expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

To Have and To Hold #4


Chapter 4 - Kemarahan


Pada awal kehamilan keenam Sakura, ia menyadari bahwa ia masih terhindar dari morning sickness karena ia belum mengalami sedikit pun rasa mual di pagi hari. Senin pagi setelah pernikahannya dengan Sasuke dan awal kehamilannya yang ketujuh, morning sickness akhirnya menghampirinya. Begitu ia bangun pagi itu, ia bergegas ke kamar mandi dan mengosongkan isi perutnya. Dan kemudian ia mengosongkan perutnya yang sudah kosong lagi.
Ketika ia merosot ke lantai, menikmati perasaan dingin ubin terhadap tubuhnya, ia tidak yakin bagaimana ia akan bertahan di hari berikutnya. Sebagian besar jadwal kuliahnya ada di hari Senin, Rabu, dan Jumat. Ia akan berada di kampus dari pagi hingga sore hari. Selalu dan mungkin juga terlalu ambisius, ia dengan cepat menyadari kesalahan mengambil jadwal kelas jam 8 pagi ketika bersandar di sebelah toilet adalah tempat terbaik baginya. Ia menunggu 10 menit untuk memastikan ia tidak akan muntah lagi. Ia kemudian berdiri dan menyeret dirinya ke lemarinya untuk bersiap-siap ke kampus, sementara sebagian dirinya hanya ingin kembali ke tempat tidur.
Sasuke sudah berangkat bekerja saat Sakura mengalami morning sickness pada Senin pagi ini. Hal pertama yang dilakukan Sasuke setibanya di tempat kerja adalah, ia dengan malu-malu mengubah status pengarsipan pajaknya dari 'lajang' menjadi 'menikah' di bagian penggajian yang dijaga karyawan wanita. Karyawan wanita itu memelototi Sasuke ketika pemuda itu mengembalikan kertasnya. Sasuke tahu pandangan wanita itu mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa ia telah meniduri wanita itu dua kali dalam setahun terakhir dan wanita itu telah merayu untuk yang ketiga kalinya. Mengabaikan tatapan tak setuju dari wanita itu—wanita yang sangat buruk dan Sasuke tidak akan memberi kesempatan untuk yang ketiga kali, anyway—Sasuke menghilang ke dalam tempat kerjanya dan mulai menjalani harinya. Ia memiliki jadwal kuliah pada hari Senin, Selasa, dan Rabu, dari siang hingga malam dan tahu ia akan menghadapi hari yang panjang. Ia dengan singkat bertanya-tanya apakah ia akan bertemu Sakura di kampus.
Senin itu, baik Sakura maupun Sasuke menghadapi kenyataan hidup baru mereka. Minggu sebelumnya, hidup mereka hanya terhubung oleh anak yang dikandung Sakura. Sekarang, kehidupan mereka secara tak terduga bergabung, dan itu adalah sesuatu yang mereka berdua harus biasakan. Tidak hanya memiliki rutinitas kuliah dan hobi sama untuk dijaga, tapi sekarang mereka juga berbagi rumah dan hal asing lainnya.
Semua pemikiran itu berputar di kepala Sakura ketika ia pergi ke kampus.
Aku tidak percaya ini adalah hidupku. Sedangkan mimpiku... oke, aku harus melupakannya. Aku harus mengucapkan selamat tinggal pada teman-temanku... Aku tidak akan pernah memerankan Elphaba... Sepanjang hidup Sakura telah difokuskan pada satu tujuan untuk mencapai Broadway dan menjadi bintang. Tapi sepuluh menit di tempat tidur asing bersama seorang pria menyentak mimpinya dari bawah tangannya selamanya. Dan ia harus berkabung atas kematian mimpi-mimpi seumur hidupnya itu, yang telah tumbuh dan dipeliharanya selama bertahun-tahun, secara emosional ini sangat menghancurkannya.
Untuk pertama kalinya sejak ayahnya memaksanya menjalani kehidupan yang aneh ini, ia akhirnya membiarkan dirinya menangis. Dan menangis. Dan menangis lagi. Pada saat ia berhenti menangis tersedu-sedu, ia baru sadar bahwa ia telah terlambat masuk ke kelas jam 8 paginya. Hari pertama di minggu itu tidak dimulai dengan baik.
Mencoba untuk kembali ke realita, Sakura meraih tasnya dari kursi belakang mobilnya dan melangkah menuju gedung. Ia berbelok dan menabrak seseorang.
