Chapter 16 - Cinta dan Benci
Ino berkedip, bertanya-tanya apakah matanya sedang mempermainkannya ketika ia menatap pemuda yang tampak malang itu berdiri di depan pintu. Pemuda itu Sasuke, oke, tapi alih-alih seringai seksi dan percaya diri yang biasanya pemuda itu tunjukkan, dia... well... dia kelihatan seperti sampah total. Pemuda itu mengenakan kaos abu-abu dan jeans kusut, dan sangat perlu mencukur rambutnya.
"Sasuke?" tanya Ino, suaranya sedikit skeptis dan tidak yakin. Apa aku benar-benar harus menyuruhnya masuk ke dalam?
"Hei Ino," Sasuke memulai, menggeser kakinya dengan gelisah, "Bisa aku bicara denganmu?"
Mundur, Ino mendorong pintu apartemennya terbuka lebih lebar, membiarkan Sasuke masuk. Sasuke mengikuti Ino ke ruang makan, di mana gadis itu memberi isyarat baginya untuk duduk.
"Kau mau minum?"
"Soda, jika kau punya," ucap Sasuke. Ino melangkah ke kulkas, mengeluarkan dua gelas dan mengisinya dengan es. Meraih dua kaleng soda, ia membawanya ke meja dan duduk di kursi.
"Apa yang membawamu ke sini, Sasuke?" Ino tahu jawabannya, jelas, tapi berusaha untuk bertindak sesantai mungkin, meskipun sepertinya gagal. Tangannya gemetar ketika ia menuangkan soda ke gelas. Bertingkah santai... bertingkah santai. JANGAN memberitahu lokasi Sakura!
Sasuke meneguk sodanya. "Sakura."
Ino menegang, tidak yakin bagaimana harus bersikap selanjutnya. Sakura tidak mau mendengar kabar dari Sasuke, tapi jelas Sasuke tidak baik-baik saja dengan rencana penghindaran Sakura. "Kenapa dengan dia? Aku tidak..."
"Fuck, Ino," Sasuke menyela dengan geraman, "Aku tahu kau tahu di mana dia berada dan kau tidak bisa memberitahuku. Well, kau bisa... tapi kau tidak mau."
Ino berjengit, sedikit kaget dengan ledakan Sasuke. Ia tahu Sasuke akan kesal tapi ia tidak mengharapkan ini. Mata Sasuke sangat gelap, wajahnya berkerut, dan dadanya sedikit naik. Pemuda itu sangat marah.
"Sasuke, aku berjanji pada Sakura bahwa aku tidak akan memberitahu siapa pun di mana dia berada." Ino memperhatikan ketika rahang Sasuke bergerak saat pemuda itu jelas menggertakkan giginya. Bersandar kembali ke kursi, Sasuke meneguk sodanya dan menutup matanya sejenak. Ketika Sasuke membukanya lagi, Ino tahu bahwa beberapa ketegangan telah mereda ketika pemuda itu berusaha menenangkan diri.
"Apa dia baik-baik saja?"
"Dia baik-baik saja." Perlahan Ino meneguk sodanya sambil nenghitung kata-katanya. Ia harus memastikan ia tidak banyak bicara. Aku tidak ingin mengkhianati Sakura. Tapi sial, Sasuke tampak menyedihkan!
Sasuke dengan kasar mengusap rambutnya yang acak-acakan. Mengumpat rendah, ia menatap mata Ino. "Aku merindukannya, Ino. Aku tahu kau tidak akan memberitahuku di mana dia... hanya saja... aku sangat merindukannya." Sambil menatap gelasnya, ia menambahkan, "Hanya dia yang kupikirkan."
Ino tidak bisa berkata apa-apa pada sikap penerimaan dan nada suara Sasuke yang terdemoralisasi. Ia mengharapkan Sasuke marah dan ia bisa mengatasi pemuda itu ketika marah. Ia telah melewati tahun-tahun SMA yang cukup dengan Sasuke untuk mengetahui bagaimana menghadapi perasaan buruk pemuda itu. Abaikan, hindari, dan jangan memprovokasi! Tapi Sasuke yang rentan? Sasuke yang rentan adalah hal baru yang sama sekali berbeda.
Sasuke mendongak lagi, matanya lebih lembut. "Apa dia pernah menyebutku... seperti... sekali saja? Aku mengiriminya pesan di Facebook tapi dia mengabaikannya." Menekan punggungnya ke sandaran kursi kayu, ia menambahkan, "Aku merasa seperti dia lupa kalau aku pernah ada."
Ino menghela napas. "Sasuke, aku tidak tahu apa yang kau harap akan kukatakan. Aku... Sakura bertanya... ini..." Ino berjuang dengan apa yang harus ia katakan. Mudah untuk memberitahu Sakura bahwa ia tidak akan mengatakan apa pun pada Sasuke secara teori. Tapi kenyataan sekarang ia menghadapi Sasuke dan ia merasa perlu beberapa hal untuk dikatakan atas nama Sakura. "Kau menyakitinya, Sasuke. Reaksimu terhadap... untuk... apa yang terjadi?" Bagaimana aku berbicara tentang malam mereka berhubungan seks? "Caramu pergi? Itu menghancurkannya." Ino menatap mata Sasuke dengan tatapan menantang, "Kau mengabaikannya selama dua minggu, Sasuke. Kau berpura-pura dia bahkan tidak ada di sana. Teman macam apa itu?"
Kata-kata Ino menembus jantung Sasuke seperti pisau kecil yang tajam. Ia tahu semua ini. Shit, ia telah hidup sendiri selama berminggu-minggu sekarang, berulang-ulang. Tapi melihat emosi muncul di wajah Ino, melihat rasa sakit yang Ino miliki untuk Sakura, seperti melihat ke dalam hati Sakura, meskipun hanya sedikit, dan itu seakan merobeknya dari dalam.
"Ino, aku tahu aku mengacaukan semuanya. Aku terus memikirkannya. Seandainya saja aku melakukan banyak hal tentang malam itu dengan cara berbeda. Aku berharap... aku..." Sasuke berdiri, mendorong menjauh dari meja. "Aku tidak tahu apa yang aku inginkan, lagi. Lagi pula tidak ada yang penting. Dia sudah pergi. Dia tampaknya tidak akan kembali." Suaranya terdengar pecah. "Dan dia membenciku dan tidak ingin ada hubungannya denganku."
"Sasuke... kurasa dia tidak membencimu," ucap Ino dengan pelan, memperhatikan bahu Sasuke naik dan turun dengan napasnya yang acak-acakan. "Kurasa dia hanya... patah hati melihat bagaimana keadaan ini."
Sasuke berbalik, kata-kata Ino memicu reaksi yang kuat. "Dan kau tahu, Ino? Omong kosong ini bukan sepenuhnya salahku. Sakura tidak pernah memberitahuku bagaimana perasaannya padaku, kan? Tidak! Dia menyimpannya sendiri! Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun dan hanya memperhatikanku bertunangan dengan gadis lain. Itu tidak tampak seperti tindakan seorang wanita yang ingin bersamaku, bukan?"
"Apa yang kau harap dia lakukan, Sasuke? Memohon padamu untuk tidak menikahi Miyuki? Membahayakan persahabatan kalian? Mengatakan padamu..." Ino hampir menambahkan 'bahwa dia mencintaimu' tapi ia berhenti. Ia tidak bisa mengungkapkan perasaan Sakura. Itu bukan haknya. Dan ketika Sasuke berbicara lagi, jelas bahwa Ino tidak perlu menambahkan, karena pemuda itu sudah menemukan jawabannya.
