'Oh sial, mereka akan kena stroke,' pikir Sasuke dalam hati sambil menggelengkan kepalanya sedikit.
Sakura menelan ludah karena terkejut dan Sasuke bisa merasakan ketakutan gadis itu, ia melindungi Sakura dengan tubuhnya saat Mebuki berjalan ke arah mereka untuk menarik Sakura. Sasuke melangkah mundur bersamaan dengan Sakura ketika Mebuki gagal meraih lengan dan bahu putrinya dan menjauhkannya dari Sasuke.
Fugaku dengan cepat mendekat ke arah Mebuki, melingkarkan lengannya yang kuat di pinggang wanita itu dan menariknya mundur, "Katakan padaku ini lelucon, tolong katakan padaku!" Mebuki memohon pada mereka dan Sasuke menggelengkan kepalanya.
'Tetap tenang, Sasuke, tetap tenang,' pikir Sasuke berulang-ulang pada dirinya sendiri saat situasi terasa semakin kacau.
"Kaasan, tolong. Biarkan kami menjelaskan," Sakura menyeka air matanya dan menatap ibunya sambil memohon, "Biarkan kami menjelaskan."
Mebuki melepaskan cengkeraman Fugaku dan berlari ke arah Sakura dan Sasuke lagi, mencoba untuk memukul dua remaja itu, air mata mengalir di wajahnya yang tidak memungkinkan dirinya melihat dengan baik. Ia kemudian merosot ke lantai dan menyembunyikan wajahnya di tangannya. Sedangkan Sakura mulai menangis lebih keras di balik punggung Sasuke dan pemuda itu segera berbalik dan memeluknya.
"Semuanya akan baik-baik saja, Saku," bisik Sasuke di telinga Sakura, "Aku di sini bersamamu."
Fugaku membungkuk di depan Mebuki dan mengusap lengan wanita itu, "Kau baik-baik saja?"
Mebuki menggelengkan kepalanya. "Ini sangat salah, mereka adalah kakak adik."
Sakura melepaskan pelukan Sasuke dan merangkak ke arah ibunya, mencoba menyentuh ibunya, tapi Mebuki menepis tangannya, "Jangan sentuh aku, jangan sentuh aku!" ucap Mebuki membuat Sakura tersentak, "Aku merasa sangat mual."
"Apa yang kalian pikirkan?!" teriak Fugaku, "Kalian bersaudara, demi Tuhan!"
"Kami bukan saudara," jawab Sasuke dengan keras kepala. "Kenapa kalian tidak bisa mengerti itu?"
Fugaku berekspresi jijik pada anaknya itu. "Kau tidak punya hak untuk berpendapat," Ia berdiri dan mendorong Sasuke ke dinding, "Aku belum pernah begitu kecewa sebelumnya. Kau memanfaatkan adik perempuanmu! Kau memanfaatkan kepolosannya."
"Kami tidak melakukan kesalahan apa pun," gumam Sasuke menghindari kontak mata dengan ayahnya, "Kami tidak berhubungan darah."
Fugaku menekan Sasuke lebih keras ke dinding. "Kau cukup berani untuk mencium adikmu tapi tidak berani untuk menatap mataku?"
"Lepaskan dia!" Sakura memohon dengan suara terluka tapi Fugaku mengabaikannya.
"Berapa lama?"
Sasuke dan Sakura memutuskan bahwa mengabaikan pertanyaan mereka mungkin adalah hal terbaik untuk dilakukan sekarang.
Fugaku mengguncang lengan putranya, "Berapa lama?!"
"Sangat lama."
"Ini harus berhenti sekarang," Mebuki menatap dua remaja itu, "Sekarang juga."
Sakura mencoba lari ke arah Sasuke, tapi Fugaku menarik lengannya dengan kasar, mendorongnya ke lantai. Fugaku melihat ke belakang sejenak, tidak melepaskan Sasuke dan tatapan matanya melembut. "Kau baik-baik saja, Sakura?"
Sakura hanya melihat ke bawah dan tidak menjawab.
Sasuke mendorong Fugaku dan ia membenturkan punggung ayahnya ke dinding koridor, "Jangan sentuh dia."
"Kau tidak berhak berteriak padaku, Sasuke."
"Aku mencintainya dan tidak ada yang bisa kau lakukan tentang itu." jawab Sasuke, tidak menatap mata ayahnya lagi. "Sial, kami tidak melakukan kesalahan apa pun!"
"Oh, tentu saja tidak," jawab Fugaku sinis dan mulai berjalan mondar-mandir sambil menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri, "Dia adalah adik perempuanmu dan kau memasukkan lidahmu ke dalam mulutnya dan itu sepenuhnya dapat diterima?"
