayah sejati. Melihat mata istrinya yang tampak khawatir, ia mencium kening wanita itu. "Aku siap bertemu dengannya juga, Saku. Dan dia datang tepat waktu untuk bisa menonton pertandingan basket bersamaku tahun ini."

Sakura memutar matanya. "Putri kita terlalu feminim untuk menonton olahraga bersamamu. Dia mungkin ingin menonton film romantis bersamaku, sebagai gantinya."

Sasuke terkekeh dan menggelengkan kepalanya. "Kita lihat saja nanti."

Ketika kontraksi lain datang beberapa menit kemudian, Sasuke menawarkan tangannya dan istrinya itu terasa seperti 'memeras darah' dari jari-jarinya. Istrinya memiliki kekuatan luar biasa dalam tubuhnya yang mungil itu, Sasuke diam-diam mengamati. Setelah kontraksi berlalu, Sakura melepaskan tangan Sasuke dan Sasuke segera berbalik diam-diam, mengibas-ngibaskan tangannya dengan keras ketika ia memaksa darah kembali ke jari-jarinya. Ketika ia berbalik lagi, Sakura menatapnya dengan sorot menyesal. "Maaf," gumamnya.

"Tidak apa-apa," Sasuke menggeleng. "Aku baik-baik saja. Shit, sangat menyenangkan saat membuat bayi ini, jadi kurasa aku harus mendapat sedikit rasa sakit sebagai balasannya."

Sakura tertawa dan menarik kerah kemeja Sasuke, menarik suaminya ke bawah untuk mencium pria itu. "Ketika aku mengumpatimu nanti untuk memotong penismu, ingat saja bahwa aku tetap mencintaimu, oke?"

Sasuke memberikan ciuman ke bibir Sakura. "Aku mengerti... tapi kau tidak akan pernah melakukan itu."

***

"Uchiha Sasuke, jika kau memasukiku dengan penismu lagi, aku akan memastikan kau menderita! Aku akan menarik bolamu dari tubuhmu, satu per satu, dan memasukkannya ke hidungmu. Mengerti?" Sakura berteriak. Kontraksinya sekarang hanya berjarak dua menit dan rasa sakitnya begitu luar biasa hingga Sakura bersumpah untuk tidak melakukan seks seumur hidupnya. Sedangkan Sasuke berusaha untuk tidak terkena serangan panik pada 'pengumuman' yang dikatakan Sakura, karena istrinya itu serius tidak akan berhenti melakukan seks selamanya, kan?

Perawat tersenyum, menepuk tangan Sasuke, dan berbisik, "Aku sudah mendengar yang lebih buruk daripada yang dikatakan istrimu, jadi jangan khawatir."

Sasuke mendengus dan kemudian kembali menatap Sakura. Ia menyingkirkan rambut Sakura yang berkeringat dari wajah istrinya dan membiarkan tangannya menempel di pipi wanita itu. "Sebentar lagi, Sayang... dia hampir keluar."

***

"Kau sebaiknya memperhatikan dan menerima semua ini, Uchiha, karena ini adalah bayi pertama dan terakhirmu. Aku tidak akan pernah ingin menahan rasa sakit seperti ini lagi." Kata-kata itu meluncur dari mulut Sakura dan dokter tersenyum simpatik pada Sasuke. Sasuke hanya mengangguk dan tetap menutup mulutnya. Kontraksi hampir berjarak satu menit sekarang dan dokter baru saja mengumumkan bahwa tahap persalinan berikutnya akan segera dimulai.

Tahap berikutnya? pikir Sasuke. Shit. Ada berapa tahap sialan?

Memfokuskan perhatian pada istrinya yang memerah dan berkeringat, Sasuke tersenyum manis dan mengingatkan wanita itu untuk tetap kuat. Menatap jam, ia menyadari bahwa hari itu sudah lewat tengah malam. Jadi mereka akan memiliki bayi Tahun Baru dan bukan bayi Malam Tahun Baru. Oh well... kami tidak perlu berada di koran.