"Mengatakan padaku bahwa dia mencintaiku? Ya, dia bisa! Lalu, semua ini tidak mungkin terjadi dan dia mungkin... Aku..." Sasuke berjuang keras dengan apa yang akan dikatakannya. "Dan kemudian mungkin aku akan memilikinya sekarang, daripada menghabiskan setiap waktu untuk membenci diriku sendiri atas apa yang terjadi dan sangat merindukannya..." Ia duduk kembali di kursi, tubuh dan pikirannya lelah.
"Apa kau menginginkan Sakura, Sasuke? Seperti itu?"
"Apa kau bercanda? Tentu saja aku menginginkan Sakura... Aku tidak akan menjadi gila jika aku tidak terlalu menginginkannya hingga aku tidak bisa bernafas. Meninggalkannya malam itu adalah kesalahan terbesar seumur hidupku. Dan kau tahu aku sangat kacau." Sasuke menggerakkan jari-jarinya dan menatap meja dengan seksama saat ia menunggu Ino untuk merespon.
Mulut Ino ternganga melihat pemuda sengsara yang duduk di seberangnya. Ya Tuhan... Dia mencintai Sakura. Sasuke mencintai Sakura! Uchiha Sasuke mencintai Haruno Sakura! Sasuke memiliki hati untuk Sakura! Ino ingin memekik, melompat-lompat, meraih ponselnya, dan segera menghubungi Sakura. Ini berita besar. Ini mengubah segalanya. Semua taruhan dibatalkan, sekarang!
Ino akhirnya menenangkan diri dan berkata, "Aku tidak menyadari bahwa kau mencintainya, Sasuke."
Sasuke mengeluarkan tawa sedih. "Aku juga tidak, sampai baru-baru ini. Aku..." Ia mencari kata-kata yang tepat. "...Kurasa sudah lama, sebenarnya. Tapi aku hanya tidak mau melihat atau tidak bisa melihatnya atau... fuck, aku tidak tahu. Yang kutahu adalah bahwa akh hanya ingin mendapatkannya kembali, Ino. Kau bisa mengerti itu, kan? Aku membutuhkannya. Sudah tujuh minggu sejak aku menatap matanya atau bahkan melihatnya dari kejauhan. Tujuh minggu."
Hati Ino sakit untuk Sasuke, lebih tepatnya untuk Sasuke dan Sakura, sebenarnya. Mereka berdua telah kacau dengan semua ini. Tapi aku tidak bisa mengkhianati Sakura... Aku tidak bisa memberitahu Sasuke di mana Sakura. Tapi Sasuke perlu memberitahu Sakura bagaimana perasaannya. Sakura pantas tahu... ini akan mengubah segalanya di antara mereka.
Ino dan Sasuke duduk diam ketika Ino bermain-main dengan gelasnya. Apa yang harus kulakukan? Aku sebenarnya ingin membantu orang bodoh ini karena, pada akhirnya, ini juga akan membantu mereka berdua. Dan aku ingin Sakura bahagia. Bahkan jika idiot inilah yang tampaknya paling berarti bagi Sakura. Perlahan, Ino memandang ke meja kecil yang berada diantara dapurnya dan ruang makannya. Disana ada foto-foto dirinya dan Sakura saat di Kagoshima. Ia telah mencetaknya sehingga ia bisa mengirim salinannya pada Sakura tapi belum sempat pergi ke kantor pos. Foto itu hanya beberapa meter di belakang kepala Sasuke, jawaban yang sangat pemuda itu cari. Hanya beberapa kaki...
Ketika Ino sedang berpikir, ponselnya berdering. Berdiri, ia membuat keputusan dan mulai berbicara sebelum ia berubah pikiran. "Sasuke, aku harus menerima telepon ini. Di belakangmu, ada beberapa foto terbaru yang aku ambil. Mungkin menarik bagimu."
Ino berjalan ke ruang tamu, di mana ia menjawab telepon. Bahkan ketika ia mulai berbicara, tangannya gemetar dan kepalanya berputar dengan ribuan pikiran. Maafkan aku, Sakura. Please...
Sasuke berdiri, melihat ke belakang di mana ia duduk. Ia melihat tumpukan beberapa foto, dan segera melihat wajah Sakura. Meraih foto-foto itu, ia menatapnya dengan terkejut. Gambar paling atas adalah Sakura dan Ino, tersenyum cerah. Mereka berada di suatu tempat tapi ia tidak tahu di mana. Namun, bagian yang paling jelas dari foto itu adalah senyum Sakura tidak mencapai matanya. Gadis itu tampak lesu dan lelah. Dan gadis itu tampak kehilangan berat badan. Sasuke merengut melihat foto itu. Di mana foto ini diambil?
Melihat foto yang berikutnya, ia melihat Sakura berpose di depan bangunan bata merah dengan tulisan 'Shonan Street Bakery' dilukis di jendela dengan huruf besar. Shonan Street? Di mana Shonan Street? Ada jutaan di seluruh tempat sialan di sana!
Namun, yang berikutnya adalah holy grail dari tumpukan foto itu karena menjawab satu pertanyaan yang telah menguasai Sasuke selama berminggu-minggu. Itu adalah foto Sakura dan Ino yang berdiri di atas kapal feri, tangan direntangkan ke udara dengan latar belakang gunung. Pandangan Sasuke tertuju pada latar belakang di foto itu sampai ia menyadari bahwa gunung itu adalah gunung Shiroyama. Sakura ada di Kagoshima.
SHIT! Sakura ada di Kagoshima!
Sasuke melihat sekeliling, mencoba mencari tahu apa yang harus dilakukan. Aku harus pergi kesana. Aku harus menemuinya. Menjatuhkan foto, Sasuke bergegas keluar dari ruang makan.
Ino masih berbicara di telepon ketika ia melihat Sasuke melesat ke ruang tamu. Menyela Ino, Sasuke bertanya, "Shonan Street?"
Ino mengangguk dengan serius. "North Shonan Street." Sasuke mulai melangkah pergi tetapi dihentikan oleh suara Ino. Berbalik, ia bertemu dengan mata Ino yang memohon. "Sasuke, jangan buat aku menyesali ini."
Wajah Sasuke, meskipun masih lelah, tampaknya telah kehilangan beberapa garis kekhawatiran yang telah menghiasi wajahnya ketika ia tiba. Dengan senyum miring, ia meyakinkan Ino, "Tidak akan, Ino, aku janji." Dan kemudian ia berjalan pergi.
Ino memperhatikan pintu apartemen ditutup ketika Sasuke menghilang dengan cepat. Sambil tersenyum di telepon, ia berkata, "Sai, Sasuke sedang dalam perjalanan untuk mendapatkan Sakura."
"Syukurlah," jawab Sai di ujung telepon.
"Aku hanya berharap Sakura memaafkanku..."
***
Enam jam kemudian, mobil Sasuke telah berada di tempat parkir jangka panjang di bandara dan ia telah duduk di kursinya di dalam pesawat ketika pesawat naik tinggi ke langit. Ia memandang ke luar jendela, merasa lebih baik daripada yang dialaminya selama ini. Dengan hanya membawa beberapa pakaian, dompet dan ponselnya di saku jaketnya, ia bergegas ke bandara dan membeli tiket pertama ke Kagoshima yang bisa ia dapatkan. Ia tidak punya alamat untuk menemukan Sakura selain 'North Shonan Street' tapi ia tahu bahwa ia akan menemukan Sakura. Ia harus. Segala sesuatu harus diperbaiki. Ia harus memiliki Sakura dalam hidupnya sekarang lebih dari sebelumnya.
Aku sedang dalam perjalanan, Saku.