"Tidak ada yang salah, Tousan," Sasuke mendengar suara lembut Sakura dan ia berbalik untuk melihat gadis itu, "Aku mencintai Sasuke."
Tatapan Fugaku tampak lebih lembut setiap kali Sakura berbicara dengannya. Bukan rahasia lagi bahwa Sakura tahu persis bagaimana membuat Fugaku tenang, Sakura selalu menjadi gadis kecil bagi Fugaku. Sakura membuka mulut untuk mengatakan sesuatu lagi, tapi Mebuki menyela.
"Tutup mulutmu," bentak Mebuki tiba-tiba dan berdiri, "Kau masih 16 tahun, kau tidak tahu apa-apa."
"Aku tahu," Sakura terisak, "Aku mencintai Sasuke dan aku ingin bersamanya." ucapnya. "Dia tidak memaksaku melakukan apa pun. Aku bersamanya karena aku menginginkannya, aku tidur dengannya karena aku mencintainya!"
"Tidak!" Mebuki berteriak lagi dan menampar wajah Sakura, "Aku sudah menyuruhmu tutup mulut!"
Sasuke merasa darahnya mengalir deras di dalam tubuhnya dan amarahnya meluap. Ia mengepalkan tinjunya dan tubuhnya menegang dari kepala sampai ujung kaki. "JANGAN SENTUH DIA!" Ia berteriak dan mendorong ibunya menjauh dari Sakura, menarik gadis itu ke dalam pelukannya. "Kau tidak boleh menyentuhnya lagi, apa kau mendengarku? Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya!"
"Dia adalah putriku. Aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan padanya."
"Tepat," ucap Sasuke dan Sakura menangis lebih keras di dadanya, "Kau selalu menjadi ibu yang baik bagi kami dan kau tidak pernah memukulku atau pun Sakura. Dan kau melakukannya sekarang?"
"Kau mengkhianati kami," jawab Mebuki dingin. "Sepanjang waktu kami berusaha menjadi orang tua yang baik dan begini cara kalian membayarnya?"
"Kami hanya jatuh cinta. Kenapa kalian tidak bisa mengerti?" tanya Sasuke, tiba-tiba tampak lebih tenang. "Tolong mengertilah."
Fugaku menggelengkan kepalanya. "Ini tidak benar. Dia adalah adikmu, Sasuke."
"Dia bukan adikku, sial!"
"Dia pacarku, bukan kakakku," ucap Sakura di dada Sasuke.
Sasuke mencium rambut Sakura. "Shh, tidak apa-apa, Cherry."
Fugaku menggelengkan kepalanya lagi. "Ini salah, Sasuke. Ini bukan film, ini kehidupan nyata."
Sasuke membelai punggung Sakura dalam upaya untuk menghibur gadis itu.
"Kalian mengkhianati kami. Kalian kakak beradik." ucap Fugaku.
"Kami saling mencintai, tidak bisakah kalian mengerti itu?"
"Tidak," jawab Mebuki dan memandang Fugaku seolah itu sepenuhnya salah pria itu. "Sakura dan aku akan pergi begitu dia menyelesaikan ujiannya. Dia tidak bisa dibesarkan di rumah yang kacau seperti ini."
"Apa?! Kenapa?! Rumah ini baik-baik saja satu jam yang lalu!" Fugaku memprotes.
Mebuki menggeleng, "Kau tahu kita punya masalah sebelum ini terjadi."
"Karena kau cemburu pada mantan istriku!" seru Fugaku dan mengusap rambutnya dengan acak, "Jangan tinggalkan aku karena ini. Kita bisa menyelesaikan ini. Sasuke dan Sakura akan belajar bagaimana menjadi saudara kandung, aku berjanji padamu."
"Tidak, tidak, tidak," Sasuke menggelengkan kepalanya dengan kasar. "Kami bukan saudara, kami sudah memberitahu kalian. Kami tidak akan berpura-pura bahwa kami adalah saudara kandung untuk menyelamatkan hubungan kalian."
"Diam, Sasuke!" teriak Fugaku. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap Sakura, "Masuk ke kamarmu, Sakura."
"Tapi—"
"Tidak ada 'tapi', Sakura," jawab Fugaku tegas. "Sasuke, kau ikut denganku."
"Kemana kau akan membawanya?" tanya Mebuki tapi Fugaku hanya menjawab "Kita akan bicara nanti" sebelum berjalan ke lantai bawah.
"Jangan pergi," pinta Sakura tapi Sasuke hanya bisa memberi senyuman menghibur.
"Tidak apa-apa, tenanglah, Cherry."