***

"Dia sudah terlihat!" Dokter mengumumkan. Sasuke mengitari ranjang Sakura dan membungkuk di kaki istrinya untuk melihat diantara paha istrinya, dan tidak seperti remaja yang begitu penuh dengan pikiran kotor hingga ia diam-diam terangsang, ia hampir berteriak keras-keras dalam kebahagiaan ketika ia melihat kepala dengan rambut gelap perlahan terlihat lebih jelas. Ia mengangkat kepalanya dan meraih tangan Sakura, meremasnya. "Aku melihatnya, Sayang... aku melihatnya!"

Sakura tersenyum dan kemudian memberi dorongan lagi seperti yang diperintahkan dokter. Wajahnya memerah dan ia berkeringat, matanya berair dan penuh dengan tatapan sakit. Sasuke dengan cepat kembali ke sisi Sakura dan menyapukan kain basah yang dingin ke wajah istrinya, sebelum meremas tangan wanita itu.

"Hanya beberapa dorongan lagi, Sakura," ucap dokter. "Bahunya sudah keluar. Hanya beberapa dorongan lagi!"

Bahu Sakura terkulai dan ia menatap Sasuke. "Aku tidak punya energi lagi, Sasuke-kun!" serunya.

"Ayo, Saku. Kita sudah sangat dekat."

"Tiga dorongan lagi," intruksi dokter dari sela-sela kaki Sakura. "Hanya butuh tiga lagi, Sakura. Ayo."

Sakura mengangguk, mengambil napas dalam-dalam, dan meraih tangan Sasuke. Sasuke menekankan bibirnya ke kening Sakura dan berbisik, "Kau bisa melakukannya," ketika istrinya itu mendorong keras dan kemudian jatuh kembali ke bantal.

Dokter benar, dua dorongan lagi dan dokter mengumumkan, "Dia sudah keluar!" Sasuke memperhatikan ketika dokter mengangkat bayi yang tertutup lendir hingga mereka berdua bisa melihatnya. Matanya tertuju pada putrinya dan menolak untuk berpaling. Beberapa detik kemudian, Sakura memanggil Sasuke dan Sasuke hampir melompat terkejut mendengar suara istrinya. Sambil tersenyum dengan matanya yang basah, Sasuke mencium Sakura tepat ketika perawat membawa putri mereka mendekat. Membaringkannya di atas perut Sakura, perawat itu melangkah mundur dan pergi.

Sakura dan Sasuke menatap putri mereka, yang melihat sekeliling sebelum berkedip dua kali dan kemudian memejamkan mata.

"Dia cantik," bisik Sasuke, suaranya berat karena emosi.

"Dia mirip sepertimu," Sakura mengamati dengan gembira, jarinya membelai pipi bayi itu.

"Hanya rambut dan matanya, kurasa," gumam Sasuke. Ia tidak bisa mengalihkan matanya dari gadis kecil mungil yang sudah tertidur di dada ibunya.

"Hai, gadis kecil yang cantik. Aku mamamu," ucap Sakura menenangkan. "Aku tidak sabar untuk membawamu pulang dan memperkenalkanmu pada semua hal menakjubkan yang ada dalam hidup." ucapnya lembut.

Sasuke, yang menolak menangis, membungkukkan kepalanya dan mencium Sakura dengan keras, menutup matanya rapat-rapat. Ketika ia membuka matanya lagi, ia mengabaikan sensasi basah di sudut matanya dan menatap anak dan istrinya. "Terima kasih, Sayang... kau sudah berusaha keras."

Sakura tertawa pelan ketika ia membelai lengan putri mereka dan mengangkatnya untuk melihat jari-jarinya yang mungil dan kukunya yang sangat kecil. "Sama-sama, Sasuke-kun."

"Jadi, Saku... Kita sudah membahas sekitar 150 nama yang memungkinkan untuk dipakai. Kita panggil apa dia?"

"Oh..." Sakura melirik cepat ke arah suaminya. "Apa terlihat bodoh jika aku menginginkan nama pertama yang pernah kau sarankan?"

