expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Leads to You #27

 


"Kaasan, tidak—Kaasan, kupikir itu—tidak, Kaasan, aku serius, kau benar-benar tidak—Kaasan, mungkin..." Sasuke menghembuskan napas keras ke telepon, ekspresi putus asa dan frustrasi menghiasi wajahnya. "Baik, Kaasan—Oke. Sampai jumpa."

Sasuke mematikan telepon dan melemparkan ponselnya ke bantal di sofa.

Dari dapur, Sakura menatap suaminya. "Tidak bisa negoisasi dengannya?"

Sambil menggelengkan kepalanya, Sasuke jatuh ke sofa dan bersandar, matanya penuh dengan kejengkelan. "Tidak. Dia ngotot. Katanya dia ingin memastikan rumah kita adalah tempat yang tepat untuk mengasuh anak. Bisakah kau percaya omong kosong itu? Dia tahu berapa banyak uang yang kita habiskan untuk rumah ini. Harganya tiga kali lipat dari tempatnya tinggal sekarang... tapi dia merasa masih perlu memberikan persetujuannya tentang rumah kita? Fuck."

Sakura mendesah dan berjalan dari dapur ke ruang tamu, duduk di sofa. Ia melipat kakinya dan menarik lengan Sasuke untuk melingkari bahunya. "Kapan dia akan berkunjung ke sini?"

"Selasa besok sore, shit," gerutu Sasuke.

Sakura mendesah lagi, "Kita harus melakukan yang terbaik. Berapa lama dia akan menginap?"

"Enam hari," gerutu Sasuke lagi. Ia melirik ke arah perut Sakura sebelum menyingkap kaos istrinya. Membungkuk, ia meletakkan telapak tangannya pada perut Sakura yang sudah memasuki 20 minggu masa kehamilan dan berbicara dengan suara rendah, "Kuharap kau tidak seperti nenekmu. Dia benar-benar menyebalkan... bahkan lebih menyebalkan daripada ibumu. Nenekmu adalah kalelawar tua gila dan kau mungkin ingin mencekiknya."

"Sasuke-kun!" Sakura memukul bagian belakang kepala suaminya. "Jangan meracuni putri kita sejak dari rahim! Atau dia akan keluar dengan badan bertato dan suka mengumpat."

Sasuke menatap Sakura dan memutar matanya sebelum menurunkan pandangannya kembali ke perut istrinya. "Apa? Bayi kita perlu tahu... Ibuku itu hanya... argh!"

"Sasuke-kun, tenanglah. Aku benar-benar tidak berpikir kunjungannya akan seburuk itu. Lagipula kita sudah lama tidak bertemu dengannya. Dia pasti sangat bersemangat tentang rumah dan bayi kita. Dia hanya ingin bertemu kita. Jadi kita harus melakukan yang terbaik, oke?" Sakura meletakkan tangannya di wajah Sasuke dan Sasuke mengecup jari-jari Sakura sebelum mengangkat kepalanya untuk mencium istrinya itu.

"Kuharap kau benar. Dan sebaiknya kau tidak marah jika aku menendang pantatnya ke jalan kurang dari satu jam setelah dia tiba di sini."

***

Hari Selasa tiba, Sasuke telah mengambil cuti untuk hari itu dan kini ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan kecepatan sedemikian rupa hingga Sakura takut suaminya itu akan menyebabkan gesekan yang cukup kuat antara kaki dan karpet dan menyebabkan nyala api. Ibu Sasuke bersikeras bahwa ia akan naik taksi dari bandara sehingga Sasuke tidak harus berurusan dengan kegilaan lalu lintas bandara. Pesawat Mikoto telah mendarat satu jam sebelumnya sehingga mereka berdua tahu bahwa wanita paruh baya itu bisa tiba kapan saja.

Setelah akhirnya merasa cukup tenang, Sasuke menjatuhkan diri di sofa dengan upaya merilekskan tubuhnya ketika ia tiba-tiba mendengar pintu mobil di luar. Melompat berdiri kembali, ia berlari ke pintu depan dan mengintip keluar. "Shit. Fuck. Damn. Hell," gumamnya.

"Sasuke-kun, bersikap baiklah," Sakura memperingatkan dari belakang suaminya.

Sasuke dengan cepat berbalik untuk memelototi istrinya sebelum membuka pintu. Sambil menghela napas, ia melangkah ke luar untuk menghadapi ajalnya... err... ibunya.

Sakura berdiri di serambi, mendengarkan dari balik pintu yang terbuka lebar. Ia mendengar Mikoto memekik dan kemudian mendengar Sasuke mengatakan sesuatu yang teredam, yang menandakan bahwa kepalanya kini terkubur di leher ibunya. Mengintip keluar, ia melihat Sasuke dan ibunya berpelukan.

Sangat menyentuh. Setiap anak laki-laki pasti membutuhkan ibunya. Suaminya itu pasti hanya berpura-pura bahwa ibunya membuatnya gila. Menggigit bibir agar tidak tersenyum terlalu lebar, Sakura melangkah keluar.

"Halo, Kaasan!" sapa Sakura dengan gembira.

Mikoto mendongak dari pelukan putranya, melihat Sakura berdiri di sana, mengarahkan matanya ke perut Sakura yang tampak menonjol, dan mendorong Sasuke ke samping. Berlari cepat ke arah Sakura, ia memeluk menantunya erat-erat dan mencium kedua pipinya. Kemudian ia membungkuk dan berseru pada perut Sakura, "Hai, Sayang! Aku nenekmu. Aku tidak sabar untuk melihatmu dan mencintaimu dan menggendongmu dan meremasmu! Aku harap kau memiliki mata ayahmu yang indah dan bakat ibumu yang luar biasa."

