Chapter 19 - Talk You Down
Sakura merasa sangat sulit untuk memusatkan dirinya saat ia duduk di atas matras yoga pada hari Rabu pagi, tiga hari setelah Sasuke muncul dengan membawa makanan Applebee, dan mengakui bahwa pemuda itu mencintainya, dan kemudian menghabiskan waktu bersama di sofa. Ia terus mengambil napas dalam-dalam dengan mata terpejam, tapi berkat bass berdentum yang datang langsung dari lantai atas, satu-satunya pemusatan yang ia lakukan adalah membayangkan dirinya menghambur ke atas dan menendangkan kakinya ke tengah-tengah pantat Sasuke.
Ketika ia mendengar piring-piring di dapurnya bergetar dari hentakan yang bergema dari lantai atas, Sakura menyingkirkan rambut dari wajahnya dan bangkit dari matras. Meraih kuncir rambutnya, ia mengikat rambutnya ke belakang, memakai sandal jepit, dan bergegas keluar dari apartemennya.
Sambil berlari menaiki tangga, Sakura memasang ekspresi dengan tatapan penuh tekad sebelum ia berhenti di depan pintu Sasuke dan mulai menggedor. Ia mendengar volume stereo mengecil dan kemudian pintu tersentak terbuka. Mulutnya terbuka dan kemudian tertutup, tidak ada kata-kata yang keluar, ketika ia menatap dada Sasuke yang bidang, bertelanjang dada, berkeringat.
"Hei, Sakura," Sasuke menyeringai, memperhatikan mata Sakura ketika gadis itu dengan jelas melirik dada dan perutnya yang luar biasa. Dia mungkin tidak siap untuk membicarakannya tapi... yeah... dia masih menginginkanku.
Sakura menyentakkan kepalanya ke arah wajah Sasuke, menarik matanya menjauh dari fisik pemuda itu yang spektakuler. Ya, dia menawan. Dia selalu menawan. Tapi abaikan saja... kau datang ke sini untuk ceramah, bukan untuk bernafsu. Ia memelototi wajah Sasuke dan memulai pidatonya.
"Uchiha Sasuke, hormati tetanggamu, yaitu aku! Musik mengerikanmu ini mengganggu. Dan bagaimana jika ada tetangga yang bekerja shift ketiga yang sedang tidur sekarang? Kau mengganggu istirahat mereka dan shift ketiga secara fisik sangat melelahkan! Beri beberapa rasa hormat! Dan aku tidak bisa berkonsentrasi pada yogaku karena ini... ini... bisa membuat pendarahan telinga!"
Sasuke menyilangkan lengan di atas dada telanjangnya dan bersandar pada kusen pintu, tersenyum pada Sakura dengan seringai miring. Ia benar-benar terhibur.
"Kau sudah selesai?" tanya Sasuke dengan manis, menatap bagaimana rambut Sakura yang di kuncir ceroboh. Gadis itu mengenakan celana pendek tipis yang hampir tidak mencapai bagian atas pahanya dan tank top putih. Bra merah mudanya terlihat di balik bahan tipis itu dan ia berjuang untuk menjaga matanya. Yang ia tidak butuhkan pada saat ini adalah tertangkap basah sedang 'mengobjektifikasi' gadis itu karena dengan begitu Sakura akan benar-benar menendang pantatnya.
"Ya, Sasuke, kurasa begitu. Tolong kecilkan musiknya?"
"Tentu saja, Saku."
Sakura berjalan pergi tapi Sasuke tidak rela gadis itu pergi. "Hei, Saku..."
Sambil mendesah, Sakura berbalik dan memelototi Sasuke. Sasuke berpikir cepat, menyadari bahwa ia telah memanggil nama Sakura tapi tidak benar-benar memutuskan apa yang akan ia katakan. Katakan apa saja untuk membuatnya tetap di sini! "Besok aku ada wawancara kerja. Semoga aku beruntung?"
"Aku senang melihatmu begitu cepat mencari kerja. Apa di salah satu rumah sakit?" Sakura bersandar di pegangan tangga. Sasuke tidak bisa untuk tidak memperhatikan bagaimana pantat Sakura terlihat dari samping, sial. Melawan keinginan untuk menghampiri Sakura dan menggerakkan jari-jarinya di sana, ia fokus pada percakapan.
"Tidak. Ini di sebuah kantor terapi fisik dekat pusat kota. Kuharap aku diterima. Aku perlu mencari uang... dan cepat. Pindah ke sini membuat uangku menipis."
Sakura menatap Sasuke tajam. "Well, tidak ada yang menyuruhmu pindah ke sini, Sasuke. Dan aku tahu persis betapa mahalnya untuk pindah ke sini. Kau tidak perlu mengingatkanku." Ia berkacak pinggang ketika ia menatap Sasuke dengan keras kepala. Mata Sasuke bergerak ke bawah pada kulit pinggul Sakura yang terlihat. Secara naluriah, ia menjilat bibirnya. Sial, aku menginginkannya...
"Aku tahu aku tidak dipaksa untuk pindah ke sini, Saku. Well, sebenarnya... aku sedikit terpaksa." Sasuke balas menatap Sakura. "Kaulah alasan aku di sini... mungkin aku harus memberimu bayaran?" Senyum tersungging di bibirnya ketika ia melihat wajah Sakura memerah. Ia tahu ia melangkah lebih jauh daripada seharusnya karena sifat lemah dari hubungan mereka tapi terus terang, ia siap untuk menekan beberapa 'tombol' Sakura. Oke, aku ingin menekan semua tombolnya dalam arti literal. Ia mengakui tiga hari sebelumnya bahwa ia mencintai gadis itu. Sakura terkejut dan menangis tapi tidak mengatakan padanya bahwa gadis itu merasakan hal yang sama. Sejak itu, pertemuan mereka berlangsung singkat tapi tentang cintanya tidak disebutkan lagi. Ia benar-benar gugup, takut ia tidak akan pernah memenangkan hati Sakura. Ia harus berhenti memperlakukan Sakura seperti boneka yang bisa pecah dan menekan gadis itu sedikit. Ia harus terus-menerus mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia mengenal gadis ini dengan sangat baik. Ia tahu apa yang berhasil dengan Sakura dan apa yang tidak. Berada di sekeliling Sakura selamanya tidak akan memenangkan gadis itu kembali. Haruno Sakura adalah kepribadian yang kuat dan ia harus mencocokkan semangatnya jika ia ingin menjadikan Sakura miliknya.
