Penyeka kaca berderit seolah-olah kalah melawan serpihan salju tebal yang menabrak kaca depan mobil. Sambil menatap salju putih tebal yang meluncur ke arah mobil, Sakura mencondongkan tubuhnya ke depan untuk bertanya pada sopirnya, "Apa kita akan baik-baik saja?"
Sopir itu mengangguk, mengangguk dengan cara yang jika diterjemahkan menjadi "Ya dan aku tidak ingin berbicara denganmu" dan kemudian menekan tombol untuk menaikkan pembatas antara dirinya dan penumpangnya. Sakura memelototi jendela pembatas itu ketika bergerak menutup dan kemudian bergeser di kursinya, matanya tertuju pada badai salju yang mengamuk di luar mobil sewaannya.
Meraih iPhone-nya, ia mengirim pesan pada Ino.
Apa kau tetap akan datang? Cuaca sangat buruk!
Setelah pesan itu terkirim, Sakura menyalakan lampu di atas kepalanya dan mengambil naskah untuk proyek film barunya yang ia bawa sepanjang perjalanan dari Shibuya ke sebuah kabin di Pegunungan Takao yang disewa Ino untuk 'Girl Time' Malam Tahun Baru. Ia membuka ke halaman yang ia tandai dan mencoba membaca adegan memukau yang terjadi antara dua karakter utama. Namun, dari sudut matanya, ia melihat salju merosot ke jendela dan dibuat kesal akan hal itu. Meletakkan kembali naskah yang dipegangnya, ia menatap ponselnya dan berharap Ino segera membalas.
Apa kau tetap akan datang? Cuaca sangat buruk!
Setelah pesan itu terkirim, Sakura menyalakan lampu di atas kepalanya dan mengambil naskah untuk proyek film barunya yang ia bawa sepanjang perjalanan dari Shibuya ke sebuah kabin di Pegunungan Takao yang disewa Ino untuk 'Girl Time' Malam Tahun Baru. Ia membuka ke halaman yang ia tandai dan mencoba membaca adegan memukau yang terjadi antara dua karakter utama. Namun, dari sudut matanya, ia melihat salju merosot ke jendela dan dibuat kesal akan hal itu. Meletakkan kembali naskah yang dipegangnya, ia menatap ponselnya dan berharap Ino segera membalas.
***
Di Shibuya, Ino melirik pesan dari Sakura dan kemudian memandang pada teman-temannya. Naruto sedang bersandar di sofa, lengannya melingkari pundak istrinya yang sedang hamil, Hinata, dan tersenyum ketika wanita itu menghela napas dan bersandar padanya. "Kau baik-baik saja, Hinata-chan?"
Hinata meregangkan tubuh, melenturkan kakinya, dan kemudian menyandarkan kepalanya kembali ke sofa. "Hanya lelah. Berharap rencana ini berhasil karena aku tidak bisa mengatasi stres lebih banyak lagi."
Saat menyebut 'rencana', Naruto mengalihkan pandangannya ke arah Ino. "Jadi, apa isi pesan dari Sakura-chan?"
Ino melirik ponselnya dan kemudian kembali memandang Naruto. "Dia ingin tahu apakah aku tetap akan datang."
Naruto mengangguk. "Jadi bisa disimpulkan, bahwa dia belum sampai ke kabin?"
Ino tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Begitu dia sampai di kabin itu dan melihat siapa yang ada di sana, ponsel kita berdua akan meledak. Jadi bersiaplah karena mereka berdua akan marah besar."
Hinata tiba-tiba berjengit dan mengayunkan kakinya ke pangkuan Naruto dan mulai mengusap perutnya yang besar untuk menenangkan bayi yang sedang menendang di dalam perutnya. Tatapan Naruto mendarat di tangan Hinata dan ia menyaksikan dengan terpaku pada gerakan tangan istrinya. Tanpa mengalihkan matanya, Naruto berbicara, "Sakura-chan bilang dia mendapatkan surat cerai minggu ini. Aku bersyukur kita sudah merencanakan ini sebelumnya karena kita hampir saja terlambat. Begitu mereka menandatangani surat itu, semuanya sudah berakhir." Wajahnya penuh kekhawatiran, ia kemudian menatap Ino. "Apa kau yakin ini akan berhasil?"
Ino selesai mengetik balasan untuk Sakura dan kemudian mengangguk ke arah Naruto. "Harus yakin. Ini kesempatan terakhir kita untuk membuat mereka berdua sadar bahwa mereka bodoh. Apa kau tahu bahwa Sasuke memberitahuku jika dia akan mencoba untuk mulai berkencan lagi sesegera mungkin? Sial, omong kosong itu tidak boleh terjadi! Itu akan menghancurkan Sakura, dan secara pribadi, aku bosan melihat dia menangisi kebodohan Sasuke."
Ekspresi Naruto berubah ngeri. "Apa kau serius?! Kondisi Temebenar-benar mengkhawatirkan. Aku tahu bahwa dia bahkan tidak menginginkan perceraian sialan itu! Dia tidak tidur nyenyak di sofa Shikamaru. Shikamaru bilang dia hanya bermalas-malasan sepanjang hari ketika dia tidak bekerja." Ia menatap Ino dengan prihatin. "Ini harus berhasil."
***
Sasuke menyingkap kembali tirai yang menutupi jendela kabin dan memandang keluar lagi. Salju sedang berputar-putar deras sekarang dan ia bertanya-tanya apakah Naruto dan Shikamaru bahkan akan berhasil tiba dalam cuaca seperti ini. Menutup tirai, Sasuke menyalakan perapian di dalam kabin kecil itu, ada dua kamar tidur di sana dan ia memandang sekeliling. Ia tidak yakin mengapa ia setuju untuk menyambut Malam Tahun Baru dengan Naruto dan Shikamaru di kabin gunung terkutuk ini, tapi sekali lagi, tidak ada alasan untuk tinggal di Shibuya yang sangat bising, kan? Pikiran Sasuke melayang pada calon-mantan-istrinya, yang mungkin sedang berdandan dan bersiap-siap untuk menghadiri pesta Tahun Baru yang penuh bintang dan meriah di mana orang-orang akan memuja wanita itu seperti biasanya.
Melepas sepatunya dan melepaskan mantelnya, Sasuke membuka dua kancing atas kemejanya dan membiarkannya terbuka ketika ia mondar-mandir di lantai kayu usang di dalam kabin, pikirannya melayang pada Malam Tahun Baru setahun yang lalu. Ia dan Sakura menghabiskannya di Swiss, bergelung di sebuah chalet yang kira-kira seribu kali lebih baik dari pada tempat ia berada sekarang. Senyum pahit muncul di wajahnya ketika ia memikirkan betapa banyak hal telah berubah dalam setahun terakhir.
Dengan desahan berat, Sasuke menjatuhkan diri ke sofa mewah berwarna merah marun yang berada di salah satu sudut ruangan utama kabin yang kecil itu. Ia menyapukan jari-jarinya ke rambut hitamnya, rasa sakit di kepalanya sudah mulai berakar di otaknya dan mulai berdenyut.
Ia telah mengajukan gugatan cerai minggu lalu.
Setelah lima tahun menikah dan dua belas tahun bersama Sakura, tiba saatnya untuk melepaskan wanita itu. Ia masih ingat bagaimana tangannya bergetar ketika ia menandatangani surat cerai itu dan kemudian mengembalikannya pada pengacaranya. Segala sesuatu di tubuhnya berteriak 'tidak' ketika pengacara mengambil surat itu dan mengangguk, berjanji bahwa surat itu akan segera diajukan ke pengadilan.
Yang tersisa sekarang hanyalah menunggu Sakura menandatangani salinan surat itu, dan kemudian, semuanya berakhir. Sasuke tenggelam dalam pikirannya, tenggelam ke sofa merah ketika pembuluh di otaknya semakin berdenyut sakit.
Kilatan lampu depan mobil menembus tirai tipis kabin dan menarik Sasuke dari pikirannya yang menyedihkan. "Selalu terlambat," gumam Sasuke sambil berdiri.
Membuka pintu, Sasuke mengabaikan salju yang bertiup dan memicingkan mata. Ia mendengar bantingan pintu mobil dan kemudian mendengar derak salju ketika mobil itu menjauh. Dan kemudian ia berdiri berhadapan muka bukan dengan dua teman terdekatnya, tapi dengan calon-mantan-istrinya. Salju berputar-putar dengan marah di sekeliling Sakura dan menempel di lapisan mahal tas wanita itu. Sakura balas menatap Sasuke, mulutnya menganga.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Sakura menuntut.
Sasuke menggelengkan kepalanya, wajahnya menekuk frustrasi. "Oh, sial tidak. Apa yang kau lakukan di sini?"
Sakura menyerbu melewati Sasuke dan masuk ke dalam kabin, menepis salju yang basah dan tebal dari mantel dan tasnya. Ia menarik ponsel dari tasnya, menghubungi nomor Ino dengan cepat dan kemudian merengut ketika dialihkan ke voicemail. Dari tempatnya berdiri, Sakura mendengar Sasuke berteriak ke ponselnya sendiri ketika berbicara ke voicemail. "Terima kasih banyak, brengsek!"
Sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam tasnya, Sakura menurunkan kedua tangannya ke pinggul dan menatap tajam ke arah suaminya. "Kurasa kita dijebak."
Sasuke menjepit hidungnya dan menggelengkan kepalanya. "Brengsek. Ayo pergi. Aku membawa SUV kesini. Tidak mungkin aku tetap di sini di dalam kabin sialan ini tanpa televisi dan tanpa komputer dan badai salju di luar bersamamu sebagai satu-satunya bentuk hiburanku!" Mata onyx-nya melesat ke sekeliling ruangan sampai ia menemukan mantel dan ranselnya. Sebelum ia bisa bergerak untuk mengambilnya, Sakura menghentikannya dengan memegang lengannya.
"Sasuke-kun, cuacanya sangat mengerikan di luar sana. Limo yang kutumpangi tadi sempat terjebak salju. Sopir tadi mengatakan bahwa dia akan menepi di hotel di ujung jalan dan menginap karena tidak memungkinkan untuk melewati badai. Malam ini hampir tidak memungkinkan untuk pergi dan orang-orang bilang salju sudah setinggi satu kaki bahkan sebelum tengah malam lewat! Pergi sekarang sama sekali bukan ide bagus, dan terus terang, aku sedang tidak ingin mati malam ini."
Sasuke menatap Sakura sedikit lebih lama sebelum mulai mondar-mandir melintasi ruangan. Suara langkah kakinya yang berat bercampur dengan napasnya yang keras dan marah ketika ia mengepalkan tinjunya dan berteriak, "Brengsek. Sialan. Kenapa mereka melakukan ini, Sakura? Mereka tahu omong kosong ini..." Ia menunjuk di antara mereka berdua, "...sudah selesai."
Sakura memperhatikan tubuh Sasuke yang tegang, bergerak cepat dari satu sisi ke sisi yang lain. "Karena mereka ingin kita menyelesaikannya, Sasuke-kun. Aku sudah mencoba memberitahu mereka bahwa pernikahan kita sudah berakhir, tapi mereka masih yakin bahwa kita bisa memperbaikinya." Ia menatap lantai dan menyaksikan salju mencair dari permukaan sepatunya yang mahal. "Kupikir mereka percaya kita bisa menyelesaikan semuanya."
Sasuke tertawa pahit. "Sudah terlambat untuk itu." ucapnya seraya berjalan ke ranselnya, mengambilnya dan menyampirkannya ke atas bahunya. "Aku akan menempati kamar tidur di sebelah kiri. Kau bisa menempati kamar yang lain."
Sakura memperhatikan Sasuke berbalik dan kemudian memasuki kamar, menutup pintu dengan cepat.
Meraih ponselnya, Sakura mengetik pesan marah pada Ino.
Aku tidak percaya kau melakukan ini padaku. Kau tahu pernikahan kami sudah berakhir! Terima kasih banyak.
Beberapa detik kemudian, ponselnya berbunyi bip.
Sama-sama.
Memelototi kata-kata di layar, Sakura mematikan ponselnya dan mengambil tasnya sendiri. Menyeret dirinya masuk ke kamar tidur yang akan menjadi miliknya untuk malam itu.
***
Naruto meletakkan ponselnya ke meja samping dan menatap Ino dengan gugup. "Jadi sekarang bagaimana?"
Ino tersenyum ketika ia berdiri dan berjalan menuju Naruto dan Hinata. "Sekarang kita biarkan mereka dengan badai salju dan fakta bahwa mereka masih saling mencintai, mereka hanya terlalu keras kepala dan terlalu bodoh untuk mengakui itu."
"Kau berpikir seperti itu?" Hinata tidak yakin, mengingat pertengkaran mengerikan yang ia saksikan di antara kedua temannya pada tahun lalu.
Ino memutar matanya. "Tentu saja. Aku tahu Sasuke. Dia jatuh cinta pada Sakura sejak berusia 15 tahun. Dia hanya kesal karena mereka jarang bersama, tapi aku yakin sekali, dia sebenarnya tidak rela melepaskan Sakura." Mendorong tas selempangnya ke atas bahunya, Ino membungkuk dan mencium pipi Hinata, dengan lembut menepuk perut besar gadis itu. Dan kemudian memeluk singkat Naruto, "Selamat Tahun Baru! Aku harus pergi untuk menghabiskan waktu bersama Sai."
Hinata melambai pada Ino dan Naruto berseru, "Sampaikan salam kami pada Sai!"
Dengan melambaikan pergelangan tangannya, Ino menghilang dari apartemen Naruto dan melangkah ke jalan-jalan Shibuya yang bersalju, yang dipenuhi oleh orang-orang menyambut Tahun Baru.
***
Sakura menatap kasur besar yang empuk di kabin itu dengan penuh damba. Ia hampir tidak tidur beberapa hari terakhir dan jujur, beberapa bulan terakhir telah membuat tidurnya tidak nyenyak. Ia kelelahan baik secara mental maupun fisik. Sambil menjatuhkan diri ke kasur yang mewah itu, Sakura memejamkan mata dan mendesah. Ketika ia mendengar bunyi gedebuk di kamar sebelah, diikuti dengan umpatan Sasuke, ia membuka matanya dan merengut.
Aku membencimu, Pig, pikir Sakura. Aku tidak percaya kau melakukan ini padaku!
Ketika Sasuke tampak terdengar tenang lagi, Sakura berdiri dan mulai melepas pakaiannya. Ia berdiri hanya dengan celana dalam dan bra saat ia merogoh ke dalam tasnya sampai ia dengan cepat menemukan t-shirt dan celana yoga sederhana, yang dengan cepat ia pakai saat dinginnya ruangan mulai meresap ke dalam kulitnya. Setelah berganti pakaian, ia menatap pintu, rasa frustrasi menjalari dirinya.
Apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa berbicara dengannya. Dia mengajukan cerai. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk dibicarakan.
Ia mendengar Sasuke mengumpat marah lagi dan ia melirik dinding dengan frustrasi. Dan kemudian, karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan, ia menyingkap selimut dan merangkak ke tempat tidur. Jika ia terjebak di sini dalam badai salju ini dengan calon-mantan-suaminya, ia hanya akan tidur sampai tiba waktunya untuk pulang.
***
Rencana Sakura untuk tidur hanya bertahan beberapa jam karena ia terbangun dengan gemetaran. Ruangan itu hampir terasa akan membeku, tidak ada panas dari perapian yang merembes masuk ke dalam kamar untuk menghangatkannya.
Merasa kesal, ia mendorong selimut dari tubuhnya dan turun dari tempat tidur sebelum membungkuskan selimut di sekeliling tubuhnya. Kain lembut itu terseret di lantai saat ia berjalan cepat keluar kamar tidur, melangkah kembali ke ruang utama. Namun, gerakannya terhenti ketika ia menemukan Sasuke, yang sekarang mengenakan celana olahraga dan sweater, duduk di lantai tepat di depan perapian.
"Kamar terasa dingin, huh?" tanya Sasuke tanpa berbalik.
"Lebih tepatnya membeku," Sakura mengoreksi dengan angkuh. Ia dengan hati-hati melangkah mendekat dan menjatuhkan diri ke sofa mewah yang paling dekat dengan perapian, menarik selimut lebih ketat di tubuhnya. Ia mendapati dirinya menatap bagian belakang kepala Sasuke ketika pria itu mencondongkan tubuh ke depan untuk lebih dekat ke perapian dengan wajah datar.
"Salju sialan itu masih turun di luar sana," ucap Sasuke setelah beberapa saat hening selain bunyi perapian.
"Aku berharap banyak. Berharap kita bisa keluar dari sini besok. Aku punya banyak hal yang harus dilakukan dan benar-benar tidak bisa ditunda."
Sasuke mendengus dan berdiri. "Ya, aku tahu. Kisah hidupmu yang sibuk."
Sakura menatap Sasuke tajam dari balik selimut. "Apa maksudmu?"
Sasuke balas menatap Sakura tajam. "Kau tahu persis apa artinya, Sakura. Aku tidak ingin lagi bertengkar denganmu karena masalah yang sama lagi. Aku sudah selesai."
"Ya, aku sadar kau sudah menganggapnya selesai," ucap Sakura, suaranya terdengar pahit. "Aku mendapatkan kiriman surat cerai."
"Tandatangani saja surat keparat itu dan kemudian kita bisa selesai, oke?" Sasuke menjalankan jari-jarinya di rambut hitamnya dan kemudian melangkah menjauh dari perapian. "Lagipula tidak ada gunanya membahas lagi hal yang tak terhindarkan."
Sasuke menghilang ke kamar dan kembali dengan selimutnya sendiri. Menduduki sofa yang berseberangan dengan Sakura, ia membungkus dirinya dengan selimut dan menyandarkan kepalanya ke belakang. Sakura memandang kelopak mata Sasuke yang bergerak menutup dan ia tidak bisa untuk tidak memperhatikan bagaimana cahaya dari perapian membuat bulu mata pemuda itu tampak lebih panjang. Pikirannya melayang ke waktu dan tempat lain dimana ketika ia akan mengomentari hal itu dan Sasuke akan memprotesnya untuk hal-hal yang ia perhatikan. Matanya mulai terasa panas saat ingatan masa lalu mereka yang saling terkait menyerangnya, tapi dengan usaha besar, ia mendorong ingatan itu pergi. Tidak ada gunanya mengingat masa lalu atau bertanya-tanya apa yang mungkin bisa terjadi. Mereka akan segera bercerai. Karena Sasuke begitu tanpa perasaan mengingatkannya, yang perlu ia lakukan hanyalah menandatangani surat cerai itu.