Tiba-tiba Sakura tampak tersentak, membuat Mikoto dan Sasuke menatapnya. Ia kemudian tertawa. "Maaf... dia menendang lagi."

Mata Mikoto membelalak. "Dia menendang?"

Sasuke berjalan mendekat dan melingkarkan lengannya ke bahu Sakura. "Yup, dia mulai menendang minggu lalu. Well, sejak itu kita berdua bisa merasakannya." Sakura tersenyum melihat wajah Sasuke yang berseri-seri dan bangga.

Mikoto menjerit dan menarik Sakura ke arahnya, mulutnya hanya beberapa inci dari perut menantunya itu. "Kau suka suara Nenekmu ini, kan, Sayang?"

Ketika Mikoto terus saja mengoceh dengan perut Sakura, Sakura menatap suaminya dengan tatapan memohon. Sasuke segera meletakkan tangannya di bahu Mikoto, mendorong ibunya untuk berdiri tegak. "Sudah, Kaasan, jangan menakuti dia atau dia akan mengalami mimpi buruk sejak di dalam rahim!"

Memelototi putranya, Mikoto kemudian melingkarkan lengannya di sekitar Sakura dan mengarahkan menantunya itu ke dalam rumah. "Beri aku tur keliling rumah yang indah ini, Sakura-chan!"

Sasuke memperhatikan istri dan ibunya melangkah masuk ke dalam rumah dan ia mengerang. Ini akan menjadi minggu yang sangat panjang. Meraih koper ibunya, ia mengikuti dua wanita itu ke dalam ketika ia mulai mempertimbangkan untuk mencekik ibunya.

Setelah Sasuke meletakkan koper di kamar tamu—dengan lemari cadangan yang dibenci Sakura—ia menjatuhkan diri di sofa, menopang kakinya di atas meja kopi dan meraih remote untuk menyalakan TV. Rumah itu sangat damai untuk beberapa saat ketika Sakura dan ibunya berada di lantai atas di ruangan yang akan menjadi kamar anak. Namun, kedamaian itu berlalu dengan cepat, karena hanya beberapa menit kemudian, dua wanita itu berjalan menuruni tangga.

"Sasuke, Sayang, rumah ini indah. Sakura punya selera yang bagus!"

Sasuke menoleh untuk memelototi ibunya. "Awalnya, Sakura membenci rumah ini, Kaasan. Akulah yang ingin tinggal di sini. Dia mengira lemari cadangan di kamar tamu membawa karma buruk!"

Mikoto menatap putranya tak percaya dan kemudian menoleh ke arah menantu tercintanya. "Oke, duduklah, Sakura-chan, karena aku akan membuatkanmu makan malam yang lezat dan banyak untuk bayimu!"

"Shit, Kaasan, apa aku mendapat makan juga?" Sasuke bangkit dari sofa dan melingkarkan lengannya di bahu Sakura sebelum mengecup kening istrinya. Mikoto berseri-seri pada kasih sayang diantara mereka dan kemudian mulai berjalan ke kulkas untuk mengambil sayuran dan daging dengan semangat.

"Tentu saja kau juga mendapat makan, dasar konyol. Tapi Sakura-chan sedang mengandung anak perempuanmu dan dia terlihat mungil jadi kita perlu memberinya makan lebih banyak! Bayi itu perlu tumbuh, tumbuh, dan tumbuh! Kau sangat kurus ketika kau lahir, Sasuke, jadi aku tidak ingin bayimu memiliki masalah yang kau alami!"

Mata Sakura menyipit dan ia menoleh untuk mengamati tubuh suaminya yang tinggi dan berotot, hampir jauh dari kata kurus. "Dia kurus?"

Mikoto mendengus ketika ia memotong wortel. "Oh, Sakura-chan, dia dulu hanya kulit dan tulang. Dan selama beberapa bulan pertama setelah dia lahir, dia tidak mau memakan apa pun. Dia hanya akan memuntahkan semua yang dia makan! Kami sangat khawatir dia akan terus kurus seperti itu. Baru pada saat dia menginjak usia satu tahun, dia cukup berhasil menyusul bayi-bayi lainnya."

"Kaasan, serius? Sakura tidak mau mendengar cerita saat aku masih bayi." Sasuke ingin percakapan ini berakhir sebelum ibunya terus mengoceh tentang ia saat bayi, saat balita, saat anak-anak, dan ia mungkin harus gantung diri setelahnya.

Sakura memperhatikan Sasuke bergeser dengan tidak nyaman dan ia mengganti topik pembicaraan. "Jadi, Kaasan, apa kau sudah memberitahu semua temanmu tentang bayi ini?"

Mikoto tersenyum. "Antara ibumu dan aku, dan seluruh komunitas Yahudi di Hakodate tahu dan mereka sangat gembira."

Sasuke memutar matanya. "Bagaimana dengan temanku yang non-Yahudi, Kaasan? Maksudku, komunitas Yahudi di Hakodate hanya terdiri dari... lima belas keluarga."

Mikoto menatap putranya dan Sakura. "Kami belum memberitahu banyak teman lama kalian karena kami ingin tahu lebih dulu apa kalian ingin membuat pengumuman bayi di The Hakodate News. Ini adalah berita baik untuk dibagikan, kau tahu!"

Sakura dan Sasuke saling memandang. Apa mereka ingin semua orang di Hakodate tahu? Sakura menggigit bibirnya ketika ia berpikir, akan sangat lucu untuk mengumumkan bahwa si badboy Uchiha Sasuke menikahi Haruno Sakura yang berambut aneh. Itu pasti sesuatu yang membuat orang bertanya-tanya.

Sakura mengambil pisau dan mulai membantu Mikoto memotong kentang. Sasuke duduk di kursi meja makan, mengawasi dua wanita dalam kehidupannya itu. Mereka terdiam selama beberapa saat dan Sasuke memperhatikan Sakura, tersenyum pada ekspresi puas di wajah istrinya.