"Aku pergi sekarang, Sasuke. Pernyataan bodohmu gagal mendapat jawaban." Sakura hampir sampai di tangga sebelum ia berbalik lagi. "Dan semoga berhasil untuk wawancaramu." Sambil tersenyum cepat, ia berjalan menuruni tangga.
Sasuke masuk ke dalam apartemennya, memikirkan Sakura, dan fakta bahwa mereka baru saja berhasil melakukan percakapan yang sopan. Kemudian pikirannya bergerak ke cara pantat Sakura di balik celana pendek kecil yang tipis itu. Mengerang dengan frustrasi, ia bergegas bersiap-siap untuk wawancara dengan mandi air yang sangat dingin.
***
Sasuke menyelesaikan wawancara. Hampir. Ia sedikit goyah ketika mereka menanyakan alasannya pindah dari Sapporo ke Kagoshima. Uh... Aku bertunangan dengan seorang gadis tapi kemudian berhubungan seks dengan sahabatku dan kemudian dia marah dan pergi dan kemudian aku menyadari bahwa aku mencintainya dan akhirnya aku tahu dia ada di Kagoshima jadi di sinilah aku! Uh... ya. TIDAK. Berpikir cepat, ia memberitahu mereka bahwa ia punya teman di Kagoshima yang membutuhkannya dan ia terpaksa pindah. Pewawancara tampak terkesan dan Sasuke memberikan senyum seksi pada pewawancara itu.
Ketika ia pergi, ia merasa cukup positif tentang semuanya. Mereka mengatakan padanya bahwa suatu keputusan akan dibuat relatif cepat sehingga ia akan mendengar hasilnya paling lambat pada akhir minggu.
Ia tidak perlu menunggu lama. Ia mendapat telepon dengan tawaran pekerjaan di sore harinya, dan uang jauh lebih banyak dari yang pernah ia dapatkan di Sapporo, itu sudah pasti, dan ia dengan senang hati menerimanya. Merasa bersemangat, ia menuruni tangga ke apartemen Sakura dan mengetuk pintu.
Sakura membuka pintu dengan ponsel menempel di telinganya. Ia mengerutkan alisnya ke arah Sasuke, sebelum memberi isyarat pada pemuda itu untuk masuk.
"Ya, Kaasan, aku akan senang jika kau bisa datang kesini. Beritahu saja kapan kau akan datang, aku pasti akan memesankanmu tiket."
Sasuke menjatuhkan diri ke sofa Sakura, meraih remote, dan menyalakan TV. Ia dengan cepat memalingkan muka sehingga Sakura tidak memberinya tatapan mematikan lagi. Ia berusaha untuk tetap berada di sisi baik gadis itu.
"Tidak, Kaasan... kau tidak perlu memesan hotel. Kau bisa tidur di apartemenku."
Atau dia bisa tidur di apartemenku dan aku akan tidur denganmu, pikir Sasuke dengan seringai.
"Oke, Kaasan... well, Sasuke ada di sini sekarang, jadi kurasa aku akan bicara dengannya sekarang..." Sakura terkekeh ke telepon dan melirik Sasuke sekilas. Sasuke merengut. Ibunya pasti berbicara omong kosong tentangku, aku tahu itu! "Tidak, Kaasan, kurasa kau tidak perlu melakukan itu. Aku seorang gadis dewasa dan aku dapat menangani diriku sendiri... Oke... Aku juga menyayangimu... Sampai jumpa."
Sakura mematikan teleponnya dan memandang Sasuke. "Halo, Sasuke. Apa yang bisa kubantu?"
"Hei Sayang... bagaimana kabar ibumu?" Sasuke memperhatikan Sakura menjadi kaku ketika ia memanggil gadis itu 'sayang'. Reaksi Sakura membuatnya merasa bersalah; ia pernah bisa dengan santai menggunakan istilah sayang itu dan gadis itu tidak pernah keberatan.
"Ibuku baik-baik saja. Dia akan datang ke Kagoshima akhir pekan depan! Aku sangat bersemangat!" Sakura masuk ke dapur untuk minum dan Sasuke mengawasi gadis itu ketika berjalan. Dia sangat cantik. Sial, aku ingin menyentuhnya.
Setelah minum, Sakura kembali. "Jadi... apa kau membutuhkan sesuatu, Sasuke?" Sakura bersandar di meja dapur. Sasuke bangkit dari sofa, mematikan televisi, dan bergabung dengan Sakura.
"Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku diterima bekerja! Dan pekerjaan ini menghasilkan lebih banyak uang daripada yang aku hasilkan di Sapporo!"
Sakura tersenyum pada Sasuke dan dengan tulus berkata, "Aku senang untukmu, Sasuke."
Sasuke bergeser, memasukkan tangannya ke saku. Sakura tahu itu menandakan bahwa pemuda itu gugup.
"Saku... aku akan memasak makan malam untuk merayakan ini. Apa... kau mau datang dan makan bersamaku?"
Sakura menghela napas. "Oh, Sasuke... Aku tidak—"
Sasuke menyela. "Tolong? Aku akan memohon jika aku harus. Kita belum menghabiskan waktu bersama dalam beberapa hari dan... aku ingin merayakan ini denganmu."
Menghela napas dengan mata tertutup, Sakura mengangguk. "Ya, Sasuke. Aku akan datang. Jam berapa?"
Sasuke menyeringai, sebelum melihat jam di microwave. "Bagaimana kalau jam 7? Aku harus pergi ke toko lebih dulu. Apa kau ingin sesuatu yang khusus untuk dimakan?"
"Tidak, tidak apa-apa. Aku yakin apa pun yang kau buat akan baik-baik saja."
Sasuke berjalan menuju pintu untuk pergi dan Sakura mengikutinya. Melirik ke belakang, Sasuke berkata, "Aku sedikit terkejut kau mau datang, Saku. Kurasa... well... kurasa kau tidak akan mau."
"Aku bisa penuh kejutan, Sasuke. Kau tahu itu..."
Mengangguk, Sasuke membuka pintu. "Sampai ketemu jam 7."