Berbalik sehingga Sasuke tidak bisa melihatnya, Sakura memejamkan matanya dan membiarkan bunyi kayu di dalam perapian membuatnya tertidur.
***
Ketika Sasuke membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah angin yang menerpa jendela. Saat matanya mulai terfokus, ia menoleh dan melihat bahwa selimut yang sebelumnya digunakan Sakura, sekarang tergeletak kusut di sofa dan wanita itu tidak ada. Ia mendengar suara denting piring di ruangan kecil yang berdampingan dengan dapur dan semenit kemudian, Sakura muncul, dengan dua mug mengepul di tangannya.
Sakura mendorong satu mug ke arah Sasuke dengan senyum kecil dan pria itu mengambilnya, mengangguk terima kasih dalam diam sebelum menyesap teh yang Sakura buat. Sasuke menutup matanya saat ia menyesap teh itu dan kehangatan membanjiri tubuhnya yang dingin. Setelah menyesap hampir setengah mug, Sasuke mendorong selimutnya ke belakang, meletakkan mugnya di meja, dan mengambil mantelnya.
Sasuke tidak melewatkan ekspresi khawatir di wajah Sakura ketika wanita itu bertanya, "Mau ke mana?"
"Mencari lebih banyak kayu," jawab Sasuke. "Semahal apapun Naruto atau Ino membayar tempat ini, tetap saja disini sangat dingin."
Sakura mengangguk, menggigit bibirnya saat Sasuke menghilang ke dalam badai. Beberapa menit kemudian, Sasuke kembali dengan mantel tertutup salju dan dengan tangan penuh kayu. Sasuke melangkah ke perapian, membiarkan kayu jatuh ke lantai dengan bunyi keras, dan kemudian melepas mantelnya sebelum memasukkan kayu ke dalam perapian. Ketika api kembali menyala, Sakura membiarkan hawa dingin menerpa tubuhnya dan ia gemetaran. Sasuke memperhatikan bahu Sakura bergetar dan kemudian menuju ke kamar tidur. Ketika kembali, Sasuke melemparkan salah satu sweatshirt lamanya dan sepasang kaus kaki wol tebal pada Sakura, "Kau selalu tidak berpakaian dengan benar. Pakai itu."
Tanpa kata-kata, Sakura mengenakan sweatshirt dan kaus kaki Sasuke, aroma yang sudah sangat dikenalnya dan sangat dirindukannya sejak pria itu pergi dari rumah kini melayang-layang di sekelilingnya. Sakura memperhatikan Sasuke meraih mug tehnya lagi, menjatuhkan diri ke sofa, dan menarik selimut ke sekeliling tubuhnya. Dalam hening, mereka berdua menyaksikan nyala api berkedip-kedip di perapian.
"Kau melewatkan beberapa pesta malam ini?" tanya Sasuke setelah beberapa saat.
Sakura mengangguk. "Aku diundang ke beberapa pesta tapi Ino bersikeras bahwa dia, Hinata, Temari dan aku harus memiliki 'Girl Time' malam ini." Ia tertawa pahit. "Aku tidak curiga. Ino membenci keramaian kota, dia menemukan kabin ini dan sangat memaksa untuk melewatkan Malam Tahun Baru disini, karena dia tidak pernah setuju untuk melewatkan Malam Tahun Baru di Shibuya."
Mata Sasuke memandang ke sekeliling kabin kecil itu ketika Sakura berbicara dan kemudian ia berkata, "Kabin ini dipesan atas nama Naruto. Aku yakin ini adalah salah satu kabin teman bodohnya atau teman omong kosong lainnya. Dan aku seharusnya tahu bahwa aku sedang dijebak karena Shikamaru terus mengelak ketika aku mencoba mencari tahu ketika dia pergi lebih dulu. Aku terus menyarankan untuk mengemudi ke sini bersama-sama tapi dia membuat selusin alasan dan aku akhirnya setuju untuk bertemu di sini."
Sakura tersenyum. "Teman-teman kita sangat cerdas, bukan?"
Sasuke menyesap tehnya, lalu tersenyum miring. "Benar-benar pintar. Mereka berhasil membawa pantat bodoh kita ke sini dalam badai salju dan kita terlalu bodoh untuk mengetahuinya."
Sakura membiarkan keheningan mengisi kabin lagi, matanya menatap nyala api yang menari-nari, dan ia akhirnya berkata, "Kurasa ada orang-orang diluar sana yang lebih buruk daripada kita sekarang."
Sakura berharap Sasuke akan tertawa dan setuju. Tapi ketika Sasuke meneguk teh terakhirnya dan berdiri, pria itu berkata, "Benarkah? Karena sejujurnya aku tidak bisa memikirkan hal yang lebih buruk lagi dari ini." Lalu ia berjalan pergi, menghilang ke ruangan sebelah. Sakura memperhatikan Sasuke pergi dan begitu pria itu tak terlihat lagi, ia berdiri, membungkus selimutnya di sekitar tubuhnya, dan kembali ke kamarnya yang dingin sehingga Sasuke tidak bisa melihat air mata di pipinya.
***
Di dapur, Sasuke bersandar di meja dan menguatkan dirinya, meremas tepi permukaan meja kayu dengan erat di telapak tangannya. Ia mendengar pintu kamar tidur tertutup dan tahu bahwa Sakura telah menangis akibat kata-katanya.
Sambil menghembuskan napas, ia berbalik dan bersandar ke lemari es, matanya menatap ke balok kayu langit-langit yang terbuka. Malam Tahun Baru bersama Sakura. Sial.
Ia berencana memulai tahun baru dengan seorang wanita baru di tempat tidurnya. Sejak ia mengajukan gugatan cerai seminggu sebelumnya, ia menerima kenyataan bahwa tidak ada jalan untuk kembali. Lagipula, Sakura seperti sudah tak peduli dengan pernikahan mereka sejak beberapa bulan yang lalu, dan surat cerai itu sepertinya merupakan langkah terakhir dalam kesimpulan yang sudah ditentukan sebelumnya. Dan ia pikir ia akan lega setelah mengajukan surat cerai itu, tapi sebaliknya, penyesalan adalah satu-satunya teman tetapnya sekarang.
Sasuke mendapati dirinya berpikir tentang Sakura yang sekarang mengunci diri di dalam kamar dengan Sakura yang dulu. Begitu penuh tekad dan warna kehidupan, Sakura lulus lebih awal dari Tokyo University dan Sasuke telah bersama wanita itu untuk seluruh perjalanan hidup mereka, mulai berkencan dengan Sakura sejak tahun terakhir SMA mereka, tapi telah mencintai Sakura jauh sebelum Sasuke bahkan bisa mengendarai mobil. Mereka menikah di Central Park dan kemudian dua bulan setelahnya Sakura mendapatkan penghargaan bernyanyi pertamanya. Sasuke juga menemani Sakura merekam album pertamanya dan selalu ada untuk semua upacara penghargaan saat wanita itu memenangkan kompetisi. Sasuke ada bersama Sakura ketika wanita itu bermain film tahun lalu yang kemudian membuat wanita itu terkenal dan menjadi selebritis papan atas. Di beberapa titik di sepanjang jalan mereka, Sasuke merasa seolah Sakura berhenti memperhatikan bahwa ia ada. Karier Sasuke sendiri sebagai musisi adalah karier yang konstan. Ia menolak untuk membiarkan status istrinya sebagai selebritis yang sukses memengaruhi pekerjaannya sendiri. Ia mendapati kesuksesannya sendiri sebagai penulis lagu dan beberapa lagunya diputar di radio, tapi semakin hari terasa seperti tekanan.
Sasuke menghela napas pahit saat pikirannya berkelana sepanjang tahun terakhir pernikahan mereka. Pertengkaran. Fakta bahwa Sakura selalu sangat sibuk dengan wawancara atau pemotretan dan tidak bisa meluangkan waktu untuk melakukan hal-hal bersama. Sasuke rela tidak menghadiri beberapa acara yang berhubungan dengan pekerjaannya sendiri, tapi tidak dengan Sakura yang selalu sibuk. Ia tahu Sakura sukses; wanita itu berbagi rekening bank dengannya. Ia mengerti. Dan untuk waktu yang lama, ia sama sekali tidak merasa tertekan. Sebaliknya, ia bangga pada Sakura. Ia mencintai Sakura, wanitanya yang berada di atas panggung ataupun di layar film. Tapi kemudian saat ibunya menderita stroke, Sakura tidak dapat menyesuaikan jadwal syutingnya untuk pergi ke Okayama bersamanya. Enam bulan kemudian, kakak iparnya, Izumi, melahirkan seorang bayi yang berakhir di NICU dan Sakura juga tidak bisa meluangkan waktu untuk pergi bersamanya. Saat itu, saat ia duduk di NICU, menyaksikan keponakan kecilnya berjuang untuk hidup, ia menyadari bahwa Sakura dan dirinya berada di dua tempat yang sangat berbeda.
