Seorang pria paruh baya mengemudi mencari sebuah nama jalan. Ia tersenyum ketika ia akhirnya membelokkan mobilnya ke jalan yang benar dan sekarang mencari nomor rumah yang tepat dengan matanya. Ia tidak bisa menahan untuk tidak berpikir bahwa lingkungan disana sangat bagus. Beberapa anak sedang bermain di luar rumah mereka dan dua remaja mengendarai sepeda di tengah jalan, tidak peduli ada mobil yang melewatinya.
"Nomor 4371, itu di sini," Pria paruh baya itu bergumam pada dirinya sendiri saat ia memarkir mobilnya di seberang rumah besar berwarna kuning. Pria itu mematikan radionya dan melangkah keluar mobil, meregangkan kakinya setelah terlalu lama mengemudi. Ia menatap lurus ke depan pada dua remaja, seorang lelaki dan seorang gadis yang sedang mengambil beberapa koper dari dalam Ford Shelby GT hitam dan meletakkannya di halaman belakang rumah.
Pria paruh baya itu memperhatikan ketika remaja lelaki berambut hitam menyandarkan punggungnya ke mobil setelah menutup pintu sambil mengatakan sesuatu pada gadis remaja berambut merah muda dan tertawa. Remaja lelaki itu mengenakan hoodie putih, jeans navy dan topi biru tua. Sedangkan gadis berambut merah muda mengenakan dress bergaris abu-abu dan merah muda yang dilapisi hoodie, namun si remaja lelaki terus menarik hoodienya. Tindakan kecil di antara mereka itu membuat mereka tertawa terbahak-bahak dan pria paruh baya itu tidak bisa menahan senyum melihat dua remaja yang tampaknya bersenang-senang di dunia kecil mereka sendiri hingga tidak menyadari ada seseorang yang berdiri menhamati mereka.
Tiba-tiba seekor Golden Retriever kuning yang semenit lalu sedang tidur dengan tenang di atas rumput berlari ke arah pria paruh baya itu dan membuatnya mundur beberapa langkah, takut dengan ukuran hewan itu.
"Daisy, tinggalkan pria itu sendiri," Remaja lelaki berambut hitam memperingatkan dan anjing itu segera menoleh ke belakang. "Jangan khawatir. Dia bukan tipe anjing yang suka menyerang," ucap remaja lelaki itu dan membungkuk hingga sejajar dengan anjingnya, "Kemarilah, Daise."
Anjing itu berlari kembali ke pemiliknya, menabrak koper dan menjatuhkan dirinya ke lantai, menunjukkan perutnya pada remaja itu. Kedua remaja itu tertawa dan membelai anjing mereka, "Kau adalah anjing yang manja."
Gadis remaja itu terkikik dan remaja lelaki memandangnya, mengedipkan mata sebelum mengalihkan perhatiannya ke pria paruh baya di hadapan mereka, "Apa kau tersesat? Apa kau butuh bantuan?"
"Tidak, aku di tempat yang tepat," ucap pria paruh baya itu dan tersenyum. "Namaku Isamu Yuuto dan aku mencari Uchiha."
Remaja lelaki itu berdiri, "Kami baru saja tiba dari Aichi, tapi kurasa ayahku sedang tidak ada di rumah," ucapnya memberitahu, "Mobilnya tidak ada di sini."
"Tapi mungkin ibu ada," tambah gadis remaja berambuterah muda dan si remaja lelaki mengangguk.
"Ya, ibu ada di sini, dia selalu di rumah pada hari Minggu pagi."
Pria paru baya itu tampak penasaran. "Ibu kalian?"
"Ya."
"Hmm oke," Pria paruh baya itu mengambil kacamata di dalam saku jasnya dan memakainya, "Aku sebenarnya mencari Uchiha Sasuke," ucapnya dan melanjutkan, "Dan mengingat informasi yang kumiliki tentang dia, aku yakin 100 persen bisa mengatakan bahwa Uchiha muda adalah kau."
Remaja lelaki itu menelan ludah dan gadis berambut merah muda meraih tangannya untuk memberi dukungan. "Apa aku dalam masalah?"
Isamu Yuuto tertawa, "Aku bisa meyakinkanmu bahwa kau tidak dalam masalah," Ia mengulurkan tangannya, "Senang bertemu denganmu, Sasuke. Kau bisa memanggilku Yuuto, aku pengacara keluarga."
Sasuke memandang Sakura dengan cemas, tapi tetap menjabat tangan Yuuto, "Dia Sakura."
"Hai," sapa Sakura lembut dan melempar senyum pada pengacara itu, "Aku tidak tahu keluarga kami memiliki pengacara pribadi."
"Oh, aku di sini bukan mewakili keluarga Uchiha, tapi keluarga Fukuda," Yuuto menjelaskan pada mereka, "Dalam hal ini adalah Fukuda Mikoto."