Sasuke mengangkat alisnya, "Sungguh? Itu selalu menjadi nama favoritku."

Sakura menganggukkan kepalanya. "Ya... kurasa aku menyukai nama itu akhir-akhir ini."

Sasuke meletakkan telapak tangannya yang terbuka ke kening bayi mereka. "Hai, Sarada... aku papamu."

"Gendong dia, Sasuke-kun." Sakura mengangkat Sarada dan dengan lembut meletakkannya di lengan suaminya yang tampak gugup. Ia menyaksikan tatapan Sasuke melembut dan pria itu menjalankan jari panjangnya di atas kepala dan hidung bayi mereka.

"Kau benar, Saku. Dia sangat mirip denganku! Dia mewarisi hidungku," gumam Sasuke lembut, suaranya penuh kekaguman.

"Aku tahu," Sakura setuju, berbaring dan menutup matanya. Ia sangat lelah. Meskipun ia ingin menatap putrinya lama-lama, ia benar-benar kelelahan.

Sasuke melirik Sakura, kemudian pada bayi mereka, ia berkata dengan lembut, "Uchiha Sarada. Aku menyukainya..."

Tepukan di bahu Sasuke membuat pria itu berbalik. "Uchiha-san?" tanya perawat dari belakang Sasuke. "Kami akan membersihkan istrimu dan memandikan bayinya. Jika kau mau, kau bisa memberitahu pada mereka yang menunggu di luar dan dalam waktu sekitar setengah jam, kalian bisa kembali ke sini untuk melihat istri dan bayimu."

Sasuke mengangguk dan meskipun merasa tak rela, ia menyerahkan putrinya pada perawat itu. Berbalik kembali pada Sakura, ia mengecup bibir istrinya, "Sampai nanti, Sayang."

Sakura mengangguk, matanya masih tertutup, dan Sasuke melangkah keluar ruangan.

Ketika Sasuke masuk ke ruang tunggu, Mebuki, Sasori, dan Ino semua duduk diam. Mereka semua mendongak dengan mata terbelalak dan berdiri ketika Sasuke berdeham.

"Apa dia sudah lahir?" tanya Ino dengan penuh semangat.

Sasuke mengangguk. "3 kilo, 10 ons, panjang 49 cm."

Ino menutup mulutnya dengan tangannya, tersenyum lebar, sementara Sasori dan Sasuke berpelukan cepat dan kemudian Sasuke memeluk ibu mertuanya.

"Dan namanya?" Mebuki mendesak.

"Sarada. Uchiha Sarada," ucap Sasuke bangga.

Ino menghapus air mata dan bertanya, "Kapan kita boleh bertemu dengannya?"

Sasuke duduk di kursi terdekat dan memandangi tiga pasang mata yang menatap bersemangat padanya. "Mereka sedang mengurus Sakura saat ini dan kemudian mereka akan membersihkan dia dan Sarada. Jadi sekitar setengah jam, kita akan bisa melihat mereka."

"Luar biasa. Apa Sakura baik-baik saja?" tanya Mebuki.

"Sakura baik-baik saja, Kaasan. Well, dia benar-benar kelelahan, tapi dia baik-baik saja. Dia luar biasa. Dia luar biasa di sana. Dia mengancam akan 'memotong'ku dan berteriak bahwa kami tidak akan pernah punya bayi lagi, tapi dia luar biasa."

Mebuki tertawa dan duduk di samping Sasuke. "Dan bagaimana perasaanmu?"

"Tetap tenang dan tidak panik atau muntah atau pingsan... jadi aku baik-baik saja, kurasa."

Menghela napas, Mebuki menyandarkan kepalanya ke dinding. Sasuke memandang mertuanya dari sudut matanya dan menggenggam tangan wanita paruh baya itu. "Selamat, kau telah menjadi nenek."

Mebuki tersenyum lebar dan menepuk bahu Sasuke. "Selamat juga, kau telah menjadi ayah sejati."