Sasuke melepaskan genggaman Sakura dan mengikuti ayahnya ke halaman belakang rumah. Fugaku meminta Sasuke untuk berhenti di tengah lapangan basket yang ada di sana.
"Aku tidak pernah malu sebelumnya," ucap Fugaku dingin, "Tapi sekarang," Ia melempar bola hingga mengenai perut Sasuke.
"Ambil, ayo!" teriak Fugaku, "Aku ingin melihatmu mengambil bola itu," Fugaku melempar bola lain yang mengenai wajah Sasuke, "Tunjukkan bahwa kau laki-laki, Sasuke!"
Hidung Sasuke mulai berdarah, tapi ia terus menatap ke mata ayahnya, mengabaikan bahwa kakinya terasa lemas seperti jelly. Ia menyeka darah dari hidungnya dengan punggung tangan dan menyingkirkan rambut dari matanya. "Aku mencintainya, kau harus mengerti itu."
"Tidak, tidak!" teriak Fugaku dengan kesal, "Sialan, Sasuke. Kau mengacaukan hidupku lagi, apa kau tidak mengerti itu? Kau membuat Mebuki pergi, seperti kau yang membuat ibumu pergi."
Sasuke menggelengkan kepalanya dan menemukan kekuatan untuk berbicara lagi. "Kau yang membuat dia pergi, dia bilang dia mencintaiku. Kaulah orang yang tidak bisa dia hadapi lagi."
"Oh, jadi kau menyalahkanku?"
"Ya," Sasuke mengakui, "Jika kau tidak buruk sebagai seorang suami, dia tidak akan pernah pergi."
Fugaku melempar beberapa bola lain yang mengenai kaki dan lengan Sasuke. "Kau merasa sangat berani sekarang? Tapi kau terus melewatkan keberanianku."
Sasuke mengatupkan rahangnya dan amarah melintas di mata hitamnya, membuat mata itu menjadi lebih kelam. Fugaku setengah menyeringai dan melempar bola lagi yang tepat mengenai samping kepala Sasuke, "Meleset lagi."
Sasuke terjatuh, tidak bisa berdiri lagi. Penglihatannya menjadi kabur dan wajahnya memucat.
"Kau kuat, Sasuke," ucap ayahnya mengakui, "Tapi tidak cukup kuat untuk memiliki Sakura."
Fugaku berbalik dan berjalan pergi. Darah di hidung Sasuke masih mengalir deras, ia mencubit batang hidungnya di antara ibu jari dan telunjuknya, tapi tidak berhasil menyumbat darah yang terus mengalir, ia memejamkan matanya saat ia menyeka cairan merah itu dengan telapak tangannya. Ia mencoba untuk berdiri lagi, tapi jatuh dalam posisi duduk yang sama, tidak mampu membuat kakinya lebih kuat.
Mata Sakura masih merah dan bengkak karena tangisan yang semakin keras saat ia melihat Fugaku menyiksa Sasuke. Kenapa ia begitu naif untuk percaya bahwa orang tua mereka akan menerima baik hubungannya dengan Sasuke seperti teman mereka dan neneknya?
Sakura menatap Sasuke dari jendelanya, remaja lelaki itu mencoba berdiri untuk ketiga kalinya dan hati Sakura sangat sakit saat melihat Sasuke jatuh sekali lagi. Ia berlari ke bawah dan ke halaman belakang, mengabaikan jeritan ibunya yang mengatakan bahwa ia harus menjauh dari Uchiha Sasuke. Ia berhenti di beranda, tubuh Sasuke yang jatuh perlahan memenuhi matanya seperti film.
Air mata membanjiri wajah pucat Sakura saat ia berjongkok di depan Sasuke, menarik kepala pemuda itu ke pangkuannya. Dunia terasa menjadi sunyi ketika Sasuke meraih tangannya dan memberikan senyuman lemah yang dengan cepat menghilang saat tangan pemuda itu terkulai dan matanya tertutup. Sakura mengguncang Sasuke, mencoba membangunkan pemuda itu dari pingsannya, berteriak minta tolong disaat yang bersamaan dan mencoba menghindari perasaan bahwa ia perlu membunuh orang tuanya sekarang.
2 hari kemudian
Sakura tidak tahu persis berapa lama waktu yang dibutuhkan Fugaku dan Mebuki untuk bergegas ke halaman belakang dan membantu Sasuke yang pingsan. Fugaku memeluk tubuh Sasuke perlahan, berlari ke mobil dan pergi ke rumah sakit.