"Oh, Sasuke," Mikoto menghela napas, melirik perut Sakura, "Aku terus berpikir tentang bagaimana semua hal-hal berbeda bisa terjadi. Aku sangat senang bahwa kau dan gadis bernama Miyuki itu tidak berhasil. Jika tidak, bayi ini mungkin tidak ada sekarang dan itu... itu mengerikan!"

Mulut Sasuke terbuka lebar. "Apa kau baru saja menyebut Miyuki, Kaasan? Serius?"

Sakura mendengus tertawa, menyadari bahwa Mikoto akan memulai ocehannya tentang 'bagaimana anakku hampir mengacaukan hidupnya sendiri'. Mikoto telah mengoceh tentang hal itu beberapa kali selama bertahun-tahun setelah keduanya menikah dan, Sakura curiga, mertuanya itu akan melakukannya selama dia masih bernapas.

Mikoto hanya melotot, mengarahkan ujung pisaunya ke arah putranya, "Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku senang kau membuat bayi ini dengan Sakura-chan, Sasuke, bukan dia. Maksudku, aku akan mencintai cucuku terlepas dari Sakura-chan adalah pilihanku saat itu dan jadi aku tidak bisa lebih bahagia sekarang. Sakura-chan selalu menjadi satu-satunya gadis yang bisa kubayangkan bersamamu dalam jangka panjang."

Sambil mengerang, Sasuke berjalan ke samping Sakura dan melingkarkan tangannya di pinggang istrinya, meletakkan tangannya di perut wanita itu. "Ya ya, Kaasan. Dia juga pilihanku... hanya saja aku butuh sedikit waktu untuk menyadarinya."

Sakura mengusap tangan Sasuke dan tersenyum. Mereka telah melakukan banyak pembicaraan tentang semua yang terjadi di antara mereka selama masa sulit itu lima tahun lalu. Mereka benar-benar berdamai dengan kekacauan yang terjadi karena tanpa kekacauan itu, mereka tidak yakin mereka akan menyadari betapa mereka mencintai satu sama lain. Akan tetapi, Mikoto masih suka membicarakan kekacauan itu karena satu-satunya skandal dalam kehidupannya yang membosankan biasanya datang dari putra bungsunya.

Setelah mereka semua duduk untuk makan malam, Mikoto mulai memberi ceramah tentang nama-nama bayi Yahudi yang tepat. Sakura meremas tangan Sasuke di bawah meja dan Sasuke bertanya-tanya, bagaimana ia akan selamat dari kunjungan ibunya.

Berjam-jam kemudian, begitu Mikoto tidur karena kelelahan akibat perjalanan yang jauh, Sasuke dan Sakura akhirnya mendapatkan waktu tenang mereka. Sakura keluar dari kamar mandi, mematikan lampu, dan merangkak ke atas tempat tidur di sebelah Sasuke. Sasuke membalik-balik majalah, yang dengan santai ia lemparkan ke samping saat istrinya naik ke tempat tidur.

"Sejauh ini baik-baik saja," ucap Sakura merujuk pada kunjungan ibu Sasuke. Ia meringkuk ke tubuh suaminya begitu ia masuk ke bawah selimut.

Sasuke menekankan bibirnya ke kening Sakura, menghirup aroma rambut istrinya. "Jika maksudmu aku tidak menendang pantatnya, maka ya, itu baik-baik saja."

"Sasuke-kun, ada baiknya ibumu ada disini. Aku punya beberapa pertanyaan kehamilan untuk ditanyakan padanya... dan kupikir ini akan menjadi ikatan yang baik bagi kami."

"Aku senang kau begitu optimis, Sayang. Aku merasa agak buruk tentang kenyataan bahwa aku harus bekerja sepanjang minggu ini, dan kau harus terjebak dengannya."

Sakura menepuk paha Sasuke. "Ibumu dan aku akan pergi berbelanja dan berkeliling kota. Dan aku akan menanyakan semua pertanyaan tentang bayi dan mendengar cerita-cerita memalukan saat kau masih kecil, yang akan bisa kujadikan lelucon untuk melawanmu nanti." Ia terkikik, berbaring dan mencium bibir suaminya sebelum berbalik untuk mematikan lampu meja.

Ketika ruangan itu gelap dan sunyi, Sasuke bergumam, "Kurasa aku bisa mendengarnya mendengkur dari sini."

"Sasuke-kun," rengek Sakura, "Ini akan menjadi kunjungan yang panjang jika kau terus memikirkannya. Sekarang diam dan masuk sini." ucapnya menunjuk ke antara pahanya.

"Saku! Kau gila jika kau berpikir aku akan menidurimu malam ini. Ibuku di sebelah!"

Sakura mengerang. Jika itu yang suaminya inginkan, baiklah. Ia duduk dan melepas gaun tidurnya di atas kepalanya. Merangkak ke atas Sasuke, ia mengangkangi suaminya, menggesek selangkangan suaminya yang terbalut boxer, "Kita melakukan hubungan seks ketika kita menginap di rumah ibumu. Aku yakin kau bisa melakukan hubungan seks di rumahmu sendiri meskipun ibumu ada di sini. Aku butuh seks dan kau harus memberikannya padaku, mengerti?"

Shit, pikir Sasuke ketika ia benar-benar keras hanya dalam hitungan detik, istrinya sangat seksi ketika memerintah. Ia berpura-pura bertahan sedikit supaya istrinya menjadi lebih berusaha. Dan benar saja, Sakura memegang lengan Sasuke erat saat wanita itu mulai menggesekkan putingnya ke bibir suaminya. Ketika lidah suaminya menjulur keluar dan menyentuh putingnya, Sakura melepaskan lengan suaminya saat sensasi berdesir mengalir dalam dirinya. Sasuke membalik posisi mereka dan mulai memanjakan Sakura ketika Sakura tersenyum puas ke dalam kegelapan. Suaminya sangat mudah tergoda olehnya.