Sakura melambaikan jari-jarinya ke arah Sasuke dan menutup pintu. Menatap pintu itu, ia bertanya-tanya apakah ia baru saja membuat kesalahan. Ia tidak tahu mengapa ia setuju untuk makan malam bersama Sasuke... kecuali kenyataan bahwa Sasuke mengatakan bahwa pemuda itu mencintainya. Sebagian dari dirinya ingin melihat apakah itu benar karena sebagian besar dari dirinya tidak yakin bahwa ia bisa mempercayai Sasuke. Ya, Sasuke sudah mengatakan hal itu pada Ino dan mengakui itu di depannya. Tapi sepertinya... mustahil. Apalagi setelah semua yang mereka lalui. Gagasan bahwa Uchiha Sasuke mencintainya, bahkan ketika semua bukti menunjukkan fakta bahwa itu benar, sulit untuk membuat otaknya percaya.
Sakura berjalan kembali ke kamarnya dan membuka lemari pakaiannya. Apa yang akan kupakai? Ia membolak-balik beberapa dress, menarik beberapa rok, dan mengamati beberapa kemeja. Apa aku harus berdandan atau hanya memakai apa yang kumiliki? Sakura menatap langit-langit, mencoba mencari tahu apa yang harus dilakukan. Aku tidak ingin memberinya pandangan yang salah... Melihat ke bawah pada salah satu rok hitamnya, ia kemudian memandangi atasan biru cerah dengan garis leher rendah yang ia suka kenakan. Kurasa tampil cantik mungkin cara yang bagus untuk menyiksanya. Tersenyum licik pada dirinya sendiri, Sakura bergegas pergi mandi.
***
Sasuke berjalan ke dalam toko kelontong tanpa tujuan menatap sayuran, masih terkejut bahwa Sakura benar-benar setuju untuk makan malam bersamanya. Ia tahu Sakura akan mengatakan tidak jadi ia terpesona ketika gadis itu berkata ya. Rupanya, mengakui bahwa kau mencintai dia sedikit membantu.
Setelah menatap di rak daging cukup lama, Sasuke akhirnya memutuskan untuk membuat ayam Parmesan karena kedengarannya bagus dan ia memang kelaparan. Sebelum melangkah ke kasir, ia menyambar sebotol anggur.
***
Makan malam yang Sasuke buat sedang mendidih di atas kompor ketika ia pergi untuk berganti pakaian. Ia menatap pakaiannya, menimbang-nimbang apakah ia harus memakai celana panjang dan kemeja atau celana jeans dan kaos. Sambil menyeringai, ia meraih salah satu kaosnya yang sedikit ketat hingga menempel di otot biseps dan dadanya, serta celana jeans. Hanya untuk mengacaukan Sakura...
Sakura muncul tepat pada jam 7. Sasuke membuka pintu, matanya melotot ketika ia melihat gadis itu.
Uh, shit. Dia tampak seperti seks berjalan.
Sakura mengenakan atasan biru ketat yang bagian lehernya cukup rendah, Sasuke bersumpah, ia bisa dengan jelas melihat celah payudara Sakura dan bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ada kilauan di gundukan-gundukan kecil yang lezat itu. Sakura juga memakai rok ketat dan sandal bertali yang imut. Ia berada di surga-neraka sialan... Sakura tampak luar biasa, itu surga. Dan ia tahu Sakura tidak akan membiarkannya menyentuh gadis itu, itu neraka.
Sakura tersenyum malu-malu ketika ia memasuki apartemen Sasuke dan melihat sekeliling, berusaha keras untuk mengabaikan fakta bahwa kaos yang melekat erat pada otot-otot Sasuke bisa membuat mulutnya berair. Melirik ke sofa, ia menyadari bahwa sofa itu terlihat asing.
"Sofa baru?"
Sasuke mengangguk, berjalan kembali ke dapur. "Miyuki mengambil sofa itu ketika dia pindah. Jadi aku harus membeli yang baru." Ia langsung menyesal menyebutkan nama mantan tunangannya karena Sakura segera menjadi kaku, terlihat tidak nyaman.
Berbalik, Sasuke mengaduk saus tomat dan mengatur napasnya. Ia tidak tahu apa yang bisa ia katakan pada Sakura dan apa yang tidak beres. Tapi sial, Miyuki adalah bagian dari apa yang perlu mereka bicarakan. Ia mendengar Sakura menarik keluar salah satu kursi dan duduk di meja makan, menghadap Sasuke di dapur.
"Aku belum melihatmu memasak dalam waktu yang lama," ucap Sakura pelan. Sasuke tersenyum pada gadis itu dan mengaduk saus lagi.
"Aku benar-benar tidak sering memasak sejak aku di sini. Hanya... mencoba menyesuaikan diri."
"Iklim Kagoshima memang tidak biasa," ucap Sakura. "Ditambah lagi perbedaan zona waktu itu membingungkan pada awalnya."
Sasuke berbalik ke arah Sakura, meletakkan sendok di atas panci, dan bersandar di meja di belakangnya. Ia menguatkan telapak tangannya di tepi meja. "Bukan itu yang aku maksud. Menyesuaikan diri denganmu lagi... Itu yang aku maksud."
Sakura melihat ke bawah untuk sesaat dan kemudian kembali pada Sasuke, pipinya sedikit memerah. "Oh... well, aku tidak pernah menyangka kau ada di sini... mengingat aku pergi karena..." Ia berhenti, tidak cukup siap untuk terjun langsung ke topik patah hati dengan pria yang menyebabkan hal itu.
"Karena aku, aku tahu." Sasuke memperhatikan tangan Sakura memainkan kertas yang ia lempar dengan sembrono sebelumnya. Mata Sakura menelusuri kertas iklan itu saat gadis itu jelas-jelas berusaha mengalihkan perhatiannya sendiri dari percakapan. "Sakura?" Sasuke menyebut nama gadis itu dengan lembut. "Lihat aku."
Sakura mengangkat matanya dan Sasuke bisa melihat bahwa dua mata hijau itu berair.
"Saku... aku minta maaf. Aku tidak... aku..." Sasuke mengumpat, berusaha mencari tahu apa yang harus dikatakan. Akhirnya, setelah menutup matanya, ia menghela napas. "Aku tidak pernah bermaksud agar hal itu, semua itu terjadi. Aku tidak pernah, aku tidak..." Sasuke menarik napas, mengambil kata-kata yang tepat dan menekan kata-kata yang salah. "Aku tidak bermaksud menyakitimu."