"Siapa?" tanya Sakura, tidak bisa menghentikan rasa ingin tahunya.
"Ibuku," jawab Sasuke tanpa emosi, "Dengar, Isamu-san, aku tidak membutuhkan informasi apapun tentang dia, dia meninggalkanku 14 tahun yang lalu dan sekarang aku mempunyai ibu lagi."
Yuuto tersenyum pada Sasuke, "Aku hanya ingin berbicara denganmu selama tiga puluh menit, itu saja yang aku minta, Sasuke."
Sakura mengangkat bahu. "Hanya 30 menit, Boo."
Sasuke menghela napas dan mengambil koper dari lantai, "Baiklah, ikut kami masuk."
Pria paruh baya itu tersenyum sebelum mengikuti para remaja itu ke dalam rumah. Anjing itu terus berusaha mengendusnya tapi begitu mereka masuk dan meletakkan koper mereka di lantai ruang tamu, Daisy berjalan ke tempat tidurnya di samping sofa.
"Kaasan, apa kau di sana?" panggil Sasuke dan mendengar 'Ya' datang dari dapur, "Bisakah kau ke sini?"
Semenit kemudian Mebuki tiba di ruang tamu dengan senyum lebar di wajahnya dan memeluk kedua remaja itu. "Bagaimana di Aichi?"
"Hebat," jawab mereka bersama sebelum Sakura menunjuk pria di seberang ruang tamu. "Kita punya tamu."
Mebuki mengamati pria paruh baya itu dengan rasa ingin tahu. Pria itu memperkenalkan dirinya hanya sebagai Isamu Yuuto, ia tidak merasa perlu memberi tahu wanita itu bahwa ia adalah pengacara ibu Sasuke.
"Apa kau ingin minum, Isamu-san?" tanya Mebuki sopan dan pria itu menggelengkan kepalanya.
"Apa Uchiha-san ada?"
"Aku baru saja akan meneleponnya," jawab Mebuki, "Bisa permisi sebentar?"
Yuuto mengangguk dan Mebuki keluar dari ruang tamu. Sasuke dan Sakura duduk berdampingan di sofa, Sasuke memberi isyarat dengan tangannya agar Yuuto juga duduk.
"Aku merasa nyaman di sini, ini rumah yang bagus," ucap Yuuto pada dua remaja di depannya saat ia melihat sekeliling rumah. "Apa kalian senang tinggal di sini?"
"Ya, di sini luar biasa," ucap Sasuke berusaha terdengar normal, tapi tetap saja merasa sangat gugup.
"Aku sebenarnya tidak punya banyak waktu," Yuuto mengakui, "Aku punya jadwal penerbangan pulang besok pagi dan harus mulai berkemas."
Sakura memandangnya, "Dari mana asalmu, Isamu-san?"
"Nagano."
Sakura tersenyum lebar, "Kota yang tidak pernah tidur."
Sasuke memutar matanya, "Sakura tergila-gila pada Nagano. Dia ingin kuliah di sana."
"Aku juga kuliah ke sana," Yuuto tersenyum, "Universitas yang luar biasa."
"Ya," jawab Sakura bersemangat, "Aku ingin menjadi jurnalis dan bekerja untuk Nagano Times."
Yuuto tersenyum. "Itu rencana yang bagus, Sakura."
"Ya, tapi aku ingin kuliah di Aichi," ucap Sasuke memberitahu dan kemudian menambahkan, "Ini masalah besar, dia membuatku berjanji akan mencoba mendaftar di Nagano juga."
Sakura terkikik. "Dia suka berselancar, itu sebabnya dia ingin kuliah di Aichi."
Yuuto juga tertawa. "Kau masih punya waktu untuk memutuskan. Berapa umurmu?"
"Umurku 17 dan Sakura 16 tahun."
"Lihat," kata pengacara itu pada mereka, "Sangat banyak waktu untuk memutuskan, setidaknya Sakura."
Sasuke terkekeh. "Ya."
Mebuki kembali dengan Fugaku di belakangnya. Fugaku memperkenalkan diri dan duduk di sofa. Mebuki berdiri di belakang sofa dan meletakkan kedua tangannya di bahu Fugaku. Yuuto bisa melihat mereka gugup.
"Jadi, Isamu-san, apa yang bisa kami bantu?" Fugaku mencoba terdengar santai tapi gagal total.
"Uchiha-san, kau mungkin tidak akan menyukai keberadaanku di sini, tapi aku mewakili salah satu klien terpentingku, Fukuda Mikoto."
Mata Fugaku membelalak. "Mikoto?"
"Ya" jawab pengacara itu, "Aku pengacaranya selama lebih dari 10 tahun sekarang."
Fugaku mengusap kepalanya. "Oke, tapi itu bukan urusan keluargaku."
"Sasuke adalah keluarganya juga."