Sakura menutup matanya dan mendesah dalam-dalam. Sasuke pasti baik-baik saja sekarang, pemuda itu pingsan karena tubuhnya terlalu lelah dan harus banyak istirahat. Dokter memberi obat untuk membuat Sasuke tertidur dan mengobati memar ungu di sekujur tubuh pemuda itu sekarang.
Sakura berdiri dan pergi ke kamar mandi, melihat dirinya sendiri di cermin sebelum memercikkan air dingin ke wajahnya, mencoba berhenti memikirkan semua yang terjadi dalam dua hari ini. Hidupnya telah berubah dari sempurna menjadi neraka, ia tidak bisa menemui Sasuke di rumah sakit, ia dikurung di kamarnya, ibunya bertingkah gila dan ia dipaksa untuk melakukan semua ujian akhir hanya dalam sehari.
"Aku sangat membenci mereka," gumam Sakura pada dirinya sendiri sambil menyisir rambutnya dengan tangan, "Sial, sial, sial."
Ia tersesat lagi dalam pikirannya. Mengapa orangtuanya bersikap begitu kejam terhadap mereka? Mengapa mereka harus memperlakukan ia dan Sasuke dengan sangat buruk karena mereka tidak dapat menerima bahwa anak-anak mereka sedang jatuh cinta? Sasuke harus tinggal di rumah sakit karena Fugaku tidak mau berbicara dengan anaknya itu. Begitu Mebuki yakin Sasuke baik-baik saja, Mebuki pergi dan tidak membiarkan Fugaku kembali ke rumah mereka. Semua orang saling menyalahkan. Mebuki menyalahkan mantan istri Fugaku yang sudah meninggal, Fugaku menyalahkan Sasuke dan Sakura menyalahkannya... ugh, ia bahkan tidak tahu. Ia sangat ingin menyalahkan seseorang, ia ingin menyalahkan seluruh dunia jika memungkinkan!
Sakura merasakan tangan halus di bahunya dan ia tersentak dari pikirannya. Ia berbalik dan berharap untuk melihat seseorang yang baru karena tidak mungkin ibunya akan menyentuhnya dengan lembut lagi. Saat ia melihat siapa orang di depannya, ia tak bisa menahan air mata dan jantungnya berdetak lebih cepat.
"Baasan, terima kasih Tuhan, kau ada di sini," bisik Sakura di pelukan neneknya, "Aku sangat senang melihatmu."
Haruno Koharu mengusap punggung Sakura perlahan dan mencium bagian atas kepalanya, "Aku di sini sekarang, Sakura-chan."
Gadis itu mengangguk di tubuh neneknya saat ia mulai menangis lagi, "Kaasan tidak mengizinkanku menemui Sasuke, Baasan," jelas Sakura di sela-sela isak tangisnya. Ia merasa sangat tenang berada di pelukan seseorang yang benar-benar peduli padanya, "Aku tidak bersalah. Kami tidak ingin jatuh cinta, tapi itu terjadi."
"Aku tahu, aku tahu," Koharu mengelus rambut Sakura, "Tidak apa-apa, Sakura-chan, tidak apa-apa."
Sakura membiarkan dirinya dituntun ke kamarnya lagi oleh Koharu dan duduk di tepi tempat tidurnya, bersila, menatap selimutnya. "Kudengar Tousan berbicara kemarin dia tidak ingin Sasuke tinggal di sini lagi."
Koharu menghela napas. "Ya, ibumu sudah memberitahuku," Wanita tua itu menggelengkan kepalanya, "Aku tidak percaya betapa bodohnya mereka."
"Dan Kaasan ingin menjauhkanku dari Sasuke," bisik Sakura, "Kami tidak bisa berpisah."
Koharu duduk di sisi Sakura dan mencium kening cucunya, "Ibumu meneleponku kemarin, menanyakan apakah aku bisa datang ke sini," Ia memulai, "Dia menjelaskan semua yang terjadi dan kurasa kedatanganku menjadi ide yang baik untuk menghibur cucuku."
"Kau tidak marah pada kami?"
"Tentu saja tidak," jawab Koharu cepat, "Aku marah pada Fugaku dan Mebuki. Mereka begitu..." Ia berusaha untuk menemukan kata-kata yang tepat, "Mustahil untuk ditangani."
"Aku setuju," ucap Sakura sambil menganggukkan kepalanya, "Di mana Sasuke akan tinggal, Baasan? Dia tidak punya tempat untuk pergi. Kau perlu berbicara dengan Tousan dan memintanya untuk membiarkan Sauske tetap tinggal di sini, tolong."
"Aku sudah mencoba, tapi menurut Fugaku, ibumu meninggalkannya karena kesalahan Sasuke."