"Maaf, maafkan aku," gumam Sakura menyesal, tanpa melihat sosok yang ditabraknya.
"Sakura?"
Menyadari suara itu, Sakura mengangkat kepalanya. "Ino-pig, hai!"
Yamanaka Ino adalah salah satu teman sekelas Sakura semasa sekolah. Mereka berada di paduan suara bersama dan sering bersaing karena keduanya memiliki suara yang kuat. Namun, selama bertahun-tahun di paduan suara, mereka berhasil menjadi sahabat, meskipun masih ada persaingan diantara mereka. Ino juga kebetulan adalah teman yang mengundang Sakura ke tempat yang sekarang disebut Sakura dalam pikirannya sebagai 'pesta pembuahan'.
"Kupikir kau di Toshima," ucap Ino sambil memperbaiki tasnya yang merosot di bahunya.
Sakura menatap lantai, tidak yakin berapa banyak yang harus ia ceritakan. "Aku... aku baru saja pindah ke sini untuk menyelesaikan sisanya."
"Kau seharusnya meneleponku! Kita bisa bersenang-senang bersama."
"Aku baru saja kembali minggu lalu," jelas Sakura.
Ino melirik ponselnya. "Forehead, aku harus pergi. Tapi mungkin aku akan mampir ke rumahmu minggu ini dan kita bisa..."
Sakura menyela, lebih cepat dari yang seharusnya. "Aku tidak tinggal di sana lagi."
Ino memandang Sakura dengan aneh. Rumah Sakura besar... sangat besar. Ia tidak bisa membayangkan bahwa Sakura TIDAK tinggal di sana.
"Jadi, kau tinggal di mana sekarang?"
Sakura berbicara tanpa menatap mata sahabatnya. "Aku... aku punya rumah sendiri sekarang."
"Keren. Berikan alamatmu."
Sakura menuliskannya di secarik kertas dan menyerahkannya pada Ino, yang segera membacanya. Ketika Ino mendongak lagi, untuk pertama kalinya ia memperhatikan betapa pucatnya penampilan Sakura.
"Forehead, jangan salah paham, tapi kau tidak terlihat seksi seperti biasanya. Ada apa?"
Ino menyaksikan Haruno Sakura, yang biasanya tenang mulai menangis dan mulai bergumam. Begitu Ino memahami tiga kalimat pertama, matanya melebar, "Ini benar-benar kacau... Ayo, ayo kita bicara."
Meraih lengan Sakura yang terisak-isak, Ino menyeret Sakura ke area yang lebih sepi dan memaksanya untuk duduk di bangku yang tersedia.
Ino meletakkan tangannya di lutut Sakura, "Sekarang, ceritakan semuanya."
Sakura mulai menjelaskan pada Ino apa yang sebenarnya terjadi, yang mengubah hidupnya secara drastis. Ino tidak berbicara sampai matanya menyala menyadari sesuatu. "Tunggu sebentar, jadi ITU SEBABNYA kau menghilang malam itu saat di pesta?"
Sakura mengangguk, tidak bisa mengatakan apa-apa karena ia merasa akan mulai menangis lagi.
"Jadi... siapa pria itu?"
"Sasuke... namanya Uchiha Sasuke."
Ino berdiri dari bangku. "Oh, tidak, jangan Sasuke!"
Sakura menghela napas frustrasi. "Apa, Pig? Apa kau kenal dia?"
"Aku tidak mengenalnya secara pribadi, tidak. Tapi aku tahu dia pemuda yang tinggi, seksi sekali, dan meniduri apapun yang bernyawa."
Sakura mendengus sedih. Ia tentu tahu itu.
"Jadi, kau 'menikah' dengan pemuda itu?"
Menutup matanya terhadap kenyataan yang berusaha memukulnya dan dengan air mata membasahi pipinya, Sakura perlahan mengangguk. Ino duduk kembali dan memeluk Sakura.
"Ayahmu benar-benar tahu cara menghancurkan kehidupan seseorang, bukan?"
Sambil menghela napas, Sakura meraih tasnya. "Aku harus pergi..."
"Baiklah, Forehead. Kau bisa menghubungiku kapan saja. Aku ada di sini jika kau membutuhkanku."
Sakura mengucapkan terima kasih pada Ino dengan pelukan yang kuat dan kemudian kedua gadis itu berjalan ke arah yang berlawanan. Sekarang, Sakura ketinggalan dua kelas di hari itu.