Ia beberapa kali berbicara ingin memulai keluarga dengan Sakura. Biasanya itu adalah percakapan setelah seks, mereka akan berbicara tentang anak-anak, topik yang tidak bisa dihindari. Tapi ketika ia membicarakannya, Sakura akan mengatakan "belum" atau "kita perlu menunggu sebentar lagi". Menyaksikan kesedihan kakak dan kakak iparnya ketika mereka khawatir tentang bayi mungil mereka dan menyadari bahwa ia mungkin tidak akan pernah memiliki anak dengan Sakura karena wanita itu tampaknya tidak tertarik hanya memicu api kemarahan dalam dirinya.
Begitu keponakannya berhasil keluar dari NICU dan diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Sasuke kembali pulang ke Shibuya dan saat itulah pertengkaran benar-benar dimulai. Ia tahu ia yang memilihuntuk memulai pertengkaran ini. Ketika Sakura pulang dan membawakannya ayam asam manis dan bukannya daging sapi panggang, itu akan berubah menjadi pertengkaran. Dan bahkan ia mengubah perdebatan kecil menjadi ledakan besar, ia tidak bisa menahan dirinya lagi. Dan kemudian dua bulan lalu, semuanya telah sampai di puncaknya. Ia menerima kabar terbaik dalam sepanjang kariernya dan tidak sabar untuk membaginya dengan Sakura. Ia menghubungi Sakura dalam perjalanan pulang dan Sakura meyakinkannya bahwa wanita itu akan segera selesai dengan pekerjaannya di studio dan akan segera pulang ke rumah. Ia begitu bahagia dan memesan makanan, menghias meja, dan menunggu Sakura pulang. Pada jam 11 malam, ia menyerah dan beranjak tidur. Keesokan paginya, ketika Sakura tidak menanyakan kabar baik yang belum sempat ia bagikan atau membahas alasan mengapa wanita itu pulang begitu terlambat, ia akhirnya goyah dan mulai mengepak barangnya ke dalam ranselnya. Sakura menangis dan memohon padanya untuk tetap tinggal, memberitahunya bahwa mereka bisa memperbaiki ini, tapi ia sudah melewati titik peduli. Ketika ia bertanya pada Sakura apakah wanita itu tahu alasan mengapa ia pergi dan wanita itu tidak bisa menjawab dengan tepat, ia tidak ragu lagi untuk pergi dan memasukkan barang-barang penting terakhirnya yang tersisa. Dan setelah menunda selama mungkin, ia akhirnya mengajukan gugatan cerai. Sekarang, pada usia 29 tahun, mereka berdua akan memulai dari awal lagi.
Sasuke memijat pelipisnya dan kemudian dengan kasar membuka lemari es, lega ketika ia menemukan lemari es itu penuh dengan bir. Meraih botol, ia membuka tutupnya dan menghela napas dengan puas ketika bir itu mengalir deras ke tenggorokannya. Bertekad untuk melupakan wanita yang mengunci diri di dalam kamar, ia mengambil bir lagi dan membawa kedua botol itu ke meja yang paling dekat dengan perapian. Jika Sakura tidak bisa menghilang dari pikirannya, ia setidaknya bisa minum sampai ia bisa mendorong wanita itu ke belakang pikirannya.
***
Di kamar, Sakura mengeluarkan ponselnya, menghapus air mata dari wajahnya, dan menghubungi nomor Ino.
"Kau benar-benar membenciku, bukan?" ucap Ino tiba-tiba, alih-alih menyapa dengan 'halo'.
"Sekarang, ya," Sakura mengakui. Berbaring kembali ke tempat tidur, ia menatap langit-langit. "Kenapa kau melakukan ini, Pig?"
"Karena ini perlu dilakukan," jawab Ino sederhana. "Kalian tidak akan mau berbicara saat di rumah jadi kami berpikir untuk mengirim kalian berdua ke sana, dan kalian akan terjebak. Kami tidak mengira akan ada badai salju tapi aku harus mengakui, aku sangat bersyukur tentang hal itu." Ino diam sejenak dan kemudian bertanya, "Bagaimana disana?"
"Mengerikan," jawab Sakura cepat. "Sasuke membenciku. Dia tidak ingin berurusan denganku lagi dan kau tahu itu."
"Omong kosong, Forehead. Dia mencintaimu. Kau mencintainya. Perceraian ini adalah hal terbodoh yang pernah kulihat. Kau harus menyelesaikan ini. Hinata menangis selama dua puluh menit hari ini berbicara tentang bagaimana dia tidak bisa meminta kalian berdua menjadi wali baptis bayinya jika kalian bercerai. Dan kemudian dia dan Naruto akan memintaku dan Sai sebagai gantinya jika kalian berdua benar-benar berpisah. Aku dan Sai? Wali baptis? Aku dan dia benar-benar tidak handal dalam menangani anak-anak!"
Sakura tertawa dan mengangguk. "Kalian berdua akan menjadi wali baptis yang mengerikan, aku akui."
"Sial, Forehead, kau benar. Wali baptis itu lebih cocok dengan nama Uchiha yang tertulis di atasnya."
"Hm," gumam Sakura pelan seraya menatap tasnya yang berisi map dengan surat cerai terselip di dalamnya, "Kecuali aku tidak akan menjadi Uchiha lagi segera setelah aku menandatangani surat itu."
Suara Ino terdengar penuh dengan rasa frustrasi di ujung telepon. "Jangan menandatangani surat itu, Forehead, sampai kau yakin semuanya memang sudah selesai. Bicaralah dengannya. Setidaknya kau akan berada di sana sampai besok. Jangan menandatangani surat itu sampai kau benar-benar tahu masalahnya."
Sakura menghela napas. "Bukankah aku sudah tahu?"
Ino berhenti sejenak. "Apa kau masih mencintainya?"
"Lebih dari segalanya," jawab Sakura jujur.
***
Sakura tetap berada di kamar tidur sampai perutnya mulai bergemuruh keras. Setelah melipat selimut dengan rapi di tempat tidur lagi, ia mendorong lengan baju Sasuke yang dipakainya dan membuka pintu. Ia mendapati Sasuke sedang duduk di dekat perapian, botol bir kosong di sampingnya dan satu di tangannya. Sasuke mengabaikan Sakura ketika gadis itu berjalan melewatinya dan melangkah ke dapur. Begitu Sakura membuka lemari es, ia bersyukur bahwa lemari es itu telah diisi penuh buah dan sayuran segar, serta saus vegan. Ia mengeluarkan beberapa seledri dan paprika hijau dari lemari es dan kemudian mencari-cari di beberapa laci sampai ia menemukan pisau. Setelah mencuci sayuran, ia dalam diam memotong-motong sayuran itu.
"Lapar?"
Suara Sasuke membuat Sakura berjengit dan menjatuhkan pisau. Ketika ia membungkuk untuk mengambil pisau kembali, ia menjawab, "Sangat lapar. Kau?"
"Kelaparan."
Sakura melangkah ke lemari es dan membuka freezer. "Ada beberapa pizza beku dan makanan berlemak menjijikkan lainnya yang aku yakini akan kau sukai. Apa kau ingin aku membuatkan sesuatu untukmu?"
Sasuke berpikir sejenak, dan mengangguk. "Pizza saja."
Ketika Sakura membuka bungkus kotak pizza dan memanaskannya di oven, ia bisa merasakan mata Sasuke tertuju padanya. Sasuke berdiri di ambang pintu dapur, tubuhnya yang tinggi tampak diperkuat oleh ruang kecil yang mereka tempati itu.
"Kau terlihat kurus," akhirnya Sasuke berkomentar.
"Aku sibuk dan stres akhir-akhir ini," Sakura membalas dengan dingin.
"Apa tidak ada alasan lain untuk tidak merawat dirimu, Cherry?"
Mereka berdua tersentak pada penggunaan istilah kesukaan Sasuke tapi kemudian membiarkan itu berlalu begitu saja di antara mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Aku baik-baik saja. Aku mengambil cuti seminggu bulan depan dan aku berniat untuk banyak istirahat."
"Persetan, Sakura. Kau tidak pernah menjaga dirimu seperti seharusnya. Kau hampir tidak tidur jika aku tidak membuatmu tidur."
"Benar," balas Sakura pahit ketika ia berbalik menghadap Sasuke. "Dan kau belum pulang ke rumah selama dua bulan jadi tidak heran jika aku tidak tidur."
"Terserah," jawab Sasuke. "Jangan bertindak seolah kau pernah peduli apakah aku ada di rumah atau tidak."
Kemarahan menguasai Sakura pada perkataan Sasuke yang menganggap ia tidak peduli. "Apa kau bercanda? Setiap kali aku masuk ke dalam rumah, aku sadar kau tidak ada di sana. Aku tidak pernah mendengar piano atau suara gitarmu lagi! Tidak ada kaus kaki kotor tergeletak di kamar tidur dan aku belum menemukan sepasang celana pendek yang tergeletak di atas meja kopi selama dua bulan. Lemari pakaianmu kosong, dan..." Suara Sakura tercekat ketika air mata tiba-tiba memenuhi tenggorokannya. Tapi tetap saja, ia berusaha tegar dan menatap mata Sasuke dengan tatapan marahnya. "...dan seprai tidak lagi berbau sepertimu."