"Mereka memperlakukan kami dengan sangat buruk," gumam Sakura, "Kaasan bahkan tidak mau menatap mataku lagi," Ia menunduk, "Aku tidak bisa berpura-pura tidak mencintai Sasuke, Baasan."
Koharu menepuk lutut Sakura dengan lembut, "Aku tahu, Sakura-chan," ucapnya. "Aku sudah meyakinkan Fugaku bahwa akan lebih baik bagi Sasuke jika tinggal bersamaku sampai dia masuk perguruan tinggi."
"Bisakah aku tinggal bersamamu juga?" Sakura memohon, "Tolong."
Neneknya tersenyum kecil, "Aku ingin sekali, tapi kau terlalu muda dan ibumu ingin kau bersamanya."
Sakura mulai menangis lagi, "Sial, aku tidak akan pernah bisa bersama Sasuke lagi."
"Tentu saja bisa," Koharu meyakinkan Sakura, "Orang tuamu hanya... terkejut?" Ia menyimpulkan, "Beri mereka waktu untuk membiasakan diri, oke?"
Sebelum Sakura bisa menjawab, Mebuki masuk ke dalam kamar Sakura dan meletakkan dua koper di tempat tidur putrinya. "Mulailah mengemasi barang-barangmu, aku akan menyiapkan semua dokumen dari sekolahmu besok dan kita akan pergi satu hari lagi."
"Mebuki, biarkan Sakura bersama Sasuke, mereka saling mencintai dan—"
Mebuki menyela, "Cukup, Kaasan," ucapnya dengan dingin, "Aku seorang wanita sekarang dan kau tidak bisa memerintahku apa yang terbaik untuk putriku. Aku tahu persis apa yang terbaik untuknya."
"Tidak," Sakura setengah berteriak, "Sasuke adalah yang terbaik untukku."
"Sakura, aku sudah muak dengan percakapan ini," desah Mebuki dan mengusap rambutnya, "Kemasi saja barang-barangmu."
"Tidak."
"Jangan membuatku mengemasinya untukmu," Mebuki memperingatkan dan menatap ibunya lagi, "Kaasan, kudengar Sasuke akan tinggal bersamamu untuk sementara waktu."
"Ya" jawab Koharu tegas, "Aku akan membawanya ke rumahku, ke tempat yang akan dia sukai. Aku tidak percaya anakku sendiri menendang putranya keluar."
"Kau tahu seberapa besar aku menyayangi Sasuke, aku perlu melakukan yang terbaik untuk Sakura," Mebuki meyakinkan ibunya, "Dan aku cukup yakin ini yang terbaik untuknya juga. Tidakkah kau membayangkan bahwa orang-orang tidak akan pernah menerima hubungan mereka?"
"Aku tidak peduli tentang apa yang orang katakan. Seluruh manusia sangat munafik!" Sakura meledak, "Dan kau! Kau terus memerintah semua orang apa yang harus dilakukan, tapi kau bahkan tidak bisa menyelesaikan masalahmu sendiri."
"Sakura—"
Sakura berdiri dan menggelengkan kepalanya, "Kuingatkan, Kaasan, hidupmu lebih kacau daripada hidupku sekarang. Tidak bisakah kau berpura-pura bahagia untukku? Kenapa kau harus merusak hubunganku dengan Sasuke hanya karena kau cemburu dengan wanita yang sudah meninggal?"
Mebuki mengangkat tangannya untuk menampar wajah Sakura tapi Koharu dengan cepat meraih tangan putrinya, "Jangan pernah menyentuh Sakura di depanku," ucapnya dengan tegas, "Aku masih ibumu dan kau harus menunjukkan rasa hormat padaku."
Mebuki menghela napas dan menggelengkan kepalanya, "Cepat kemasi barang-barangmu atau kau bepergian dengan telanjang," ucapnya lagi saat ia meninggalkan kamar Sakura dan menutup pintu di belakangnya.
Sakura berbaring di tempat tidurnya, "Aku tidak percaya ini terjadi padaku," ucapnya sedih, menyembunyikan wajahnya di tangannya, "Sial."
"Kau baru 16 tahun, Sakura-chan," Koharu mengingatkannya, "Kalian masih memiliki banyak waktu untuk bersama," Ia mengedipkan mata dan tersenyum pada gadis itu, "Kau harus sedikit bersabar."
Sakura mengangkat kepalanya dan menatap neneknya, "Kau berpikir mereka akan menerima kami suatu hari nanti?"
"Aku tidak tahu," ucap Koharu, "Tapi ketika kalian berdua berusia 18 tahun, kau secara hukum sudah dewasa dan dapat melakukan apapun yang kau inginkan," Ia tertawa sedikit, "Pikirkanlah."
