expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Leads to You #15


Chapter 15 - Terlalu Lama

"Jadi, bagaimana hasilnya?"

Sakura menjerit, memaksa Ino menarik ponselnya sejenak dari telinganya. "Aku diterima! Meskipun klinik itu kecil..." Sakura berhenti sejenak, "Tapi aku diterima!"

Pekikan Ino bergabung dengan Sakura di seberang sana. "Itu luar biasa, Forehead!"

"Aku tahu! Aku sangat bersemangat! Kerja dimulai hari Selasa."

"Dan kau punya kencan kedua dengan Sasori pada hari Jumat," tambah Ino.

Sakura tersenyum. "Ya, benar. Aku benar-benar menantikannya. Kencan pertama sedikit aneh, seperti semua kencan pertama, tapi dia benar-benar pria yang sangat baik."

"Dia juga begitu tampan hingga membuat orang-orang di sekitarnya terbakar seketika," tambah Ino, mengingat pada pemuda tampan berambut merah dan bermata hazel di toko buku dua setengah minggu sebelumnya.

"Dia benar-benar tampan. Tapi dia juga sukses dan cerdas," tambah Sakura sambil berpikir.

"Well, aku senang semuanya baik-baik saja. Kagoshima sepertinya lebih baik sekarang." Ino meneguk kopinya. "Pernah kau mendengar kabar dari Sasuke lagi?"

Dada Sakura mengencang. Sial. Mengapa kau harus membicarakannya? "Tidak... tidak sejak pesan Facebook. Apa... apa kau pikir dia sudah menyerah?" Konflik yang telah berkeliaran di dalam benak Sakura selama berminggu-minggu kembali dengan kekuatan penuh lagi. Ia ingin Sasuke meninggalkannya sendirian selamanya dan membiarkannya melanjutkan hidupnya. Tapi gagasan bahwa Sasuke akan mencoba hanya satu kali dan kemudian tidak pernah lagi tampak terlalu menyakitkan. Ia sangat patah. Ia membayangkan, ketika ia merencanakan seluruh pindahan ini, bahwa jarak di antara mereka akan bertindak sebagai penyangga kesedihannya atas apa yang telah terjadi. Namun, ia menyadari, bahwa jarak yang sama ini terkadang hanya menambah kesedihan yang ia rasakan. Pada dini hari, ketika ia bisa melihat wajah Sasuke dengan jelas dan merasakan sentuhan pemuda itu, jaraknya hampir menyebabkan penyakit fisik. Tapi dalam siang hari, ketika ia mengingat sepenuhnya kesedihannya, jarak itu memang membantu untuk menghilangkan denyutannya. Tapi berminggu-minggu kemudian, ia masih mencintai Sasuke sama seperti ia membenci pemuda itu.

Ino mendengus. "Tidak, kurasa tidak. Uchiha Sasuke tidak banyak menyerah. Kurasa dia mencoba mencari tahu apa yang harus dilakukannya sekarang." Jujur, ia memperkirakan telepon atau kunjungan dari Sasuke. Itu belum terjadi, tapi ia sepenuhnya mempersiapkan diri untuk itu ketika itu terjadi. Diamnya Sakura, ia tahu, sedang mempengaruhi Sasuke. Setelah apa yang terjadi di antara mereka, itu pasti terjadi.

Sakura menghela napas. Aku harap kau benar. Tunggu, apa? Tidak, tidak. Aku sudah selesai dengannya. Ia mengerutkan alisnya karena konflik internalnya sendiri. Kalimat 'maafkan dia' atau 'lupakan dia' yang selalu hadir membuat dadanya merasa kencang.

Berfokus pada makanannya alih-alih pertandingan bola voli di televisi, Sakura berpamitan dan menutup telepon.

Ketika ia mengganti saluran televisi, berniat untuk menonton berita hari itu, bunyi gedebuk dari atas membuatnya berjengit. Selanjutnya terdengar bunyi gedebuk lain diikuti dengan gedebuk yang lebih keras tepat di atas kepalanya.