***
Pada saat Sasuke tiba di Kagoshima, hari sudah larut dan gelap dan ia hampir kelelahan. Ia mencari alamat Shonan Street Bakery di ponselnya dan kemudian menemukan hotel yang paling dekat dengan tempat itu. Saat masuk ke kamar hotelnya, ia menarik lepas pakaiannya dan jatuh ke seprai yang dingin dengan wajah Sakura dalam benaknya ketika ia tertidur. Sakura ada di sana, di Kagoshima. Dan karena ia tahu lokasi umum 'tempat persembunyian' gadis itu, ia yakin bahwa ia akan menemukan gadis itu. Kekosongan yang hilang dalam hidupnya tidak boleh terus berlanjut.
***
Hujan turun dengan deras, menusuk kulit Sasuke. Ia semakin menempel ke ceruk dinding gedung ketika kesengsaraan situasi mulai terjadi. Bagaimana jika Sakura tidak pernah datang? Setelah tiba di toko roti Shonan Street Backery jam 6 pagi, Sasuke sudah berdiri di pinggir toko roti selama lima jam sejauh ini. Ia akan menyaksikan matahari sepenuhnya muncul di atas Kagoshima. Ia telah melihat banyak taksi dan mendengar banyak sirene. Rasanya juga seperti ratusan wanita telah lewat... tapi tidak satu pun dari mereka adalah Sakura.
Sambil mendesah, ia bersandar di dinding bangunan yang basah. Ia merasa sangat kecil hati. Ia tahu ini tidak akan mudah untuk menemukan Sakura, tapi tiba-tiba ketakutan mengalir di nadinya. Bagaimana jika ia tidak menemukan Sakura? Bagaimana jika Sakura tidak pernah muncul? Bagaimana jika sebenarnya ada tiga belas macam toko roti di North Shonan Street? Bagaimana jika Sakura menemukan kecoak di seluruh roti gandum yang gadis itu beli minggu lalu dan sekarang tidak mau membeli di toko roti ini lagi?
Ia memaksakan tekad ke dalam ususnya dan mengerang. Aku di sini karena aku perlu bertemu Sakura lagi. Aku perlu dia untuk memahami betapa menyesalnya diriku... dan aku tahu aku sangat kacau. Ia belum menyerah. Jika ada kemungkinan kecil bahwa Sakura akan ke toko roti ini, ia harus ada di sana.
Sakura terbangun dengan sakit kepala yang berdebar-debar dan perut bergemuruh. Ia pulang bekerja hingga larut malam dan ketika ia akhirnya berhasil kembali ke apartemennya, ia terlalu lelah untuk makan. Sekarang, perutnya seperti mencerna dirinya sendiri sementara ia meringkuk di bawah selimut, ia menyesali keputusan semalam. Ia berdiri, memaksakan dirinya untuk bergerak diantara deburan di kepalanya, mencari sesuatu untuk dimakan. Melirik jam digital di atas meja, ia membaca 12:30. Suara hujan yang mengetuk jendelanya mengingatkannya pada kenyataan bahwa setelah lima hari yang cerah, hujan turun kembali. Mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda, ia mengambil dua Tylenol, minum air, dan memakai jas hujannya. Sudah waktunya untuk mendapatkan sesuatu yang bisa dimakan.
Pada jam 12:50, perut Sasuke menggerutu begitu keras hingga ia mengira orang-orang di sekitarnya bisa mendengarnya. Ia belum makan apa pun sejak kemarin dan bau roti yang berasal dari toko roti itu seperti bentuk siksaan yang kejam. Melangkah keluar dari ceruk dinding, Sasuke memandang ke segala arah, matanya memandang ke cakrawala. Begitu ia memastikan bahwa ia tidak melihat Sakura di mana pun, ia masuk ke dalam toko yang ramai. Saatnya menguji rasa roti itu mengapa Sakura menyukai tempat ini hingga fotonya diambil di depan toko ini.
Sakura senang hari itu hari Minggu karena kerumunan orang normal di Shonan Street jauh lebih sedikit, bahkan pada jam 12.55 siang. Memandang sekilas ke toko roti, ia berbelok ke sudut dan menuju kafe. Ia membutuhkan lebih dari sekedar bagel dan keju krim hari ini.
Setelah Sasuke mengantri sangat lama hanya untuk membeli makanannya. Duduk di sebuah meja kecil tepat di dekat jendela, ia menenggelamkan giginya ke dalam empuknya bagel mengkilap. Teksturnya begitu lembut saat menyentuh lidahnya, dan ia menyeringai. Tidak salah Sakura menyukai tempat ini! Ia duduk diam, menikmati bagel dan sebotol sodanya seraya memandang ke jalan kota yang masih diguyur hujan. Dimana kau, Sakura? Ini sudah jam 1 siang. Tolong muncul hari ini. Kumohon.
Sandwich ayam panggang yang dipesan Sakura di kafe itu rasanya benar-benar surgawi. Tidak hanya meredakan perutnya yang keroncongan, tapi juga menghilangkan sisa-sisa sakit kepalanya. Tersenyum karena ia merasa jauh lebih baik, ia melangkah keluar ke jalanan yang masih diguyur hujan dan berjalan kembali ke arah dimana ia datang sebelumnya. Ia punya hari libur dan ia bertekad untuk menikmatinya.
Jam 1:47 siang. Satu lebih empat puluh tujuh. Hujan sedikit berkurang tapi Sasuke masih sangat basah hingga ia merasa perlu waktu berminggu-minggu untuk mengeringkan diri. Ia sudah menunggu hampir tujuh jam. Tujuh jam, shit. Mengumpat dan menendang puntung rokok yang basah, ia menjatuhkan tubuhnya ke bangku kayu basah di depan toko roti. Mengubur kepalanya di kedua telapak tangannya, ia menutup matanya dan mengerang putus asa. Ia tidak pernah menyadari betapa menyakitkannya harus tanpa henti menunggu satu hal yang paling ia inginkan dalam seluruh kehidupannya yang menyedihkan.
Berjalan sambil bersenandung, Sakura melambat saat melewati kerumunan yang berkumpul untuk menunggu hujan reda dan akhirnya berhasil berbelok di tikungan dan keluar dari kerumunan orang. Ketika ia mendongak, ia melihat seorang pria dengan wajah tersembunyi di tangan duduk di bangku di depan toko roti. Langkahnya melambat. Aku mengenali jaket itu.
Sakura melangkah lebih dekat, mendorong tudung jas hujannya ke belakang dari wajahnya sehingga ia bisa mendapatkan pandangan yang lebih baik. Matanya mengamati kepala pria itu yang terkulai dan tersembunyi di jari-jarinya. Tubuhnya menjadi dingin, ketegangan mengalir ke otot-ototnya, ketika ia mengenali jari-jari panjang itu. Seribu kali, ia melihat jari-jari itu dengan ahli memetik senar gitar. Dan satu kali, pada satu kesempatan tunggal, ia merasakan jari-jari itu meluncur di atas tubuhnya, membelai dan menggoda, dengan keahlian yang sama besarnya. Matanya melebar, tangannya bergerak menutup mulutnya karena terkejut. Tanpa disadari, ia mengeluarkan suara mencicit. Pria itu mendongak saat mendengar suara napas seseorang yang terkejut dan mata mereka bertemu.
Sasuke.
Sakura!
Sasuke melompat dari bangku, kakinya melangkah cepat di trotoar ketika ia berlari ke arah Sakura. Gadis itu tetap berdiri, terlalu terpana untuk bergerak.