Sasuke mengamati emosi yang menyelimuti wajah istrinya dan dadanya menegang. Sakura mengakui bahwa wanita itu merindukannya sejak ia pergi. Tapi ia tidak akan membiarkan dirinyaberharap pada hal itu. Sebaliknya, ia menepis pengamatannya. "Ya, itulah yang terjadi ketika pernikahan telah berubah menjadi neraka. Salah satu dari kita harus mengakhiri lelucon ini, Sakura. Kau merasa sengsara tapi aku tidak. Maaf jika kau merindukanku sekarang tapi jika kau peduli ketika aku masih ada di sana, mungkin pernikahan kita tidak akan terbuang seperti ini." Sakura membuka mulut untuk memprotes tapi Sasuke memotongnya. "Aku akan ke kamarku. Beritahu aku saat pizza matang."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sasuke berbalik dan meninggalkan Sakura berdiri di dapur. Sakura mengambil napas dalam-dalam untuk menguatkan diri melawan rasa sakit akibat bertengkar dengan Sasuke lagi, dan kemudian dengan tenang kembali memotong sayurannya. Mengabaikan fakta bahwa tangannya terus gemetar.
***
Setelah Sakura dengan marah menendang pintu kamar Sasuke dan berteriak "Pizza!", Ia menghilang ke kamarnya sendiri dan memakan sayurannya dalam diam. Setelah itu ia meringkuk di tempat tidur dan tertidur tanpa mimpi. Ketika ia bangun lagi, ia meraih ponselnya. Pukul 01:00 pada Hari Tahun Baru.
Menatap ponselnya, ia melihat tanggal tahun baru yang melintas di layar. Ia tidak pernah membayangkan bahwa tahun akan dimulai dengan seperti ini. Ia harus fokus pada kenyataan bahwa filmnya harus menghasilkan banyak penghargaan. Ia harus berkonsentrasi pada finalisasi album kedua yang dijadwalkan untuk rilis pada bulan April. Ada selusin hal yang membutuhkan perhatiannya pada saat itu. Tapi ketika ia duduk di sana, dengan deru angin di luar jendela mengganggunya, yang bisa ia pikirkan hanyalah mata onyx dari pria yang mencuri hatinya sejak ia masih remaja. Dan pria itu tidak akan pernah membiarkan hatinya pergi, bahkan sekarang saat yang pria itu inginkan hanyalah membebaskannya.
Air mata mengalir di pipi Sakura dan ia segera menyekanya, tapi kemudian menyerah ketika air mata lain turun terus menerus. Ia membiarkan dirinya menangis selama beberapa saat karena jujur, rasanya lebih lega. Ia menangis di bahu Ino beberapa kali sejak Sasuke pergi, tapi tidak membiarkan dirinya menangis lagi sejak ia menerima surat cerai. Ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa jika Sasuke tidak menginginkannya, baiklah, ia juga tidak menginginkan pria itu. Tapi itu tidak benar. Andai mereka bisa berbicara tanpa bertengkar, ia merasa setidaknya bisa sedikit berdamai. Jika Sasuke memang bertekad untuk menceraikannya dan menjadikannya bagian dari masa lalunya, ia berharap mereka setidaknya bisa melakukannya dengan cara yang memungkinkan mereka untuk tetap memiliki teman-teman mereka. Kehilangan Sasuke cukup menyakitkan. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan jika ia kehilangan Naruto, Hinata, Shikamaru, Sai, dan Ino dalam prosesnya.
Sebuah ketukan pelan di pintu menyentak Sakura dari pikirannya. Sasuke tidak menunggu jawaban dan malah langsung membuka pintu kamar. "Ayo keluar. Aku tahu kau kedinginan."
Sakura mengangguk, "Bisakah kita berada di ruangan yang sama bersama tanpa bertengkar?"
Sasuke mengangkat bahu. "Mungkin tidak. Aku akan tutup mulut saja."
Sasuke berbalik dan berjalan pergi ketika Sakura turun dari tempat tidur dan mengikuti pria itu ke ruang tamu. Perapian menyala lagi dan salju di lantai dekat pintu menunjukkan bahwa Sasuke telah kembali ke luar melawan badai untuk mendapatkan lebih banyak kayu.
"Bagaimana di luar sana?"
Sasuke menjatuhkan diri ke sofa yang terletak di tengah ruangan dan meluruskan kakinya yang terbungkus kaus kaki di atas meja kopi sebelum menarik selimut ke sekeliling tubuhnya. "Salju sudah menghilang tapi angin tetap bertiup."
Sakura duduk di kursi dan mengangguk. "Setidaknya tidak akan turun salju lagi."
Sasuke tersenyum miring. "Dan mungkin kita bisa keluar dari sini di pagi hari."
Sakura memperhatikan nyala api yang menari-nari, matanya jatuh ke bayang-bayang yang diciptakan oleh api terhadap serat kayu lantai. Setetes air di dalam kayu muncul dan Sakura berjengit saat terdengar suara keras memekakkan telinga di kabin yang sunyi itu. Begitu nyala api mereda lagi dan dengan pelan melahap kayu yang ditumpuk di atasnya, Sakura akhirnya berbicara, "Hinata ingin kita menjadi wali baptis bayinya."
Sasuke tersenyum kecil. "Tidak masalah."
"Tapi hanya jika kita tetap menikah. Jika tidak, tugas wali baptis akan diberikan pada Sai dan Ino."
Senyum Sasuke berubah merengut. "Ino membenci anak-anak. Dan Sai sedikit... aneh, bukan begitu? Sial, apa yang dipikirkan Naruto dan Hinata?"
Sakura menggelengkan kepalanya. "Sepertinya perceraian kita akan berpengaruh buruk."
Sasuke memutar matanya dan menyesap birnya. Angin menderu pada saat itu dan meluncur ke cerobong asap, hampir memadamkan api. Nyala api menari-nari dan berkedip-kedip, hampir padam, sebelum angin berhenti dan api berkobar lagi untuk hidup. Sakura memperhatikan semuanya, terpaku, seolah perapian telah merenggut nyawanya sendiri.
"Menyebalkan di sini," komentar Sasuke setelah beberapa saat.
Sakura beralih dari api dan memandang Sasuke yang tampak frustrasi dengan alis berkerut. "Apa? Kabinnya? Ini... ini tidak buruk. Ini kecil dan dingin dan mungkin dimaksudkan untuk penggunaan di musim panas dan bukan di musim dingin, tapi... ini mengingatkanku pada..." suara Sakura menghilang saat ia berpikir tentang tempat dan waktu yang tidak terlalu jauh di masa lalu.
"Kabin menyebalkan yang kita sewa di Sierras untuk bulan madu?" tanya Sasuke, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil.
Sakura mengangguk dan tertawa pelan. "Lagipula, kenapa kita pergi berbulan madu ke sana, Sasuke-kun? Aku bahkan tidak ingat lagi."
Senyum kecil Sasuke berubah menjadi lebih lebar. "Karena, pada saat itu, kau terobsesi untuk menyelamatkan beruang hitam." Ia tertawa mengingatnya, "Dan kau yakin bahwa kau bisa 'berkomunikasi' dengan mereka, seyakin ketika kau berdebat untuk pergi ke Sierras melewati pelayaran Bahama adalah cara terbaik."
Sakura tersenyum. "Dan kemudian kita bahkan tidak pernah meninggalkan kabin sepanjang liburan di sana dan aku tidak pernah melihat seekor beruang pun!"
"Tidak," Sasuke menggelengkan kepalanya. "Tapi kita bersenang-senang."
Sakura memerah mengingat kenangan itu, ia menggigit bibirnya dan menatap Sasuke dengan alis melengkung. "Kita memiliki waktu yang luar biasa."
Keheningan yang tidak nyaman memenuhi kabin kecil itu ketika mereka berdua memikirkan tentang bulan madu yang sangat panas dan penuh gairah yang mereka lewati dalam kabin yang dikelilingi oleh pohon-pohon redwood dan udara segar.
Sasuke bergeser dengan tidak nyaman, ia bangkit dari sofa. Ia cepat-cepat menuju ke dapur dan mengambil bir dari lemari es, memaksa menyingkirkan ingatan tentang Sakura yang menempel menggeliat dibawahnya dengan mata hijau memohon untuk dibebaskan dari orgasme. Mereka selalu bergairah. Dari sejak ia mengambil keperawanan Sakura ketika berusia 17 tahun, Sakura menjadi kobaran gairahnya. Tubuh Sakura mungil dan kencang dan setiap kali mereka bersama, itu luar biasa. Tapi bulan madu itu... Sasuke berdesir memikirkan hal itu. Bulan madu itu sungguh luar biasa dan telah tertanam dalam benaknya bahwa mereka sangat sempurna untuk satu sama lain dalam tubuh dan jiwa mereka. Kenyataan itu sekarang, bagaimanapun, terasa seperti tamparan panas.