Memutar matanya, ia melirik ke langit-langit. Apa mereka sedang main bowling di sana? Tetangga sialan.

***

Hari resmi pertama Sakura bekerja sangat menegangkan, bahkan bagi seorang perawat cukup berpengalaman seperti dirinya. Kota baru, pekerjaan baru, hampir tidak ada teman di kota itu. Tapi Sakura tetaplah Sakura, ia yakin bisa melakukan semuanya dengan benar.

"Hei, Sakura," ucap salah seorang sesama perawat, Shizune, ketika Sakura berjalan mendekat ke meja perawat bergegas untuk pulang karena shift sudah berakhir. "Kami semua akan pergi minum sekarang... kau mau bergabung dengan kami?"

Sakura mengerjap. Ia diundang untuk minum? Ia bahkan tidak pernah diundang untuk minum bersama para perawat lain di Sapporo, bahkan setelah ia mulai berkencan dengan dokter populer di klinik, Gaara. Dengan anggukan setuju, Sakura membereskan tasnya. "Aku ingin sekali, dan terima kasih banyak telah mengundangku."

Ketika Sakura dan teman-teman barunya berangkat untuk melewati malam yang santai, ia menghela napas dalam diam. Untuk pertama kalinya sejak ia tiba, ia hampir merasa seperti orang normal. Mungkin hal-hal di Kagoshima ini akan berhasil, setelah semua yang terjadi...

Beberapa hari kemudian, setelah berjam-jam kerja yang melelahkan, yang melelahkan baik secara fisik maupun emosional, Sakura siap untuk malam yang santai dan menyenangkan bersama teman barunya, Sasori. Pemuda itu menjemputnya dan membawanya ke sebuah kafe Prancis sebelum mereka mengunjungi Kagoshima Symphony Orchestra. Pada saat mereka kembali ke gedung apartemen Sakura, gadis itu sangat kelelahan. Ketika ia membuka kunci pintunya, ia melirik Sasori, yang menjulang di atasnya dan membungkuk mendekat.

"Aku sungguh bersenang-senang bersamamu, Sasori. Terima kasih," ucap Sakura malu-malu.

"Tidak masalah, Sakura. Aku senang kau menikmati dirimu sendiri." Sasori menatap mata Sakura sejenak dan kemudian menundukkan kepalanya untuk mencium gadis itu. Awalnya tertegun, Sakura tidak menanggapi. Sasori menempelkan tangannya ke bagian kecil punggung Sakura, menarik gadis itu lebih dekat padanya ketika Sakura akhirnya, dengan lembut balas mencium Sasori kembali.

Lengan Sasori yang bebas berayun ke rambut Sakura, memiringkan wajahnya ke arah Sakura ketika tubuh bagian bawahnya semakin dekat dengan gadis itu. Kepanikan melanda tubuh Sakura. Aku tidak bisa melakukan ini. Aku belum siap untuk ini. Menempatkan tangannya di dada Sasori, ia mendorong pemuda itu.

Sasori menatap Sakura. "Apa ada yang salah?"

"Aku... aku minta maaf," Sakura tergagap. "Aku tidak bisa melakukan ini... aku tidak..."

Sasori menghela napas, memejamkan matanya sesaat ketika ia bersandar di dinding. "Siapa namanya?" Ia menatap gadis mungil di sebelahnya.

Kepala Sakura terangkat. Apa aku setransparan itu? "Apa?"

"Siapa namanya? Pasti ada alasan kau menahan diri, Sakura. Siapa dia?" Suara Sasori berdentam dan tanpa sedikitpun dendam.

"Bagaimana... bagaimana kau tahu? Apa aku begitu jelas?" Suara Sakura sendiri terdengar pahit dan penuh dengan rasa sakit.

Mata Sasori melembut dan ia meletakkan tangannya ke bahu Sakura. "Tidak jelas, tidak... tapi itu ada di sana. Bahkan ketika kau terlibat dalam percakapan, ada... kesedihan... Jadi siapa dia?"