"Sakura! Terima kasih Tuhan!" Sambil berhenti di depan gadis itu, Sasuke mengamati wajah Sakura. Sakura tampak sangat cantik, meskipun matanya tampak lelah dan gadis itu jelas-jelas kehilangan berat badan. Tangan Sasuke gatal ingin menyentuh kulit gadis itu. Telapak tangannya tergelitik untuk melingkar di bahu Sakura dan menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Sebagai gantinya, ia memasukkannya ke dalam saku celananya dan terus menatap Sakura, wajah gadis itu tak terbaca.
"Sasuke... ap... apa yang kau lakukan di sini?" Suara Sakura lemah, hampir sepenuhnya tenggelam oleh suara taksi yang menciprati genangan air saat melintas.
"Untukmu, Saku," hanya itu yang bisa dikatakan Sasuke. Jantungnya berdebar kencang karena Sakura akhirnya... akhirnya berdiri di depannya. Aku mencintaimu. Maafkan aku. Aku membutuhkanmu dalam hidupku. Tolong katakan padaku kau mencintaiku. Aku minta maaf. Bisakah kita mulai lagi? Apa kau masih mencintaiku? "Aku merindukanmu dan... Fuck, Sakura, maafkan aku..."
Sakura merasa kepalanya seolah sedang berenang. Hujan mengguyurnya, sakit kepalanya kembali, dan ia merasa lemah. Sasuke berada di Kagoshima. "Bagaimana kau menemukanku?" Kenapa kau di sini? Kenapa kau merusak kehidupan bebas yang coba kubuat, Sasuke? Aku tidak bisa bertemu denganmu! Aku tidak bisa... Ini terlalu sulit.
Tidak ingin Sakura tahu bahwa Ino membantunya, Sasuke mengangkat bahu dan memberi Sakura senyuman gugup. "Aku punya cara..." Ia melihat sekeliling, mencoba menemukan tempat di mana mereka dapat berbicara secara pribadi. "Dengar, Saku... bisakah kita pergi ke suatu tempat dan berbicara?" Dadanya sakit hanya karena melihat Sakura. Sudah dua bulan sejak ia melihat Sakura, dua bulan sejak ia bisa menyentuh dan merasakan napas gadis itu di kulitnya. Ia membutuhkan waktu berdua untuk berbicara dengan Sakura. Namun, hatinya mencelos ketika Sakura menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Sasuke... kurasa kita tidak bisa. Aku... aku tidak punya apa-apa untuk dikatakan padamu." Tangan Sakura gemetar sehingga ia menyelipkannya di saku jas hujannya. Jantungnya berdebar keras di telinganya, ia yakin orang yang lewat bisa mendengarnya. Aku harus pergi dari sini... darinya. Sakura berbalik untuk melarikan diri, tapi tangan Sasuke yang kuat keluar dari sakunya dan menggenggam pergelangan tangan Sakura.
"Kumohon, Sakura, jangan pergi!" Suara Sasuke panik. "Kumohon... kita harus bicara."
Sakura menarik lengannya dari genggaman Sasuke dan melesat ke seberang jalan. Sasuke mengawasi Sakura pergi hampir selama satu detik penuh sebelum mengikuti gadis itu. "Sakura!" Suaranya nyaring dan ia praktis menggeramkan nama gadis itu, tapi ia tidak peduli. Gadis yang telah memenuhi hampir setiap pikirannya selama dua bulan terakhir berlari darinya seolah ia adalah musuh dan bukan seseorang yang pernah sangat berarti baginya. Untung saja, kaki Sasuke yang panjang dan atletis bisa membuatnya menyusul Sakura. Meraih lengan Sakura lagi, ia menarik gadis itu ke gang kecil terdekat dan berlindung dari hujan. Kedua dada mereka terengah-engah dan hujan membasahi wajah mereka, menyerap ke dalam pakaian mereka yang sudah basah kuyup.
Mata Sasuke mengamati wajah Sakura lagi, tapi gadis itu menolak untuk menatapnya. Sebaliknya, Sakura menatap tanah. Sasuke melihat tubuh Sakura gemetar dan ia mengerang frustrasi. Ketika gairah, cinta, dan ratusan emosi berlebihan berkecamuk di sekujur tubuhnya, Sasuke menutup jarak di antara dirinya dan Sakura dan melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu, menyentak gadis itu ke tubuhnya dengan kasar. Sakura mendongak, terkejut pada pelukan Sasuke yang berani ini, dan Sasuke mengambil kesempatan itu untuk menempelkan bibirnya ke bibir Sakura dalam ciuman brutal, hampir menyakitkan. Sakura mencoba memprotes tapi teredam di mulut Sasuke, pemuda itu menahan Sakura dengan menggeser lidahnya di sepanjang bibir gadis itu, menyebabkan getaran tak sadar meluncur dari tulang punggung Sakura ke perutnya. Selama beberapa detik, Sakura terlalu terpana untuk melakukan apa pun kecuali balas mencium Sasuke kembali.
Perlahan-lahan, Sakura menyingkirkan kerinduan yang berapi-api dari tubuhnya dan mulai menyadarkan dirinya. Ia berjuang untuk melepaskan diri dari pelukan Sasuke, tapi tangan Sasuke bergerak ke rambutnya, meremasnya dengan erat. Bibir Sasuke meluncur dari bibir Sakura ke pipi gadis itu dan kemudian ke telinga gadis itu, di mana napasnya terasa panas di wajah Sakura ketika Sasuke berbisik, "Maafkan aku, Sakura. Aku sangat merindukanmu..." Ia menjatuhkan ciuman di sepanjang rahang Sakura dan berbisik lagi, "Maaf..."
Sambil menarik napas dalam-dalam, Sakura menyentakkan kepalanya menjauh dari Sasuke, melepas tangan Sasuke dari rambutnya. Sakura memelototi Sasuke, dan Sasuke melihat kemarahan melintas di mata gadis itu. Ia tahu Sakura akan berbohong tapi ia tidak peduli. Setidaknya ia akan berbicara dengan Sakura.
"Tinggalkan aku sendiri, Sasuke," Sakura memohon dengan pelan.
"Tidak, Saku. Aku tidak akan pergi. Aku tidak bisa." Suara Sasuke nyaring dan goyah. Dia tidak bisa lari dariku seperti ini. Tolong, jangan lagi.
"Aku rasa, ketidakhadiranku dalam hidupmu adalah indikasi yang jelas bahwa aku tidak ingin ada hubungannya denganmu. Mungkin kau tidak mengerti saat aku mengabaikan pesanmu juga, tapi diamku sudah menjadi sangat jelas; kita tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan satu sama lain. Terlepas dari upayamu untuk menahanku dengan kekuatan fisik, kita masih tidak memiliki sesuatu untuk dibahas. Sama sekali tidak ada." Kau menghancurkan hatiku, Uchiha Sasuke. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu untuk itu.
"Itu omong kosong," bentak Sasuke. "Aku memang mengacaukan semuanya dan aku minta maaf. Kau berhak membenciku. Tapi kita punya banyak hal yang perlu dibicarakan, yang seharusnya sudah dibicarakan berbulan-bulan yang lalu. Aku tidak akan pergi sebelum kita bicara. Kumohon?" Suaranya merosot lebih rendah pada kata terakhir, putus asa menyatu dengan amarahnya.
Sakura merasa amarah dan stres meningkat di perutnya, membuat perutnya terasa naik dan masuk ke tenggorokannya. Aku tidak ingin berbicara denganmu! "Tinggalkan aku sendiri," Ia menggerutu. "Aku pergi sekarang. Dan jangan ikuti aku. Dan jangan kembali ke sini juga. Aku di Kagoshima karena suatu alasan jadi tinggalkan aku sendiri. Apa pun yang kita bagi dulu, sekarang sudah hilang." Sakura berjalan kembali ke tengah hujan dan Sasuke memperhatikan gadis itu pergi.
