Chapter 17 - Life After You
Pergi ke gym pada pagi hari ketika Sasuke pergi ternyata merupakan usaha yang hampir tidak ada gunanya bagi Sakura. Sebanyak yang ia coba untuk fokus pada olahraga, satu-satunya hal yang bisa ia fokuskan adalah tentang pemuda yang telah menghabiskan hampir 24 jam terakhir menunggunya.
Sakura berdiri, linglung dan tidak bergerak, di atas treadmill sampai seorang wanita gemuk berdeham untuk menarik perhatiannya. Sakura menarik diri dari pikirannya, melirik wanita yang memelototinya, dan melompat turun dari mesin yang belum ia gunakan itu.
Ketika ia berjalan ke ruang ganti untuk mengambil tasnya—karena tidak ada gunanya mandi karena ia tidak benar-benar melatih satu otot pun selain otaknya sejak ia ada di sana—kata-kata Sasuke bergema di benaknya. 'Kau dan aku? Kita baru mulai.' Apa yang dia maksud? Hidupnya seperti sampah tanpaku? Benarkah?
Sakura mendesah sedih pada dirinya sendiri. Kedatangan Sasuke di Kagoshima tentu tidak terduga dan sekarang ia berurusan dengan dampak dari itu. Ketika ia melangkah keluar ke siang hari yang terik dan kembali ke apartemennya, ia memikirkan serangkaian peristiwa yang telah terjadi sejak ia bertemu dengan Sasuke di depan toko roti. Sasuke tentu saja bersikeras, mengejarnya, hanya berharap bahwa ia akan berbicara dengan pemuda itu. Dan ketika Sasuke menciumnya, mengatakan padanya bahwa pemuda itu merindukannya dan bahwa pemuda itu menyesal. Apa yang ingin dia capai dengan kemunculannya? Aku tahu dia bilang dia menyesal dan dia minta maaf tapi...
Air mata menyelinap di pipi Sakura dan ia mengusapnya dengan ujung jarinya, dengan cepat dan marah. Gelembung kecilnya yang sempurna di Kagoshima telah pecah dan sekarang ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia mendapati dirinya perlahan bisa hidup dengan ingatan tentang Sasuke karena pemuda itu tidak lagi menjadi kenyataan baginya. Ia berharap untuk menghapus kebersamaan mereka, tapi itu tidak terjadi dalam waktu singkat setelah mereka berpisah. Bahkan satu-satunya foto yang ia simpan dari mereka berdua sudah cukup untuk menyebabkan hatinya mengencang ketika ia melihatnya.
Selama ia tidak memikirkan tentang malam itu, ia baik-baik saja. Benarkah, ia baik-baik saja tanpa Sasuke? Tapi melihat Sasuke... oh Tuhan... melihat Sasuke lagi telah menghancurkan semua kemajuan yang telah ia buat. Pemuda itu tampak sangat lelah dengan pakaiannya yang basah dan kusut. Dan ia tidak gagal untuk menyadari bahwa Sasuke mengenakan kaos abu-abu yang sama yang ia kirim kembali pada pemuda itu. Itu pasti berarti sesuatu, bukan? Wajah Sasuke yang tampan tampak letih saat memohon padanya untuk berbicara dengannya. Dan semarah apapun di awal pagi ini, Sasuke masih berhasil menyentuh tempat di dalam hatinya. Itu adalah tempat yang selalu disentuh Sasuke, tempat yang tampaknya hanya diperuntukkan bagi pemuda itu. Dia datang sejauh ini untuk menemuiku. Dia bilang dia merindukanku dan dia menyesal. Oh Sasuke... bagaimana sekarang? Apa yang harus kulakukan sekarang?
Melangkah kembali ke gedungnya, Sakura hampir berharap melihat Sasuke di sana, meskipun pemuda itu mengatakan padanya bahwa pemuda itu harus kembali ke Hokkaido. Ia berjalan ke pintu utama dan melangkah masuk, matanya melayang ke tempat Sasuke berjaga malam sebelumnya. Udara seakan menutup di sekelilingnya ketika ia berjalan ke dalam apartemennya. Sambil menghela napas, ia menegur dirinya sendiri. Sasuke sudah pergi sekarang. Dia bilang dia akan kembali tapi sekarang, dia sudah pergi. Tenanglah.