Pada saat jadwal kelasnya telah berakhir, Sakura menyadari bahwa ia sudah empat kali bolos dan hanya menghadiri dua dari empat kelasnya.
Setiba di rumah, ia merasa sangat kelelahan. Saat itu baru jam 4 sore ketika ia menyeret dirinya masuk ke dalam rumah, menjatuhkan tas, dan berbaring di tempat tidurnya.
Sakura bangun dua jam kemudian. Rumah itu sekarang gelap dan Sasuke belum pulang. Ia memaksa dirinya bangkit dari tempat tidur, mengganti pakaiannya dengan celana yoga dan tank top. Perutnya bergemuruh dan ia hanya bisa memikirkan satu hal yang terdengar lezat; sepiring pasta penuh dengan keju.
Dua puluh menit kemudian, ia memasukkan sepiring besar spageti panggang ke dalam microwave. Dengan aroma yang begitu surgawi.
Selama makan malamnya masih di dalam microwave, Sakura berjalan berkeliling rumah. Sangat sepi tanpa televisi menyala. Ia naik ke lantai atas untuk mencuci pakaian dan melambat ketika ia berjalan melewati pintu kamar Sasuke. Ia bahkan belum pernah melihat bagian dalamnya. Mengecek ke luar jendela untuk memastikan tidak ada tanda-tanda Sasuke datang, ia dengan takut-takut membuka pintu kamar pemuda itu.
Lubang hidungnya dimanjakan oleh aroma unik Sasuke ketika ia berjalan melewati pintu. Pemuda itu beraroma seperti cologne, deodorant, dan hal lain yang tidak bisa Sakura identifikasi. Apapun itu, ia mengakui pada dirinya sendiri bahwa aroma Sasuke begitu memabukkan.
Tempat tidur Sasuke tertata dengan rapi, ditutupi selimut biru tua. Di atas meja samping tempat tidur tidak ada apapun kecuali beberapa uang receh dan permen. Ada tiga kotak gitar di sudut kamar, bersama dengan buku-buku musik, dan kotak-kotak pick gitar. Kamar itu tidak memberi Sakura lebih banyak informasi tentang pemuda misterius ini.
Tidak ingin ketahuan sedang mengintip, Sakura cepat-cepat meninggalkan kamar Sasuke, menutup pintu, dan berjalan menuruni tangga.
Sasuke akhirnya tiba di rumah pada pukul 8:30 malam, suasana hatinya sangat buruk. Pekerjaan melelahkan, kelasnya sulit, dan ia butuh bercinta. Oke, fakta bahwa ia perlu bercinta mengganggunya lebih dari apapun, ia mengakui pada dirinya sendiri.
Ia mendorong pintu mobilnya tertutup dengan kakinya dan berjalan ke teras. Dari sudut pandangnya, rumah itu tampak gelap. Ketika ia membuka kunci pintu dan melangkah masuk, ia mencium aroma rempah-rempah dan perutnya mulai bergemuruh. Sasuke menutup pintu dan mendapati Sakura duduk bersila di lantai ruang tamu di bawah lampu bercahaya lembut, gadis itu mencondongkan tubuhnya ke depan membaca buku yang terbuka di depannya.
Mata Sasuke langsung bergulir ke pantat Sakura. Celana tipis Sakura menempel ketat di tubuh gadis itu, tidak meninggalkan apapun pada imajinasi Sasuke. Bukan itu yang perlu dilihatnya saat ini.
Sakura mendongak ketika ia mendengar Sasuke menendang lepas sepatunya. Pemuda itu tidak mengatakan apa-apa padanya, tapi melangkah masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa. Bersandar, Sasuke memejamkan mata dan menghembuskan napas keras.
"Ada sepiring makanan untukmu di microwave. Kau hanya perlu memanaskannya."
Membuka satu matanya, Sasuke menatap Sakura. "Kau memasak?"
Sakura mengangguk dan sebelum ia menyadari pilihan kata-katanya, ia berkata, "Kurasa bayimu kelaparan. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasa sangat lapar."
Kata-kata 'bayimu' menyerang otak Sasuke dan ia nyaris tidak mendengar sisa pernyataan Sakura. Ini adalah pertama kalinya Sakura menggunakan ungkapan seperti itu dan itu membuat Sasuke menyeringai, mengirim getaran kecil ke punggungnya pada saat yang bersamaan. Kehamilan ini sepertinya tidak terlalu... nyata... baginya sejauh ini. Namun, dua kata itu tiba-tiba membuatnya sangat nyata.