Tangan Sasuke gemetar... ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak berharap melihat begitu banyak... kebencian. Dan itu hampir melumpuhkannya. Ketika Sakura hampir satu blok di depannya, ia berlari mengejar gadis itu lagi.
"Sakura!" Sasuke berteriak. Fuck... Aku harus membuatnya berhenti! "Sakura, kumohon! Aku mencintaimu!" Sasuke memperhatikan ketika gadis itu melambat, kata-kata Sasuke meluncur menembus hujan dan suara lalu lintas hingga Sakura tidak yakin mendengarnya.
Sasuke menyaksikan ketika Sakura melirik ke belakang sejenak, ekspresi penasaran di wajahnya, sebelum gadis itu mengambil langkah lagi. Sasuke mengikuti Sakura dan tepat saat itu Sakura berlari ke sebuah bangunan bata merah. Mempercepat langkahnya, Sasuke berlari mengejar Sakura. Sepatu basahnya melintasi lantai ubin hingga ia mencapai tangga pintu masuk gedung. Ia melihat ke kanan lalu ke kiri dan melihat Sakura masuk ke sebuah pintu sebelum ia mendengar pintu dibanting menutup. Berlari ke arah sana, Sasuke menatap pintu itu. Apartemen 1D. Tempat tinggal Sakura di sini.
Berdiri di luar, Sasuke mengetuk pelan. "Sakura..." Ia tidak mendengar apa pun. "Sakura," Ia mencoba lagi. "Aku tahu kau ada di dalam. Tolong. Beri aku waktu lima menit. Itu saja yang aku minta..." Ia menunggu, berharap pintu itu akan terbuka. Namun, keheningan total yang menyambutnya. Mengumpat dengan keras, Sasuke menendang pintu itu dan kemudian berjalan ke seberang pintu.
Baik. Jika dia seperti itu, aku hanya akan menunggunya sampai dia keluar lagi.
Merosot ke lantai, Sasuke menyentak jaket basahnya dan melemparkannya. Meluruskan kakinya, ia menyilangkan kakinya di pergelangan kaki. Aku tahu di mana kau berada dan kita harus bicara.
Napas Sakura memburu di balik pintu. Apa dia bilang? Apa aku baru saja mendengar dia berkata dia mencintaiku? Ia menyingkirkan pikiran itu dari kepalanya. Aku pasti salah dengar. Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia tidak pergi? Dengan marah mengusap air mata yang mengalir, Sakura berjalan ke kamarnya untuk mengganti pakaiannya yang basah. Setelah mengeringkan rambutnya, ia memakai sweater dan dengan diam-diam kembali ke ruang tamu karena ia yakin ia mendengar Sasuke masih di luar pintu. Berdiri beberapa inci dari pintu, ia fokus keras mendengarkan. Ia bisa mendengar Sasuke berjalan mondar-mandir di sisi lain pintu, mendesah keras. Ia memejamkan matanya tertutup terhadap rasa sakit yang disebabkan kedekatan jarak mereka. Melihat Sasuke lagi telah menghantamnya seperti sentakan petir, mata onyxnya yang indah, fitur yang rupawan, tubuh yang kuat, dan fakta bahwa ia masih sangat mencintai Sasuke hingga seluruh tubuhnya berdenyut karenanya. Waktu dan jarak hanya berpengaruh sangat sedikit untuk menghilangkan perasaan itu, pikir Sakura sedih. Waktu dan jarak juga gagal menghilangkan rasa sakit dan kemarahannya.
Sakura berbalik dan meraih ponselnya. Melihat kontak-kontak disana, ia melihat sebuah nama dan meghubungi nomor itu dengan cepat. Sudah waktunya untuk memanggil bala bantuan.
***
Sasori akui, ia sangat terkejut ketika Sakura menghubunginya pada hari Minggu dan memintanya untuk datang. Suara gadis itu bernada tinggi dan goyah dan butuh beberapa saat baginya untuk memahami sepenuhnya apa yang dikatakan gadis itu. Namun, begitu Sakura berhasil memperlambat ucapannya dan menjelaskannya, Sasori dengan cepat mematikan televisi, dan menuju ke apartemen gadis itu.
Dua puluh menit kemudian, Sasori berada di gedung apartemen Sakura dan berjalan ke dalam. Dari jauh ia melihat sesosok pemuda duduk di lantai di depan pintu Sakura. Sasori berdiri di depan pemuda itu, menatap ke bawah.
"Uchiha," Sasori mengangguk dengan serius.
Sasuke berdiri, tegang dan siap untuk memukul jika perlu. Bagaimana orang ini bisa mengenalku?
"Siapa kau?" tanya Sasuke ke arah pemud berambut merah yang sekarang berdiri di depan pintu Sakura.
"Temannya," jawab Sasori, menunjuk ke arah pintu apartemen Sakura.
"Jadi, kurasa dia memberitahumu tentang aku?"
Sasori mengangguk, menyilangkan lengan di dada sehingga otot-ototnya menggembung. "Aku tahu semua tentang itu."
Sasuke menyilangkan lengannya dengan cara yang sama. Jika pemuda ini ingin pertempuran senjata, Sasuke bisa bertarung dengan mengeluarkan semua yang terbaik. Dan aku akan menang setiap saat.
"Aku tidak tahu siapa kau dan aku tidak peduli... Yang ingin aku lakukan adalah bicara dengannya. Hanya sebentar..." Sasuke mengerutkan bibirnya meskipun kepalanya berteriak untuk meninju keparat di depan matanya ini.
Sasori memandang pemuda menyedihkan yang berdiri di depannya dan tertawa kecil. Ada lingkaran hitam yang terlihat di bawah mata Sasuke dan pakaiannya basah dan kusut. Sangat menyedihkan! Berbalik dari Sasuke, ia mengetuk dengan buku-buku jarinya ke pintu Sakura. Sasuke sekarang berdiri sangat dekat hingga Sasori bisa merasakan napasnya di belakang lehernya.
"Sakura, ini aku, Sasori. Biarkan aku masuk." Ada keheningan sesaat sebelum kedua pemuda itu mendengar pintu terbuka. Perlahan-lahan, pintu itu membuka sedikit dan mata Sakura muncul dan terkunci dengan mata Sasori. Sasori mengangguk diam-diam dan ketika Sakura mulai membuka pintu, Sasori meletakkan tangannya ke dada Sasuke untuk menahan pemuda itu maju ke pintu yang terbuka. Dengan cepat dan cekatan, Sasori menyelinap masuk dan menutup pintu di depan wajah Sasuke.
Sasuke berdiri tertegun, jantungnya berdebar. Dia membiarkan pria itu masuk ke apartemennya. What the fuck? Kenyataan bahwa Sakura mungkin memiliki seorang teman pria, karena ia menolak untuk berpikir bahwa itu mungkin lebih dari teman, rasanya menyengat dadanya. Dengan teriakan frustasi, Sasuke berjalan kembali ke dinding seberang. Ini bullshit!
***
Begitu Sasori ada di dalam, Sakura memeluknya. "Maaf aku meneleponmu... Aku hanya ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa..."
Sasori melingkarkan lengannya di sekitar Sakura dan menarik gadis itu mendekat. "Kau gemetaran," ucapnya ke rambut Sakura. "Apa dia mencoba menyakitimu?" Ia meletakkan tangannya di lengan Sakura dan menarik diri untuk melihat gadis itu. "Aku akan menghajarnya jika dia mencoba melukaimu!"
Sakura dengan cepat menjawab. "Tidak! Tidak, tentu saja tidak! Dia tidak akan pernah menyakitiku secara fisik..."
"Lalu kenapa kau gemetaran?"