Tetangga Sakura di lantai atas rupanya mengadakan lelang ternak karena suara gedebuk di atap kamarnya sangat keras. Melotot, ia meraih iPod-nya dan memasukkan earphone ke telinganya. Melepas sepatunya, ia jatuh ke sofa karena kelelahan dan menyalakan musik. Dengan pikirannya terfokus pada lirik dan nada, ia akhirnya bisa tertidur tanpa terbayang wajah Sasuke.
***
Uchiha Mikoto dan Uchiha Fugaku mendongak, jelas terkejut, ketika putranya tiba-tiba berjalan masuk ke rumah masa kecilnya siang itu.
"Sasuke? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Mikoto.
Sasuke membuka jaketnya dan menjatuhkan dirinya ke kursi, diam-diam memperhatikan ibunya memotong wortel untuk membuat sup daging sapi dan ayahnya yang duduk di kursi santai membaca koran.
"Sasuke?" Kini ayahnya mendesak.
"Maaf. Aku baru saja kembali dari Kagoshima."
Mata Mikoto terbelalak dan ia memandang putranya dengan heran. "Kagoshima? Kau di Kagoshima? Kenapa kau di Kagoshima?"
Mata Sasuke tidak terbaca saat ia menjawab. "Sakura."
"Oh Tuhan." Tangan Mikoto bergerak menutup mulutnya karena terkejut.
"Sakura tinggal di Kagoshima? Bagaimana kau bisa tahu?" tanya ayahnya yang kini melipat korannya.
Sasuke berdiri dan berjalan ke kulkas, mengambil sebotol air. "Ino memberitahuku. Aku terbang ke sana dua hari yang lalu. Akhirnya menemukan Sakura, tapi... dia tidak mau bicara denganku."
Mikoto memperhatikan wajah putranya berubah dari kelelahan menjadi kesedihan. "Sayang, kau sudah mencoba. Setidaknya sekarang kau melakukan apa yang kau bisa dan kemudian kau bisa melepaskannya."
Sasuke minum dan memelototi ibunya. "Kaasan, aku bahkan belum mulai melakukan sesuatu. Tidak mungkin aku akan melepaskannya! Sakura milikku. Dia seharusnya sudah bersamaku selama ini jika aku tidak sibuk dengan hal lain. Aku di sini untuk... well, aku sebenarnya di sini untuk menumpang mandi sebelum kembali ke Sapporo... tapi aku juga ingin memberitahu kalian bahwa aku akan pindah."
"Pindah?" Fugaku tampak terkejut. "Ke Kagoshima?"
Sasuke mengangguk. "Aku sudah menyewa apartemen di lantai atas dari apartemen Sakura. Aku harus memiliki Sakura, Tousan."
Mikoto berjalan mengitari meja dan memeluk pundak putranya. "Tapi Nak, Kagoshima sangat jauh! Kami akan jarang bertemu denganmu! Aku... aku tidak suka ini, Sasu-kun. Aku tidak ingin kau berada terlalu jauh."
Sasuke menarik diri dari pelukan ibunya. "Kaasan... kau diam-diam berharap aku agar bersama Sakura untuk berapa lama sekarang? Ya... bertahun-tahun, kan! Nah sekarang setelah aku akhirnya menemukan jawabannya bahwa dia yang aku inginkan, meskipun aku tahu aku sudah mengacaukan segalanya, tapi aku tidak akan pernah mendapatkannya kembali jika aku tidak pergi ke sana dan mengejarnya. Aku harus melakukan ini, Kaasan."
Mikoto meraih tangan Sasuke dan meremasnya erat-erat. "Kau mencintainya, bukan?"
Menutup matanya, Sasuke mengangguk. "Ya tentu saja."
Mikoto tersenyum lebar, wajahnya melembut pada putranya yang jelas-jelas sedang jatuh cinta. "Oke, jika itu membawamu pindah ke Kagoshima untuk membawakanku beberapa cucu Yahudi, maka aku menyetujuinya. Tapi kau harus sering berkunjung! Dan begitu kau mendapatkannya kembali, kalian berdua sebaiknya kembali ke Hokkaido untuk berkunjung. Aku tahu Mebuki pasti merindukan Sakura seperti orang gila."