***

Beberapa hari berikutnya terasa berlalu dengan cepat untuk Sakura. Di antara pergi berbelanja dan banyak sekali makanan yang Mikoto paksa untuk dimasukkan ke tenggorokannya, Sakura sebenarnya bersenang-senang. Pada hari Jumat, mereka mengunjungi Sasuke di tempat kerja sehingga mereka bisa makan siang bersama. Tentu saja, semua rekan kerja perempuan Sasuke mengagumi tonjolan perut Sakura dan kemudian Mikoto memaksa untuk bertemu bos Sasuke dan pada saat mereka akhirnya sampai di pintu kantor Kakashi, Sasuke merasa ingin bunuh diri. Sasuke berharap bahwa ini akan menjadi kehamilan yang tidak menggemparkan, tapi ia telah mendengar beberapa rekan kerjanya sudah berbicara tentang mengadakan baby shower untuknya. Sakura hanya tersenyum manis pada rekan-rekan kerja suaminya dan meyakinkan mereka bahwa ia akan mengirim foto-foto USG terbaru setelah kunjungan dokter berikutnya.

Begitu mereka duduk di meja sebuah restoran, Sasuke menghela napas. Hanya beberapa hari lagi dan semuanya dapat kembali normal.

"Sasuke, apa kau tahu bahwa kami menemukan outlet bayi hari ini? Aku menghabiskan banyak uang untuk membeli baju-baju merah muda. Kami akan tunjukkan padamu ketika kau pulang nanti malam," Mikoto berseru sambil menggigit sandwich-nya.

"Kaasan, Sakura harus menghadiri sebuah festival malam ini," Sasuke memberitahu ibunya.

Mata Mikoto membelalak. "Oh ya! Aku lupa! Aku tidak percaya kau masih tetap bernyanyi, Sakura-chan!"

"Sejak aku berhenti bekerja, tidak banyak yang kulakukan selain mendalami hobiku, Kaasan."

Mikoto akan mulai berbicara tapi Sasuke menyelanya. "Dan dia tidak akan mengikuti festival lagi untuk sementara waktu selama kehamilannya, Kaasan, jadi jangan mulai. Aku tahu dia akan menjadi gila karena tidak bisa menjalankan hobinya."

Sakura tersenyum lebar. "Aku akan baik-baik saja, Sasuke-kun. Aku masih punya banyak perencanaan yang harus dilakukan sebelum bayi ini lahir. Dan kita harus mendekorasi kamar bayi dan membeli beberapa perabotan."

Mikoto tampak bersemangat. "Kita bisa melakukan itu selagi aku di sini! Aku punya banyak ide!"

Sasuke mengerang. "Fuck, Kaasan. Sakura baru setengah jalan dengan kehamilannya dan kita belum bisa memutuskan warna atau tema apa yang harus digunakan. Lagipula, kau tidak akan mendekorasi kamar anakku."

Seperti biasa, Mikoto mengabaikan putranya dan beralih ke menantunya. "Jadi bisakah aku datang untuk menontonmu bernyanyi malam ini? Itu akan menyenangkan!"

Sakura mengangguk. "Tentu. Kau bisa pergi ke festival bersamaku."

"Tidak, Sayang," sela Sasuke. "Aku yang akan mengantarnya. Lagipula aku belum menontonmu bernyanyi akhir-akhir ini. Akan menyenangkan melihatmu melakukan hobimu sekali lagi sebelum kau tidak bisa melihat kakimu sendiri."

Mikoto tersenyum senang. Putranya mengajaknya berkencan!

***

Tidak terasa, Minggu telah tiba dan Mikoto harus kembali ke Hokkaido. Wanita paruh baya itu telah menghabiskan sekitar $250 untuk membeli pakaian dan mainan bayi. Ketika Sasuke dan Sakura memperhatikan taksi yang membawa Mikoto menghilang di belokan, Sakura menghela napas dan bersandar ke lengan suaminya.

"Ini melelahkan, Sayang," ucap Sakura.

"Aku tahu... shit, aku tahu. Tolong katakan padaku dia tidak akan berkunjung lagi sampai anak kita setidaknya berusia lima tahun."

Sakura terkikik ketika mereka berjalan kembali ke dalam rumah dan Sasuke menutup pintu. "Tapi dia akan menjadi nenek yang luar biasa, Sasuke-kun, tidak bisakah kau mengakuinya?"

Sasuke mengangkat bahu. "Dia bukan ibu yang buruk. Dia harus mendapatkan penghargaan karena membiarkanku tumbuh tanpa mengirimku ke sekolah militer. Jadi ya, dia sepertinya akan memberikan apa saja untuk bayi kita setiap kali dia melihatnya."

Membuka kulkas, Sasuke mengambil soda dan membuka bagian atas kaleng. Sambil minum, ia melirik Sakura. Wanita itu menatapnya dengan ragu-ragu, menggigit bibir.

"Apa?" tanya Sasuke, bingung dengan tatapan istrinya.

"Aku..." Sakura mulai melangkah ke arah Sasuke, "...kita begitu menahan diri enam hari terakhir ini." Ia mengusap perut Sasuke, menyelipkan jari-jarinya di celana pria itu dan berjinjit untuk menekankan bibirnya ke leher suaminya. "Dan sekarang..." Ia menambahkan ketika ia menurunkan ritsleting suaminya, "...kurasa kau perlu membuatku menjerit."