Sakura menelan simpul yang terbentuk di tenggorokannya. Aku tahu datang ke sini adalah ide yang buruk. Ia tidak tahu harus berkata apa pada Sasuke. Ia masih memiliki banyak pertanyaan tanpa jawaban. Dan ia masih terlalu tidak nyaman untuk bertanya.
Sasuke menyaksikan kebingungan muncul di wajah Sakura. Ia tahu bahwa ketika mata Sakura menggelap, gadis itu biasanya sedang kesal dan frustrasi. "Saku... aku memang mencintaimu. Aku tahu kau mungkin tidak benar-benar mempercayainya, tapi... kepergianmu membuatku memikirkan banyak hal dan aku... aku minta maaf. Oke. Tapi aku mencintaimu dan aku bersungguh-sungguh. Aku harusnya menemukan jawabannya sejak lama..."
Sakura mengangguk, tidak berbicara. Aku mencintaimu juga. Aku punya cinta untukmu selamanya. Tapi kau menyakitiku dengan cara yang tak pernah bisa kubayangkan.
"Apa kau ingin mengatakan sesuatu?" tanya Sasuke. Apa kau masih mencintaiku?
"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa, Sasuke. Ada... ada banyak hal yang harus aku katakan. Banyak pertanyaan yang harus aku tanyakan. Banyak hal yang perlu aku pikirkan."
Sasuke mengangguk. "Aku tahu, Saku. Aku minta maaf karena kita sampai pada titik ini. Aku minta maaf kau harus pindah ke sini untuk..." Ia menelan ludah, "...untuk menjauh dariku." Melangkah menjauh dari meja kompor, ia berjalan mengitari meja makan hingga ia berdiri di belakang Sakura. Dengan tangannya di pinggul Sakura, ia memutar gadis itu untuk menghadapnya.
"Aku tidak tahu bagaimana memberitahumu seperti apa... rasanya saat tahu kau sudah pergi. Mengetahui bahwa kau tidak ingin ada hubungannya denganku. Mengetahui bahwa akulah alasan kau pergi."
Sasuke mencondongkan tubuh ke arah Sakura, mencoba membuat matanya bertemu dengan tatapan gadis itu.
"Aku berharap kau mau bicara denganku," desak Sasuke pelan. Tolong, Sakura. Katakan padaku apa yang terjadi di dalam kepalamu itu.
"Ketika aku siap, Sasuke... aku..." Sakura mendongak, matanya menoleh ke arah dapur ketika ia menghirup udara. "Apa ada yang terbakar?"
Sasuke menghirup aroma dan aroma itu menarik perhatiannya dari gadis mempesona di depannya. Ia berteriak, "Shit!" sebelum berlari ke dapur dan menarik ayam keluar dari kompor. Sambil menatap ke dalam panci, ia melirik ke bahunya dan dengan penuh kemenangan berkata pada Sakura, "Tidak terbakar! Masih baik-baik saja!"
Sakura tertawa dan memaksakan dirinya untuk mencoba rileks. Ia tahu bahwa ia dan Sasuke harus berbicara. Pemuda itu berniat melewati apa yang telah terjadi dan ia berharap pada akhirnya, ia juga bisa. Dan sisi yang masuk akal dari dirinya tahu bahwa percakapan tidak nyaman ini di mana perlu baginya untuk sembuh. Selain itu, Sasuke mengakui perasaannya lagi... dan kata-kata itu membuatnya kehilangan napas, jantungnya berdebar seperti kolibri yang baru saja pindah, dan perutnya sakit. Dia mencintaiku. Setelah semua ini... dia mencintaiku sekarang? Ketika aku masih belum memaafkannya atas apa yang terjadi... Sakura ingin lari ke lantai bawah dan menangis. Tapi ia juga tidak ingin meninggalkan tempat ia duduk sekarang, menatap profil samping Sasuke dan mengagumi garis rahang pemuda itu yang kuat ketika pemuda itu selesai memasak makan malam mereka.
Sasuke menaruh pasta ke dalam piring dan mulai menata makanan. Beberapa menit kemudian, ia tersenyum pada Sakura dan bertanya pada gadis itu apakah gadis itu ingin anggur.
Sakura tersenyum lebar. "Anggur? Aku bisa minum anggur!" Sambil meluncur dari kursi, Sakura berjalan ke dapur dan mengambil pembuka botol dari tangan Sasuke. Membuka anggur, ia menuangkannya ke dalam dua gelas. Sambil menyesap anggurnya, ia menutup matanya dan tersenyum. "Ini bagus."
Sasuke tersenyum pada reaksi Sakura. "Aku tahu."
Sasuke mengambil minuman dari gelasnya sendiri, memperhatikan Sakura. Sakura melirik ke sekeliling dapur, memeriksa makan malam mereka. "Apa kau membutuhkan bantuanku?"
"Tidak, Saku. Aku mengundangmu makan malam. Santai saja. Lagipula aku sudah selesai."
Mengangguk, Sakura membawa gelas anggurnya dan menuju ke ruang tamu untuk duduk di sofa Sasuke yang sedikit baru. Ia duduk, memperbaiki roknya di atas kakinya, dan kemudian menyilangkan pergelangan kakinya. Sasuke memperhatikan Sakura, dadanya penuh dengan ribuan hal yang ingin ia sampaikan dengan benar pada detik itu. Tapi ia tahu itu akan mengambil waktu yang lama, jadi ia menahan lidahnya. Sebagai gantinya, ia memperhatikan saat Sakura mengambil majalah Men's Health dan membalik-balik halamannya. Itu mengingatkan kembali akan seringnya ia menghabiskan waktu di kamar asrama Sakura dan membaca edisi terbaru Cosmo. Hal-hal kecil seperti itu, ingatan-ingatan kecil dan hampir tidak penting seperti itu, biasanya yang paling membuatnya merindukan Sakura. Mereka sudah begitu mendarah daging dalam kehidupan satu sama lain sebelum Miyuki, sebelum pernikahan, sebelum malam itu, sebelum semuanya berubah menjadi neraka. Dan sekarang setelah ia mendapatkan Sakura kembali dalam hidupnya, ia menginginkan Sakura benar-benar kembali dalam hidupnya.