Karena tidak ingin menjadi pria cengeng dan terbawa suasana, Sasuke berdiri dan berjalan ke dapur. Sambil membuka microwave, ia mengerang, "Ya Tuhan, kau membuat spageti panggang. Aku sangat suka ini."
Memanaskannya kembali, Sasuke mengambil garpu dan segera setelah microwave berbunyi, ia menyentak piring panas itu keluar dan mendorong spageti ke mulutnya. Ini benar-benar enak.
"Kau menyukainya?"
Sasuke hanya menganggukkan kepalanya seperti boneka kepala di dashboard mobil, memutuskan untuk tidak menjawab karena itu akan menghilangkan selera makannya.
Sakura tersenyum dan kembali tenggelam dalam buku pelajarannya. Ia suka melihat Sasuke begitu antusias. Ngomong-ngomong, ia tersenyum karena mendapatkan pujian atas masakannya, bukan karena pemuda itu.
Sakura berdiri, membungkuk untuk menutup bukunya. Sasuke memperhatikan pantat Sakura lagi. Benar-benar fantastis dan pas di tangannya. Sambil mengerang pada dirinya sendiri, Sasuke mencoba menarik pikirannya kembali ke makanan lezat di piringnya. Ia benar-benar butuh bercinta.
"Kurasa aku akan tidur, Sasuke."
Sasuke melirik jam di pergelangan tangannya. "Secepat itu?"
"Aku sangat lelah. Anak ini mulai menyedot energi dari diriku."
Sasuke menyeringai dan Sakura melihatnya kali ini.
"Apa?" tanya Sakura penasaran.
Onyx Sasuke bertemu dengan emerald Sakura. "Aneh mendengarmu menyebutnya sebagai bayiku atau sebagai anak... Hanya membuat semuanya lebih nyata."
Sakura berpikir sejenak. "Kau ingin melihat sesuatu yang akan membuat semuanya terasa lebih nyata?"
Sasuke mengangguk dan Sakura menghilang. Segera muncul kembali setelah itu, menyerahkan lipatan kain berwarna kuning.
Membuka lipatan itu, Sasuke mendapati dirinya menatap onesie bebek. "Apa ini?"
"Itu onesie. Onesie bayi. Ibumu yang membelikannya di hari Sabtu kemarin."
"Ini... ini bagus."
Sasuke tidak bisa menyingkirkan pakaian mungil itu dari benaknya. Ia tidak percaya bahwa dalam 33 minggu lagi, bayinya akan mengenakan benda kuning kecil itu.
Sasuke merasa dirinya pusing. Ia hampir mencaci-maki dirinya sendiri karena hampir mulai tersedu-sedu seperti pria cengeng. Shit, bayi ini membuatnya ketakutan.
Sakura tahu bahwa Sasuke merasa tidak nyaman, jadi ia dengan pelan mengambil onesie itu dari tangan Sasuke dan mengucapkan selamat malam. Ia meninggalkan pemuda itu berdiri di dapur, sendirian tenggelam dalam pikirannya.
***
Dua minggu berikutnya berlalu dengan cara yang sama. Mereka berdua sangat sibuk dengan kehidupan mereka dan biasanya hanya melewatkan waktu bersama di malam hari. Mereka biasanya berbagi percakapan dan obrolan ringan saat makan malam atau ketika mereka berpapasan di ruang tamu.
Sakura merasa dirinya semakin emosional dan semakin mudah menangis saat kehamilannya terus berkembang. Morning sicknessnya datang dan pergi, dan ia berharap ketika semakin dekat dan lebih dekat dengan akhir trimester pertamanya, morning sicknessnya sepenuhnya berakhir.
Sayang sekali, Sasuke tidak tahu bagaimana menghadapi Sakura yang mulai menjadi kurang mampu mengendalikan emosinya ketika di hadapannya. Selasa malam ketika Sasuke tiba di rumah dari kampusnya. Ia sepertinya harus belajar tentang bagaimana kehamilan sangat mempengaruhi seorang wanita.
Sasuke melangkah ke dalam serambi yang gelap, menjatuhkan ranselnya dan menendang lepas sepatunya. Melirik ke ruang tamu, ia melihat Sakura di sofa, selimut dicengkeram di depan dada dan tisu di tangan gadis itu. Wajah gadis itu merah karena menangis namun tatapannya tetap lurus ke arah televisi.