Sambil membuka tutup birnya, Sasuke meneguk dan menggelengkan kepalanya. Sempurna. Ya. Tentu.
Ketika Sasuke berjalan kembali ke ruang tamu, Sakura berdiri di dekat jendela, menyaksikan angin menyapu salju di luar kabin. Mendengar Sasuke melangkah di belakangnya, ia berbicara, "Ini sudah tahun baru, Sasuke-kun. Tahun berganti ketika kita sedang tidur tadi."
"Tidak," koreksi Sasuke. "Aku sudah bangun. Menyaksikan tahun berganti di ponselku."
Sakura berbalik ke arah Sasuke. "Setiap tahun baru membawa peluang untuk memperbaiki kesalahan... membuat yang buruk menjadi baik lagi..."
Sasuke mendengus dan berbalik, berjalan kembali ke sofa di dekat perapian. "Ya," ucapnya ketika ia menarik selimutnya sendiri. "Satu-satunya hal yang ingin aku perbaiki tidak bisa diperbaiki, jadi tidak, tahun baru ini bukan tentang apa-apa selain memulai neraka untukku."
Mata Sakura berkaca-kaca ketika ia menyaksikan rahang Sasuke mengencang. Sasuke tidak memandang Sakura, matanya tertuju pada bayangan api di lantai. Sakura bisa melihat kelelahan di pundak Sasuke yang terkulai dan cara pria itu mengusap wajahnya sebelum menyesap birnya. "Apa..." Sakura berhenti ketika pria itu menolehkan kepalanya untuk menatapnya tapi kemudian melanjutkan ucapannya lagi. "Apa kau ingin memperbaiki tentang kita, Sasuke-kun?"
Sasuke memalingkan muka dari Sakura lagi dan menatap kosong ke depan. Sakura tahu bahwa mata Sasuke tidak fokus pada sesuatu yang khusus tapi pria itu hanya tidak ingin memandangnya. "Aku tidak pernah ingin mengakhiri ini, Sakura."
Sasuke membiarkan kata-katanya menggantung dan tidak melirik ke arah Sakura. Ia mendengar Sakura terkesiap dan kemudian merasakan lantai bergetar sedikit ketika wanita itu melangkah dan berdiri lurus di depannya. Di mata wanita itu ada kilat api yang menyaingi nyala di perapian.
"Kau mengajukan gugatan cerai, Sasuke-kun! Kaulah yang pergi, bukan aku! Aku tidak pernah bisa benar-benar tahu apa yang salah dari pernikahan kita! Dan kemudian kau pergi begitu saja. Jadi jangan katakan padaku bahwa kau ingin memperbaiki keadaan karena jika kau mencintaiku, kau tidak akan pernah pergi."
Kemarahan menembus Sasuke seperti nyala api panas dan ia bangkit dari duduknya, tatapannya terkunci pada Sakura. "Jangan beri aku omong kosong, Sakura. Jangan berdiri di sana dan berperan sebagai korban. Kau tahu kau membuang pernikahan kita setiap kali kau lebih memilih untuk menghadiri wawancara atau penampilan sialan di mana orang-orang akan memujamu, dibanding menghabiskan waktu bersamaku. Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang sedang kubicarakan." Sasuke menghambur pergi, ke sudut paling gelap dari kabin dan kemudian berdiam diri, dadanya naik turun dengan rasa marah yang tidak tertumpahkan.
"Hal-hal seperti itu adalah bagian dari karierku, Sasuke-kun!" Sakura meraung, berjalan melintasi ruangan yang dingin itu ke arah Sasuke. "Kau tahu aku harus melakukan hal-hal itu. Itu diperlukan ketika kau adalah sorotan publik! Dan lebih jauh lagi, kau tahu bahwa aku sudah berusaha keras untuk mencapai titik ini sejak aku masih sangat muda! Ini seharusnya tidak mengejutkanmu!"
Sasuke tertawa sedih. "Ini tidak mengejutkanku, Sakura. Aku selalu tahu bahwa kariermu akan menjadi hal yang paling penting bagimu. Kau sudah berbicara tentang menjadi seorang bintang sejak kau baru bisa berjalan. Aku seharusnya tahu itu bahwa pada akhirnya, satu-satunya yang kau pedulikan hanyalah dirimu sendiri." Sakura terkesiap kaget dan Sasuke menggelengkan kepalanya. "Ibuku hampir meninggal, Sakura. Dia nyaris saja meninggal karena stroke dan kau bahkan tidak bisa meluangkan waktu untuk pergi ke rumah sakit. Dan kemudian ketika istri Itachi-nii berada di rumah sakit, yang selalu mengagumi pilihan karier sialan yang kau jalani, menginginkan tidak lebih dari sekedar saudara iparnya untuk datang dan memegang tangannya, kau tidak bisa melepaskan diri dari apa pun yang kau kerjakan untuk berada di sana. Apa kau tahu seperti apa rasanya itu?" Sasuke mengangkat pandangannya dan bertemu dengan mata Sakura. "Aku harus berbohong dan mencoba memikirkan alasan mengapa istriku bahkan tidak bisa menemukan cara untuk pergi ke Okayama. Kau lebih memilih kariermu berkali-kali dan tidak apa-apa, Sakura. Kau sudah bekerja keras untuk mencapai itu dan kau pantas mendapatkannya. Tapi setidaknya dengan perceraian ini, tidak akan ada lagi di antara kita yang bertanya-tanya di mana kita berdiri. Dan setidaknya aku tidak perlu lagi berpura-pura bahwa kau peduli padaku karena kau sebenarnya tidak."
Sakura menarik napas dan hampir goyah. Ia terpecah antara kemarahan dan patah hati. "Sasuke-kun! Itu tidak benar! Aku selalu mencintaimu. Sejak aku masih remaja, kau telah menjadi bagian yang stabil dari duniaku. Aku tidak akan berada di tempatku hari ini jika bukan karena dirimu." Ia melangkah menjauh dari Sasuke, ke sudut di mana udaranya tidak terlalu terasa menegang. "Tapi rasanya seperti... akhir-akhir ini, kau menarik diri! Kau tidak ingin pergi ke acara atau melihat penampilanku. Seolah kau malu bersamaku." Air mata mengalir di pipi Sakura dan ia mengabaikannya karena ia merasa matanya seperti pintu air terbuka.
Sasuke mendekat ke arah Sakura, berdiri lebih dekat daripada yang mereka lakukan selama berbulan-bulan, dan menatap wanita itu. Ekspresi wajah Sasuke benar-benar jujur dan lebih lembut daripada yang Sakura lihat dalam kurun waktu yang lama. "Aku tidak pernah malu bersamamu, Sakura. Tidak pernah. Aku sangat bangga dengan apa yang telah kau capai. Aku bahkan tidak terkejut. Aku tahu kau akan menjadi bintang. Ketika semua orang di kampung halaman kita meragukanmu dan hanya mengira kau menyukai suaramu sendiri, aku tahu kau akan bisa membuktikan pada kita semua. Dan kau melakukannya."
Sakura mengunci mata dengan Sasuke dan membaca rasa sakit dan kehilangan yang terpancar di onyx pria itu. "Lalu kenapa, Sasuke-kun? Kenapa kau berhenti untuk terus bersamaku? Aku rindu memilikimu di sampingku."
Sasuke mengalihkan pandangannya dari mata Sakura dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu... Frustrasi. Cemburu."
"Cemburu?"
Melangkah menjauh dari Sakura lagi, Sasuke berdiri di depan perapian. Ia benci menjadi terlihat begitu rentan, tapi pada titik ini, apa itu penting? "Kau populer, Sakura. Dan aku hanya musisi biasa. Maksudku, aku berharap film kemarin akan mengubah banyak hal, tapi sampai saat ini, mereka hanya berpikir aku memanfaatkan namamu dan uangmu supaya aku bisa terus bermain dengan gitarku. Itu membuatku frustrasi dan merasa seperti benalu dan hanya omong kosong."
Sakura menatap Sasuke, memproses kata-kata suaminya, dengan mulut ternganga. "Film? Film apa? Apa yang sedang kau bicarakan, Sasuke-kun?"
Wajah Sasuke tampak kecewa dan ia menatap Sakura dengan ekspresi keras, tanpa pengampunan. "Ingat malam sebelum aku pergi? Sudah kubilang aku punya berita besar dan kau bilang kau akan segera pulang tapi kau tidak, dan bahkan kau tidak bertanya padaku apa kabar yang ingin kuberitahukan itu?"
Bayangan malam itu mengalir di benak Sakura. Ia berada di studio sampai larut malam untuk memperbaiki beberapa lagu setelah peralatan yang rusak telah mempengaruhi kualitas rekaman sebelumnya. Ia tahu malam itu Sasuke bersemangat tentang sesuatu ketika pria itu meneleponnya tapi ia benar-benar lupa. Ia menelan ludah berat dan mengangguk pada Sasuke. "Aku... aku ingat. Itu malam yang buruk."
"Ya... pada hari itu beberapa lagu yang aku kirimkan untuk pertimbangan soundtrack film terpilih dan..." Sasuke menatap Sakura, ada raut bangga di wajahnya. "Dan mereka mengajakku untuk bergabung dalam membuat film yang akan rilis akhir tahun ini."