Sasuke memeluk ibunya. "Terima kasih, Kaasan."
Fugaku menepuk punggung Sasuke. "Kau harus bahagia, Nak. Dan kau belum terlihat bahagia sejak Sakura pergi." Sasuke kemudian memeluk ayahnya juga, "Jadi kapan kau akan pindahan?"
Sasuke memandang sekeliling dapur. "Well... aku akan kembali ke Sapporo dan akan mulai berkemas malam ini. Aku akan pergi bekerja besok dan mengundurkan diri. Aku tahu itu akan menyebalkan bahwa mereka tidak mendapatkan pemberitahuan sebelumnya tapi... shit... aku tidak sabar jika harus menunggu lebih lama lagi. Aku akan menyewa truk pindahan, dan pergi ke Kagoshima. Aku berada di sana sekitar pertengahan minggu depan."
Mikoto berpikir sejenak. "Sasu, apa Sakura-chan tahu kau akan pindah ke sana?"
Sasuke mendengus. "Shit, tidak! Dia akan terkejut."
Mulut Mikoto membentuk huruf 'O' ketika ia membayangkan keterkejutan Sakura. "Oh, Sasu... dia akan terkejut..."
Sasuke mengedipkan mata dan menyeringai, "Aku tahu!" Sambil melepas kaosnya di atas kepalanya, ia berkata, "Aku akan mandi dan kemudian kembali ke Sapporo." Ia melemparkan kaos itu pada ibunya, "Maukah kau mencucikan itu untukku?"
Mikoto menangkap kaos usang itu dan memandanginya dengan rasa ingin tahu, lalu menatap putranya dengan wajah yang sama.
Dengan malu-malu, Sasuke berkata, "Sentimental value..."
Tertawa, Mikoto menyaksikan Sasuke melangkah ke kamar mandi. Syukurlah, pikirnya.
Ia melemparkan bajunya ke dalam mesin cuci dan menyalakannya. Pikirannya penuh dengan gambar-gambar bocah-bocah Yahudi kecil berambut gelap, bermata gelap bermain di lantai ruang tamunya. Jangan mengacaukannya kali ini, Sasuke! Aku butuh cucu-cucu itu!
***
"Sasuke, kau sedang bercanda?" Suara Juugo terdengar ragu.
Sasuke mengangkat bahu, berjalan kembali menyusuri lorong menuju tempat parkir. Ia baru saja menyerahkan surat pengunduran dirinya dengan permintaan maaf sebesar-besarnya dan akan pulang ke apartemennya untuk berkemas secepat mungkin.
"Serius? Kagoshima?"
Sasuke mendorong pintu menuju ke tempat parkir dan melangkah keluar gedung. "Dia di Kagoshima, Juugo. Yang berarti aku tidak punya alasan untuk berada di sini."
Juugo menggelengkan kepalanya. "Jadi, kapan kau pergi?"
"Uhh... hari Kamis atau Jumat paling lambat. Aku benar-benar ingin segera ke sana. Semakin lama aku pergi, semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkannya kembali." Sasuke membuka pintu mobilnya dan masuk.
"Jadi, dia layak untuk semua ini, kalau begitu?" Juugo menyeringai, bersandar di kap mobil Sasuke.
"Fuck ya, dia yang kuinginkan. Aku sempat mengacaukannya dan kehilangan dia sekali, man. Itu tidak akan terjadi lagi."
Menghidupkan mobilnya, Sasuke menutup pintu dan menurunkan kaca jendela. "Aku akan meneleponmu sebelum aku pergi. Aku benci untuk membuang semua orang seperti ini tapi—"
"—Tapi dia sepadan dengan yang kau lakukan ini? Aku paham," ucap Juugo sambil tertawa.
"Tepat sekali. Sampai jumpa, teman."
Sasuke menjalankan mobilnya dan melesat kembali ke apartemennya. Ia sekarang selangkah lebih dekat untuk sampai ke Kagoshima dan mendapatkan sahabatnya kembali.