Sasuke berjalan ke ruang tamu dan berdiri memperhatikan Sakura. "Fuck, apa yang terjadi padamu?" Ia sedikit panik.
Sakura tidak memandang Sasuke, hanya berbisik, "Fraulein Maria kembali ke Biara karena dia tidak berpikir Kapten Von Trapp mencintainya."
Sasuke memasang ekspresi bingung. "Apa yang kau bicarakan?"
Wajah Sakura tampak lesu. "The Sound of Music? Von Trapps?"
"Apa... aku tidak pernah menontonnya."
Sakura mendengus. "Kau bilang kau punya apresiasi musik yang bagus."
"Aku memiliki apresiasi musik yang bagus. Tapi aku tidak memiliki apresiasi yang bagus pada penyanyi cengeng di film." Sasuke menjatuhkan diri di sebelah Sakura dan mencoba mengambil remote dari Sakura. Gadis itu memekik dan mengambil remote kembali dari Sasuke.
"Tidak apa-apa jika kau tidak menyukai filmnya tapi setidaknya biarkan aku menontonnya sampai selesai. Aku yakin para bajingan di ESPN itu tidak membicarakan apapun yang berharga."
Sasuke melotot. "Oh, jadi kau ingin memulai perang TV?" Ia menyentak remote dari tangan Sakura dan mengganti ke saluran ESPN.
Sakura mendengus, menyentak remote dari tangan Sasuke, dan mengembalikannya ke saluran TCM.
Sasuke membiarkan Sakura menikmati sekitar 15 detik menonton anak-anak bermata bulat yang tampak brengsek bernyanyi dengan bodoh sebelum ia memutuskan bahwa Sakura sudah cukup menontonnya. Sambil meraih remote lagi, ia bergumam pendek, "Kurasa cukup..." Dan mengganti kembali ke saluran ESPN.
Sasuke menunggu Sakura untuk merebut remote TV lagi, tapi sebaliknya, ia melihat gadis itu memerah dari sudut matanya. Hal berikutnya yang ia tahu, Sakura berlari melewatinya dengan air mata mengalir. Ketika ia mendengar pintu kamar Sakura dibanting, ia memutar matanya, meraih selimut yang sebelumnya dipakai Sakura, dan berbaring di sofa. Setidaknya sekarang ia bisa menonton ESPN dengan tenang.
***
Pada Jumat pagi, 'insiden Von Trapp'—begitulah Sakura mulai menyebutnya—masih segar di benak Sakura. Terbukti olehnya bahwa suaminya tidak berperasaan.
Sasuke, tetaplah Sasuke, telah sepenuhnya melupakan seluruh kejadian di hari kemarin. Ketika ia pulang bekerja pada hari Jumat, ia dalam suasana hati yang baik. Ia dan Naruto akan mengadakan jamming besok, ia benar-benar akan mendapatkan kesempatan untuk bersantai.
Sasuke mendengar Sakura meggunakan penggorengan dan ia melangkah menuju ke arah kebisingan itu. Ia berhenti ketika ia melihat Sakura. Gadis itu berdiri di dapur mengenakan atasan ketat dan rok pendek. Yang nyaris hanya di bawah pantatnya. Sasuke cukup yakin ia pernah melihat rok yang sama pada beberapa penari telanjang sebelumnya. Untuk sesaat, ia merasa ini salah bagi seorang wanita hamil untuk berpakaian sangat... menarik. Lalu ia ingat bahwa perut Sakura bahkan masih rata.
Sakura merasakan Sasuke menatapnya. "Ada yang bisa kubantu?" ucapnya kesal. Ia tidak dalam suasana hati yang baik dan berharap bahwa mereka tidak berdebat malam ini.
Sasuke menyilangkan lengannya, membuat bisepnya menonjol, "Tidak, aku baik-baik saja. Hanya menikmati pemandangan."
Sakura melempar sendok yang ia gunakan dan memelototi Sasuke. "Oh, tolonglah! Haruskah kau selalu memperlakukanku seperti sepotong daging?"
Sasuke menyeringai, "Jika kau daging, aku mungkin sudah memakanmu."
Wajah Sakura memerah karena marah dan ia menghampiri Sasuke. "Dengarkan aku, Uchiha Sasuke. Hanya karena kita terpaksa tinggal di rumah yang sama, itu tidak memberimu hak untuk menyerangku dengan desakan seksualmu hanya karena kau mendapat dorongan untuk bergerak seperti binatang."