Dengan pandangan jatuh ke lantai, Sakura dengan pelan berkata, "Sasuke. Namanya Sasuke."

Sasori menyelipkan jarinya di bawah dagu Sakura, mengangkat kepala gadis itu ke atas agar matanya bisa bertemu dengan mata hijau gadis itu lagi. "Kau mau membicarakannya?"

Sakura menggelengkan kepalanya. "Tidak banyak yang bisa dibicarakan, sungguh..."

"Ayolah, Sakura..." desak Sasori. Sakura menatap pemuda itu dengan ragu. Akhirnya, Sasori mengangkat bahu. "Dengar, Sakura. Aku tidak akan menyangkal bahwa kau cantik dan bahwa aku tertarik padamu. Tapi aku juga tidak akan berpura-pura bahwa tidak ada orang lain yang membayangimu. Selain itu, ini hanya kencan kedua. Jika kau membutuhkan teman... aku akan menjadi temanmu. Lagipula aku tidak akan melamar atau apa pun." Ia sedikit terkekeh.

Sakura menatap Sasori, benar-benar bingung mengapa pemuda itu ingin mendengarkan ceritanya tentang pria lain.

Mengamati wajah Sakura, Sasori mendengus dan mengangkat tangannya, menambahkan, "Dan aku bahkan tidak akan mencoba apa pun... meskipun aku mau."

Desahan pasrah keluar dari bibir Sakura, ia membuka pintunya. "Kau mau kopi? Mungkin perlu waktu..."

Sasori terkekeh dan mengikuti Sakura. "Tentu..."

Menutup pintu, Sakura mulai menceritakan kisah antara dirinya dan Sasuke pada Sasori. Dengan dua cangkir kopi, Sakura dengan singkat menceritakan seluruh hubungannya dengan Sasuke dan 45 menit kemudian, ia berhenti berbicara.

Sasori menganga pada Sakura, matanya hampir melotot keluar dari kepalanya pada kisah membingungkan dan menyakitkan yang baru saja ia dengar. Akhirnya, ia tersenyum dan berkata, "Wow, itu kacau."

Sakura tergagap dan tak sengaja menumpahkan sedikit kopi panas ke lengannya. Tertawa dengan matanya yang berlinangan air mata, ia tersenyum pada Sasori. "Kau benar."

Sasori bersandar di bantal sofa, wajahnya tampak berpikir. "Jadi... kau akan melupakan dia?"

"Itu rencananya..." Sakura menggunakan suaranya yang paling meyakinkan. Aku bisa melupakannya. Aku bisa!

Sasori mengerang. "Kenapa wanita begitu sulit? Dia mengulurkan tangan padamu, Sakura. Dia ingin berbicara denganmu. Mungkin dia menyadari betapa buruknya dia. Kau tidak akan tahu jika kau tidak memberinya kesempatan."

"Tapi Sasori... aku tidak ingin disakiti lagi."

"Mungkin dia tidak ingin menyakitimu kali ini? Aku tahu wanita berpikir kami para pria tidak mampu, tapi pria benar-benar dapat berubah, jika kami sangat menginginkannya."

Sakura mendengus. "Aku tidak tahu bagaimana perbedaannya kali ini. Dan selain itu, terlalu banyak yang telah terjadi... Aku tidak berpikir dia dan aku akan bisa kembali ke tempat kami berada di awal. Dan jujur, jika aku tidak bisa bersamanya, aku tidak ingin ada bagian darinya dalam hidupku."

"Dengar, Sakura... Aku tidak percaya aku mengatakan ini karena pada dasarnya aku mendorongmu ke pelukan pria lain tapi... beri dia kesempatan. Setidaknya dengarkan dia..."

"Aku..." Sakura menggigit bibirnya. "Kurasa aku membutuhkan perspektif pria... Aku akan memikirkannya, Sasori... aku akan memikirkannya."

"Bagus." Sasori menatap jam tangannya. "Sial, sudah malam. Aku harus pulang." Sakura mengantar Sasori ke pintu. Pemuda itu mencium kening Sakura dan berkata, "Makan malam minggu depan?"