Sakura mengangkat tangannya untuk menutupi mulutnya, matanya membelalak kaget. Bahkan sebelum ia dapat berpikir tentang apa yang ia lakukan, ia melangkah cepat ke arah Sasuke dan merangkul leher pria itu. "Sasuke-kun! Ini luar biasa! Ya Tuhan! Kau membuat film!" Menarik menjauh, ia mencengkeram bahu Sasuke dan menatap mata onyx pria itu. "Film apa? Siapa yang berperan di dalamnya? Siapa saja yang kukenal? Ya Tuhan, Sasuke-kun! Ini sangat luar biasa. Aku sangat bangga padamu."
Sasuke perlahan-lahan menjauh dari Sakura lagi, senyum menghilang dari wajahnya dan tubuhnya menegang pada sentuhan wanita itu. "Ini... ini hanya film kecil. Tidak ada aktor atau sutradara besar, tapi ini membawa cerita yang bagus, tentang seorang pemain gitar yang mencapai posisi terendah dan kemudian menemukan jalannya untuk menjadi bintang. Ini... ini sedikit bercerita seperti karierku dalam cara lain ketika aku membaca beberapa naskah untuk merasakan musiknya."
Sakura melangkah di belakang Sasuke dan meletakkan tangannya di bahu pria itu. Sasuke menegang pada sentuhan Sakura tapi kali ini tidak menarik diri. Faktanya, Sakura merasakan Sasuke sedikit rileks saat tangannya melingkari tubuh pria itu. Ia merindukan Sasuke bersentuhan dengan kulitnya, melenturkan otot-ototnya. "Aku sangat bangga padamu, Sasuke-kun. Aku minta maaf karena tidak memperhatikan berita besar ini karena terlalu fokus pada apa yang kukerjakan. Kau tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. Dan aku minta maaf karena membuatmu merasa frustrasi dan cemburu. Aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti ini."
"Tidak ada gunanya lagi. Semua sudah selesai sekarang dan kita tidak bisa menariknya kembali."
Sasuke berjalan menjauh lagi dan Sakura memejamkan mata, tangannya jatuh mengepal di sisi tubuhnya. Setiap kali ia pikir mereka membuat kemajuan, Sasuke akan menutup diri lagi. Ia memperhatikan dari sisi lain ruangan ketika Sasuke dengan kasar menyentak selimut yang pria itu gunakan sebelumnya dari sofa dan kemudian menjatuhkan diri di sana, menutupi dirinya lagi. Ketika pria itu memejamkan mata, ia tahu pembicaraan mereka secara resmi telah berakhir.
Karena frustrasi, ia melangkah ke kamar tidur dan menutup pintu. Ruangan itu terasa beku, tapi jika ia tetap bersama Sasuke di depan perapian, ia tidak akan bisa menahan diri untuk bicara lagi. Sedangkan ia tahu bahwa Sasuke jelas sudah menganggap semuanya selesai.
***
Ketika Sakura terbangun, ia memperhatikan dua hal: pertama, angin sepertinya sudah mereda karena jendela tidak lagi bergetar, dan kedua, sangat jelas baginya bahwa ia tidak sendirian di kamar itu. Menolehkan kepalanya, ia melihat Sasuke duduk di sisi lain tempat tidur, matanya terpejam sementara kepalanya disandarkan ke sandaran tempat tidur.
"Kau sudah bangun," ucap Sasuke tanpa membuka matanya.
"Ya. Jam berapa sekarang?" Sakura berguling dan meregangkan tubuhnya, menendang selimut tapi kemudian menariknya kembali membungkus tubuhnya ketika dingin ruangan menerpa.
"Hampir jam 5 pagi. Angin sudah berhenti sekitar satu jam yang lalu."
Sakura berguling menghadap ke arah Sasuke, menyelipkan tangannya di antara pipinya dan bantal. "Apa kau tidur?"
"Tidak. Tidak bisa."
"Kenapa?"
Sasuke melirik Sakura sebelum menyelinap ke bawah selimutnya sendiri. "Terlalu banyak hal di pikiranku."
Mereka berdua terdiam dan Sakura mendengarkan derit kasur ketika Sasuke bergeser untuk mencari kenyamanan. "Maaf, kita harus mencapai titik ini, Sasuke-kun," gumam Sakura. Jantungnya berdegup kencang di dadanya begitu ia mengucapkan kata-kata itu karena ia tahu Sasuke bisa bersikap manis atau bahkan mengerikan sebagai respon dan ia tidak yakin apakah ia bisa menangani itu.
Tapi sebaliknya, Sasuke hanya mengangguk, "Ya, aku juga."
Sakura merasakan Sasuke bergeser lagi dan kemudian kaki pria itu menyentuh kakinya. Ia berjengit sedikit tapi tidak menghindar dan membiarkan kaki bagian bawahnya bersentuhan dengan kaki Sasuke.
"Saku... bisa aku bertanya padamu?"
"Tentu saja."
Sasuke berguling ke samping untuk menghadap Sakura dalam kegelapan di kamar itu. "Kenapa kau tidak menganggap serius saat aku mengoceh tentang 'keluarga' dan saat aku benar-benar ingin memulai sebuah keluarga, kau akan mencari-cari alasan?"
Rasa sakit yang sama yang timbul setiap kali Sasuke menyebutkan tentang anak-anak mulai membakar jauh di dalam diri Sakura lagi. Ia sedikit menggeser tubuhnya melawan perasaan tidak nyaman itu. "Aku... aku tidak punya ibu sejak kecil, Sasuke-kun. Nenekku juga tidak banyak terlibat dalam hidupku. Jujur saja, gagasan menjadi seorang ibu membuatku takut."
Sakura mendengar Sasuke menghembuskan napas dan kemudian pria itu berkata, "Itu sebabnya? Karena kau pikir kau tidak akan pandai dalam hal itu?"
Mengangguk dalam kegelapan, Sakura meletakkan tangannya di pipi Sasuke sehingga pandangan pria itu tetap padanya. "Aku tidak ingin mengecewakanmu, Sasuke-kun. Kau punya ibu, ibumu sangat luar biasa. Aku hanya... aku merasa tidak bisa menjadi seperti itu. Dan bagaimana jika seandainya kita punya bayi dan kemudian aku mengacaukannya karena aku tidak tahu kapan aku harus memandikannya atau memberinya makan atau bagaimana jika dia tidak menyukaiku? Aku tidak pernah bisa berteman dengan mudah, kau tahu itu. Bagaimana jika anakku sendiri membenciku?"
"Itu hal terbodoh yang pernah kudengar."
"Sasuke-kun! Ini mungkin bodoh dan harus kuakui, ini terdengar sedikit tidak rasional ketika aku menyuarakan ketakutanku, tapi ini masih menjadi bagian dari diriku, bodoh atau tidak."
Wajah Sasuke melembut saat ia memandang ekspresi Sakura yang khawatir. "Kau akan menjadi ibu yang luar biasa, Sakura. Kau pintar dan jika kau tidak tahu bagaimana melakukan pekerjaan seorang ibu, kau bisa memiliki 50 sumber berbeda pada panggilan cepat yang memang tahu bagaimana melakukan apa yang kau tidak yakini. Selain itu... kurasa kau tidak perlu memiliki seorang ibu untuk tahu bagaimana menjadi seorang ibu. Itu hanya... itu hanya akan muncul begitu saja dalam dirimu." Sasuke memalingkan muka dan berguling telentang, menyelipkan lengan di belakang kepalanya saat ia menatap langit-langit kamar. "Dan sial, Saku. Kenapa kau tidak pernah memberitahuku hal ini?"
"Aku tidak tahu, Sasuke-kun. Aku sudah merasa seperti kita tidak lagi mendengar satu sama lain dalam waktu yang lama. Seolah kita berdua tidak lagi melihat mata ke mata. Ini sangat menyedihkan, karena sebelumnya kita selalu begitu sempurna bersama. Ini... seolah kita..." Suara Sakura memudar ketika ia mencoba memikirkan bagaimana untuk mengatakan apa yang ia rasakan.
"Seolah kita ada di dua halaman berbeda," ucap Sasuke.
"Atau bahkan dalam dua buku yang berbeda," tambah Sakura.
"Ya," gumam Sasuke.
"Apa kau... apa kau pikir kita bisa mulai membaca halaman dari buku yang sama lagi?" Sakura menggigit bibirnya, matanya menatap Sasuke penuh harap.
Sasuke mencubit pangkal hidungnya dan kemudian menolehkan kepalanya. Ketika ia berbicara, suaranya terdengar serak. "Ya tentu."
Jantung Sakura membengkak bahagia karena kata tunggal yang diucapkan Sasuke dan suaranya yang penuh dengan emosi. Dan kemudian Sasuke melakukan hal paling aneh dan menakjubkan yang tidak pria itu lakukan dalam beberapa bulan. Sasuke mengulurkan lengannya di tempat tidur dan menyelipkannya di bawah leher Sakura sampai wanita itu meringkuk ke tubuhnya, tangan wanita itu merengkuh perutnya. Tangan Sasuke yang lain jatuh di atas tangan Sakura, telapak tangannya menutupi punggung tangan Sakura dan dengan lembut meremasnya. Ia mendengar Sakura akan membuka mulutnya untuk berbicara, tapi sebelum wanita itu bisa berbicara, ia menyela, "Tidurlah, Saku."