"Oh, buang sikap aroganmu," adalah satu-satunya jawaban dari Sasuke.
"Apa masalahmu?" Sakura melotot.
Sasuke menjauh dari Sakura, "Kau tahu apa masalahku? Aku perlu bercinta. Aku butuh 'vagina'." Sasuke mengeluarkan kata-katanya melalui giginya yang terkatup.
Sakura meringis, kekasaran Sasuke benar-benar tidak ia harapkan.
"Oh, tolonglah, Sakura. Berhentilah bertingkah seperti malaikat. Jika aku ingat malam itu, kaulah yang memintaku untuk bercinta denganmu. Aku tergoda untuk berhenti, tapi sial, kau menginginkannya. Jadi aku memberikannya padamu." Sakura mulai benar-benar membuat Sasuke kesal sekarang.
"Ya, aku tahu aku menginginkannya. Dan aku akan menyesali kata-kata yang pernah kubisikkan di telingamu selama sisa hidupku!" Sakura berteriak di depan wajah Sasuke sekarang, kulitnya hampir memancarkan panas amarahnya.
"Kau pikir aku tidak menyesal? Dibebani dengan wanita dingin dan tidak berperasaan sepertimu selama sisa hidupku hanya karena aku ingin menjadi sosok ayah yang baik?" Sasuke mengusap rambutnya lalu mengumpat dan memukul meja.
Kata-kata Sasuke seolah merobek diri Sakura seperti pisau. "Beraninya kau!" Sakura melemparkan kata-kata itu pada Sasuke.
"Oh, tolong! Jangan bertingkah seolah kau bukan 'ikan dingin'."
Sakura mengunci tatapannya dengan mata Sasuke. "Fuck you, Sasuke."
"Wow, putri es bisa mengumpat?"
Sakura menunjuk Sasuke dengan jarinya dan pemuda itu mendorong jari Sakura menjauh. Sasuke kemudian melangkah ke pintu, menyambar kunci dan ponselnya.
"Kau mau kemana?" Sakura menuntut.
"Menyingkir darimu, tentu saja." Sasuke melangkah keluar dari rumah, membanting pintu.
Sakura mendengar mobil Sasuke menjauh dan ia jatuh ke sofa setelah ia yakin Sasuke sudah pergi.
Kata-kata Sasuke seperti senjata. Sakura benci dengan fakta bahwa Sasuke hampir tidak mengenalnya, tapi pemuda itu bisa menunjukkan dengan tepat dan kemudian menemukan fakta bahwa Sakura memiliki masalah dengan keintiman dan kedekatan dengan seorang pria. Sakura tidak bisa membantu dirinya sendiri. Masa kecil dan remajanya begitu kesepian. Ayahnya sangat kritis terhadap semua orang hingga Sakura tidak pernah benar-benar memiliki teman. Ia tidak pernah berkencan semasa sekolah karena ia tidak diizinkan. Malam itu bersama Sasuke adalah satu-satunya interaksi dengan seorang pria secara seksual.
Kau wanita dingin dan tidak berperasaan.
Sakura mulai terisak lebih keras ketika ia menyadari bahwa ia bisa melihat persis mengapa Sasuke merasa seperti itu.
***
Fuck.
Semakin lama Sasuke mengemudi di sekitar kota, semakin dalam rasa jengkelnya. Serius, Sakura pikir dirinya siapa? Yeah, Sasuke tahu bahwa ia tidak akan pernah memuji atau mengisyaratkan tentang seks lagi pada Sakura. Gadis itu telah membuat keputusannya dengan sangat jelas. Sasuke benar-benar merasa lega karena ia tidak akan lagi mencoba mengendalikan desakan seksualnya karena menjaga perasaan Sakura. Ia hanya benci bahwa ada suara kecil di dalam dirinya yang berharap Sakura akan memutuskan ingin bersamanya. Persetan dengan itu.
Sasuke berhenti di sebuah bar lokal dan masuk ke dalam. Menjatuhkan dirinya di atas kursi bar, memesan bir dan mulai meneguknya. Onyxnya menangkap seorang gadis berambut coklat, berkaki jenjang, dan berdada besar di sudut lain dari bar dan menyelinap ke sebelahnya, mulai berbicara dengan nada rendah dan seksi.