***
Bunyi gedebuk di atas kepala Sakura begitu keras ketika ia bangun keesokan paginya, ia takut tiba-tiba ada seekor rusa datang dari atap dan mendarat di tempat tidurnya.
Melirik ke langit-langit, ia mengamati untuk melihat apakah ada retakan disana. Aku benci orang-orang itu.
Sambil menyingkirkan selimut dari tempat tidurnya, ia mulai berganti pakaian. Ia memutuskan untuk pergi ke lantai atas sana dan memberikan ceramah pada orang-orang bodoh itu. Ia sudah menahan diri selama hampir enam minggu tapi kebisingan di atasnya perlahan-lahan mendorongnya menuju kegilaan.
Begitu ia selesai berpakaian, ia menyelipkan kakinya ke sepasang sandal jepit kuning cerah dan menyentak pintu. Melangkah keluar, ia hampir terkejut melihat Natsumi, yang berada di tempat biasanya di dekat pintu apartemennya sendiri.
"Selamat pagi, Cantik. Kau bangun pagi!"
Sakura menatap tajam. "Aku akan naik ke lantai atas untuk memberitahu para idiot itu agar tidak berisik!"
Sakura mulai berjalan pergi tapi Natsumi memanggilnya, "Aku tidak akan naik ke lantai atas jika aku menjadi dirimu, Cantik. Orang-orang bodoh di atasmu akan diusir sekarang. Polisi ada di atas sana! Jika kau ke atas sana, kau akan ditembak karena orang-orang itu adalah penjahat!"
Sakura berhenti dan memandang Natsumi. "Kau serius? Mereka diusir?" Tersenyum lebar, Sakura melompat-lompat. "Akhirnya aku akan memiliki kedamaian dan ketenangan!"
Natsumi menepuk pundak Sakura. "Untuk saat ini, bagaimanapun. Aku curiga apartemen itu akan segera terisi. Aku sudah melihat seorang pemuda yang tertarik pada apartemen di atas."
Sakura memeluk wanita tua itu karena kegembiraannya. "Aku tidak peduli siapa yang pindah ke sama! Tidak ada yang lebih buruk dari para idiot itu!" Ia lalu menarik diri, "Natsumi-baasan? Kau mau sarapan bersamaku?"
Wanita tua itu menyeringai. "Biarkan aku memasang gigiku dan aku akan dengan senang hati bergabung denganmu!"
Natsumi menghilang ke dalam apartemennya untuk mengambil gigi palsunya sementara Sakura berdiri di lorong, nyengir penuh semangat. Orang-orang bodoh yang terdengar menyebalkan itu telah pergi! Ya! Ia tidak peduli siapa yang menempati lantai atas selanjutnya, selama orang-orang bodoh itu pergi.
Pintu apartemen terbuka lagi dan Natsumi melangkah keluar dengan tas putih besar yang menjuntai dari lengan mungilnya. "Bagaimana kalau kita pergi sekarang, Cantik?" Mereka mulai berjalan pergi tapi Natsumi berhenti lagi. "Apa kita akan pulang tepat waktu untuk telenovela favoritku? Cassandra akan mengetahui hari ini bahwa bayi yang baru saja ia lahirkan bukan benar-benar bayinya dan aku tidak bisa melewatkannya!"
Sakura terkikik, berjanji pada Natsumi bahwa mereka akan kembali tepat waktu untuk menonton 'telenovela favorit'nya, dan keduanya mulai melangkah pergi untuk membeli sarapan.
Untuk pertama kalinya sejak Sasuke muncul di Kagoshima, Sakura merasa normal kembali. Semuanya akan baik-baik saja.
***
Apartemen Sasuke penuh dengan kotak pada hari Kamis. Ia telah membuang segala sesuatu yang tidak terlalu penting, memberikan beberapa hal yang tidak benar-benar ia butuhkan untuk para mahasiswa di ujung lorong, dan memberi label semua barang yang ingin ia bawa. Ia telah menemukan beberapa barang Miyuki dan berniat menghubungi gadis itu untuk datang mengambilnya, tapi kemudian ia urungkan karena itu akan berkembang menjadi percakapan tentang mengapa ia pindah dan terus terang, ia sudah selesai dengan Miyuki dan mulut gadis itu dan sikap gadis itu. Jadi ia membuang barang gadis itu ke tempat sampah. Menurutnya, jika Miyuki tidak membawanya ketika gadis itu pindah, gadis itu tidak membutuhkannya lagi. Persetan dengan dia!