Sasuke mengerang. Versi Sakura yang selalu terangsang ini adalah sesuatu yang ingin ia pertahankan lama setelah bayi mereka lahir. Tentu, ia selalu mencintai seks tapi Sakura yang ini? Sakura yang ini tidak bisa menahan pantat panasnya dan Sasuke menyukainya. Mengangkat Sakura, Sasuke membaringkan istrinya di sofa dan membuka dressnya, dengan cepat melemparnya ke lantai. Sambil berlutut, ia mencium perut Sakura dengan lembut sebelum menarik celana dalam istrinya dan melebarkan paha istrinya. Sasuke menatap Sakura, saling bertemu mata, dan menjilat bibirnya dengan sugestif. Sakura bergidik mengantisipasi dan Sasuke menundukkan kepalanya, menjilati lipatan diantara paha istrinya. Ketika jari-jari Sakura meremas rambut hitamnya dengan erat, Sasuke menyeringai. Saatnya menebus seks enam hari yang sunyi, membosankan, dan tertahan.

***

Pada Sabtu pagi yang cerah di awal September, Sakura dan Ino bertemu di pusat kota Kagoshima untuk berbelanja dan bersenang-senang, sementara Sasuke dan Sasori pergi bermain golf. Ino sedang mencari gaun yang sempurna untuk pernikahannya yang akan datang, pernikahan sederhana dengan Sasori pada awal November.

Ketika mereka memasuki toko pakaian, Sakura dengan penuh kerinduan memandangi semua gaun indah yang tidak lagi pas dengan tubuhnya yang masih bugar tapi semakin besar.

Ino berkeliaran ke rak-rak, merenungkan apa yang paling cocok dengan tipe tubuhnya, sedangkan mata Sakura menyapu deretan gaun, menilai dan menganalisis gaun terbaik untuk Ino.

"Katakan lagi, Pig, kenapa kau tidak mau memakai gaun putih?" Sakura memandangi sebuah gaun putih indah yang tergantung di ujung rak.

Ino melirik gaun yang dipandangi Sakura dan memutar matanya. "Karena kami tidak menikah di gereja, aku bukan perawan, dan aku terlihat konyol dengan gaun putih."

"Aku menikah memakai gaun putih," ucap Sakura. "Dan aku juga bukan perawan! Dan gaun putih akan terlihat cantik dengan warna kulitmu."

Ino menarik gaun berwarna kuning pucat dari rak dan memperhatikan dari atas ke bawah sebelum bergumam 'ew' dan meletakkannya kembali ke rak. "Ya, tapi kau punya tubuh yang sempurna dan tampak luar biasa dengan semua yang kau kenakan. Sedangkan aku hanya akan terlihat bodoh dalam warna putih. Dan selain itu, kami benar-benar hanya mengundang sekitar dua puluh orang. Aku tidak ingin menghabiskan banyak uang. Dan gaun putih hanya akan membuat Sasori panik dan kau tahu betapa gugupnya dia dengan pernikahan ini."

Sakura mengangguk, tahu persis apa yang Ino bicarakan. Ia tersenyum ketika ia ingat bagaimana Ino mengatur kencan antara dirinya dan Sasori lima tahun lalu. Tapi Sasori tidak pernah bisa menandingi Sasuke, jadi ia dan Sasori tidak pernah lebih dari sekedar teman. Ino dan Sasori dekat sejak di pernikahan Sakura dan Sasuke, dan kurang dari enam bulan kemudian, Ino memutuskan untuk pindah dari Hakodate ke Kagoshima untuk menemani Sasori, meskipun butuh tiga tahun lagi untuk pria itu melamar Ino.

Ino menggeser gaun-gaun di rak, mengeluh tentang kain yang mengerikan dan menggerutu pelan selama beberapa menit. Sakura meraih gaun merah yang ia tahu akan membuat Sasuke berlutut jika ia memakainya, tapi kemudian dengan sedih melirik perutnya yang menonjol. Sambil meletakkan tangannya di perutnya, ia dengan lembut berbisik, "Ayahmu akan senang melihatku memakai gaun ini sehingga dia bisa merobeknya dari tubuhku." Sambil mendesah sedih, ia meletakkannya kembali di rak dan tangannya tak sengaja menyentuh gaun yang tidak ia perhatikan sebelumnya. Menariknya dari rak, ia melihatnya dengan hati-hati.

"Pig," panggil Sakura, matanya menyapu gaun silver itu, "Bagaimana dengan yang ini?"

Ino mendongak dari gaun hijau yang dipegangnya dan mulutnya ternganga. Ia dengan cepat berjalan ke arah Sakura dan meraih gaun itu. Matanya berbinar. "Ini dia, Forehead. Ini!"

Sakura memperhatikan Ino berjalan cepat ke ruang ganti dan ketika si pirang itu muncul kembali beberapa menit kemudian, Sakura menahan napas.

"Oh, Pig," desak Sakura. "Itu benar-benar cantik. Sasori akan mati. Kau harus membeli gaun ini."

Ino mengangguk, tapi matanya melebar dan ragu-ragu. "Forehead, bisakah kau ke sini dan melihat harganya untukku? Aku belum melihatnya dan terus terang, aku tidak mau. Lihat saja... dan aku akan tahu dari matamu apa yang sedang aku hadapi."

Sambil tertawa, Sakura berjalan ke arah Ino dan mengangkat label dari bahan yang lembut itu. Matanya sedikit melotot dan ia menelan ludah sebelum bertemu dengan mata Ino.

"Oh, sial, ini gila, bukan?" Ino menggigit bibir bawahnya ketika Sakura mengangguk setuju, matanya penuh penyesalan.

Sambil menghela napas, Ino menutup matanya. "Aku tidak peduli. Ini cantik dan aku tetap akan membelinya... Ini sepadan dengan harganya." Tidak yakin dengan pernyataan terakhirnya, Ino menambahkan, "Benar, kan?"