Sakura merasakan mata Sasuke padanya ketika ia membaca sebuah artikel tentang pentingnya peregangan sebelum berolahraga (itu juga berlaku untuknya). Ia tahu betapa Sasuke sangat tidak nyaman. Sasuke ingin mengatakan lebih banyak hal dan ingin Sakura setidaknya memberinya gagasan tentang apa yang sebenarnya dipikirkan gadis itu. Sakura sangat terkoyak. Satu bagian dari dirinya ingin berteriak pada Sasuke dan bagian lain ingin Sasuke membelai tubuhnya seperti yang pemuda itu lakukan malam itu. Ini benar-benar meyakinkannya bahwa Sasuke masih bisa membuat sarafnya terbakar tanpa mencoba apapun.
Beberapa menit kemudian, Sasuke mengeluarkan ayam Parmesan dan salad dan memberi isyarat pada Sakura menuju meja ruang makan. Meraih gelas anggurnya, Sakura bergabung dengan Sasuke. Sasuke mengisi gelas Sakura lagi, menyerahkan segelas air es dan serbet, dan duduk di seberang meja dari gadis itu.
"Kuharap ini enak," ucap Sasuke saat Sakura menggigit makanan pertamanya. Ia menggigit, mengunyah, dan tersenyum di bawah tatapan Sasuke yang waspada.
"Ini enak."
"Bagus." Sasuke lega bahwa Sakura tidak memuntahkan makanannya dan ia fokus pada piringnya sendiri. Ia adalah koki yang benar-benar baik tapi sekaligus bisa menjadi koki yang benar-benar buruk, tidak ada jalan tengah ketika itu menyinggung bakat kulinernya.
Selain musik lembut yang berasal dari stereo Sasuke, mereka makan dalam keheningan. Sasuke berusaha sekuat tenaga untuk tidak menatap bibir Sakura ketika garpu meluncur keluar dari mulut gadis itu atau melihat rahang gadis itu bergerak naik dan turun ketika mengunyah. Siapa yang tahu bahwa makan bisa seseksi ini?
Ketika gelas anggur Sakura berkurang isinya lagi, Sasuke dengan cepat menambahkannya. Sakura tertawa, "Sasuke, apa kau mencoba membuatku mabuk? Kau tahu aku tidak bisa terlalu banyak!"
Sasuke menyeringai, duduk di kursinya. "Tidak mabuk, hanya 'sedikit' mabuk. Kau harus rileks."
Senyum Sakura berubah menjadi cemberut. "Aku rileks. Aku santai."
Sasuke mendengus. "Kau sama sekali tidak rileks. Kau mengetuk kakimu begitu keras hingga mejanya bergetar. Aku mengenalmu, Sakura. Kau tidak rileks."
Sial. Aku benci dia mengenalku dengan sangat baik. "Aku minta maaf, Sasuke. Aku mencoba untuk rileks. Tapi aku tidak nyaman..." Ia menjernihkan matanya, "...di sekitarmu."
Sasuke menarik napas, walaupun ia tahu itu benar, rasanya masih sakit.
"Saku, aku sedang mencoba. Aku tidak mencoba memaksakan diriku padamu atau apa pun. Aku mencoba memberimu ruang. Aku hanya... aku ingin berada di dekatmu." Sasuke menunduk di kursinya. "Aku merindukanmu."
"Sasuke... mengingat kau belum lama berada di sini dan aku masih menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa kau ada di sini, tolong beri aku waktu. Kapan aku siap berbicara, aku akan bicara. Sampai saat itu... tidak bisakah kita... hanya makan malam dan minum anggur?" Sakura bergeser di kursinya, sama sekali tidak nyaman karena ia tidak siap untuk menyediakan apa yang Sasuke butuhkan, yaitu dirinya.
Menghembuskan napas dan memasang wajah sedih, Sasuke berkata, "Baik." Ia mengambil garpunya kembali, menggigit, dan berkata, "Shit, setidaknya aku koki yang baik."
Sakura tertawa dan mengalihkan perhatiannya kembali ke piringnya. Ia berusaha sangat keras untuk tidak kesal atau marah. Ia harus melangkah hati-hati. Suatu hari, Sakura. Satu hari pada suatu waktu.
Sakura lega setelah bisa kembali ke apartemennya. Ada cegukan kecil tapi secara keseluruhan, itu adalah malam yang bagus. Namun, dada dan punggungnya sakit karena tekanan yang ia bawa di ototnya selama berjam-jam. Memutar kepalanya dan meregangkan lehernya, ia menanggalkan pakaian dan memakai gaun tidurnya. Sasuke sudah berusaha keras. Aku hanya perlu memberitahu dia masalahku tentang dia yang mengatakan bahwa aku adalah kesalahan dan kemudian mengabaikanku. ITULAH yang tidak bisa kulewati.
Berbaring, Sakura mengerang ketika otot-ototnya melepaskan ketegangan mereka. Semakin cepat ia dan Sasuke membicarakannya, semakin baik untuk mereka berdua. Dan kemudian ia harus mengatasi seluruh masalah 'cinta'. Ketika ia tertidur malam itu, ia punya satu pikiran; Sasuke, tolong jangan patahkan hatiku lagi. Aku rasa aku tidak akan bisa mengatasinya lagi.
***
Pada hari Minggu malam, beberapa jam setelah Sakura kembali dari pekerjaannya, ia terkejut ketika Sasori mampir ke apartemen dengan membawa pizza, bir (untuk Sasori sendiri), dan anggur (untuk Sakura).
Sakura dengan senang hati membiarkan Sasori masuk. "Sasori, untuk apa aku berhutang kehormatan ini? Ini hari Minggu malam!"
Sasori mengangkat bahu, menjatuhkan yang ia bawa di atas meja. "Aku tidak pernah tahu kapan Uchiha akan ada lagi. Aku terkejut melihat dia tidak ada di sini sekarang."
Sakura memutar matanya. "Aku makan malam di apartemennya malam itu, ya. Tapi tidak, dia tidak menghabiskan waktu di sini setiap hari. Kami belum sampai di tahap itu, Sasori."
"Aku tidak mengerti," gumam Sasori. "Kalian berdua membuatku lelah. Dia sibuk mengejarmu dan kau membuatnya tak berdaya. Dia pindah ke Kagoshima untukmu, Sakura. Dia bilang dia mencintaimu. Dia bilang dia menyesal. Apa lagi yang kau butuhkan?"
Sakura menatap Sasori, terkejut oleh ledakan pemuda di depannya. "Sasori... ada apa? Dan kenapa kau berpihak padanya?"