Sakura tampak terkejut. "Kau masih ingin menemuiku? Setelah kisah mesum yang baru saja aku katakan?"

Sasori mengangkat bahu. "Kau cantik, kau cerdas, kita punya banyak kesamaan. Lalu kau jatuh cinta dengan seorang bajingan? Kita masih bisa berteman. Tidak pernah tahu apa yang mungkin terjadi."

Sakura menggelengkan kepalanya dengan gembira. "Kedengarannya bagus, Sasori... aku ingin sekali makan malam denganmu lagi."

"Gnite, Sakura." Sasori membungkuk, mencium pipi Sakura dengan lembut saat gadis itu memerah karena kelembutan dari sikap ramahnya.

Tepat sebelum Sakura menutup pintu, ia berkata, "Hati-hati, Sasori."

Begitu Sasori pergi, Sakura ditinggalkan sendirian dengan pikirannya. Aku ingin sekali mendengar suara Sasuke lagi...

Sakura berjalan melewati apartemennya, mematikan lampu saat ia menuju kamar tidur.

Tidak... kita tidak bisa kembali. Dan jelas tidak ada 'kita' lagi.

Mengerang pada dirinya sendiri, Sakura naik ke tempat tidur dan menarik selimut ke sekelilingnya.

Aku tidak akan menghubunginya.

Ini sudah berakhir.

Ini sudah pasti... aku menolak untuk mencintai seseorang yang tidak membalas cintaku.

***

Sasuke sejujurnya tidak banyak berharap Sakura akan membalas pesan Facebooknya atau menghubunginya. Dan meskipun ia secara mental siap untuk diamnya gadis itu, tapi tetap saja ini menyakitkan.

Pada hari Senin ia kembali bekerja, dua minggu setelah pernikahannya yang dibatalkan dan empat minggu sejak ia meninggalkan Sakura malam itu. Begitu ia berjalan ke kantornya, ia memasang sikap profesional dan menangani pasiennya seperti biasa. Ia menatap tajam dengan mata onyxnya pada rekan kerjanya dan mengerutkan alis, untuk membungkam mulut mereka. Dan mereka dengan senang hati melakukannya. Beberapa dari mereka diundang ke pesta pernikahan, dan memiliki banyak pertanyaan untuk diajukan. Tapi ketika mereka melirik Sasuke yang tampak marah di tengah-tengah mereka, mereka menyimpan pertanyaan itu sendiri, memilih untuk berspekulasi dalam keamanan ruang istirahat sebagai gantinya.

Terlepas dari sikapnya yang masam, Sasuke senang bisa kembali bekerja. Pikirannya benar-benar berhenti berkembangbiak; pikirannya hampir selalu terkunci pada Sakura dan bagaimana ia akan menemukan gadis itu. Di tempat kerja, ia bisa fokus pada pasiennya dan sementara waktu membiarkan Sakura berada di belakang pikirannya, di mana sampai ia punya waktu luang, dan kemudian ia akan memikirkan gadis itu lagi dan rasa sakit karena kehilangan gadis itu dan cara bagaimana mendapatkan gadis itu kembali.

Ketika ia pulang kerja, ia segera menuju ke gym untuk sesi latihan super-berat yang menguji kemampuan fisiknya hingga batas. Pada saat ia tiba di rumah, ia hanya memiliki cukup waktu untuk makan malam sebelum ia jatuh ke tempat tidur, kelelahan. Kemudian ia tidur selama beberapa jam, dan bangun dengan tidak bisa bernapas karena kesengsaram kehilangan Sakura akan kembali lagi. Pada saat itu sudah enam minggu sejak ia melihat Sakura, ia merasa seperti kehilangan kendali atas hidupnya.