***

Sasuke berdiri di trotoar di tengah kerumunan orang tua lain, putrinya yang berusia delapan bulan menggeliat-geliat di gendongannya. Bocah itu rewel karena di sana cuaca sedikit panas sehingga Sasuke menepuk-nepuknya dengan pelan, bernyanyi dengan lembut di telinga gadis kecilnya itu untuk menenangkannya. Bocah itu berhenti rewel dan mata hitamnya yang besar menatap ayahnya, memaksakan senyum lebar muncul di wajah Sasuke. Pada saat itu, pintu gerbang sekolah terbuka dan anak-anak mulai bermunculan.

Sasuke memperhatikan ketika rambut hitam putrinya yang berusia empat tahun mulai terlihat. Mata gadis kecil itu tampak memandang seluruh orang-orang dewasa, mencari ayahnya, dan kemudian berteriak saat mendapati posisi Sasuke.

"Papa!" teriak Sarada, berlari ke arah ayahnya. Sasuke membungkuk dan memeluk Sarada dengan lengannya yang bebas, yang tidak memegang anak perempuannya yang lebih kecil. Sarada mencium pipi Sasuke, menepuk-nepuk adik bayinya, Sayuka, di kepala, dan kemudian meraih tangan ayahnya.

"Di mana Mama?" tanya Sarada ketika mereka berjalan menuju mobil sport Sasuke. Sakura biasanya yang menjemputnya dari sekolah, bukan ayahnya.

Sasuke membuka kunci mobil dan membuka pintu belakang, membantu Sarada masuk. Bocah itu merangkak melewati kursi bayi dan duduk di kursi penumpang dan dengan cepat menyandarkan dirinya. Sementara itu, Sasuke mendudukkan Sayuka dan mengikatnya ke kursi bayi di sebelah Sarada. "Mama sedang ada pertemuan hari ini. Kita akan menjemputnya untuk makan siang." Sambil mendongak dari anak perempuannya yang paling kecil, ia bertanya, "Kalian semua ikut?"

Sarada mengangguk dengan bangga dan Sasuke menjangkau ke seberang sehingga ia bisa berhighfive dengan anak pertamanya. Kemudian ia menutup pintu dan berlari ke sisi pengemudi. Sarada tersenyum lebar  dan membungkuk hingga sejajar antara dirinya dan saudara perempuannya, menjulurkan lidahnya hingga membuat Sayuka terkikik ketika ayahnya mulai menjalankan mobil di jalanan sibuk Kagoshima.

"Jadi Papa tidak akan kembali bekerja hari ini?" tanya Sarada dari kursi belakang.

"Tidak, Sarada. Kita akan menjemput Mama dan kemudian kita semua akan pulang bersama. Mungkin Papa akan membiarkanmu bermain-main di kolam sore ini." Sasuke mengangkat matanya dan menatap kaca spion ke arah putrinya. "Apa itu ide bagus?"

"Sangat bagus, Papa! Cuaca sangat panas hingga aku bisa saja mati!"

Sasuke terkekeh mendengar kata-kata dramatis putri sulungnya. Sarada sangat mirip ibunya. Sarada selalu bisa mulai beebicara panjang lebar tentang hal-hal kecil apapun. Terkadang, Sarada nyaris identik dengan Sakura hingga membuat Sasuke takut. Sarada mungkin terlihat seperti Sasuke, tapi bocah kecil itu sangatlah Sakura. Sedangkan Sayuka, di sisi lain, adalah versi dari Sakura tapi sudah tampak lebih tenang pada usia delapan bulan daripada Sarada pada usia yang sama.

Sasuke memarkirkan mobilnya di sebuah restoran dan mulai melepaskan sabuk pengaman dan mengeluarkan gadis-gadis kecilnya dari mobil. Dengan tas popok disampirkan di bahunya dan Sayuka yang sekarang tertidur di dadanya, ia menggandeng tangan Sarada ketika mereka berjalan memasuki restoran. Melihat Sakura begitu mereka berada di dalam, Sasuke mengangguk pada Sakura dan berjalan menuju istrinya itu. Sakura berdiri, mengambil Sayuka dari lengan Sasuke, dan kemudian ia membungkuk untuk mencium Sarada sebelum berdiri untuk mencium suaminya.