Satu-satunya ruangan yang belum ia bereskan pada Kamis sore itu adalah dapur dan ia sedang terburu-buru untuk menyelesaikannya. Ia benci harus meluangkan waktu untuk tidur dan makan. Ia hanya ingin sampai ke Kagoshima. Sakura adalah satu-satunya hal di benaknya dan tahu di mana gadis itu berada tapi tidak bisa berada di dekat gadis itu adalah penyiksaan. Tentu, hanya beberapa hari sejak ia melihat Sakura, tapi ia perlahan-lahan menjadi gila karena Sakura tidak di dekatnya. Beberapa kali, ia berharap bisa menelepon Sakura tapi ia tidak memiliki nomor gadis itu. Dan ia sudah berhutang budi terlalu banyak pada Ino untuk sekedar menanyakan nomor telepon Sakura. Jadi sebagai gantinya, ia hanya berkemas, memikirkan Sakura, dan merindukan Sakura lebih daripada yang ia miliki setelah Sakura meninggalkannya.
Jumat pagi, Sasuke membawa semua kotak dari apartemennya ke truk U-Haul yang sudah ia sewa. Satu-satunya hal besar yang tidak bisa ia angkat sendiri adalah tempat tidur dan sofa. Sambil menghela nafas, ia memanggil bala bantuan. Dua puluh menit kemudian, Juugo muncul bersama Suigetsu di belakangnya.
Suigetsu turun dari SUV Juugo ketika Sasuke berdiri di belakang truk U-Haul, menimbang-nimbang untuk memastikan ia masih punya cukup ruang untuk barang-barang paling berbahaya.
Sasuke memaki kedua temannya, yang melenggang dan berdiri di sampingnya, menatap truk besar itu.
"Kau akan memakai truk ini untuk ke Kagoshima?" tanya Suigetsu, menatap truk yang tampak reyot seolah tidak akan melewati batas kota Sapporo.
"Yap... dan truk ini akan menarik mobilku juga," ucap Sasuke bangga, bahkan ketika ia sendiri bertanya-tanya apakah truk sialan itu akan berasap pada saat berhasil keluar dari Hokkaido.
"Ayo, angkut omong kosongmu, Sasuke," ucap Juugo, berjalan menuju gedung apartemen Sasuke, "Dan segera membawamu menuju Sakura."
Ketiga pemuda itu berjalan ke dalam apartemen Sasuke dan mengambil sofa. Segera, sofa itu dimuat ke dalam truk, bersama dengan tempat tidur Sasuke dan beberapa barang yang telah tergeletak di sekitar. Sasuke masih harus membersihkan tempat itu tapi ia berencana melakukan itu secepat mungkin sehingga ia bisa menyerahkan kunci ke pemilik sewa dan segera melakukan perjalanan ke Kagoshima.
Ketika mereka menutup truk pindahan dan mengaitkan mobil Sasuke di belakang, Juugo memikirkan sesuatu. "Sasuke? Bagaimana kau akan menurunkan barang-barang ini saat sampai di Kagoshima? Kami tidak akan ada di sana untuk membantumu."
"Aku mengerti, Juugo. Aku sudah menghubungi petugas pindahan di sana. Mereka akan membantuku menurunkan dan membereskan semua ini sampai ke lantai dua." Sasuke bersandar di truk sewaannya, menyilangkan tangan di dadanya, dan berkata, "Aku ingin segera pindah sebelum Sakura tahu aku ada di sana. Aku hanya ingin 'mampir' dan memberikan alamat baruku padanya." Sasuke menatap ke kejauhan, seulas seringai menghiasi wajahnya ketika ia membayangkan bagaimana reaksi Sakura pada kedatangannya. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Dengan beberapa highfive terakhir, teman-temannya mengucapkan selamat tinggal. Sasuke masuk kembali ke dalam apartemen, mengambil gulungan tisu dan sebotol Windex, dan mulai membersihkan apartemennya.