"Baasan," Sakura mengerang dan merengek. "Itu masih 2 tahun lagi."
"Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah," ucap Koharu seraya berdiri, "Ngomong-ngomong, aku akan mengunjungi Sasuke 10 menit lagi, pastikan kau segera bersembunyi di dalam taksi."
***
"Kamar 341," Koharu bergumam pada dirinya sendiri, berjalan perlahan ke lift. Ia menekan tombol lantai tiga dan menunggu sampai pintu tertutup dan lift terangkat.
"Baiklah..." Ia menenteng tasnya dengan aman di sampingnya lagi saat ia berjalan mencari kamar Sasuke, "338, 339, 340..."
Koharu berhenti di depan kamar Sasuke dan tersenyum. Ia meletakkan tangannya di gagang pintu dan mendorongnya terbuka, berjalan masuk tanpa repot-repot mengetuk pintu. Matanya melihat sekeliling ruangan besar itu dan seketika semua warna putih dinding menyilaukan matanya. Bau rumah sakit membuatnya pusing dan ia menggelengkan kepalanya, dalam hati mengutuk Mebuki dan Fugaku karena membiarkan putra mereka yang sehat berada di sini tanpa alasan sama sekali. Di seberang ruangan, Sasuke sedang berbaring di ranjang rumah sakit yang besar, menatap ke langit-langit dan tampak sangat bosan. Koharu mengamati tubuh Sasuke yang pucat dan lelah. Ia menghela napas keras ketika ia menyadari Sasuke mungkin tidak tidur sama sekali selama dua hari ini karena pemuda itu memiliki lingkaran hitam di bawah matanya.
"Ayahmu benar-benar sudah gila," ucap Koharu, menyadarkan Sasuke dari pikirannya, ia mengusap tubuh pemuda itu yang memar, "Bagaimana kabarmu, Nak?"
"Baasan!" suara Sasuke terdengar berbisik dan matanya berkaca-kaca, "Kupikir mereka akan meninggalkanku di sini selamanya."
"Tentu saja tidak, Nak," Koharu membelai rambut Sasuke, "Aku di sini untuk merawatmu. Kau akan pulang bersamaku."
"Aku?" tanya Sasuke bingung, "Sakura juga?"
Koharu menggelengkan kepalanya, matanya berkedip sedih, "Hanya kau."
"Oh," Sasuke menelan ludah dan berbicara tanpa emosi, "Kurasa Tousan tidak ingin aku ada lagi."
"Ayahmu mengalami banyak hal sekarang," ucap Koharu, "Dia belum bisa bersikap baik padamu."
Sasuke mengangguk dan menatap tangannya. Seluruh tubuhnya masih sakit karena semua bola basket yang dilemparkan ayahnya padanya, ia memiliki memar ungu dan hijau di sekujur kakinya, lengan dan hidungnya hampir patah karena lemparan bola. "Kurasa kau benar," gumamnya, "Bagaimana dengan Sakura? Kemana dia pergi? Aku perlu bertemu dengannya, Baasan."
Koharu mengangkat bahu. "Entahlah, rupanya putriku juga jadi gila."
"Sial."
"Tapi," Koharu memulai lagi, "Aku punya kejutan untukmu, tapi jangan terlalu lama, aku perlu membawanya pulang sebelum Mebuki menyadari dia pergi."
Sasuke tersentak dan menatap Koharu. "Dia disini?"
Koharu tersenyum. "Ya," Ia tertawa, "Haruskah aku membiarkannya masuk?"
Sasuke menyeringai. "Tentu saja."
Koharu mencari ponselnya di dalam tasnya. "Oh, bukan ini," Ia memasukkan dompetnya ke dalam tasnya lagi dan terus mencari ponselnya. Begitu ia menemukannya, ia tersenyum dan mengangkat alisnya, "A-ha."
Sasuke memutar matanya dan tertawa sedikit. Koharu selalu sangat lucu tapi ia terlalu cemas untuk benar-benar memperhatikan wanita tua itu sekarang. "Hei, ya. Kamar 341."
Sakura dengan cepat masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai tiga. Ia menunggu dengan tidak sabar sampai lift itu mencapai lantai yang benar dan begitu pintu terbuka, ia berlari keluar dan menyusuri koridor. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dan tangannya menjadi berkeringat hanya memikirkan akan bertemu dengan Sasuke lagi.
Sasuke dan Koharu sedang berbicara satu sama lain, dan tiba-tiba, pintu dibanting terbuka.
Sasuke menahan napas saat Sakura melangkah masuk ke dalam ruangan. Koharu hanya melangkah mundur dan bersandar di dinding, mengamati dua remaja itu dalam diam.