Mata Sakura menjadi gelap, garis-garis kekhawatiran muncul di matanya. "Aku tidak tahu... kurasa aku hanya terkejut dia ada di sini. Jelas aku tidak berharap dia muncul di sini, di Kagoshima!"
Sasori mendengus. "Ketika kau berdrama, Sakura, kau sangat berdrama. Bagaimana dia bisa menemukanmu?"
Sakura mengangkat tangannya, berjalan kembali ke pintu untuk melihat melalui lubang intip lagi. "Aku tidak tahu! Aku punya firasat bahwa Ino, temanku yang tercinta, pantatnya butuh ditendang. Hanya dia dan ibuku yang tahu persis di mana aku berada. Dan, sekarang mereka berdua dan... Sasuke... yang tahu aku pindah begitu jauh ke sini!" Ia menunjuk ke pintu yang tertutup untuk penekanan. Ia mengusap rambutnya yang basah dan menatap mata Sasori. "Aku tidak tahu harus berbuat apa! Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang... Aku telah melakukannya dengan baik tanpa dia di sekitarku dan saat aku melihatnya lagi..." Suaranya menghilang saat ia memikirkan Sasuke, berdiri di balik pintu apartemennya. Kurang dari sepuluh kaki jauhnya, seluruh sumber kesedihannya berdiri disana... menunggu. Ia merasa akan pingsan. Dengan erangan frustasi, ia meraih tangan Sasori dan jatuh ke sofa. "Apa yang dia lakukan di sini?" gumamnya.
Sasori menatap gadis di depannya. Wajah gadis itu pucat, khawatir, dan tampak gugup. Mata gadis itu berulang kali melesat bolak-balik dari pintu ke lantai di depannya.
"Sakura... kau mau mengundang dia masuk?" Sasori berbicara perlahan, takut Sakura akan mencekiknya atas sarannya.
"Ya... Tidak!" Sakura menarik napas dalam-dalam dan kemudian mengulangi, "Tidak. Kami tidak punya apa-apa untuk dibicarakan satu sama lain."
Sasori memandang Sakura dengan rasa ingin tahu. "Benarkah? Karena kupikir kalian berdua punya banyak hal untuk dibicarakan satu sama lain. Dia jelas berusaha cukup keras untuk menemukanmu dan datang sejauh ini. Itu berarti sesuatu, bukan?"
Sakura menatap tajam pada Sasori. "Jadi kau memihaknya, huh? Kau tahu apa yang dia lakukan padaku!"
"Sakura... kau mencintainya, bukan? Bahkan setelah semua itu?"
Sakura mengangguk, rasa sakit dari kenyataan bahwa ya, bahkan setelah semua yang telah mereka lalui dan kesedihan yang ia alami, ia masih sangat mencintai Sasuke hingga membuatnya takut.
"Kalau begitu, biarkan dia masuk..." Sasori duduk di sebelah Sakura.
"Tidak... aku belum siap," Sakura bersandar ke sofa. "Maksudku, aku masih mencintainya, ya. Tapi aku juga sangat membencinya karena apa yang terjadi. Aku tidak pernah begitu terluka sepanjang hidupku... dan di tangan sahabatku?" Ia melihat perlahan ke pintu. "Tidak... aku benci dia." Ia terdengar seperti ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri dan Sasori tidak mempercayainya.
"Dasar wanita..." gumam Sasori, tiba-tiba merasa kasihan dengan pria yang tampak menyedihkan berdiri di luar pintu.
Sakura tidak berbicara selama beberapa menit dan Sasori tahu bahwa gadis itu berusaha keras untuk mengetahui apakah Sasuke masih di balik pintu.
"Kau ingin aku mengundangnya masuk untukmu?" Sasori berdiri dan berjalan menuju pintu.
"Tidak!" Jerit Sakura, bergegas menyusul Sasori.
Sasori tertawa ketika Sakura menghalanginya. Sambil memegangi gadis itu, ia menuntun gadis itu kembali ke sofa.
Di sisi lain pintu, Sasuke mendengar Sakura menjerit dan si brengsek itu tertawa. Tinju Sasuke memutih saat ia mengepalkan buku-buku jarinya. Apa dia pacar Sakura? Fuck! Bersandar ke dinding, Sasuke melotot ke pintu, mencoba secara ajaib mendapatkan penglihatan x-ray sehingga ia bisa melihat apa yang terjadi di dalam. Pikiran bahwa Sakura sudah memiliki seorang pria dalam hidupnya membuatnya mual. Pikiran itu mengatakan padanya bahwa mungkin Sakura sama sekali tidak mencintainya. Ia memejamkan mata terhadap rasa sakit yang disebabkan oleh tarikan dan daya tarik yang intens yang dirasakannya ini.
Ia kemudian mengingatkan dirinya untuk tenang. Tenanglah, Uchiha. Dia mencintaimu. Dia tidak akan pergi jika dia tidak merasa dia harus... dia mencintaimu... dia mencintaimu...
***
Setelah satu jam hampir hening, hanya terputus oleh dengusan sesekali Sakura, Sasori menguap. "Sakura... apa kau masih membutuhkanku? Aku agak... well... jujur saja, aku benar-benar tidak nyaman sekarang."
Sakura memberi Sasori senyum sedih. "Maaf aku mengganggumu, Sasori. Aku hanya panik."
Panik? Kau sangat ketakutan, pikir Sasori.
"Aku harus pulang karena ibuku akan mampir sebentar untuk makan malam, tapi... Hubungi aku, oke? Dan jika kau memutuskan untuk membiarkannya masuk, kau mungkin akan merasa lebih baik. Kau tahu kau sendiri sebenarnya menginginkan itu..." Sakura berdiri untuk mengantar Sasori ke pintu tapi pemuda itu menghentikannya. "Aku akan keluar sendiri."
Mengangguk, Sakura duduk kembali di sofa ketika Sasori dengan cepat membuka pintu dan menyelinap keluar.
Tubuh Sasuke menegang ketika pintu mulai terbuka. Namun, harapannya dengan cepat pupus, ketika ia melihat pemuda berambut merah alih-alih yang berwarna merah muda yang cantik dari Sakura.
Sasuke melirik ke lantai, berharap pemuda itu akan pergi begitu saja. Tapi pemuda itu tidak melakukannya, ia merasakan pemuda itu berdiri di depannya, membuatnya mendongak.
"Dia benar-benar kesal," ucap Sasori.
Sasuke mengangguk. "Ya, kurasa."
"Apa kau hanya akan diam di sini?" Sasori menyilangkan lengannya lagi dan Sasuke melawan keinginan untuk memutar matanya.
Serius, dude? Aku benar-benar bisa memukulmu. "Aku berencana begitu... aku punya sesuatu untuk dibicarakan padanya..."
Sasori mengangkat bahu. "Semoga beruntung..." Berbalik, Sasori memasukkan tangannya ke dalam saku dan berjalan pergi, bersiul pelan.
Sasuke memperhatikan Sasori pergi dan begitu pemuda itu menghilang, ia memfokuskan kembali matanya ke pintu. Ayolah, Sakura. Kumohon...
Setelah Sasori pergi, Sakura mondar-mandir di dalam apartemennya, melangkah ke dapur, di sekitar sofa, dan kembali lagi. Begitu ia sendirian, ia membiarkan air matanya jatuh bebas. Tangannya benar-benar ingin menarik pintu terbuka hanya untuk menatap Sasuke lagi. Ia masih bisa merasakan ciuman yang intens dari Sasuke sebelumnya dan itu hanya membuatnya semakin sulit. Kenapa Sasuke menciumnya seperti itu? Dan apakah Sasuke benar-benar mengatakan apa yang ia pikir pemuda itu katakan? Sasuke tidak seharusnya ada di sini. Mereka tidak seharusnya bertemu lagi.