Satu jam dan empat bir kemudian, Sasuke mencium gadis itu dan menarik putingnya di tempat parkir.
Dua puluh menit kemudian, ia menarik baju gadis itu ke atas kepalanya dan bergabung di tempat tidur gadis itu.
***
Semakin lama Sakura duduk di rumah yang sunyi itu, semakin buruk perasaannya. Ia bereaksi berlebihan, lagi. Ia menyadari bahwa, dalam cara bicara Sasuke yang buruk, dalam sikap Sasuke yang tak sopan, pemuda itu sebenarnya berusaha memberikan pujian padanya ketika bersikap sugestif secara seksual. Tapi yang tidak Sasuke mengerti adalah bahwa sosoknya yang mengesankan, seksualitasnya yang terang-terangan, dan reputasinya membuat Sakura sangat takut padanya. Jika Sakura menyerahkan diri pada Sasuke, ia takut Sasuke akan memiliki kekuasaan atas dirinya. Dan hal terakhir yang Sakura butuhkan adalah memberikan orang lain kekuasaan atas hidupnya. Ia punya lebih dari cukup untuk berurusan dengan ayahnya.
Saat itu juga Sakura memutuskan bahwa ia akan duduk di sofa itu dan menunggu sampai Sasuke pulang, di mana ia akan meminta maaf karena bereaksi berlebihan. Tidak adil bagi Sasuke untuk melempar 'masalah ayah' pada pemuda itu.
Pukul 11 ​​malam, masih belum ada tanda-tanda Sasuke di rumah. Sakura memeriksa ponselnya tapi tidak ada panggilan atau pesan teks yang tak terjawab.
Pada jam 12 malam, ia meraih selimut, menariknya menutupi tubuhnya dan berbaring di sofa.
Menjelang pukul 1 dini hari, ia tertidur lelap, masih menunggu.
***
Sinar matahari mengintip melalui jendela pada Sabtu pagi. Ketika cahaya merayap melintasi ruangan, sinar itu menyilaukan mata Sakura, membangunkannya dari tidurnya. Ia duduk, merasa mual sesaat, dan kemudian teringat tentang Sasuke.
Berdiri, Sakura bergegas ke jendela. Berharap Sasuke pulang tapi ia tidak mendengarnya. Tapi ketika ia melihat keluar, ia melihat mobilnya terparkir sendirian. Sasuke tidak pulang semalaman.
Sakura ingin menangis. Rasa mual menyusul ketika spekulasi muncul di otaknya seperti pinball. Sasuke menginginkan seks... dan ia tidak memberikannya... Sasuke pasti mendapatkannya dari tempat lain.
Memejamkan matanya, Sakura menahan air matanya. Ia yang membuat masalah ini sendiri. Ia yang mendorong Sasuke ke tempat lain. Tapi tetap saja, rasionalisasinya gagal menghiburnya.
Ketika ia duduk di sana, menatap kosong, ia mendengar ketukan pelan di pintu depan.
Ia berlari dan menyentaknya terbuka, mengira itu Sasuke dan dan pemuda itu lupa membawa kunci rumah. Tapi sebaliknya, matanya bertemu dengan mata Uzumaki Naruto.
"Hai, Sakura-chan," sapa Naruto ketika ia melangkah masuk. "Aku ke sini ingin bertemu Sasuke-teme tapi dia pasti tidak di rumah. Aku tidak melihat mobilnya."
"Dia... dia tidak pulang semalaman," ucap Sakura berbisik.
Naruto memperhatikan tatapan sedih yang mengerikan di mata Sakura. Menuntun gadis itu ke sofa, dan duduk.
"Apa yang terjadi?"
"Kami bertengkar hebat dan dia pergi... dan dia tidak menelepon atau apapun."
Naruto mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan.
Di mana kau?
Hanya lima detik, Naruto mendapat balasannya.
Rumah.
Naruto memutar matanya.
Bullshit! Aku sedang duduk di sini bersama ISTRImu. Di mana kau?
Naruto menunggu jawaban tapi Sasuke tak membalas pesannya lagi. Akhirnya ia menutup ponselnya.
"Dia tidak mau memberitahuku di mana dia berada." ucap Naruto pada Sakura.
Sakura merasa pusing. Penolakan Sasuke untuk menjawab sama kerasnya seperti jika ia berteriak dari atap. Ia merosot ke sofa.
"Hei... hei, Sakura-chan, lihat aku."