"Hei, Sayang," ucap Sasuke, setelah mengecup bibir istrinya. "Bagaimana hasilnya?"

Keluarga Uchiha itu duduk dan Sakura tersenyum. "Well, Sasuke-kun... Aku pernah bilang bahwa Usagi Tsukiko adalah dokter wanita yang hebat di Kagoshima, bukan?"

Sasuke mengangguk.

"Well," lanjut Sakura, "Alasan dia ingin bertemu denganku adalah..." Sakura menggigit bibirnya, menatap suaminya melalui bulu matanya, "...dia dipindah tugaskan ke Children Center L.A. Dan dia menginginkanku untuk menjadi asistennya disana."

Mulut Sasuke terbuka lebar. Ketika Sakura mengatakan padanya bahwa wanita itu ada janji temu dengan kepala rumah sakit dan bahwa ia perlu menjemput Sarada pada hari Rabu, ia tidak menyangka bahwa ini hasilnya.

"Apa yang kau katakan padanya?" tanya Sasuke dengan cepat.

"Aku bilang padanya bahwa aku perlu bicara denganmu dan aku akan menghubunginya malam ini." Ekspresi harapan dan kegembiraan di wajah Sakura memberitahu Sasuke semua yang perlu ia ketahui.

"Sayang, aku sudah bilang bertahun-tahun yang lalu bahwa jika kau menginginkan L.A, kau bisa mendapatkannya." Sasuke melihat di antara tiga perempuan yang memiliki hidup dan hatinya. "Jadi kita akan pindah ke L.A?"

"Tapi Sasuke-kun, bagaimana dengan Ino, Sasori, dan Kenichi? Aku benci meninggalkan mereka."

Kepala Sarada mendongak ketika Sakura menyebut tentang Kenichi, teman bermainnya yang berusia tiga tahun dan putra Sasori dan Ino. "Apa aku bisa bertemu Kenichi hari ini?"

Sasuke menepuk lutut anaknya. "Papa tidak tahu, Sarada. Tapi kita bisa mengundang mereka malam ini." Mengalihkan perhatiannya kembali ke Sakura, ia berkata, "Mereka tahu bahwa ini adalah impianmu. Ini adalah seluruh hidupmu. Kau harus menghubungi Usagi Tsukiko dan mengatakan padanya bahwa kau setuju." Sakura akan mulai memprotes tapi Sasuke menghentikannya. "Tidak ada diskusi lagi, Saku. Lagipula aku agak bosan dengan Kagoshima. Kita sudah di sini sangat lama. Jadi kita harus pindah."

Sakura menjerit kegirangan, yang menyebabkan Sayuka terbangun dan mulai menangis. Sakura segera berdiri dan beralih ke 'mode mama' dan menenangkan putrinya sampai gadis kecil itu tenang lagi. Menatap mata suaminya di seberang meja, ia berkata, "Aku tidak percaya kita melakukan ini. Dari Kagoshima ke L.A?"

"Tidak, Sayang... Dari Jepang ke California," Sasuke mengoreksi, menyeringai.

Tepat saat itu, pelayan mendekati meja dengan senyum yang menyenangkan di wajahnya. Setelah berdebat dengan Sarada bahwa ia perlu wortel dengan spageti dan bukan kentang goreng, Sasuke dan Sakura akhirnya memesan. Begitu pelayan itu pergi lagi, Sasuke menatap Sakura, yang duduk dengan mata berbinar.

"Aku mencintaimu, kau tahu," ucap Sakura, "Karena mendukungku."

Sasuke mendengus. "Sayang, kau sudah membuatku berlutut di depanmu begitu lama hingga aku tidak tahu cara lain untuk tidak menurutimu. Selain itu, kau tahu aku tidak peduli di mana kita tinggal. Selama aku bersama tiga perempuanku, aku baik-baik saja," Tapi kemudian ia mengoreksi sambil menyeringai, "Bersama tiga perempuanku, bir, dan ESPN."