Mengangguk di bahu Sasuke, Sakura memejamkan matanya lagi. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa segalanya akan baik-baik saja.
***
Ketika Sasuke terbangun, sinar matahari menembus tirai linen tipis yang menutupi jendela kabin. Ia menunduk, memperhatikan dada Sakura bergerak teratur yang menandakan bahwa wanita itu masih tidur, dan masih menempel di sisinya, tersenyum. Tidak ada yang berubah, sungguh... kecuali bahwa mereka akhirnya berbicara. Dan begitu mereka mulai berbicara, hal itu tampaknya tidak terlalu buruk. Tentu, mereka membiarkan beberapa hal buruk tumpah tapi itu bukan seperti mereka saling berselingkuh atau apa pun. Sakura mengakui menyesal dan meminta maaf, begitupun juga Sasuke. Hanya butuh kamar tidur yang dingin di tengah-tengah Pegunungan Takao sialan untuk memaksanya menerima kenyataan bahwa Sakura adalah satu-satunya orang yang ia inginkan. Dan dengan adanya perceraian atau tidak ada perceraian, hal itu tidak akan pernah berubah. Sakura adalah bagian dari masa lalunya dan sekarang, ketika segalanya tampak lebih masuk akal, ia tahu bahwa Sakura akan menjadi bagian dari masa depannya juga. Menutup matanya, ia menyerah pada rasa kantuk lagi.
***
"Sasuke-kun."
Sasuke mendengar namanya dipanggil dan perlahan-lahan membuka matanya yang berat dan hampir melompat kaget karena Sakura menatapnya sangat dekat, dari hidung ke hidung.
"Ya?" jawab Sasuke serak.
"Ini sudah jam 11."
"Dan?"
"Apa kau ingin pulang sekarang? Aku yakin jalanan sudah bisa dilewati sekarang dan kau membawa mobil, kan?"
"Ya," jawab Sasuke, matanya melayang tertutup lagi.
"Kita harus pulang," desak Sakura.
Sasuke hanya menggelengkan kepalanya dan melingkarkan lengannya di bahu Sakura, menyelipkan tubuh wanita itu ke tubuhnya. Bibirnya menyeringai kecil saat Sakura meringkuk kembali di bawah selimut, tenggelam ke dalam pelukannya lagi.
***
Pada jam 1 siang, ponsel Sasuke berdering, membuat Sasuke dan Sakura berjengit. Sasuke merogoh ponselnya dari sakunya. Tepat pada saat ia menemukan ponselnya, dering telepon berhenti.
"Hanya Naruto," ucap Sasuke sambil melihat ke layar ponselnya.
"Kau akan meneleponnya kembali?" tanya Sakura.
Sasuke mengangkat bahu. "Kenapa? Dia pasti hanya ingin tahu apa yang terjadi dan jujur saja..." Ia menyisir rambut Sakura dengan jarinya. "Setelah omong kosong yang mereka lakukan pada kita ini, kupikir mereka perlu diberi balasan, biarkan mereka khawatir dan mengira kita membeku sampai mati di sini."
Sakura memperhatikan Sasuke sejenak dan kemudian berdiri, berjalan di lantai kamar kecil itu menuju tasnya. Mata Sasuke mengikuti Sakura ketika wanita itu menyentak tasnya terbuka dan mengeluarkan map yang segera dikenali Sasuke. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi aku memikirkan ini," Sakura mengguncang map itu untuk penekanan, "Ini terburu-buru dan tidak rasional."
Rahang Sasuke mengatup rapat dan Sakura menunggu, napasnya tercekat di tenggorokan. "Kau menyebutku tidak rasional, Saku?"
Sakura menjilat bibirnya untuk menyembunyikan senyumnya. "Kau Uchiha, bukan?"
"Kau juga," ucap Sasuke datar.
Sakura menyeringai pada Sasuke. "Itu benar, dan aku ingin tetap menyandang nama itu. Aku harap kau akan setuju."
Alih-alih menjawab, Sasuke berdiri dan malah membuka pintu kamar, berjalan lurus ke arah perapian, di mana ia melemparkan beberapa kayu lagi dan kemudian menusuk-nusuknya sampai api kembali menyala.
"Sasuke-kun?" tanya Sakura yang berjalan menyusul, berharap Sasuke masih akan menanggapi pernyataannya.
Sasuke berjongkok dan membuka renselnya sendiri, mengambil map yang sama dengan yang dipegang Sakura. "Aku tidak mengatakan bahwa semuanya benar-benar sudah diperbaiki dan semuanya baik-baik saja. Aku belum siap untuk mengatakan itu. Tapi aku juga belum siap untuk menandatangani surat sialan ini." Sasuke mengangkat surat perceraiannya dan saling menatap dengan Sakura, diam-diam saling melempar rasa pengertian di antara mereka, sebelum Sakura melangkah dan menarik map dari tangan Sasuke.
"Aku akan memberimu yang lebih baik dari sebelumnya, Uchiha," ucap Sakura ketika ia menjauh dari Sasuke dengan dua map di tangannya. "Kurasa kita sama sekali tidak membutuhkan ini." Dengan gerakan pergelangan tangannya yang jelas, ia melemparkan map-map itu ke dalam perapian dan menyaksikan api segera melahap dan mulai membakar surat itu. Ketika Sakura berbalik, Sasuke tersenyum ke arahnya.
"Omong kosong itu menghabiskan banyak uangku."
Sakura mendekat ke arah Sasuke, meletakkan tangannya di pinggul. "Jadi, kurasa kau harus menghasilkan lebih banyak uang, huh?"
Pandangan mereka terkunci dan Sakura melihat tangan Sasuke terulur dan menariknya ke arah pria itu. Ketika hidung Sasuke terkubur di rambut Sakura dan jari-jarinya terkunci di belakang punggung mungil wanita itu, ia berkata dengan lembut, "Aku sangat merindukanmu. Aku merasa gila tanpa dirimu."
Sakura mengangguk di bahu Sasuke, matanya terpejam saat ia menghirup aroma tubuh yang dirindukannya itu. "Bisakah kita pulang? Bersama?"
Sasuke memandang sekeliling kabin sebentar, lalu menyeringai. "Aku punya ide yang lebih baik. Ayo kita menginap satu hari lagi disini. Lagipula jalan-jalan akan lebih baik dilakukan besok dan secara pribadi..." Sasuke menyambar pinggang Sakura sambil memandangi kamar tidur, "Kurasa kita harus menebus ini. Oh, dan masih banyak yang harus dibicarakan, tentu saja. Tapi menebus lebih dulu tidak masalah, bukan."
Kikikan lembut memenuhi kabin ketika Sakura membiarkan dirinya ditarik kembali ke kamar. Begitu Sasuke selesai menyangga pintu agar tetap terbuka sehingga panas perapian bisa masuk ke dalam kamar, ia berbalik ke arah Sakura, yang dengan lembut meraih wajahnya di kedua tangan mungil wanita itu. "Aku mencintaimu," ucap Sakura.
Mata Sasuke menjadi lebih gelap dan kemudian ia mengangguk. "Aku tahu. Kurasa aku sejenak hanya lupa tentang itu." Menarik Sakura ke arahnya, ia mencium wanita itu dengan lembut, sebelum menambahkan, "Aku juga mencintaimu. Dan aku minta maaf."
Kelegaan membanjiri tubuh Sakura, ia melingkarkan lengannya di leher Sasuke dan menempelkan bibirnya pada bibir pria itu dalam ciuman yang jauh lebih panas. Ketika tangan mereka mulai menyentuh kulit satu sama lain, bibir mereka saling mengecup, berpisah, dan mengecup lagi, lidah mereka terjalin dan napas keduanya menjadi lebih berat, Sakura merasakan ketegangan dan tekanan berangsur-angsur mulai meninggalkan tubuhnya. Kita akan baik-baik saja.
Begitu mereka akhirnya menarik diri, Sakura berkata, "Ingatkan aku untuk berterima kasih pada teman-teman kita."
Sasuke terkekeh dan menggelengkan kepalanya. "Sial, tidak. Tempat ini seperti sampah. Kita akan berterima kasih pada mereka jika mereka mengirim kita ke Tahiti atau Hawaii atau sesuatu yang lebih baik, aku tidak mau berterima kasih pada mereka untuk tempat yang menyebalkan seperti ini!"
"Tapi Sasuke-kun!" Sakura berdebat, dengan lembut mendorong dada Sasuke dengan tangannya. "Jika bukan karena mereka, kita tidak akan berada di sini sekarang. Akui saja, Ino dan Naruto benar-benar jenius!"
Saat Sasuke mulai menghimpit Sakura di kasur, ia memutar matanya. "Cherry, Uzumaki Naruto tidak jenius."
-.The End.-
Ini ga ada kelihatan si sakura menyesal mengabaikan ke⁷luarga si sasuke .. disini sakura egois banget .. berharap endingnya sad wkwkw
BalasHapus