Sakura memeluk Ino dengan erat. "Tentu saja. Kau akan menjadi pengantin yang cantik."

***

Selasa sore, Sakura membersihkan rak-rak di ruang tamu dan berbagai barang-barang ketika ia menemukan sekotak kenangan keluarga. Di dalamnya ada DVD dari banyak video yang diambil ayahnya selama liburan mereka. Tiba-tiba ia mendapati dirinya duduk di sofa, mengenang saat-saat dari masa kecilnya yang bahagia, yang akhirnya membuatnya menangis sesenggukan.

Ketika Sasuke melangkah masuk ke rumah sepulang dari bekerja, ia menemukan Sakura duduk di sofa, dengan sekotak tisu di pangkuannya, dan air mata di pipinya. Sakura menekan 'jeda' pada remote dan tersenyum pada suaminya.

"Sayang?" Sasuke mencoba untuk tidak terlalu khawatir karena istrinya, bagaimanapun, hamil 24 minggu dan biasanya memiliki dua suasana hati yang berbeda—sedih dan terangsang—tapi tetap saja, tangisan istrinya yang ini terasa berbeda. Berjalan ke sofa, ia duduk dan menarik Sakura ke pelukannya. Ia mengecup kening Sakura, memeluknya, dan bertanya, "Ada apa?" ke rambut istrinya. Ketika ia melirik televisi dan menyadari bahwa istrinya menonton video keluarga lama. Itu cukup menjelaskan semuanya.

Sakura menoleh ke arah layar, matanya menatap sosok ayahnya yang tersenyum dengan Sakura kecil di lengannya. "Aku merindukan Ayahku."

Sasuke memeluk Sakura lebih erat, tidak yakin harus berkata apa. Setiap tahun, pada hari peringatan kematian ayahnya, Sakura akan menjadi sangat emosional. Sakura dan ibunya akan berkomunikasi di telepon dan berbicara tentang sosok ayah yang meninggalkan mereka dan kemudian akan menangis, dan mengenang. Setelah menutup telepon, Sakura selalu ingin Sasuke memeluknya sampai ia tertidur, seperti yang pria itu lakukan dulu pada beberapa hari setelah kematian ayahnya.

"Aku tahu sudah bertahun-tahun sejak dia pergi... tapi rasanya masih seperti kemarin dan aku masih ingat bagaimana dia berusaha melawan kankernya begitu keras dan seberapa besar dia mempercayaiku. Dan aku masih ingat ketika kita pulang untuk hari pemakamannya... Dan bagaimana kau memelukku dan menemaniku dan aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati itu tanpa dirimu. Tapi sekarang, kita akan menjadi orang tua dan..." Air mata mengalir di pipi Sakura dan Sasuke cepat-cepat menyapunya dengan ibu jarinya, "...dan dia tidak akan ada di sini. Dia tidak akan pernah bertemu cucunya."

Sakura terisak. Sasuke benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, merasa tidak berdaya bahwa ia tidak bisa menghilangkan rasa sakit istrinya. Sebagai gantinya, ia hanya mengusap-ngusap lengan istrinya dengan kuat sampai Sakura tenang kembali.

Sakura mendongak dan bertemu mata dengan Sasuke, ia tersenyum. "Maaf, Sasuke-kun. Aku tahu hal-hal menangis seperti ini membuatmu bingung."

Sasuke mencium Sakura dengan cepat dan berkata, "Tidak apa-apa, Sayang. Aku tahu hal seperti ini akan terjadi. Dan aku tahu sulit bagimu untuk memikirkan dia tanpa merindukannya. Tapi ayahmu akan berada di sini untuk kelahiran sosok baru, kau tahu dia pergi untuk digantikan dengan manusia baru. Jadi jika anak kita lahir, itu seperti ayahmu juga akan ada di sini, apalagi ingatan tentang dia akan selalu hidup di hatimu dan ibumu. Dan kau harus menceritakan pada putri kita semua tentang kakeknya."

Sakura mengangguk, tahu bahwa suaminya benar. Merasa rileks dari beban emosinya, ia menyandarkan kepalanya ke bahu Sasuke dan menutup matanya, menghirup aroma tubuh suaminya yang menenangkan.

Sasuke mencium Sakura lagi, "Jadi tidak ada lagi air mata, oke?"

"Oke," ucap Sakura lembut.

"Bagus." Sasuke menurunkan Sakura dari pangkuannya dan kemudian berdiri. "Ayo pergi ke Applebee's, Sayang, aku kelaparan dan mereka punya menu baru. Aku melihatnya di iklan ketika aku menonton Sports Center."

Meraih tangan suaminya, Sakura tersenyum lebar ketika perutnya bergemuruh. Applebee terdengar lezat!

***

Beberapa hari kemudian, Sakura tampak jauh lebih baik ketika Sasuke pulang kerja. Wanita itu menciumnya dengan panas ketika ia baru melangkah masuk ke rumah sehingga ia tahu ia akan beruntung nanti. Begitu ia mengganti pakaian kerjanya dengan celana piyama dan kaos, ia meletakkan kertas-kertas di atas meja dan mencoba fokus pada pekerjaannya sementara Sakura membuat makan malam dan bersenandung dengan lembut.

Sasuke sibuk berkonsentrasi pada kertas di depannya ketika suara Sakura memecah keheningan rumah. "Sasuke-kun, bagaimana menurutmu tentang kelas pengasuhan?"

Sasuke mendongak dari kertasnya cukup lama dan mengerutkan alisnya. "Kelas pengasuhan anak?"