Sakura menatap Sasuke dengan hati-hati, "Kau membuatku takut sampai mati."
Mata Sasuke menyipit, "Kau tidak terlihat mati," jawabnya dengan tenang dan kemudian menyeringai, "Sebenarnya, kau terlihat sangat sehat."
Sakura memberi senyuman lucu tapi kemudian mulai menangis dalam hitungan detik. Ia berlari ke pelukan Sasuke, jarak dua hari lebih sulit dari yang ia kira. Kenapa orangtua mereka berharap ia bisa berpisah dari Sasuke? Itu tidak mungkin.
"Aku sangat merindukanmu," bisik Sakura di telinga Sasuke.
Sasuke mengangguk, sambil menenggelamkan hidungnya di rambut merah muda Sakura, "Shh, jangan menangis, Cherry."
"Aku tidak ingin melepaskanmu," ucap Sakura dengan sedih, "Aku tidak ingin kehilanganmu."
"Kau tidak akan pernah kehilanganku," ucap Sasuke sambil mencium bibir, pipi dan leher Sakura, "Tidak apa-apa."
Sakura menarik diri dan menatap mata Sasuke, "Aku akan keluar kota dan kau juga, mereka memisahkan kita."
"Saku," Sasuke membuka tangannya dan mengundang Sakura ke pelukan lagi. Sakura melompat ke tempat tidur Sasuke dan berbaring miring, memeluk pemuda itu lebih erat dan menangis pelan di bahu pemuda itu.
Koharu meninggalkan ruangan agar kedua remaja itu bisa mengucapkan perpisahan secara pribadi.
"Kurasa aku tidak bisa melepaskanmu," Sakura berbisik di leher Sasuke dan pemuda itu mengusap punggungnya.
"Aku akan selalu bersamamu," Sasuke meyakinkan Sakura sambil menatap mata gadis itu, "Kita akan bersama lagi suatu hari nanti. Apa kau percaya padaku?"
"Sangat," ucap Sakura dengan berbisik dan mengelus pipi Sasuke, "Aku mencintaimu, selamanya."
"Aku juga mencintaimu, Cherry."
Sakura meringkuk pada Sasuke. Ia mencoba menghafal wajah, mata, dan sentuhan Sasuke, begitu pula Sasuke yang mencoba menghafal segalanya tentang Sakura juga. Mereka tahu bahwa berpisah sama dengan menjual jiwa mereka, dan pasangan muda itu, tentu saja, hanya akan benar-benar bahagia ketika mereka akhirnya bersama lagi.
Koharu mengintip ke dalam ruangan dan mendesah sedih, "Sakura-chan, kita harus pergi."
Sakura mengangguk dan menggigit bibir, "Bolehkah aku minta waktu lima menit lagi?"
Neneknya mengangguk dan menutup pintu lagi.
"Aku merasa mual," bisik Sakura sebelum berlari ke kamar mandi, dan mencoba menutup pintu. Sasuke juga berdiri dari tempat tidur dan mengikuti Sakura ke kamar mandi kecil di dalam kamar rumah sakit itu. Sasuke duduk di lantai, tepat di samping Sakura dan menunggu dengan sabar sampai gadis itu memuntahkan semua makanannya. Sasuke tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya terus mengusap punggung Sakura untuk menghibur; mengabaikan hatinya yang benar-benar hancur sekarang. Ia harus kuat setidaknya untuk Sakura, tidak peduli jika hatinya hancur berkeping-keping, ia tidak akan menunjukkannya, Sakura sudah sangat sedih.
Sakura menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi yang dingin, tangannya di dadanya saat ia mencoba bernapas dengan pelan lagi sambil menangis dan terus menangis tersedu-sedu. Sasuke menggigit bibir bawahnya saat air mata mulai mengalir di wajahnya juga. Ia menyibak rambut Sakura dari matanya dan mencium air mata gadis itu, "Semuanya akan baik-baik saja, Saku."
"Ini sangat menyakitkan," Sakura menatap Sasuke dengan mata memohon, "Kau harus menghentikan ini, Boo."
"Aku akan mengejarmu," ucap Sasuke dan menatap ke bawah, "Aku berjanji akan mengejarmu kemana pun kau pergi."
Mereka terdiam selama lebih dari satu menit, hanya menangis pelan. Tiba-tiba Sakura berdiri, mencoba menyeimbangkan dirinya dengan kakinya yang lemah lagi, "Aku harus pergi."
Sasuke juga berdiri dan memegang tangan Sakura, mereka berjalan kembali ke kamarnya dan ia mencium Sakura dengan lembut, "Sampai jumpa, oke?"