Sembilan puluh menit kemudian, semuanya tampak sesuai dengan yang ia harapkan, dan ia segera bersiap-siap pergi. Menjatuhkan kunci ke dalam kotak di kantor penyewaan, ia meraih ponselnya untuk melakukan satu panggilan terakhir.
"Halo... aku ingin memesan bunga..."
Begitu panggilan selesai, ia menutup telepon dan naik ke dalam truk U-Haul. Dengan satu pandangan terakhir pada bangunan itu, ia memulai perjalanannya menuju Sakura.
***
Jumat pagi, Sakura sedang bersantai karena ia mendapat libur. Dan karena ia tidak punya tetangga yang ribut menari-nari atau apa pun yang telah mereka lakukan di lantai atas sejak ia pindah, ia bisa tidur nyenyak dan bersantai di apartemennya. Ia sudah mencoba menelepon Ino selama tiga hari ini tapi gadis pirang itu tidak menjawab. Diamnya Ino membuktikan atas apa yang sudah Sakura duga bahwa Ino adalah orang yang memberitahukan lokasinya pada Sasuke. Ia ingin mencekik temannya itu. Ia ingin bertanya apa, tepatnya, yang mendorong si pirang untuk memberitahu Sasuke di mana ia berada. Apakah Sasuke memohon? Mengancam? Apa yang membuat Ino menyerah? Tapi karena Ino menghindari teleponnya, dan email-email berikutnya, Sakura masih tidak punya jawaban.
Sakura sedang bersantai di sofa dengan novel baru ketika ada ketukan di pintu. Saat membukanya, ia menatap buket besar bunga lili merah muda.
"Haruno Sakura?" Sebuah suara di balik bunga bertanya.
"Iya?"
Bunga-bunga didorong ke tangannya, bersama dengan secarik kertas untuk ditandatangani. Begitu ia menuliskan namanya, ia menutup pintu dan menatap bunga-bunga itu. Tanpa melihat kartu, ia tahu siapa yang mengirimnya. Hanya dua orang di planet ini yang tahu bahwa bunga kesukaannya adalah bunga lili merah muda; ibunya dan Sasuke. Dengan hati-hati, ia menarik kartu dan membukanya. Menggigit bibirnya untuk menekan senyum yang mengancam untuk mengambil alih wajahnya, ia membaca kartu itu.
Saku~
Hanya karena aku tidak ada bukan berarti kau bukan satu-satunya hal yang kupikirkan. Seperti yang kukatakan sebelumnya, kau dan aku baru saja mulai. Aku akan segera menemuimu.
Love,
Sasuke.
Sakura membaca kartu itu berulang-ulang. "Love, Sasuke," bacanya keras. "Aku satu-satunya yang dia pikirkan?" tanyanya serata berjalan ke sofa.
Sambil menjatuhkan diri ke bantal, Sakura tersenyum. Mungkin aku memang tidak salah mendengar... Apa dia...? Apa dia...?
Sambil mengesampingkan pikiran itu, Sakura berdiri untuk mencium bunga lili lagi. Menutup matanya, ia menempelkan kartu itu ke dadanya. Bahkan ketika ia berdiri di sana, ia merasakan sedikit amarah yang ia miliki untuk Sasuke meleleh dan meluncur pergi. Aku merindukannya.... Aku merindukannya.
***
Perjalanan ke Kagoshima sangat panjang dan membosankan. CD player truk yang Sasuke sewa tidak berfungsi sehingga ia harus terjebak dengan radio setiap jam saat bergerak melintasi negara. Dan biasanya perjalanan panjang yang cukup membuatnya stres seperti ini hanya ingin membuatnya menendang pantat seseorang. Tapi yang satu ini, di setiap jalan keluar baru yang dilaluinya, ia merasakan satu langkah lebih dekat dengan Sakura. Setiap persimpangan yang ia lalui, setiap keadaan yang dilewatinya berarti ia lebih dekat ke tujuannya.
Jarak yang telah berada di antara mereka selama dua bulan tiba-tiba menjadi semakin pendek sampai hari Selasa pagi dimana ia akhirnya berhenti di depan gedung apartemen barunya. Ia berada di 'rumah'.