Naruto meletakkan tangannya di bawah dagu Sakura dan mengangkat wajah gadis itu ke arahnya. Sakura menatap Naruto dengan matanya yang sayu. Kesedihan di mata Sakura membuat hati Naruto nyeri. Pada saat itu, ia cukup yakin bahwa Sasuke adalah bajingan terbesar yang masih hidup.
"Dengar, aku minta maaf tentang semua ini. Aku tahu permintaan maafku tidak bisa mengubah apapun tapi aku masih akan minta maaf. Kau wanita yang manis dan cantik dan kau tidak pantas mendapatkan ini. Dan si brengsek itu tidak pantas untukmu."
"Naruto... dia temanmu," bantah Sakura.
"Aku tidak peduli. Saat ini, dia tidak lebih dari seseorang yang bodoh."
Sakura memeluk Naruto tapi menolak untuk menangis. "Terima kasih, Naruto..."
Naruto mencium puncak kepala Sakura seolah gadis itu adalah bocah kecil yang terluka.
"Dengar, aku akan pergi mencari Teme. Tapi jika kau membutuhkanku, telepon saja, oke?"
Sakura mengangguk dan Naruto menuliskan nomornya di secarik kertas. Dengan memberikan pelukan cepat, Naruto berjalan keluar dari pintu.
Di sudut kota lain, Sasuke duduk di sebuah restoran kecil, memakan telur berminyak, daging asap, dan roti panggang yang rasanya seperti kardus. Matahari pagi telah memberinya kesempatan untuk menyadari bahwa ia tidak lebih dari bajingan besar, raksasa, berbulu. Ia tahu ia akan berurusan dengan Naruto dan ia ingin mempersiapkannya. Tapi ketika ia menatap makanannya yang menjijikkan, ia menyadari bahwa ia tidak memiliki pembelaan. Sama sekali tidak ada pembelaan. Ia mungkin tidak mencintai Sakura, tapi setidaknya ia menyukai gadis itu. Dan gadis itu adalah istrinya... yang membuatnya menjadi seperti berselingkuh.
Sasuke mungkin tidur bersama wanita di banyak tempat, meniduri hampir semua wanita selama sebagian besar masa remaja dan dewasanya, tapi ia tidak pernah berselingkuh. Sekali lagi, ini mengingatkannya kembali akan air mata ibunya setelah pelacur ayahnya muncul di pintu rumah.
Memutuskan untuk berbicara dengan Sakura daripada berurusan dengan Naruto, Sasuke menaruh beberapa uang di atas meja dan berlari ke mobilnya. Ia melaju kembali ke kediaman mereka dalam waktu singkat. Perutnya mengencang ketika ia membayangkan ekspresi sedih di wajah Sakura. Bukan hanya melemparkan penghinaan mengerikan pada Sakura, tapi ia menghabiskan malam di antara kaki wanita lain. Ini sangat buruk...
...kecuali ketika ia berjalan masuk ke dalam rumah, Sakura hanya mendongak dan berkata "Hai." Kemudian gadis itu melihat kembali ke bawah, fokus pada tugas kuliah di depannya.
"Hai..." Sasuke bergumam, tidak yakin apa yang harus dilakukan karena ini bukan yang ia perkirakan. Ketika Sakura tidak mengatakan apa-apa, ia mencoba berbicara lagi, "Dengar... aku minta maaf tentang..."
Sakura memotong ucapan Sasuke. "Jangan khawatirkan tentang itu. Kita pasti akan bertengkar. Itu tidak bisa dihindari."
Apa-apaan ini?
Sasuke memperkirakan Sakura akan menangis... bukan ini.
Sakura mulai bersenandung lembut pada dirinya sendiri ketika ia memencet beberapa angka pada kalkulator ilmiahnya. Sasuke menatap Sakura dengan rasa ingin tahu tanpa mengatakan apapun. Akhirnya menyadari bahwa gadis itu tidak akan membahas pertengkaran mereka lebih lanjut, ia mendesah, "Aku akan mandi."
Sakura mengangguk dan Sasuke berjalan pergi.
Ketika Sakura mendengar langkah Sasuke menjauh, ia menghela napas dan menggigit bibirnya, menahan air matanya. Ia bertekad untuk tidak pernah membiarkan Sasuke melihat kesempatan bahwa pemuda itu bisa mengendalikan dirinya. Eksterior baja miliknya adalah satu-satunya perlindungan yang dimilikinya.
***
To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)