Sakura berjalan ke pintu setenang mungkin, berjinjit di atas jari kakinya, untuk melihat ke lubang intip. Ia bisa melihat Sasuke bersandar di dinding seberang. Kepalanya tertunduk dan tangannya mengusap keningnya perlahan.
Isi perut Sakura terasa berteriak agar Sasuke pergi tapi juga ingin pemuda itu masuk ke dalam apartemennya. Ia tidak ingin melihat Sasuke lagi tapi juga tidak ingin membiarkan pemuda itu pergi lagi. Ini adalah siksaan absolut. Dorongan dan tarikan pemuda itu di hatinya hampir membuatnya pingsan. Bagaimana aku bisa mencintaimu dan membencimu disaat yang bersamaan?
***
Pukul 12:30 tengah malam, Sasuke masih di luar apartemen Sakura. Ia duduk di lantai lagi, menatap pintu. Tidak ada cahaya yang datang dari bawah pintu dan ia mengira Sakura sudah pergi tidur. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding, mencoba mencari tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia telah datang sejauh ini dan ia hampir tidak tidur selama berhari-hari. Tubuhnya dipenuhi dengan kebutuhan untuk menyentuh Sakura lagi. Nama gadis itu ada di setiap detak jantungnya. Ia telah tiba di Kagoshima, berencana mengemis dan memohon. Ia akan merendahkan dirinya jika itu memang harus. Ia sudah merencanakannya. Ia sudah mempersiapkan pidato besar sehingga Sakura akan mengerti bagaimana perasaannya. Tapi sebagai gantinya, ia duduk menatap pintu apartemen Sakura. Diamnya gadis itu benar-benar menyiksa.
Pada jam 3 pagi, Sasuke menyerah. Berdiri, ia melirik pintu apartemen Sakura untuk yang terakhir. Hatinya sangat berat ketika ia melangkah keluar gedung dan menelepon taksi yang akan membawanya kembali ke hotel. Ia akan tidur beberapa jam dan datang kembali di pagi hari untuk mencoba lagi. Ia merasakan perutnya menegang ketika ia menyadari bahwa ia harus pergi besok. Tidak ada yang tahu di mana ia berada, selain Ino, dan ia juga harus bekerja. Pikiran untuk meninggalkan Sakura begitu ia menemukan gadis itu membuatnya gemetar karena marah dan rindu. Sakura seharusnya berbicara dengannya.
***
Sakura berbaring di sofa malam itu alih-alih di kamarnya. Ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia terlalu gugup untuk tidur nyenyak tapi dalam hati, ia tahu itu karena Sasuke hanya beberapa kaki jauhnya ketika ia berada di sofa itu. Ia bersumpah ia bisa mencium aroma yang begitu familiar. Ia menyukai aroma dari tubuh Sasuke. Aroma itu menghiburnya sampai pemuda itu menolaknya dan pergi di malam itu. Dan sejak itu, aroma itu hanya mewakili saat terburuk dalam hidupnya.
"Sasuke," bisik Sakura ke dalam kegelapan. "Aku tidak ingin kau di sini. Kau membuatku kesal..." Sambil menutup matanya, ia mencoba memaksa dirinya untuk tidur.
Di tengah malam, ia bangun ketika ia mendengar langkah kaki di luar pintu. Ia melangkah pelan ke pintu sehingga Sasuke tidak akan mendengarnya, ia mengintip dan memperhatikan Sasuke berdiri. Dengan pandangan terakhir ke pintu, pemuda itu berjalan pergi. Air mata mengalir di pipi Sakura ketika Sasuke menghilang dari pandangannya. Ya Tuhan... dia pergi. Jangan pergi... Ya... pergilah. Mengapa melindungi potongan-potongan terakhir hatinya dari Sasuke hampir sama buruknya dengan pertama kali pemuda itu menghancurkannya?
***
Sakura bangun pagi-pagi dan memaksa dirinya ke kamar mandi. Melirik ke luar jendela, ia memutuskan untuk berganti pakaian dan pergi ke gym untuk membakar tekanan emosionalnya. Olahraganya tidak sampai siang dan jika ia tidak keluar dari apartemennya, ia takut ia akan terus frustasi. Ketika ia melangkah dengan hati-hati ke lorong, ia melirik ke segala arah. Lorong apartemen itu kosong. Sasuke tidak terlihat. Ia menggerakkan pundaknya yang tegang, berusaha menyingkirkan ketegangan yang dirasakannya, dan kemudian ia menuju ke pintu masuk utama. Ketika ia berbelok, ia bertabrakan langsung dengan Sasuke, yang bersandar di kotak surat. Karena terkejut, ia melompat mundur.
"Kau masih di sini?" Sakura terdengar lebih ke arah terkejut daripada marah, yang membuat Sasuke merasa lebih baik.
"Aku kembali. Pergi ke hotel untuk tidur beberapa jam..." Tangan Sasuke tenggelam di saku jaketnya dan pemuda itu tampak... sedih. Sakura tahu emosi Sasuke dengan baik... ia telah mempelajarinya selama bertahun-tahun.
"Well, aku harus pergi..." Sakura mulai melangkah pergi tapi jari-jari Sasuke yang kuat mencengkeram lengannya dengan erat.
"Bisakah kita bicara?" Suara Sasuke lelah, hampir menyerah. Dan itu membuat perut Sakura mengencang.
Sakura tak memandang Sasuke, "Aku tidak siap untuk berbicara denganmu, Sasuke."
Sasuke mengumpat pelan, melepaskan lengan Sakura. "Fuck, Sakura... kumohon? Aku harus kembali ke Hokkaido hari ini karena aku harus bekerja besok. Aku hanya ingin berbicara denganmu... Aku baru saja menemukanmu dan aku tidak ingin pergi lagi. Hidupku seperti sampah tanpa dirimu. Kumohon... lima menit?"
"Aku bilang aku belum siap." Sakura mencoba membuat suaranya menantang tapi suaranya hanya terdengar melelahkan. Hidupnya seperti sampah tanpaku?
Sasuke ingin meninju sesuatu. Ia sudah sangat dekat dan Sakura mendorongnya menjauh. Ia tidak tahu mengapa ia terkejut. Ia tahu Sakura tidak akan melemparkan diri ke dalam pelukannya. Fuck, gadis itu telah pindah sejauh 2400 mil hanya untuk bebas darinya. Tapi shit... Sakura mencintainya. Ia tahu Sakura mencintainya. Dan ia mencintai gadis itu.
"Kapan kau akan siap untuk berbicara?" Suara Sasuke rendah, kata-kata itu diucapkan dengan cermat.
"Suatu hari, mungkin..." Sakura terus menatap ke arah lain. Ia menolak untuk menatap mata Sasuke. Ia lemah jika menatap onyx pemuda itu. Dan ia tahu matanya akan mengkhianatinya... jadi ia menatap ke depan.
Sasuke menghembuskan napas. "Suatu hari lebih menjanjikan daripada tidak pernah." Ia berdiri tegak, mendorong tangannya kembali ke sakunya. "Dengar, Sakura... Aku harus pulang untuk mengurus beberapa hal. Tapi aku akan kembali... dan aku akan segera kembali. Aku tidak menyerah. Aku tidak peduli jika kau membuatku menunggu lima bulan atau lima belas tahun, kita harus berbicara. Kita punya banyak hal untuk dibicarakan, entah kau siap mengakuinya atau tidak."