Dan kemudian, dalam apa yang ia anggap sebagai langkah terakhir menuju kegilaan, ia mulai melihat bayangan Sakura ke mana pun ia pergi. Pasien, kasir di supermarket, wanita yang dilaluinya di jalan, mereka semua mengingatkannya pada Sakura. Ia akan melihat kilatan rambut merah muda halus di bawah sinar matahari dan tenggorokannya akan tercekat. Ia akan melihat seorang wanita mungil dengan tubuh seperti Sakura dan untuk sesaat, ia akan dipenuhi dengan harapan bahwa Sakura kembali. Saat seorang wanita di sebuah restoran tertawa, ia akan menatap berulang-ulang untuk memastikan bahwa itu Sakura. Gadis itu ada di mana-mana... tapi di mana sebenarnya. Ia sangat merindukan Sakura hingga ia takut beban ini akan menjadi kehancurannya. Ia berhenti menerima telepon dari ibunya, menolak undangan dari rekan kerjanya, dan mengabaikan segalanya dan semua orang.

Pada hari Jumat sore yang cerah, Sasuke berjalan menuju mobilnya sepulang kerja ketika seorang rekan kerjanya, Juugo, mengejar di belakangnya.

"Yo, Sasuke... Malam ini mau mabuk?"

Sambil mengumpat, Sasuke menyadari itu hari Jumat, yang biasanya ia, Suigetsu, Juugo, dan Kabuto semuanya berakhir di bar setelah bekerja.

Sasuke berbalik ke arah suara Juugo dan menggelengkan kepalanya. "Maaf, dude. Aku tidak dalam mood yang baik. Aku tidak ikut..." Ia membuka pintu mobilnya.

"Sasuke, kau tidak pernah seperti ini. Apa ada masalah?"

Sasuke hanya mengangkat bahu. "Tidak. Sampai jumpa hari Senin."

Tanpa berkata apa-apa, Sasuke masuk ke dalam mobilnya dan melaju pergi, meninggalkan Juugo yang menatapnya.

Beberapa jam kemudian, Sasuke mabuk di apartemennya. Ia tidak berbohong pada Juugo. Dia sedang tidak ingin minum di bar. Tapi sebotol Cuervo dan pizza? Begitulah cara ia ingin menghabiskan malamnya. Selain itu, ia sedang menonton film komedi. Dan omong kosong itu sangat lucu.

Sasuke setengah jalan menghabiskan isi botolnya, sebagian besar memakan pizza-nya, dan ia mendengar ada ketukan di pintu. Sambil mengumpat, ia berhasil berjalan sampai ke pintu dan menyentaknya hingga terbuka. Juugo berdiri di sana dengan seringai di wajahnya.

"Sasuke, kau terlihat seperti sampah."

"Persetan, Juugo," ucap Sasuke, memberi isyarat agar Juugo masuk. Sasuke berjalan kembali ke sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana ketika Juugo menutup pintu. Apartemen itu berantakan. Dan Uchiha Sasuke? Pemuda itu benar-benar terlihat seperti di neraka.

Juugo duduk di kursi di seberang Sasuke dan menatap temannya dengan spekulatif. Sasuke meneguk minuman dari botol dan bergumam, "Fuck, apa, Juugo? Apa urusanmu?"

"Urusanku? Sasuke, kau mengabaikan kami lagi dan jadi kami semua mulai berbicara dan menyimpulkan... bahwa kau perlu mengumpulkan semua omong kosongmu."

"Omong kosongku sudah terkumpul," ucap Sasuke setengah hati, mengingat fakta bahwa ia berbohong dan ia tahu itu.

"Serius, dude... kau tahu kalau kau perlu bicara, aku bisa menjadi tempat berbagi perasaan dan omong kosongmu. Aku punya saudara perempuan dan istri yang suka mengomel, jadi aku akan baik-baik saja dengan perasaan omong kosongmu. Kita benar-benar bisa bicara dan aku bahkan tidak akan berpura-pura itu lembek seperti homo."

Sasuke hanya melotot, tidak mengatakan apa-apa. Biarkan saja, dude. Sambil menatap kembali ke arah TV, ia tertawa kecil ketika melihat film komedi yang masih diputar kemudian menatap kembali ke arah Juugo.