Sakura berjalan menghampiri Sasuke, menjatuhkan pamflet dari rumah sakit di depan suaminya. Sasuke membalik-balik pamflet itu, matanya meneliti kata-kata seperti 'menyusui' dan 'kelahiran normal', sebelum ia bergidik dan melemparkannya ke atas meja, menyilangkan lengannya. "Fuck, Sayang, untuk apa kita perlu kelas pengasuhan? Kita akan menjadi orangtua yang luar biasa. Orang-orang itu tidak bisa mengajari kita apa-apa!"

Menghentakkan kakinya, Sakura menyilangkan lengannya sendiri. "Uchiha Sasuke, pertama, kau harus segera belajar membersihkan mulutmu. Aku sudah mentolerir umpatanmu selama bertahun-tahun karena... well... itu bagian dari dirimu. Tapi, kau akan menjadi ayah bagi seorang gadis kecil dan aku tidak mau gadis kecilku suatu saat nanti melemparkan botol susunya padaku dan berkata 'Fuck, Mama, aku butuh lebih banyak susu' ketika dia berumur dua tahun!"

Wajah Sasuke tampak syok sesaat sebelum akhirnya ia tertawa. Sakura tidak pernah mengumpat. Terlepas dari kecenderungannya yang sering mengumpat berlebihan, istrinya itu tidak pernah tertanggu. Mendengarkan Sakura mengumpat, bahkan hanya sedikit, selalu membuatnya terangsang.

Sakura berkacak pinggang, memelototi Sasuke, sementara suaminya itu tertawa sampai wajahnya merah. "Aku sungguh berharap kau setuju bahwa kelas pengasuhan anak ini sangat bermanfaat. Apalagi aku tidak pernah tahu bagaimana mengganti popok sepanjang hidupku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Jadi..." Ia menatap tajam pada Sasuke, meraih pamflet. "Aku mendaftarkan kita untuk kelas ini. Kau tidak punya pilihan."

Sasuke memperhatikan Sakura saat wanita itu berbalik dan melangkah kembali ke dapur, mengagumi tampilan istrinya dari belakang. Shit, ia butuh kelas pengasuhan. Ia ingin menjadi ayah yang tangguh dan hebat. Ia mengerutkan alisnya, menghela napas dan berdiri. Saatnya meminta maaf pada istrinya dan bertingkah bersemangat untuk mengikuti kelas pengasuhan... jam 8 pagi... pada hari Sabtu yang sial.

Sasuke mengambil pamflet dari tangan Sakura lagi dan membukanya kembali. "Kau akan menyusui, Saku?"

Sakura mengeluarkan lasagna dari oven dan meletakkannya di atas meja. "Itu rencananya, Sasuke-kun, kenapa?"

Mata Sasuke bergerak ke garis payudara Sakura yang sudah lebih menonjol. "Kurasa aku bisa menontonnya."

"Sasuke-kun, aku akan memberi makan putri kita. Kau tidak akan tahan melihatku ketika aku memberinya makan, aku yakin!" Dengan ekspresi jijik di wajahnya, Sakura menambahkan, "Kau selalu begitu... seksual."

Sasuke mendengus, berjalan ke belakang Sakura untuk bergesekan dengan istrinya, membiarkan istrinya merasakan gairahnya dibalik bahan tipis celananya. Sakura bergidik ketika tangan Sasuke meluncur untuk menangkup payudaranya. "Sayang, ini payudara. Dan ini payudaramu, yang merupakan kesukaanku di planet ini. Aku akan suka menontonnya."

Sasuke memutar tubuh Sakura dan mendudukkannya di atas meja, membuka baju Sakura untuk menggigit putingnya. Sakura mengerang ketika Sasuke melangkah pergi untuk menyingkirkan lasagna kembali ke oven agar tetap hangat. Ketika ia kembali menghampiri Sakura, tangannya menghilang di bawah rok istrinya dan Sakura lupa semua tentang betapa sulitnya mengajak Sasuke untuk mengikuti kelas pengasuhan.

***

Sakura sedang duduk di sofa, membalik-balik katalog perabotan kamar anak-anak, ketika telepon berdering. Menyadari nomor siapa itu, ia tersenyum ketika ia menjawabnya. "Hei, Pig. Ada apa?"

Di ujung telepon, Ino terdengar bersemangat. "Apa kau sudah menerima surat hari ini?"

"Aku yakin ada di kotak surat di depan rumah sekarang. Sasuke selalu mengambilnya ketika dia pulang bekerja. Kenapa?"

"Ambil suratnya, Forehead! Sekarang!"

Urgensi dalam suara Ino mendorong Sakura bangkit dari sofa. Tanpa alas kaki, ia berjalan ke depan pagar rumah menuju kotak surat. Ketika ia membuka kotak itu dan mengeluarkan setumpuk surat, matanya jatuh ke kartu pos merah dan putih dengan logo sekolahnya terpampang di atasnya. Membalik-baliknya, ia membaca, "Dengan hormat Anda diundang untuk menghadiri Reuni Hakodate High School pada hari Sabtu, 7 Oktober, pada jam 19:30. Sebagai alumni siswa dari Senju Tsunade, kehadiran Anda sangat diharapkan karena dia akan merasa terhormat setelah menerima Penghargaan sebagai Teacher of the Year Hakodate. Silakan bergabung dengan pesta kami di gym."

"Kau akan datang, kan?" Ino menjerit penuh semangat.

Sakura berpikir sejenak. "Well, aku akan..." Ia menghitung di dalam kepalanya, "...aku akan hamil 28 minggu, jadi aku mungkin baik-baik saja untuk melakukan perjalanan. Tapi aku tidak tahu, Pig... Apa kau akan datang?"

"Tentu saja!" seru Ino di telepon. "Aku sudah dua tahun tidak bertemu Chouji dan yang lainnya lebih lama lagi. Uchiha Sakura, kau harus ke Hakodate bersamaku!"