"Dia bukan," sela Mebuki tiba-tiba, "Dia meninggalkan Sasuke ketika dia masih bayi! Dia tidak berhak menganggap Sasuke sebagai keluarganya."
"Kaasan, tenanglah," Sasuke menatap malu perilaku ibunya, "Biarkan Isamu-san bicara… tolong."
"Terima kasih, Sasuke," Yuuto tersenyum dan Mebuki menghela napas, "Mikoto-san mencoba untuk menghubungi Sasuke, tapi kurasa aku butuh waktu untuk menemukan rumah barumu. Aku punya alamat lama, dari 15 tahun lalu."
"Kami pindah ke rumah yang lebih besar ini ketika kami menikah," ucap Mebuki, "Anak-anak membutuhkan ruang yang lebih besar."
"Isamu-san," Fugaku memulai, "Jangan salah paham, aku tidak ingin terdengar kasar karena aku mengerti kau hanya melakukan pekerjaanmu, tapi kami tidak menginginkan apa pun dari Mikoto dan aku yakin Sasuke juga tidak ingin bertemu dengan wanita yang meninggalkannya."
Sasuke menunduk sejenak. Mengapa orang tuanya membicarakannya seolah ia tidak ada di sana? Tidak ada yang meluangkan waktu untuk bertanya apakah ia ingin bertemu ibunya atau tidak, ia mungkin akan mengatakan tidak, tapi ia hanya ingin bisa memilih. Ia merasakan Sakura menjalin jari-jari mereka dan menatapnya, "Aku baik-baik saja," ucapnya berbohong dan Sakura memberinya senyuman simpatik. Gadis itu sangat mengenalnya. "Aku baik-baik saja, sungguh," Sasuke berbisik pada Sakura dan gadis itu mengangguk setuju.
"Aku sudah tahu itu, Uchiha-san," ucap Isamu Yuuto, "Mikoto-san memberitahuku bahwa ini mungkin reaksimu," Ia melepaskan kacamata dari wajahnya dan meletakkannya di pangkuannya dengan hati-hati, "Tapi meskipun begitu dia sangat ingin menghubungi Sasuke, dan dia tidak bisa. Mikoto-san meninggal karena kanker sebulan yang lalu."
Wajah Sasuke langsung pucat dan Sakura menutup mulutnya karena terkejut. Fugaku bersandar di sofa dan menatap ke bawah, menggelengkan kepalanya dengan sedih. Mebuki dengan cepat mengusapkan ujung jarinya di bahu suaminya. Yuuto menunggu beberapa detik sebelum berbicara lagi, "Sepuluh tahun yang lalu Mikoto-san memulai sebuah perusahaan komputer yang sukses besar dan dia menghasilkan banyak uang dari sana," ucapnya memberitahu keluarga tersebut, "Dia benar-benar ahli dalam komputer dan matematika."
Sasuke mendengar pidato pengacara itu dengan perhatian penuh, ini adalah informasi pertama tentang ibunya yang ia dengar sejak ibunya pergi 14 tahun lalu. Mikoto adalah nama yang tidak diizinkan diucapkan di rumah Haruno-Uchiha. Mikoto masih menjadi topik yang menyakitkan bagi Sasuke dan Fugaku.
"Ibumu bisa memperbaiki masalah komputer apa pun tanpa perlu lebih dari satu jam untuk menemukan caranya."
Sasuke tersenyum pada ayahnya, melihat di mata ayahnya bahwa hati ayahnya itu juga sakit. Mereka berbagi pandangan simpatik untuk sesaat sampai Yuuto mulai berbicara lagi.
"Mikoto-san memberitahuku bahwa kalian pertama kali bertemu ketika dia membantumu dengan pekerjaan di lab komputer."
"Ya" Fugaku tersenyum dan mengangguk, "Aku mendapat nilai A+ karena dia."
Yuuto tertawa dan Sasuke tidak bisa menahan senyum. Mebuki, sebaliknya, tampak sangat tidak nyaman dengan keseluruhan percakapan itu, jadi pengacara memutuskan bahwa yang terbaik adalah langsung ke pokok permasalahan. Yuuto tersenyum pada Sasuke dan Sakura, "Ketika dia tahu dia sakit dan tidak ada obatnya lagi, Mikoto-san menjual perusahaannya dan uang dari hasil penjualannya dia putuskan akan diberikan pada keluarganya."
Fugaku mengangguk. "Itu hal terbaik untuk dilakukan. Bibinya akan menyukainya."
"Aku yakin dia akan menyukainya," ucap Yuuto setuju. "Tapi Mikoto-san menganggap Sasuke sebagai satu-satunya keluarganya. Dia tidak pernah menikah atau pun punya anak lain."
"Apa maksudmu?"
Yuuto menatap Sasuke. "Ini berarti dua hal."
Sasuke menelan ludah. "Dan tolong beritahu aku, Isamu-san?"
"Pertama," Isamu Yuuto memulai, "Ini artinya aku sekarang juga pengacaramu."