Sasori membuka tutup botol bir dan meneguknya. "Sial, Sakura. Kalian berdua ingin merobek pakaian masing-masing. Lewati saja omong kosongmu dan lakukanlah."
Sakura mencibir. "Sasori, aku yakinkan bahwa kami tidak ingin 'saling merobek pakaian satu sama lain'. Aku menyadari bahwa bagimu, aku mungkin terlihat keras kepala. Tapi kau tidak ada di sana ketika dia menghancurkan hatiku. Kau tidak ada di sana ketika dia mengatakan padaku bahwa tidur denganku adalah kesalahan dan memohon padaku untuk tidak memberitahu tunangannya! Kau tidak ada di sana ketika dia mengabaikan fakta bahwa aku sulit menghirup udara selama dua minggu yang menyakitkan. Perspektifmu, terus terang, masih miring."
Mengambil sedikit pizza-nya, Sasori mengamati Sakura. "Tidak, tapi aku sudah di sini sejak dia muncul tanpa terduga, memohon untuk berbicara denganmu. Aku melihatnya berdiri di luar pintu apartemenmu, berharap kau akan berbicara dengannya. Aku sudah mendengar kau mengatakan padaku bahwa dia berkata dia mencintaimu. Kau juga mencintainya, Sakura. Apa lagi yang kau butuhkan dari dia?"
Sambil mendesah, Sakura duduk di sofa. Sasori ada benarnya. Sasuke lebih berusaha sangat keras daripada aku. Tapi sekali lagi, aku bukan satu-satunya orang yang mengacaukan semuanya!
"Sasori, aku bisa berurusan dengan banyak hal sendiri. Aku benar-benar bisa melakukannya." Sakura melirik DVD yang Sasori bawa. "Tidak bisakah kita menonton film saja?"
Sasuke tidak yakin apa yang ia harapkan ketika ia mengetuk pintu Sakura. Tapi apa yang dilihatnya begitu Sakura membuka pintu adalah bahwa apartemen itu gelap, cahaya hanya berasal dari TV, dan pemuda berambut merah duduk di sofa dengan selimut di atasnya. Dan Sasuke dapat mengatakan bahwa Sakura duduk di dekat pemuda itu, atau mungkin dalam pelukan bajingan itu. Dan Sakura muncul dengan pakaiannya yang terlihat berantakan dan rambutnya sedikit acak-acakan. Ditambah lagi, gadis itu tampak terkejut ketika melihatnya.
"Aku akan kembali lagi nanti... ketika kau tidak sibuk," ucap Sasuke cepat, berjalan pergi.
Sakura memperhatikan Sasuke pergi, perutnya terasa masam. Ini bukan seperti yang kau pikirkan, Sasuke! Ia menatap lorong kosong di depannya, dadanya mengencang. Sambil mengangkat bahu, ia menutup pintu dan kembali ke tempatnya di sofa untuk menyelesaikan film. Aku akan berbicara dengannya nanti.
Sasori pulang sekitar jam 10 malam. Sakura baru saja mengenakan gaun tidurnya ketika ia mendengar Sasuke mengetuk pintu lagi. Merapikan jubahnya, ia cepat-cepat membuka pintu.
Ekspresi wajah Sasuke memberitahu Sakura segala yang perlu ia ketahui bahkan sebelum pemuda itu mulai berbicara. Sasuke melewati Sakura dan masuk ke apartemen gadis itu yang gelap.
"Kupikir dia akan menginap," Sasuke menggertakkan gigi, membelakangi Sakura ketika ia menatap ke arah dapur yang gelap. "Aku terkejut mendengarnya pergi."
"Apa... apa kau menunggu di depan pintu lagi?" tanya Sakura dengan menuduh.
"Tidak, Sakura. Tapi lantai-lantai ini tidak terlalu kedap suara. Aku mendengar pintumu tertutup dan berasumsi bahwa dia pergi." Berbalik menghadap Sakura di ruangan yang gelap itu, Sasuke bertanya pelan, "Sudah berapa lama kau tidur dengannya?"
Mulut Sakura ternganga. Apa? Permisi?! "Berani sekali kau, Sasuke! Berani-beraninya kau bertanya padaku hal yang mengerikan dan tercela itu? Apa yang terjadi antara Sasori dan aku sama sekali bukan urusanmu!"
Sasuke berjalan mendekati Sakura agar ia bisa menatap mata gadis itu. Sasuke berdiri cukup dekat hingga Sakura bisa merasakan panas yang memancar dari tubuh pemuda itu. "Itukah sebabnya kau mendorongku pergi? Karena kau tidur dengannya? Apa dia yang kau inginkan, Sakura?" Sasuke melihat air mata menggenang di mata Sakura tapi ia mengabaikannya. Ia kesal. Bajingan itu terlihat terlalu nyaman di apartemen Sakura. "Aku pindah ke sini untukmu, dammit. Jika aku benar-benar membuang-buang waktuku, katakan padaku. Aku akan kembali ke Sapporo dan melupakanmu sama seperti yang kau mau untuk melupakanku."
Air mata mengalir dari mata Sakura ketik ia melihat Sasuke menatapnya tajam. "Tidak ada yang menyuruhmu pindah ke sini, Sasuke. Aku jelas tidak memintamu. Aku datang ke sini karena ini adalah tempat terjauh yang bisa kulakukan dan menjauh darimu. Kau punya kesempatan bersamaku dan kau tidak menginginkannya. Jadi, jangan bertindak posesif sekarang karena itu tidak akan ada gunanya bagimu."
Aku punya kesempatan bersamamu? "Kapan aku punya kesempatan bersamamu, Sakura? Kau tidak pernah mengatakan padaku bagaimana perasaanmu tentangku, kan? Hanya karena kau menciumku di suatu malam dan kemudian kita berhubungan seks, dua minggu sebelum aku seharusnya menikahi gadis lain, bukan berarti aku punya kesempatan bersamamu. Dari apa yang bisa kurasakan, kau sangat menginginkanku lebih lama dari malam itu. Jadi, jika 'kita' memiliki beberapa kesempatan yang terlewat, kau juga yang harus disalahkan sama sepertiku." Dada Sasuke memburu oleh kemarahan dan frustrasi dan ia memilih untuk mengabaikan air mata di pipi Sakura. Omong kosong ini harus segera selesai.
"Kurasa kau harus pergi, Sasuke," ucap Sakura pelan.