Mata Sakura melesat ke wajah Sasuke dan kemudian menatap ke arah lain lagi. Sasuke ingin menarik Sakura dan memeluk gadis itu erat. Ia ingin berteriak bahwa ia mencintai Sakura lagi, tapi ia tahu Sakura tidak akan percaya padanya. Kemarahan dan kepahitan yang dilihatnya di mata Sakura memberitahunya semua yang perlu ia ketahui. Ini akan lama sebelum Sakura memercayai cintanya, terlepas dari seberapa tulus perasaannya.
"Selamat perjalanan pulang, Sasuke," gumam Sakura pelan, dadanya begitu kencang hingga terasa sakit karena Sasuke akan pergi.
"Aku akan kembali, tandai kata-kataku. Ini..." Sasuke memberi isyarat diantara mereka berdua, "...belum berakhir. Kau dan aku? Kita baru saja mulai."
Tanpa berkata apapun, Sakura melangkah menjauh. Sasuke memperhatikan gadis itu pergi, jantungnya semakin tenggelam ke dalam perutnya dengan setiap langkah yang membawa Sakura menjauh darinya.
Ketika gadis itu menghilang dari pandangannya, Sasuke bergumam, "Aku mencintaimu, Sakura." Kemudian ia menutup matanya. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Lama setelah Sakura pergi, Sasuke masih berdiri di gedung apartemen gadis itu. Ia tahu ia harus pergi ke bandara. Ia harus terbang kembali ke Sapporo untuk bekerja di pagi hari. Tapi pikiran untuk meninggalkan Kagoshima dan tidak bisa kembali selama satu atau dua atau tiga minggu membuatnya sakit, padahal, setelah hampir dua bulan, ia akhirnya tahu di mana Sakura berada.
Jadi Sakura mungkin belum ingin berbicara dengannya? Setidaknya ia bisa melihat gadis itu... dan mungkin, suatu hari, bisa menyentuh gadis itu lagi.
Sasuke menendang kotak surat dan mengumpat. Aku harus pergi... Tapi ia sepertinya tidak bisa membuat kakinya bergerak karena kakinya akan membawanya pergi dari gedung itu, tempat tinggal Sakura.
"Maaf, anak muda?"
Sasuke menoleh pada suara seorang wanita tua dan menemukan seorang wanita tua pendek dengan wig miring berdiri di belakangnya.
"Ya?" ucap Sasuke.
"Tampan, aku melihatmu di sini tadi malam juga. Jika kau mencari apartemen, telepon saja pemilik sewa. Mereka tidak sering berkunjung ke sini jika itu yang kau tunggu." Wanita tua itu tampak khawatir, yang menurut Sasuke sedikit menghibur.
Sasuke mengusap rambutnya, menatap wanita tua itu. Ia membuka mulutnya untuk berbicara tapi wanita tua itu memotongnya.
"Aku mendengar kemarin bahwa orang-orang jahat di lantai dua akan diusir." Wanita tua itu melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang di sekitarnya, lalu suaranya menjadi bisikan dan menambahkan, "Kurasa karena narkoba atau pelacuran atau sesuatu." Kemudian kembali ke nada suara normalnya, "Apartemen mereka akan segera kosong." Ia berjalan ke papan tanda di atas kotak surat dan Sasuke memperhatikan, seulas senyum tersungging di bibirnya karena tinggi wanita tua itu hampir empat kaki dan jarinya yang bengkok bahkan tidak mendekati tanda yang ditunjuk. "Ini nomor pemilik sewa. Jika kau meneleponnya, kau mungkin bisa mendapatkan apartemen."
Sasuke akan menggelengkan kepalanya dan mengatakan pada wanita tua itu bahwa ia tidak sedang mencari sebuah apartemen di Kagoshima tapi kemudian berhenti ketika ia merasakan ide cemerlang muncul di kepalanya. Apartemen kosong. Di gedung Sakura. Di Kagoshima Hanya beberapa langkah dari gadis itu. Sakura. Sakura. SAKURA!
Mengangguk, Sasuke mengetik nomor itu di ponselnya. "Terima kasih, Baasan."
Wanita tua itu menepuk pundak Sasuke. "Kau terlihat seperti pemuda yang baik. Kau tidak suka narkoba atau pelacuran atau hal-hal seksual mesum, kan?"
Sasuke memucat. "Uhh... Tidak ada narkoba atau prostitusi, aku janji." Tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk hal-hal seksual...
"Well, sepertinya kau akan baik-baik saja di sini. Sekarang telepon saja! Aku akan kembali ke dalam. Telenovela favoritku akan segera tayang dan aku tidak mau ketinggalan. Cassandra akan mencari tahu hari ini yang digunakan Walter untuk menjadi seorang wanita! Semua akan berantakan." Dengan lambaian, wanita tua itu membelakangi Sasuke dan kembali ke apartemennya.
Sasuke memperhatikan wanita tua itu beringsut kembali ke dalam apartemen dan menutup pintu. Ia menghembuskan napas dengan keras dan untuk pertama kalinya sejak ia tiba di sana, ia tersenyum lebar.
Ini mendadak. Ini akan menjadi hal yang mendadak untuk ia lakukan.
Gagasan bahwa ia akan mempertimbangkan untuk pindah ke sana tampaknya gila. Tapi sekali lagi, Sakura telah melakukannya. Dan ia akan melakukan apa saja untuk mengembalikan Sakura ke dalam hidupnya. Sakura akan menjadi miliknya untuk selamanya dan jika itu berarti memulai dari sini, ia akan melakukannya. Shit, ia akan mengikuti Sakura ke Rusia sekalipun jika memang harus.
Menelepon nomor itu, Sasuke berbicara pada seorang wanita yang mengangkat telepon. Beberapa menit kemudian, ia berjalan ke luar gedung dan memanggil taksi.
Tiga puluh menit kemudian, Sasuke melangkah keluar dari sebuah bangunan kecil di pinggir pusat kota Kagoshima dengan kontrak sewa untuk apartemen 2D di tangannya. Aku akan tinggal di lantai atas. Sakura pasti tidak akan bisa menghindariku sekarang. Shit, ini mendebarkan! Sasuke mendapati dirinya menyeringai pada rencananya sendiri. Ia mengenal Sakura dengan cukup baik dan bisa secara langsung membayangkan ekspresi epik yang akan Sakura tampilkan ketika gadis itu mendapatinya tinggal di lantai atas. Tapi ia juga tahu bahwa berada di dekat Sakura setiap hari adalah satu-satunya cara bahwa mereka akan pernah bisa melupakan masa lalu dan memulai dari awal bersama. Dan hidup tanpa Sakura di dalamnya adalah cara hidup yang benar-benar menyebalkan. Jadi fuck, ia akan pindah ke Kagoshima.
Sasuke menelepon taksi lain yang membawanya ke bandara. Segera, ia dalam penerbangan kembali ke Hokkaido. Sepanjang perjalanan, ia nyaris gemetaran karena rasa antisipasi. Begitu ia kembali ke Sapporo, ia akan mengundurkan diri dari pekerjaannya, mengemasi barangnya, dan kemudian membawa pantatnya kembali ke Kagoshima. Ibunya mungkin akan mengalami stroke ketika ia mengatakan pada ibunya itu bahwa ia akan pindah. Tapi ia percaya bahwa begitu ia mengatakan ini untuk Sakura, ibunya akan diam. Lagipula ibunya ingin mereka bersama.
Bersandar di kursi pesawatnya, Sasuke menyeringai dan menutup matanya. Haruno Sakura akan menjadi miliknya. Mungkin butuh berminggu-minggu atau berbulan-bulan atau bertahun-tahun tapi ia tidak menyerah sampai gadis itu menjadi miliknya seumur hidup.
***
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)