"Hidupku sedikit kacau sekarang, Juugo. Tapi semuanya baik-baik saja... aku akan baik-baik saja."

Juugo mendengus. "Kau sama sekali tidak baik-baik saja, Sasuke. Sejak kau kembali dari... entah darimana... beberapa minggu yang lalu, kau telah berubah menjadi bajingan. Aku terkejut kau belum dipecat karena menjadi bajingan."

Sasuke melotot. Pergi pergi! "Kau bisa pergi, kau tahu. Aku tidak butuh omong kosong ini." Ia menunjuk ke arah pintu dan kemudian minum lagi.

Juugo berdiri, bergerak ke sofa di sebelah Sasuke. Mengambil botol itu dari tangan Sasuke, ia meletakkan botol itu di atas meja dan kemudian memelototi temannya yang mabuk.

"Kenapa kau begitu kacau. Kau mencampakkan mantan tunanganmu, kan? Jadi kau harusnya sangat bahagia, bukan? Kau sudah tidak terikat. Kau bebas untuk bercinta dengan siapa pun, kapan pun. Aku iri dengan omong kosong itu, Sasuke!" Serius, apa-apaan masalah Sasuke ini?

Sasuke melotot. "Tapi bukan itu yang aku inginkan." Dan aku tidak ingin menjelaskannya padamu.

"Dude, para wanita sukarela melemparkan dirinya padamu sepanjang waktu. Itu membuat kami semua iri. Aku belum pernah melihat berapa jumlah vagina yang tersedia yang tampaknya condong ke arahmu."

Sasuke mngangkat bahu, "Apa yang bisa kukatakan? Aku selalu menjadi pejantan."

Juugo tertawa. "Ya, jadi kenapa kau tidak mengeksploitasinya? Mantan tunanganmu itu juga mengambil nyalimu?"

"Bukan itu." Buku-buku jari Sasuke memutih saat ia mengepalkan tinjunya. Ia tidak ingin membicarakan ini.

"Dude? Apa? Kenapa kau mabuk sendirian, makan pizza menyebalkan pada hari Jumat malam ketika kau bisa meniduri banyak gadis seksi yang akan dengan senang hati mendorong celana dalamnya ke dalam sakumu di bar?"

"Brengsek, Juugo... Tolong! Aku tidak ingin membicarakannya." Sasuke berdiri dan berjalan ke dapur untuk mengambil sebotol air.

Juugo mengikuti Sasuke ke dalam ruangan, menatap bagian belakang kepala temannya. "Ayo, man... kau membiarkan hidupmu berubah menjadi omong kosong."

Sasuke mengabaikan Juugo, meneguk dari botol air.

"Apa kau gay, Sasuke?" tanya Juugo pelan. Sasuke langsung memuntahkan air, matanya penuh kekesalan dan amarah.

"Fuck, Juugo? Tidak!" Meraih air, Sasuke berjalan kembali ke ruang tamu dan berbalik untuk menatap temannya. "Kau ingin tahu apa masalahku? Aku bercinta dengan sahabatku dua minggu sebelum pernikahanku." Suaranya meninggi ketika matanya bertemu tatap dengan mata Juugo.

Juugo menatap Sasuke. "Kau melakukan apa?"

"Ya, langkah yang bagus, huh?" Sasuke mondar-mandir sekarang, dari satu sisi ruangan ke sisi yang lain. Mata Juugo mengikutinya, bingung oleh pengakuan Sasuke yang kacau.

"Sasuke... bagaimana bisa kau bercinta dengan gadis lain dua minggu sebelum kau seharusnya menikah?"

"Sakura," Sasuke mengoreksi. Dia bukan hanya 'gadis lain'. "Namanya Sakura." Ia berjalan mengambil foto dari raknya, dan melemparkannya ke arah Juugo.

Menatap foto itu, mata Juugo melebar dengan kesadaran dan ia menatap Sasuke. "Sasuke, kau, uh... kau sadar..."