Sakura tertawa di telepon. "Baiklah, aku akan berbicara dengan Sasuke malam ini dan aku akan meneleponmu kembali. Akan menyenangkan untuk bertemu orang-orang disana lagi." Tangannya meluncur turun ke perutnya dan ia mengusap perutnya. "Aku belum pernah bertemu mereka selama hampir satu dekade. Aku kehilangan kontak dengan teman-teman disana bertahun-tahun yang lalu dan kau tahu bahwa Sasuke juga tidak pernah berkomunikasi dengan siapa pun di sana."

"Kau harus datang," perintah Ino lagi untuk klarifikasi.

"Oke, oke... biarkan aku bicara dengan Sasuke!"

Beberapa jam kemudian, ketika Sasuke yang tampak sangat lelah berjalan ke dalam rumah dan melepas sepatunya, Sakura mengulurkan surat ke tangan suaminya. Mata Sasuke membaca kartu yang mengkilap itu dengan penuh minat, lalu ia mengangkat kepalanya dan bertemu dengan tatapan Sakura, ada kilat di matanya. "Kau tahu kita harus datang, kan?"

Sakura segera memeluk leher Sasuke. Sasuke balas memeluk wanita itu, menciumnya, dan memukul pantatnya ketika ia mendudukkan istrinya.

"Hubungi ibumu. Katakan padanya kita akan menginap disana. Kita menginap di rumah ibuku terakhir kali dan shit, kita baru beberapa hari kemarin bertemu dengannya. Jika aku berbagi ruang dengannya lagi terlalu cepat, dia mungkin bangun dalam keadaan tercekik."

Sakura menjerit bahagia karena membayangkan tidur di ranjang masa kecilnya. Ia segera menghubungi ibunya dan kemudian menghubungi Ino. Begitu rencana tentatif dibuat bersama Sasori dan Ino agar mereka berempat bisa terbang bersama ke Hokkaido, Sakura dan Sasuke akhirnya duduk di meja makan untuk makan malam.

"Kau tahu," ucap Sakura memulai ketika ia mencelupkan sepotong rotinya ke dalam minyak zaitun, "Akan sangat menyenangkan bertemu semua orang lagi. Maksudku, Tenten, Chouji, Karin... Aku ingin tahu apa yang terjadi pada mereka selama bertahun-tahun ini."

Sasuke mengunyah makanannya. "Kau tahu, mereka akan terkejut ketika tahu kita menikah, kan?"

Sakura tersenyum bahagia, matanya berkedip. "Aku tahu. Dan dalam empat minggu lagi, saat reuni, si kecil ini benar-benar akan membuat perutku menonjol."

Sasuke bersandar di kursinya, terkekeh. "Oh, shit, Sayang, mereka akan memiliki angan-angan aneh ketika mereka tahu tentang kita." Ia berpikir sejenak dan kemudian menambahkan, "Aku ingin tahu apakah Naruto akan memukulku."

Sakura ternganga. "Kenapa dia harus memukulmu?"

"Karena kau dulu adalah pacarnya. Dia mungkin menghabiskan sisa masa sekolah menyesali betapa buruknya dia karena mengacaukan segalanya. Dia dulu sering mengeluh padaku tentang bagaimana dia mengacaukan hidupnya. Fuck, Saku, kau pikir dia tidak akan terkejut ketika dia tahu bahwa aku adalah suamimu? Laki-laki yang pernah meniduri Hinata, pacarnya, dan sekarang menjadi suamimu, mantan pacarnya?"

Sakura mengerang. "Tapi sekarang kau bukan laki-laki brengsek seperti itu lagi, Sasuke-kun. Kau adalah pria yang fokus mengejar pendidikanmu saat di perguruan tinggi hingga mendapatkan pekerjaan yang bagus. Dan kau adalah pria yang kucintai..."

Sasuke menggerutu. "Ya, dan aku hampir mengacaukan semuanya juga. Shit, Saku. Beberapa hari saat itu, aku masih berpikir kau sudah gila karena mencintaiku."

Sakura berdiri, berjalan menghampiri Sasuke, dan duduk di pangkuan suaminya. Ia mencium ujung hidung Sasuke dan melingkarkan lengannya di leher pria itu. "Sasuke-kun, aku selalu gila... jika itu tentangmu, dan aku yakin itu juga salah satu karakteristik yang kau sukai tentangku."

Sasuke terkekeh, mengangguk setuju. Kemudian matanya tertuju pada mata Sakura, ia menatap ke kedalaman mata hijau istrinya itu. Menyingkirkan helai rambut dari wajah Sakura, ia memiringkan kepalanya dan mencium wanita itu. "Aku tidak akan mempertanyakan betapa beruntungnya aku karena kau tidak hanya mencintaiku tapi juga memaafkanku setelah aku mengacaukan semuanya dan kemudian setuju menikah denganku dan sekarang kau mengandung bayiku. Shit, Sayang... aku tidak sabar untuk membawa pantat panasmu kembali ke Hakodate, dan menunjukkan pada semua orang bahwa Uchiha Sasuke adalah salah satu bajingan beruntung karena dia memiliki Uchiha Sakura di sisinya."

Sasuke meletakkan tangannya di perut Sakura dan mengusapnya sejenak. Melirik ke meja, ia menurunkan Sakura dari pangkuannya dan memerintahkan istrinya untuk memberi makan putri mereka. Sakura duduk kembali di kursinya sendiri dan Sasuke tersenyum ketika ia memperhatikan istrinya makan. Tidak, Uchiha Sasuke yang ada di Hakodate hanyalah seorang remaja laki-laki yang melakukan banyak kesalahan. Tunggu sampai mereka melihat Uchiha Sasuke yang ini.

***
To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)