"Oke," Sasuke mengangguk, "Dan yang kedua?"
Yuuto tersenyum. "Sekarang kau seorang jutawan, Sasuke. Berterima kasihlah pada ibumu."
Sasuke mencoba menyerap informasi tersebut, tapi tampaknya informasi itu terlalu banyak. Ia berdiri, menggelengkan kepalanya dengan keras. "A-Aku tidak menginginkan uangnya, Isamu-san."
"Kau anak satu-satunya, Sasuke. Itu membuatmu otomatis menjadi pewarisnya."
Fugaku, Mebuki, dan Sakura tidak bisa berkata-kata sama sekali. Mereka terus menatap reaksi Sasuke yang terus menggelengkan kepalanya, "Aku, aku..." Ia mengusap bagian belakang lehernya dengan putus asa, "Aku butuh udara, permisi."
Sebelum ada yang bisa mengatakan atau melakukan apa pun, Sasuke telah berlari keluar rumah, menutup pintu dengan keras di belakangnya. Ia perlahan berjalan ke jalan dan duduk di tepi jalan, tangannya berada di antara lutut dan kepalanya menunduk. Ia merasa sangat pusing dan sangat yakin ia bisa muntah kapan saja sekarang. Ia menghirup napas masuk dan keluar dari paru-parunya saat air mata memenuhi matanya. Ia tidak tahu mengapa ia menangis, ia tidak mengenal ibunya sama sekali dan ia yakin ibunya tidak merasakan apa-apa untuknya jika ibunya tega meninggalkannya. Tapi ia hanya ingin menangis meskipun ia menangisi seseorang yang tidak dikenalnya. Air mata mengalir di pipinya dan ia menyekanya dengan cepat. Ia merasa seperti pecundang setiap kali menangis dan ayahnya selalu mengatakan padanya bahwa Uchiha itu kuat dan tidak pernah menangis.
Sasuke merasakan tangan seseorang menggenggam bahunya dalam upaya untuk memberi dukungan dan ketika ia mendongak, ia melihat Sakura, Cherry-nya. Sakura duduk di sisinya, melingkarkan lengan di pinggangnya, "Bagaimana perasaanmu?"
Sasuke mengangkat bahu. "Aku baik-baik saja," Ia berbohong dan Sakura tidak percaya padanya. Ketegangan situasi terjadi antara Sakura dan Sasuke, Sasuke menunduk lagi dan mulai menangis, membuat hati Sakura hancur berkeping-keping.
"Sasuke-kun, tolong jangan menangis," Sakura membelai punggung Sasuke dengan lembut, "Bicaralah padaku, Sasu."
"Aku sangat membencinya, Saku," ucap Sasuke tanpa mengangkat wajahnya, "Sial. Aku sangat marah saat dia meninggalkanku dan bahkan tidak mencoba menghubungiku selama ini."
Sakura mengelus rambut Sasuke, "Aku bisa mengerti, Sasu."
"Ya," ucap Sasuke dan melanjutkan, "Tapi sekarang pengacara itu muncul dan memberitahuku bahwa dia sudah pergi dan aku merasa sangat bersalah," bisik Sasuke dan menatap Sakura, "Dan aku sangat marah dia meninggalkanku lagi kali ini dan aku bahkan tidak punya kesempatan untuk bertemu dengannya."
"Aku ikut sedih, Sasuke-kun" ucap Sakura lembut, "Sungguh."
"Aku tahu," ucap Sasuke dan menyeka air mata dari wajahnya, "Menurutmu apa yang harus kulakukan?" tanyanya, "Maksudku, tentang uang itu, haruskah aku menerimanya?"
"Aku tidak tahu, itu keputusanmu," Sakura memberikan sebuah amplop biru, "Isamu-san menyuruhku memberikan ini padamu."
Sasuke mengamati amplop itu, memutarnya dan melihat namanya tertulis dengan tulisan tangan wanita. Sakura berdiri, menepuk debu di dressnya dan memberi kecupan di atas kepala Sasuke, "Aku akan memberimu waktu sendiri."
Sasuke tidak mengatakan apa-apa, ia terus terhipnotis oleh selembar kertas di tangannya. Ia membukanya dan jantungnya berdebar kencang saat ia menyadari itu adalah surat dari ibunya. Sasuke melepas topinya dan memperbaiki rambutnya, secara tidak sadar ingin terlihat rapi untuk ibunya. Ini adalah yang pertama selama bertahun-tahun dan meskipun ia tidak bisa melihat ibunya langsung, ia ingin memberikan kesan yang baik padanya. Ia mulai membuka lipatan suratnya dan mulai membaca…
Sasuke sayang,
Bertahun-tahun yang lalu aku membuat kesalahan terbesar dalam hidupku dan aku bisa meyakinkanmu bahwa aku masih menyesalinya hingga sekarang. Aku meninggalkanmu karena pernikahan yang tidak bahagia yang dulu membuatku merasa di penjara. Sebesar apapun aku mencintaimu, aku tidak bisa berdiri di sana lagi atau aku akan mati. Aku akui, aku tidak pernah berencana meninggalkanmu sendirian, Sasuke, tapi aku tahu Fugaku tidak bisa melakukan apapun tanpamu, jadi aku memutuskan, meskipun itu sangat menyakitkan, bahwa akan lebih baik baginya untuk tetap bersamamu. Disamping itu, aku tidak punya tempat tujuan, aku tidak bisa mengambil resiko untuk membiarkanmu kelaparan atau kedinginan.