"Dan gitarmu, Papa," sela Sarada, terdengar berwibawa, seolah menirukan orang dewasa berbicara, "Jangan lupa gitarmu. Jika kau tidak punya itu, kau tidak bisa bernyanyi untuk Sayuka dan aku!"

"Kau benar, Sarada," Sasuke setuju, tangannya yang besar menepuk lutut putrinya, "Papa harus punya gitar."

"Jadi, apa yang harus kita lakukan pertama?" tanya Sakura. "Maksudku, Sasuke-kun, ada begitu banyak yang harus dilakukan! Kita harus menghubungi makelar dan menjual rumah kita dan kemudian menghubungi makelar di L.A dan meminta mereka mulai mencarikan tempat untuk kita tinggali. Aku harus mengundurkan diri dari pekerjaanku. Kau juga harus mengundurkan diri. Kita harus mengurus dokumen pindah sekolah Sarada, menutup rekening bank kita disini, menyewa—"

"—Saku," sela Sasuke, meletakkan tangannya di tangan istrinya. Sakura mengangkat kepalanya dan bertemu mata dengan suaminya. "Pelan-pelan. Kita akan mengurus semuanya bersama!" Bersandar, ia menyilangkan lengannya. "Bagaimana kalau malam ini, kita mengundang Sasori, Ino dan Kenichi dan kita semua jalan-jalan bersama. Setelah itu, kita semua akan duduk dan membuat daftar besar yang akan dilakukan dan kita akan memastikan semuanya tercatat di sana."

Sakura menggelengkan kepalanya dan menghela napas, menjepit hidungnya. "Ini akan baik-baik saja, bukan?"

"Sayang, kita akan pindah sehingga pantat kecilmu yang panas bisa berada di L.A!"

"Mama! Papa mengucapkan kata-kata itu lagi!" Sarada menyela dengan cepat.

Sasuke merengut pada putrinya dan menatap balik ke istrinya. "Uchiha Sakura... tidak ada diskusi lagi, oke. Kita akan pindah membawa pantat panasmu ke L.A."

"Mama!" Sarada bersikeras, jelas frustrasi pada penggunaan kata-kata buruk ayahnya, "Apa kau akan memarahi Papa atau aku yang harus memarahinya?"

Sasuke mendengus dan kemudian memandang putrinya. "Maaf, Sayang. Bagaimana jika Papa membelikanmu es krim untuk menebusnya?"

Sarada menggigit bibir kecilnya dengan serius. "Aku pikir itu bisa diterima, selama kau menahan diri dari kata-kata jelek itu," akhirnya ia menjawab.

"Ya Tuhan, dia lebih sepertimu setiap hari," gumam Sasuke pada Sakura, memperhatikan ketika istrinya itu menertawakan putri sulungnya.

Ketika pelayan datang membawa makanan mereka ke meja, Sasuke membungkuk untuk menyelipkan serbet di baju Sarada untuk menghindari gadis kecil itu mengotori bajunya sendiri. Kemudian ia membungkuk dan memeriksa Sayuka sebelum duduk untuk makan makanannya sendiri. Sakura memperhatikan suaminya, matanya menghargai sikap yang diberikan suaminya saat melakukan sesuatu yang begitu lembut dan penuh perhatian.

Diam-diam, Sakura meraih ke seberang meja dan meraih tangan Sasuke. Sasuke mendongak dari piringnya dan mengaitkan jari-jarinya dengan jari-jari istrinya.

Mata Sakura dipenuhi air mata dengan berbagai emosi. "Sasuke-kun, kita benar-benar akan tinggal di L.A!"

***
THE END.

2 komentar:

  1. Kak kok ga ada didaftar cerbung? Dan cerita ini jg kehapus di watty

    BalasHapus
  2. Terimakasih untuk cerita yang indah ini😍
    Emosiku terombang-ambing, dari sedih, cemas, senang

    BalasHapus

Berkomentarlah dengan sopan :)