"...bahwa Miyuki terlihat seperti dia? Ya. Dua minggu sebelum pernikahan sialan itu."

"Sial, ini... ini benar-benar kacau, Sasuke, kau tahu itu, kan?"

"Kau pikir aku ingin omong kosong ini terjadi?" Sasuke menggerakkan tangannya di atas kepalanya, frustasi. "Aku tidak tahu apa yang kupikirkan malam itu. Aku kesal pada Miyuki, aku kesal pada Sakura. Dan aku ingin bersama sahabatku, hanya untuk berbicara dengannya, kau tahu? Dan sebagai gantinya, aku akhirnya menidurinya."

"Kau tentu saja menginginkannya jika kau akhirnya menidurinya."

"Aku tidak merencanakan omong kosong itu! Dia menciumku, dan..." Sasuke berhenti. "Sial, ini benar-benar berantakan dan ini tidak penting lagi sekarang karena dia sudah pergi."

"Pergi?"

Sasuke menyentak. "Ya, pergi. Dia benar-benar menghilang... tidak ingin ada hubungannya lagi denganku."

Juugo mengangkat bahu dan meninju lengan Sasuke pelan. "Dude, jadi dia pergi. Lupakan saja dia... ada banyak gadis berambut merah muda yang baik-baik saja di kota ini daripada mengkhawatirkan satu gadis."

"Aku tidak ingin melupakannya!" Sasuke berbalik, matanya yang gelap menatap tajam ke arah Juugo. "Aku mencintainya!"

Ya Tuhan...

Jatuh ke sofa seolah udara benar-benar tersedot keluar dari tubuhnya, Sasuke mengubur kepalanya di tangannya. "Brengsek... aku benar-benar mencintai Sakura."

"Kau baru menyadari itu, man?"

Sasuke bisa merasakan seringai dalam suara Juugo tanpa melihat ke atas. Ia mengangkat kepalanya, mata berairnya bertemu dengan mata Juugo. "Fuck, aku mencintainya..."

Juugo tertawa dan menampar punggung Sasuke. "Itu kacau, man... kau punya minuman lain? Aku akan minum denganmu..."

***

Malam setelah pengakuan yang diinduksi oleh Juugo dan tujuh minggu sejak ia melihat Sakura, Sasuke menemukan dirinya duduk di sepanjang sungai di dekat taman Sapporo lagi. Ini adalah pertama kalinya ia berada di sana sejak malam ia meninggalkan apartemen Sakura, panik karena ia baru saja bercinta dengan sahabatnya sementara tunangannya menunggunya di rumah. Malam-malam lebih hangat sekarang karena awal Juli dan ia meninggalkan jaketnya di apartemen. Ia berjalan di sepanjang trotoar yang gelap, menatap lalu lintas yang melintasi jembatan. Ia tidak tahu bagaimana ia sampai ke titik ini dan lebih buruk lagi, ia merasa seperti ia tidak akan pernah menemukan jalan kembali.

Di dekat ujung taman, di mana lebih sedikit orang berkeliaran pada jam 10 malam itu, Sasuke menjatuhkan diri ke rumput dan duduk.

Goddammit, aku tidak bisa terus seperti ini. Aku mencintainya... aku jatuh cinta padanya.

Ia tidak ingat pernah merasakan sedih semacam ini dalam hidupnya. Well, mungkin ketika ia masih kecil tapi itu adalah perasaan kekanak-kanakan dan sekarang ia duduk di sana sebagai orang dewasa, perasaan sedih ini jauh lebih buruk daripada yang ia ingat.

Berbaring di rumput, Sasuke menatap langit.

Fuck, Sakura. Maafkan aku.

Tolong kembalilah padaku.