Aku tahu kau mungkin tidak akan mempercayaiku, tapi memilikimu sebagai seorang putra adalah perasaan terbaik yang pernah kurasakan. Ketika aku melihat ke dalam matamu untuk pertama kalinya, hatiku dipenuhi dengan perasaan yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Tujuh belas tahun yang lalu, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan selalu ada untukmu, bahwa aku akan menangkapmu setiap kali kau terjatuh, tapi aku gagal, Sasuke. Aku gagal dengan sangat buruk dan aku menyesalinya setiap hari. Aku menyesal tidak berada di dekatmu pada hari pertamamu di sekolah, ketika kau mulai mengendarai sepeda dan pada hari ulang tahunmu. Kau tidak akan mengingatnya karena kau terlalu kecil, tapi pada malam aku memutuskan untuk melarikan diri, aku pergi ke kamarmu untuk mengucapkan selamat tinggal dan kau tidur dengan sangat damai, kau tampak seperti malaikat kecil. Kau adalah malaikat kecilku, Sasuke. Mataku sampai hari ini berlinang air mata ketika aku mengingat bagaimana rasanya memelukmu untuk terakhir kalinya dalam hidupku.
Aku ingin kembali sehari setelahnya, sebulan setelahnya, dan setahun setelah aku meninggalkanmu. Aku ingin kembali meskipun aku telah pergi selama bertahun-tahun, tapi aku takut kau tidak akan menerimaku lagi karena aku tahu kau telah memiliki ibu baru dan aku tahu aku tidak akan mampu menghadapi kenyataan bahwa kau tidak akan mengenaliku sama sekali. Dan aku sudah sering berada didekatmu berkali-kali namun kau tidak menyadarinya. Aku menggunakan 'keuntungan' karena tidak dikenali lagi olehmu dan aku mendapat kehormatan untuk melihatmu dari jauh sebagai anak kecil dan remaja. Untung saja, sebelum aku jatuh sakit seperti kondisiku hari ini saat menulis surat ini, aku masih berkesempatan melihat salah satu permainan basketmu dan aku sangat bangga padamu. Bayi kecilku telah tumbuh menjadi seorang pria muda yang tampan dan baik. Sampaikan pada Fugaku dan Mebuki selamat karena telah membesarkan manusia yang begitu sempurna.
Aku minta maaf Sasuke, karena tidak berada di sana untukmu selama aku masih hidup, dan tidak berada di sana untukmu ketika kau lulus, menikah atau memiliki anak nanti. Maafkan aku karena telah menjadi ibu yang buruk, seperti orang lemah yang bahkan tidak bisa kuat untuk hadiahnya yang paling berharga. Tolong, terima uang yang Yuuto jelaskan padamu. Aku bekerja sangat keras selama bertahun-tahun untuk bisa memberikanmu masa depan yang baik. Gunakan uang itu untuk apa yang kau inginkan, kuliah, belilah sesuatu yang kau sukai... mungkin mobil. Itu uangmu dan kau bisa memilih bagaimana kau ingin membelanjakannya. Sepanjang waktu aku menggunakan tubuhku hingga kelelahan, aku menggunakannya untuk memikirkanmu, tentang semua hal yang dapat kuberikan padamu alih-alih cintaku, yang kutahu tidak dapat kulakukan lagi, sudah terlambat. Jangan berpikir aku mencoba membeli kasih sayangmu dengan uang, aku tidak akan pernah melakukan itu, percayalah.
Aku berterima kasih pada Tuhan setiap hari karena dapat mengenalmu, memilikimu di sisiku selama dua tahun yang indah dan memilikimu bersamaku selama sisa hidupku di dalam hatiku. Aku akan selalu bersyukur karena dipilih untuk memberimu hidup, aku tidak pernah melupakannya. Aku merindukanmu dan aku akan mencintaimu selama sisa hidupku.
Ibumu, Mikoto.