"Jadi, kau akan mengusirku ketika kita baru saja mulai berbicara? Shit, Sakura... kita punya banyak hal untuk dibicarakan... kita perlu bicara. Hanya saja... jika kau serius dengan dia... Fuck." Sasuke menatap lantai, tinjunya mengepal dan dadanya naik-turun. "Aku hanya... Shit." Sasuke tidak tahu harus berkata apa. Ia sangat marah pada gagasan bahwa Sakura berada di pelukan pemuda berambut merah itu sebelum ia muncul. Sakura adalah miliknya, shit. Sakura miliknya. Ia tidak datang sejauh ini untuk kehilangan Sakura karena bajingan lain.
"Sasuke, tolong pergi," perintah Sakura lagi, kali ini dengan keras.
Keduanya saling mengunci mata, dengan rahang dan tinju mengepal. Mereka saling menatap tajam. Ketika Sakura tidak bergerak atau berbicara, dan malah hanya bergerak ke pintu, Sasuke setuju dan berkata, "Baik," sebelum keluar dari apartemen Sakura dan kembali ke apartemennya.
Sakura berdiri, terdiam, pada apa yang baru saja terjadi. Lega rasanya mengatakan setidaknya sebagian kecil dari apa yang telah ia tahan selama berbulan-bulan... jadi mengapa ini sangat menyakitkan? Dengan tangisan tertahan, ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa kehidupan pribadinya adalah kehidupan pribadinya. Ia tidak mengundang Uchiha Sasuke ke Kagoshima, jadi pemuda itu harus berurusan dengan kehidupan apapun yang sudah pemuda itu jalani ketika tiba di sini. Jadi ia harus membiarkan Sasuke berpikir bahwa ia tidur dengan Sasori? Ia tidak pernah benar-benar melakukan lebih dari mencium Sasori dan itu sudah berminggu-minggu yang lalu, bahkan jauh sebelum Sasuke muncul. Menyeka air matanya, Sakura melangkah ke kamar mandi, bertanya-tanya sepanjang waktu apakah kehidupan yang melibatkan Sasuke hanya membawa sengsara.
***
Selama empat hari setelah ledakan itu, Sasuke memberi Sakura 'ruang' yang luas. Sakura akan duduk di sofa, mematikan TV dan apartemen dalam keheningan, dan mendengarkan langkah-langkah Sasuke di atasnya. Ia akan mendengar gitar Sasuke, mendengar suara TV, mendengar musik... tapi pemuda itu tidak menemuinya. Ia harus bekerja sekalipun itu adalah akhir pekan dan ia mencoba mengalihkan pikirannya dari pertengkaran mereka. Ia tidak menginginkan Sasori... tidak seperti itu. Ia merasa sedih karena Sasuke menganggap bahwa ia dan Sasori bersama. Tapi ia bukan milik Sasuke. Ia bahkan belum memaafkan Sasuke, apalagi berkomitmen untuk menjadi milik pemuda itu! Meski begitu, ia merindukan Sasuke yang biasanya datang sekali sehari hanya untuk menyapanya atau mengeceknya. Sebanyak yang ia inginkan untuk lari dari Sasuke, sekarang setelah Sasuke kembali, ia sudah terbiasa dengan pemuda itu di sekitarnya lagi.
Selama empat hari, Sasori mendengarkan Sakura menyinggung dan menggerutu dan terus menggerutu lagi tentang Uchiha Sasuke. Akhirnya, pada Kamis malam, ketika Sakura bekerja, Sasori berkunjung ke gedung apartemen Sakura. Melewati lantai pertama, ia menaiki tangga ke lantai dua dan mengetuk pintu tepat di atas lantai kamar Sakura.
Wajah Sasuke tampak terkejut ketika ia membuka pintu. "Fuck, apa yang kau inginkan?" tanya Sasuke, tidak menyembunyikan rasa jijiknya pada pemuda di depannya.
"Bawa barangmu, dude. Kita akan minum bir. Kita perlu bicara." Sasori berdiri dengan tangan bersedekap, menatap Sasuke. Akhirnya, Sasuke mengangkat bahu, meraih ponsel dan mengunci apartemennya. Mengikuti Sasori keluar dari gedung, mereka berjalan satu blok setengah ke sebuah bar dalam diam. Sasori membawa Sasuke ke sebuah bilik di dekat bagian belakang bar yang remang-remang dan kedua pemuda itu duduk. Begitu keduanya memesan bir, Sasori memelototi Sasuke.
"Sakura membuatku gila," ucap Sasori singkat.
Sasuke memutar matanya, melawan keinginannya untuk memukul pemuda berambut merah itu. "Tolong... jangan ceritakan tentang masalahmu dengan... pacarmu."
Sekarang giliran Sasori untuk memutar matanya. "Dude, aku tidak tahu apa yang kau pikirkan terjadi antara Sakura dan aku, tapi aku meyakinkanmu, ini bukan seperti apa yang kau pikirkan."
Sasuke sedikit tertarik. "Oh ya?"
Waitress kembali, meletakkan dua gelas di depan para pemuda itu. Sasuke tersenyum pada waitress itu dan kemudian mengalihkan perhatiannya kembali ke arah Sasori.
"Jangan salah paham, Uchiha. Aku ingin sekali memanfaatkannya." Sasori terkekeh saat ia memperhatikan rahang Sasuke mengeras dan matanya berubah marah. Sasori mengangkat tangannya. "Tapi sayangnya, Sakura dan aku hanya berteman. Kami pergi berkencan beberapa kali tapi... well... aku tidak bisa bersaing denganmu, dude."
Ibu jari Sasuke menyentuh gagang gelasnya. "Itu sangat lucu mengingat dia hampir tidak ingin ada hubungannya denganku. Terutama karena aku menjadi bajingan malam itu."
"Sobat, aku tidak berpura-pura tahu seluruh sejarah di antara kalian berdua. Aku tahu kalian satu sekolah dan menjadi sangat dekat di perguruan tinggi dan dia jatuh cinta padamu tapi kau bersama orang lain. Dan kemudian kau menidurinya tepat sebelum kau seharusnya menikah, yang benar-benar kacau, dan kemudian Sakura memutuskan keluar kota dan pindah ke sini... Apa aku benar?"