Pikiran Sasuke kembali ke malam itu. Ketika ia berkeliling di Sapporo, ia penuh amarah, tapi tidak pada Miyuki. Ia marah karena Sakura menarik diri darinya dan ia tidak tahu cara menghentikannya. Ketika gadis itu membuka pintu, mengira Gaara, ia ingin meninju dinding karena cemburu. Ketika Sakura menciumnya, ia tidak memikirkan apapun kecuali perasaan tubuh gadis itu terhadap tubuhnya. Miyuki terlupakan dan Gaara hanya sekedar lelucon. Dan kemudian ia mengikuti Sakura ke kamar itu dengan kebutuhan tak terbantahkan untuk mengklaim Sakura; untuk membuat Sakura menjadi miliknya, bahkan jika itu hanya sementara. Mereka berbagi gairah yang luar biasa dan ia tidak ingin itu berakhir karena rasanya begitu benar. Tapi euforia saat itu hilang dan kemudian ia membuat keputusan terburuk dalam hidupnya, ia berjalan pergi.

Menyadari, seperti yang ia lakukan sekarang, bahwa Sakura mencintainya, ia seperti meletakkan paku terakhir di peti mati sialannya ketika ia mengatakan pada Sakura bahwa bersama gadis itu adalah kesalahan. Mendengus, ia dengan sedih mengakui bahwa saat-saat di kamar Sakura adalah hal yang benar yang telah ia lakukan di mana perasaan sejatinya terhadap Sakura telah tersampaikan selama bertahun-tahun.

Sakura berdiri di sisinya, bahkan ketika ia berencana untuk memulai hidup dengan gadis lain, seorang gadis yang terlihat seperti orang gila. Sakura ada di sana untuknya ketika perencanaan pernikahan membuatnya stres. Sambil mengerang, ia menyadari bahwa ia bahkan menunjukkan pada Sakura cincin sialan yang ia berikan untuk Miyuki. Dan Sakura menerima semua itu dengan tenang. Selain kesedihan yang kadang-kadang ia tangkap dalam tatapan Sakura dan sesekali mata gadis itu yang berkilau yang dilihatnya ketika gadis itu mengira ia tidak melihatnya, Sakura ada di sana sampai gadis itu mulai melepaskan diri. Sakura menarik diri karena aku menghancurkannya. Bahkan aku menggunakannya untuk keegoisanku sendiri, aku mematahkannya. Dan sekarang, di suatu tempat di dunia, Sakura sendirian. Gadis itu tidak memiliki siapa pun di sekitarnya. Dan aku tidak ada di sisinya.

Sakura tidak akan menghubunginya lagi hanya untuk mengobrol atau karena gadis itu membutuhkannya untuk mengganti bola lampu yang tidak bisa gadis itu jangkau, bahkan dengan kursi. Dan sekarang ia bertanya-tanya, setelah semua yang terjadi, apakah Sakura masih mencintainya? Atau apakah peran ini terbalik sekarang? Apakah Sakura telah melakukan yang terbaik untuk mengabaikan perasaan itu terhadapnya sementara ia disini begitu mencintai gadis itu hingga ia ingin mati memikirkan bahwa ia mungkin tidak akan pernah menyentuh gadis itu lagi?

Berdiri, Sasuke menyeka debu dari rumput di celananya. Ia memasukkan tangannya jauh ke dalam sakunya ketika ia berbalik untuk berjalan kembali ke mobil. Begitu ia masuk, ia memutar CD yang ia temukan di antara barang-barang yang dikembalikan Sakura padanya. Kata-kata di lagu itu mulai melayang-layang.

"I love you in silence, I sing for you quietly, move through your heart,

Softly give you some laughter, a tear,

I'm with you in silence, whatever the year, whatever the year, forever."

Ketika Sasuke melajukan mobilnya ke jalanan malam, hampir menyerah pada sakit yang disebabkan suara Sakura dalam dirinya, ia bertanya-tanya apakah lirik lagu itu benar; apakah Sakura masih mencintainya dalam diam? Kuharap begitu, Saku... karena sekarang aku juga mencintaimu.

Besok pagi, ia akan pulang ke Hakodate dan ia tidak akan pergi sampai ia mendapat jawaban, jawaban yang akan membawanya kembali pada Sakura.

***
To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)