***
Bunyi gedebuk di atasnya menyentak Sakura bangun pada hari Selasa pagi itu.
"Tetangga baru?" Ia mengeluh dengan suara keras, menatap tajam ke langit-langit. Ketika ia mendengar langkah sepatu yang berat bergerak melintasi lantai di atasnya, ia mengerang dan menarik bantal menutup kepalanya. Baiklah, seminggu yang tenang lebih baik daripada tidak sama sekali. Sialan.
Ia berbaring di tempat tidur beberapa menit lagi tapi kemudian terdengar suara keras, seperti suara sesuatu yang dijatuhkan, membuatnya melompat dari tempat tidur. Bergumam pada dirinya sendiri tentang lantai tipis yang bodoh, ia menyeret dirinya ke kamar mandi. Tidak ada gunanya tidur lagi.
Ketika ia keluar dari pancuran, ia mematikan pancuran dan mengeringkan rambutnya dengan handuk. Saat berjalan kembali ke kamarnya, ia memperhatikan bahwa lantai di atasnya tampak sunyi.
Mungkin mereka sudah selesai pindahan sekarang. Aku tidak percaya aku sudah memiliki tetangga baru. Aku benar-benar perlu mencari tempat tinggal baru ketika sewa sialan ini habis.
Sakura mengenakan pakaiannya, dan meraih dompetnya. Ini waktunya menikmati bagel. Ia melangkah keluar dari apartemennya dan, ketika ia mengunci pintu, ia melihat Natsumi berdiri di ambang pintunya yang terbuka.
"Halo, Cantik. Apa kau sudah lihat? Kita memiliki tetangga baru!"
Sakura memaksakan senyum di wajahnya. "Hai, Natsumi-baasan. Tidak, aku belum melihat tetangga kita. Aku hanya berharap yang ini lebih baik daripada yang terakhir."
Natsumi mengeluarkan siulan melalui gigi palsunya. "Dia juga tampan. Aku tahu ketika aku melihatnya minggu lalu bahwa dia akan pindah..."
Tampan? Minggu lalu?
Sakura dengan sopan pamit pergi, keluar dari percakapan panjang lebar dengan tetangganya, dan melangkah keluar. Di depan gedung terparkir sebuah truk U-Haul berukuran sedang. Dan tepat di belakang truk itu, yang jelas-jelas baru saja dilepas dari belakang truk, adalah sebuah mobil yang hampir identik dengan mobil Sasuke. Warna yang sama.
Sakura berbalik untuk berjalan ke toko roti, menyingkirkan pikiran tentang tetangga baru. Ia tahu ia akhirnya akan bertemu dengan tetangga baru itu hari ini jika mereka akan masuk dan keluar dari gedung. Sakura mulai bersenandung ketika ia berjalan, dengan santai melirik ekor mobil ketika ia melewatinya. Hokkaido? Ia berhenti, matanya menatap plat nomor yang sudah dikenalnya. Di belakangnya, pintu masuk gedung apartemen berderit terbuka dan kemudian telinganya disambut oleh suara tawa rendah.
"...astaga, tetangga itu..."
Berbalik, mulut Sakura melebar ketika mata hijaunya menemukan sosok tinggi, sangat familiar. Udara di antara keduanya berubah intens.
Tidak! Ini tidak mungkin terjadi! TIDAK! Tidak! TIDAK!
"Kau?" Sakura tergagap.
Aku kembali untuk menetap, Sayang... Dan kau? Kau milikku. Kau akan lihat itu. "Ya, aku," Sasuke menegaskan, menyilangkan lengannya saat ia memasang senyum puas di wajahnya. Ia menunggu pekikan dan jeritan yang ia perkirakan akan dimulai kapan saja. Biasanya, Sakura akan mulai melemparkan big wordnya dan menginjak kaki Sasuke dengan marah. Tapi sebagai gantinya, Sakura menutup matanya dengan erat, membukanya lagi, dan kemudian mengumpat.
Mata hijau Sakura yang berapi-api terkunci dengan mata onyx Sasuke yang tampak geli, kemudian ia berbisik, "Kenapa?" Kenapa kau melakukan ini, Sasuke?