Dunia terasa menjadi sunyi dan air mata membanjiri wajah Sasuke yang pucat ketika ia membaca 'Sasuke & Mikoto' dan tanggal empat belas tahun yang lalu di belakang sebuah foto di dalam amplop itu. Ia merasa seperti jantungnya berhenti ketika ia perlahan memutarnya, melihat foto ibunya dan dirinya yang memeluknya. Lengan bayi kecilnya melingkari leher ibunya dan ibunya menatapnya dengan senyum termanis yang pernah dilihatnya. Sasuke menunduk dan air mata jatuh tepat di rambut hitam Mikoto, mengalir perlahan ke bawah foto dan terserap di tanah. Sasuke tidak pernah begitu menginginkan ibunya bersamanya seperti yang ia inginkan hari ini, tapi itu sudah terlambat, sangat terlambat.
***
"Boleh aku masuk?" Sasuke mendengar suara Sakura dan menoleh ke pintu kamarnya, mengangguk. Sakura menutup pintu kembali dan berjalan ke arah Sasuke. Ia duduk di tepi tempat tidur Sasuke dan merentangkan lengannya, mengundang Sasuke ke pelukannya. Sasuke tersenyum tipis sebelum merangkak ke arah Sakura untuk memeluk gadis itu.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Sakura saat Sasuke meletakkan kepalanya di pangkuannya dan menutup matanya.
"Lebih baik," jawab Sasuke, melingkarkan lengannya di pinggang Sakura untuk merasakan gadis itu lebih dekat dengannya.
Sakura menyingkirkan rambut Sasuke dari mata pemuda itu. "Sungguh?"
"Ya" bisik Sasuke sebelum mencium perut Sakura, "Terima kasih atas dukunganmu."
"Tidak masalah, Boo," Sakura membungkuk dan mencium kening Sasuke, "Apa kau sudah memutuskan apa yang akan kau lakukan?"
Sasuke mengangguk. "Aku akan menerima uang itu, dia akan menyukainya."
Sakura tersenyum. "Aku senang kalian akhirnya berdamai."
"Aku juga," Sasuke kemudian duduk tepat di depan Sakura, "Dan aku minta maaf atas semua yang terjadi. Aku tahu kita berencana berbicara dengan Kaasan dan Tousan tentang hubungan kita hari ini, tapi keadaannya jadi membingungkan."
"Tidak apa-apa, Sasu," Sakura mengecup bibir Sasuke perlahan, "Aku mengerti."
"Aku akan ke Nagano minggu depan dengan Tousan, untuk menandatangani beberapa dokumen tentang uang itu," Sasuke membelai lengan Sakura, "Aku akan berbicara dengannya, aku janji."
Sakura tersenyum dan mengangguk, "Oke."
***
Seminggu kemudian
"Baiklah, Sasuke," Isamu Yuuto memberi senyuman setelah remaja lelaki itu menandatangani surat-suratnya, "Kau secara resmi menjadi seorang jutawan."
Sasuke mencoba tersenyum tapi itu membuat wajahnya sakit. Ia sama sekali tidak senang mendapatkan uang lebih dari dua juta dolar. Tentu saja ia tahu ia tidak perlu khawatir tentang uang lagi, tapi ia tidak membutuhkan begitu banyak uang untuk bahagia. Satu hal yang sering mengganggunya kini, ia berharap ia pernah mencoba menghubungi Mikoto ketika ibunya itu masih hidup. Ibunya tampaknya adalah orang yang sangat baik dan sekarang ia menyesal tidak menjadi bagian dari hidupnya.
"Dia bisa menggunakan uang itu kapan pun dia mau?" tanya Fugaku, masih khawatit tentang apa yang akan dilakukan putranya dengan begitu banyak uang, "Maksudku, tanggung jawab besar bagi seorang anak berusia 17 tahun untuk memiliki lebih dari 2 juta dolar."
"Aku tahu," ucap pengacara itu, "Mikoto-san ingin Sasuke menggunakan uang itu secara langsung, tapi aku telah meyakinkannya akan lebih baik menunggu sampai Sasuke mencapai ulang tahunnya yang ke-21. Tentu saja, dia akan bisa mendapatkan uang itu pada usia 18 tahun untuk kuliah jika perlu, tapi selain itu, dia harus menunggu sampai 21 tahun untuk mendapatkan semuanya."
"Isamu-san?" Sasuke mengalihkan perhatiannya dari koran ke pria itu lagi, "Di sini, apakah aku punya mobil dan apartemen juga?"
"Ya. Ibumu tidak ingin menjualnya, kalau-kalau kau ingin tinggal di Nagano suatu hari nanti," Yuuto tersenyum penuh simpati pada ekspresi remaja di depannya itu, "Jangan khawatir, Sasuke. Kau akan terbiasa dengan itu."
"Ya," Sasuke tertawa palsu, "Sepertinya aku tidak perlu mencari pekerjaan musim panas lagi untuk membayar sekolah, Tousan."
Fugaku memutar matanya, "Aku tidak ingin kau meremehkan sekolah dan tanggung jawabmu hanya karena kau sudah punya uang sekarang, Sasuke. Kau masih orang yang sama, mengerti?"
Sasuke menelan ludah. "Tentu, Tousan."