Sasuke mengangguk. "Kecuali untuk keseluruhan bagian 'dia jatuh cinta padaku'... itu adalah berita baru bagiku begitu aku mengetahuinya. Maksudku, shit, kenapa dia harus pindah ke Kagoshima?"
Sasori mengangkat bahu. "Dan sekarang kau di sini dan tampaknya berusaha keras untuk membuatnya kesal."
Sasuke meneguk birnya. "Aku tidak berusaha membuatnya kesal. Aku hanya... well, kau tahu. Aku di sini di kota sialan ini untuk satu alasan, dia. Dan aku tampaknya mengacaukannya secara meriah di setiap langkahku."
Sasori memanggil waitress dan memesan bir lagi. "Apa... menurutmu mungkin kau mendesak terlalu keras? Maksudku, aku tahu kau sudah mengatakan padanya bagaimana perasaanmu tapi... Mungkin kau terlalu memaksa?"
Sasuke menghela napas, dan mendesah. Ia mengacak-acak rambutnya dengan tangan dan minum birnya lagi, yang habis dengan cepat dari gelasnya. "Mungkin... shit, aku tidak tahu. Aku tahu aku kacau... tapi dia tidak akan benar-benar membicarakannya denganku. Sepertinya dia hanya ingin melupakannya..."
Sasori mendengus. "Itu rencana dia, dude, sampai kau muncul di depan pintunya. Dan sekarang dia harus berurusan dengan semua yang dia hindari."
"Jadi, apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Aku tahu dia dulu mencintaiku tapi sekarang? Siapa yang tahu. Dia suka menyimpan sendiri sampai dia terpojok... dan kemudian, kabur."
Sasori tertawa. "Dia mencintaimu, man. Percayalah padaku... Tapi kau harus berhenti mendesaknya. Ambil langkah lambat. Dia perlahan akan menerimamu. Berhentilah memaksa!"
Sasuke mengangguk pada Sasori. "Mungkin kau ada benarnya."
"Aku tahu, man. Jika kau mencintainya, kau perlu membawa pantatmu ke apartemennya, meminta maaf karena telah menjadi brengsek, dan mengajaknya pergi kencan yang sebenarnya. Dan kemudian menghabiskan waktu hanya berbicara. Seperti bagaimana kalian berdua dulu berbicara, sebelum kalian berdua masuk dalam kekacauan ini. Jangan memaksakan topik omong kosong yang terjadi di antara kalian. Jika dia mengungkitnya, kau bisa membahasnya. Tapi jangan menjadi brengsek. Kau sudah merobek hatinya keluar dari dadanya. Kau harus membuktikan padanya bahwa kau akan berada di dalam hidupnya untuk jangka panjang. Dia sedikit malu-malu kucing... Jadi jangan mengacaukannya!"
Sasuke tertawa dan duduk santai di kursinya. Jadi mungkin pemuda berambut merah ini bukan bajingan. Dan ia menyukainya atau lebih lagi sekarang karena ia tahu Sasori tidak tidur dengan Sakura. Dan Sasori benar, ia harus berhenti menjadi brengsek dan meminta maaf. Ia dan Sakura berjalan di atas tali dan ia harus tetap seimbang agar mereka berdua tidak jatuh ke tepi dan jatuh ke titik yang tidak bisa kembali. Ia tidak mau kehilangan Sakura lagi.
Ketika mereka duduk di bar, meneguk bir, Sasuke mulai merasa jauh lebih baik. Ia membutuhkan Sakura. Tapi ia juga membutuhkan pendekatan baru. Apa pun harus diusahakan lebih baik daripada apa yang telah dilakukannya sejauh ini.
***
Sakura terkejut melihat Sasuke berdiri di depan pintu apartemennya di pagi berikutnya. Ketika ia membuka pintu, Sasuke menyerahkan kantong dengan logo toko roti padanya. "Ini, Sayang... aku akan pergi bekerja tapi aku ingin membawakanmu sarapan."
Sakura menerima kantong itu, menatap kantong itu dengan rasa ingin tahu, sebelum ia kembali menatap Sasuke. Sasuke menghela napas dan bergeser dari satu kaki ke kaki lainnya. "Dengar, Saku. Aku bertingkah brengsek dan aku minta maaf. Aku pikir aku sedikit... gila... saat kau tidak di dekatku... karena... Fuck! Aku mencintaimu. Aku sudah memberitahumu itu. Jadi ya... Maafkan aku." Dengan mata puppy eyes, ia bertanya dengan banyak harapan, "Maafkan aku?"
Sakura meleleh. Ia benar-benar tidak bersiap-siap dengan Sasuke yang akhirnya menyadari kesalahannya, tapi... ia juga tidak yakin apakah itu karena permintaan maaf Sasuke yang acak-acakan, sorot matanya yang sedih, bahwa Sasuke diam-diam merindukannya seperti orang gila ketika mereka tidak berbicara, atau fakta bahwa Sasuke membawakannya bagel dengan keju krim. Yang ia tahu adalah bahwa ia tidak punya energi untuk tetap marah pada Sasuke karena kesalahpahaman dan reaksi berlebihan waktu itu. Menganggukkan kepalanya, ia tersenyum.
"Dengar... aku ingin pergi besok dan aku tahu kau libur bekerja. Aku belum pernah melihat Kagoshima sejak aku di sini dan aku bertanya-tanya... apa kau ingin berjalan-jalan disini bersamaku?"
Sakura berpikir sejenak dan Sasuke diam-diam panik. Tapi kemudian Sakura tersenyum lebar. "Ya, Sasuke. Kedengarannya ide yang luar biasa."
Sasuke menghela napas, tampak lega. "Bagus. Kalau begitu besok kuanggap kencan." Sasuke memakai kacamata hitamnya dan berkata, "Kalau begitu, sampai nanti. Lebih baik aku berangkat bekerja sekarang."
Berbalik, Sasuke berjalan menyusuri lorong. Ketika ia akan berbelok, ia menoleh dan melambai pada Sakura sebelum melangkah keluar ke cahaya pagi.
Sambil tersenyum, Sakura menutup pintu dan membawa sarapan yang Sasuke belikan ke dapur. Ia tidak berharap untuk memaafkan Sasuke dengan mudah. Lagipula, ia tidak berharap untuk sangat merindukan Sasuke ketika pemuda itu tidak mengganggunya. Saat ia memakan bagelnya, ia tidak bisa menahan senyumnya. Ia dan Sasuke akan berkencan.
***
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)