Sasuke menghapus seringai dari wajahnya dan mengambil beberapa langkah lebih dekat ke arah Sakura. Wajahnya menjadi sangat serius ketika ia berbicara. "Kenapa? Banyak alasan, sungguh... Tapi terutama, aku menyadari bahwa tidak ada yang tersisa untukku di Sapporo. Saku, bagian terbaik dalam hidupku adalah bagian yang melibatkan dirimu di dalamnya."
Sakura melirik tanah. "Tapi Sasuke, kita..."
"Aku tahu. Aku mengacau, Sakura. Aku mengacaukan hal terbaik yang aku miliki... dan itu adalah dirimu."
Mata Sakura dipenuhi air mata. Aku hal terbaik yang kau miliki? Kau bahkan tidak pernah benar-benar 'memiliki'ku, sebanyak yang kuinginkan. "Aku belum siap..."
Sasuke mengangkat bahu, mengambil beberapa langkah lebih dekat pada Sakura lagi. "Jika itu membutuhkanku waktu lama, Saku, aku akan terus berusaha meminta maaf darimu. Apa yang terjadi... uh... yang kulakukan malam itu adalah... Shit, Sakura, aku sudah mengatakan sebelumnya dan aku akan mengatakannya lagi. Bahwa aku ninta maaf tentang apa yang terjadi. Kau seharusnya pantas mendapatkan yang lebih baik daripada caraku memperlakukannu malam itu." Sasuke menghela napas. "Dengar, aku menyadari beberapa hal ketika kau pergi... Beberapa hal yang aku ingin bagikan denganmu, ketika kau siap. Tapi aku tidak ingin mengatakannya sampai aku pikir kau siap untuk mendengarnya."
Sakura menganggukkan kepalanya diam-diam, menatap pemuda di depannya. Pemuda itu tampak sangat... sedih.
Sasuke melanjutkan. "Sampai saat itu, aku akan ada di sekitarmu. Kau mungkin bosan melihatku. Tapi aku akan tetap ada di sekitarmu. Aku tidak akan sampai sejauh ini jika bukan untuk mengganggumu."
Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu lagi, Sakura merasa dirinya tersenyum pada Sasuke. Senyum yang membuat hati Sasuke membengkak dengan harapan. Aku bisa melakukan ini. Aku bisa.
Sasuke berjalan ke truk untuk mengambil satu kotak terakhir untuk dibawa masuk. Ia berjalan kembali ke arah Sakura dan menjatuhkan kotak di depan gadis itu. Sakura menatap Sasuke dan mata mereka bertemu lagi. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia menghindari Sasuke selama dua bulan, pindah ribuan mil jauhnya dari Sasuke supaya hatinya dapat pulih, tapi sekarang pemuda itu berdiri di depannya dan berjanji untuk membuatnya memaafkan pemuda itu karena ia adalah bagian terbaik dalam hidup pemuda itu. Apa artinya semua ini?
Mata Sasuke mengamati wajah Sakura ketika ia menyingkirkan sehelai rambut menjauh dari mata gadis itu. Sakura tahu Sasuke akan menciumnya. Ia bisa merasakannya. Tapi ia merasa tidak memiliki tekad untuk menghentikan Sasuke ketika pemuda itu menundukkan kepalanya dan dengan singkat mengecup bibirnya seperti yang pernah mereka lakukan sepanjang waktu.
Ketika Sasuke menarik diri, ia berbisik, "Aku membutuhkanmu, Saku." Mengambil kotaknya, Sasuke mulai bersiul saat ia berjalan menuju pintu. Menoleh ke arah Sakura sebelum menghilang, ia setengah berteriak, "Sampai jumpa lagi, tetangga."
Sakura memperhatikan Sasuke, masih terpana ketika pemuda itu masuk. Berbalik, ia kembali ke jalan dari mana ia datang dan membiarkan kakinya melangkah masuk ke apartemennya lagi. Ketika ia duduk di sofa, mendengarkan langkah kaki Sasuke di atasnya, ia mengerang dan menyembunyikan wajahnya ke bantal sofa. Kehidupan di Kagoshima menjadi semakin rumit.
***
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)