Sakura menggigit bibirnya dan mengangguk, "Hanya 2 tahun, setelah itu kita bebas menentukan apa yang kita inginkan."
"Ya," Sasuke mencoba terdengar penuh harapan saat ia duduk di tepi tempat tidurnya, "Kemarilah, Saku." Sakura berjalan ke arah Sasuke dan pemuda itu memeluk pinggangnya. "Berjanjilah kau tidak akan pernah melupakanku."
"Aku janji," Sakura membelai rambut Sasuke, "Aku punya cincin kita untuk mengingatmu setiap hari."
Sasuke memejamkan mata dan mendengar Sakura terisak. "Aku harus pergi," ucapnya dan mencoba menarik diri dari Sasuke, tapi pemuda itu terus memeluknya lebih kuat, kepalanya bersandar di perutnya.
"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi," Sasuke berbisik, "Lari denganku, Saku."
"Kita tidak bisa, Sasu." Sakura mencoba untuk berpikir jernih, "Kita tidak punya uang."
"Aku bisa bicara dengan pengacara ibuku, aku bisa mencoba. Entahlah, mungkin kita bisa menikah, hidup bersama. Ibu dan ayah kita akan berhasil berbaikan lagi kapan-kapan," Ia berdiri dan memeluk Sakura, "Aku membutuhkanmu bersamaku, Saku. Kita bisa melakukan ini."
Sakura mendesah. "Kita tidak bisa Sasuke-kun."
"Apa kau tidak ingin bersamaku?" tanya Sasuke, menelusuri sisi wajah Sakura dengan jari telunjuknya, "Kupikir kau ingin bersamaku."
"Ya, aku ingin bersamamu," Sakura menggigit sudut mulutnya, "Tapi aku baru 16 tahun. Aku tidak bisa menjadi pelajar, ibu rumah tangga dan sekaligus istri," ucapnya, "Aku tidak tahu bagaimana memasak atau—"
"Saku," Sasuke menyela, "Dengar, kita bisa mencari solusi tentang itu."
"Sasuke-kun, sebesar apa pun aku membenci ibuku saat ini, aku satu-satunya orang yang dia miliki," Suara Sakura yang keluar dari bibirnya hanya sebatas bisikan, "Dia tidak punya siapa-siapa."
"Kau juga satu-satunya orang yang kumiliki sekarang," jawab Sasuke dengan keras kepala, "Kau adalah satu-satunya orang yang kumiliki," Ia mengoreksi dan mendorong Sakura menjauh dengan pelan, "Pergilah, Baasan sedang menunggumu."
Sakura menggelengkan kepalanya. "Tunggu aku," pintanya sambil memeluk leher Sasuke, "Tolong. 2 tahun, tunggu aku."
Sasuke menunduk sejenak dan kemudian menatap mata Sakura lagi, "Aku mencintaimu," bisiknya dan mencium bibir Sakura, melahap bibir bawah gadis itu sebelum menyelipkan lidahnya ke dalam mulut gadis itu. Sakura balas mencium Sasuke, menikmati rasa asin dari air mata di mulut mereka saat lidah mereka menari bersama untuk terakhir kalinya.
"Sakura-chan," Koharu memanggil lagi dari pintu dan mereka saling menarik diri.
"Aku juga mencintaimu."
Sasuke mengangguk dan membiarkan Sakura pergi. Sakura menoleh ke belakang dan menyeka beberapa air mata yang terus jatuh dari matanya sebelum melangkah keluar ruangan.
"Aku akan kembali besok," ucap Koharu pada Sasuke dengan senyum simpatik, "Cobalah untuk beristirahat."
Begitu pintu ditutup, Sasuke jatuh kembali ke tempat tidurnya karena kehilangan Sakura. Aneh sekali, betapa sedihnya ia setelah satu menit tanpa Sakura. Ia meringkuk seperti janin dan menangis seperti bayi kecil. Dadanya sakit dan ia berani bersumpah ia merasakan perutnya mual.
Sakura duduk di kursi belakang taksi yang dipesan neneknya dan mulai menangis juga. Dadanya mengencang dan gelombang mual juga terasa.
Ketika mereka bangun keesokan harinya, dengan mata merah dan sembab, mereka masih merasakan dada mereka mengencang, dan mereka berdoa agar rasa sakit itu segera hilang tapi itu tidak terjadi.
Beberapa bulan kemudian, rasa sakit itu masih membuat mereka kehabisan napas.
Setahun kemudian, rasa itu juga masih ada.
Hari-hari berlalu, bulan dan tahun pun juga berlalu... tapi Sakura dan Sasuke tak pernah bertemu lagi...
***
To be Continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)