"Baiklah," Fugaku berdiri dan mengulurkan tangannya pada Yuuto, "Kami akan pergi sekarang. Kami ada penerbangan pulang malam ini."
Pengacara itu menjabat tangan Fugaku. "Oke," Ia memandang Sasuke dan tersenyum, "Aku berharap bisa bekerja dengan baik untukmu, Sasuke."
Sasuke tersenyum dan mengangguk, "Itu terdengar keren, terima kasih, Isamu-san."
Mereka mengucapkan salam perpisahan dan melangkah keluar kantor lalu masuk ke lift. Sasuke memggumamkan sebuah lagu saat ia menghindari memandang ayahnya, karena ayahnya masih menatapnya dengan serius. Ia tidak merasa melakukan hal buruk tapi ayahnya tampak sangat gugup sejak mendengar tentang dirinya yang menerima uang banyak.
"Kau baik-baik saja, Tousan?" tanya Sasuke saat mereka berjalan ke taksi, "Maksudku, kau terlihat aneh."
"Aku baik-baik saja," jawab Fugaku dan memberikan petunjuk arah hotel mereka pada sopir taksi, "Aku hanya khawatir. Kau terlalu muda untuk punya uang sebanyak itu, Sasuke."
"Aku bukan orang yang tidak bertanggung jawab, Tousan," jawab Sasuke kesal. "Astaga, kau telah mengkhawatirkan hal yang sama selama seminggu sekarang."
"Aku tahu," desah Fugaku. "Tapi terkadang punya banyak uang adalah masalah besar. Kau harus lebih bertanggung jawab sekarang."
Sasuke mengangguk. "Baik, tenanglah," Mereka berbagi keheningan yang tidak nyaman selama satu menit. "Sakura akan senang kalau aku punya apartemen di sini. Mungkin dia bisa tinggal di sana kalau dia kuliah di Universitas Nagano."
"Mungkin," Fugaku setuju, namun terlihat tidak terlalu bersemangat.
Taksi berhenti di depan hotel mereka dan mereka berjalan kembali ke kamar mereka, sekali lagi dalam diam. Saat mereka masuk ke kamar dan menutup pintu, Sasuke duduk di sofa dan berpikir apakah sebaiknya membicarakan hubungannya dengan Sakura sekarang saat ayahnya masih begitu khawatir. Ia akhirnya memutuskan bahwa yang terbaik adalah menunggu sampai mereka pulang malam ini dan mungkin Sakura bisa membantu juga. Gadis itu selalu tahu bagaimana menenangkan ayah mereka.
Ketika mereka tiba di rumah, Fugaku mengunci diri di dalam kantornya, bahkan melewatkan makan malam. Sasuke dan Sakura terpaksa pergi ke kamar mereka untuk menyelesaikan PR mereka, dan ketika mereka selesai, Mebuki dan Fugaku ternyata sudah berada di kamar mereka.
Dua minggu berlalu, dan kedua remaja itu tidak memiliki waktu untuk berduaan lagi atau berbicara dengan orang tua mereka tentang hubungan keduanya. Mereka akan menghadapi ujian sekolah dan Sakura panik karena ia tidak bisa belajar, berlatih cheerleaders dan memberi perhatian pada Sasuke pada saat yang sama. Ia mengikuti semua kelas lanjutan, dan para guru memberikan lebih banyak PR setiap harinya, dan itu membuatnya gila.
Sedangkan Sasuke berlatih sangat sering untuk pertandingan terakhir di akhir semester dan mencoba belajar untuk ujiannya juga, karena nilai matematika dan kimianya sangat rendah, entah bagaimana ia tidak bisa berkonsentrasi memikirkan Sakura dan teman-teman setimnya. Dengan segala aktivitasnya, Sasuke selalu lelah dan pusing setelah latihan karena Fugaku terlalu menekannya. Ketika Sasuke mengeluh tentang hal itu, Fugaku akan memutar matanya dan mengabaikannya, tapi ia tahu ada alasan mengapa Fugaku sangat menekannya sekarang, ayahnya itu khawatir Sasuke akan menyerah dengan semua mimpinya karena ia memiliki banyak uang sekarang.
Meskipun Sasuke berusaha memberitahu ayahnya bahwa ia tidak akan putus sekolah atau melepaskan beasiswa basketnya, ayahnya tetap tidak dapat tenang, bahkan selama akhir pekan ini. Jadi setiap malam Sasuke melakukan rutinitas yang sama: latihan, mengerjakan PR, belajar untuk ujian akhir, tidur saat makan malam dan kemudian tidur lagi ketika sampai di tempat tidur.
Setelah berhari-hari tidak melihat Sasuke benar-benar terjaga saat di rumah, Sakura menemukan pemuda itu di dapur, mencari sesuatu di dalam lemari es untuk dimakan. Sakura yakin bahwa kini mereka hanya berdua karena jam sudah menunjukkan tengah malam, jadi ia memberanikan diri untuk memeluk pemuda itu dari belakang.
"Hei, sleepy beauty," canda Sakura saat ia memberi ciuman di punggung Sasuke, "Aku rindu melihatmu bangun, kau selalu tidur saat di rumah."
"Hei, Saku," Sasuke balas menatap Sakura dan tersenyum, "Senang melihatmu di sini."
"Apa yang kau cari?"
"Apapun yang bisa dimakan," bisik Sasuke pada Sakura, "Perutku keroncongan."
Sakura tersenyum. "Aku akan membuatkanmu sandwich, duduklah."
Sasuke mengangguk dan duduk, menyaksikan Sakura bergerak di dapur mengambil semua bahan yang gadis itu butuhkan untuk membuat sandwich kalkun favoritnya.
"Saku?" tanya Sasuke dan gadis itu balas menatapnya, "Apa kau memperhatikan Tousan yang bertingkah aneh sejak aku menerima uang ibuku?"
Sakura mengangguk.
"Apa menurutmu dia marah karena aku menerima uang itu?"
"Tidak," Sakura memberikan sandwich pada Sasuke dan duduk di pangkuan pemuda itu, melihat pemuda itu makan, "Aku rasa Kaasan dan Tousan sedang ada masalah."
"Masalah apa?"
"Aku tidak tahu," ucap Sakura, "Aku hanya mendengar sesuatu, tapi aku tidak yakin apa masalahnya."
Sasuke menggigit sandwichnya dan menunggu sampai Sakura melanjutkan ucapannya.
"Menurutku Kaasan cemburu pada ibumu."
Sasuke mengunyah dan menelan rotinya. "Tapi dia... sudah pergi."
Sakura menghela napas. "Aku tahu, tapi mungkin Kaasan menganggap bahwa Tousan masih menyukainya."
"Oh," Sasuke meletakkan makanannya, "Itu cukup menjelaskan kenapa dia selalu terlihat cemas."
"Yup," ucap Sakura dan memeluk leher Sasuke, "Sudah cukup membicarakan mereka, karena sekarang aku merindukan pacarku yang sangat seksi ini."
Sasuke menyeringai. "Sunggu, eh? Dia seksi?"
"Hmm," Sakura menggigit bibir bawahnya untuk menahan senyumnya, "Sangat seksi."
Sasuke berdiri dengan Sakura dalam pelukannya dan gadis itu melingkarkan kaki di pinggangnya. "Aku akan membawamu ke tempat tidur sekarang dan kau bisa menunjukkan dengan tepat bagaimana kau merindukanku."
Sakura terkikik saat Sasuke mulai mencium lehernya. Sasuke perlahan menaiki tangga, merasa bahagia dengan tawa Sakura yang memenuhi telinganya. Sakura mendorong Sasuke ke belakang sedikit dan mencium bibir pemuda itu dengan lapar. Sasuke menyeringai di dalam ciuman itu dan menghimpit Sakura ke dinding untuk mencium gadis itu dengan benar. Sakura memeluk leher Sasuke lebih erat dan membuka mulutnya untuk menerima lidah pemuda itu. Sasuke menghisap bibir bawah Sakura, sementara tangannya membelai kaki gadis itu dengan lembut.
"SASUKE?! SAKURA?!"
Keduanya menarik diri begitu cepat saat nama mereka dipanggil. Mereka menoleh bersamaan dan melihat Uchiha Fugaku berdiri di depan mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Apa yang terjadi di sini?"
Sasuke berpikir untuk membuat lelucon, tapi mungkin humor bukanlah ide yang bagus untuk saat ini. Ia menghela napas dan menutup matanya, membukanya kembali sedetik kemudian.
"Tousan, kami bisa jelaskan," ucap Sasuke, sementara Sakura membenamkan wajahnya di leher Sasuke dan memeluk pemuda itu lebih erat. Sasuke bisa merasakan sosok mungil Sakura bergetar hebat.
Mebuki melangkah keluar dari kamarnya setelahendengar suara-suara yang muncul dari koridor, "Ini sudah larut malam. Tidak bisakah kalian diam?"
"Mereka berciuman!" teriak Fugaku, "Mereka berciuman!"
"Siapa yang berciuman? Apa yang kau bicarakan?"
"Sialan! Lihat mereka. Sasuke dan Sakura berciuman!"
Mata Mebuki membelalak dan ia menyadari tangan Sasuke masih berada di paha Sakura. "Turunkan adikmu, Sasuke... SEKARANG!"
Sasuke menarik napas dalam-dalam dan menurunkan Sakura. Sakura terus memeluk Sasuke dan Sasuke tahu ia harus kuat untuk gadis itu. Ia mencium rambut Sakura dan balas menatap orang tua mereka, "Dia bukan adikku. Sakura adalah pacarku."
***
To be Continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)