expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

To Have and To Hold #19 End


Chapter 19 - Home


Sasuke berada di kamar rumah sakit bersama Sakura dan bayinya selama hampir satu jam, mencari nama-nama bayi sementara bayi mereka tertidur dengan tenang di lengan Sasuke. Begitu mereka akhirnya menyetujui sebuah nama—dan Sasuke diam-diam bersyukur karena dengan bayi mereka tertidur membuat Sakura tidak bisa berteriak padanya atas saran nama-nama bayi yang 'mengerikan', Sasuke dengan hati-hati menyerahkan bayi itu kembali pada Sakura dan pergi ke ruang tunggu untuk memberitahu keluarganya.
Ketika Sasuke masuk ke ruang tunggu, lima orang yang menunggunya sudah bisa menebak, dari sikap santai tubuh Sasuke hingga senyum lebar di wajahnya, bahwa semuanya berakhir bahagia.
"Baik?" Mikoto berdiri, penuh harap.
Sasuke melangkah maju. "Dia baik-baik saja. Dia sangat tampan." Sasuke tahu ia akhirnya akan memuji ketampanan putranya, tapi ia berasumsi, setidaknya untuk hari ini, bahwa ia bisa melakukannya tanpa merasa seperti seorang gay total.
"Bisakah kita melihatnya?" tanya Kizashi, dengan senyum tulus di wajahnya.
"Tentu!" ucap Sasuke mengangguk bersemangat. "Ikuti aku!"
Sasuke memimpin mereka menyusuri lorong dan mengetuk pintu kamar Sakura. Saat membukanya, ia berkata, "Kita punya pengunjung."
Sakura memberi isyarat bagi Sasuke untuk masuk dan Sasuke mendorong pintu terbuka lebih lebar, ia melangkah ke samping dan jari-jarinya menempel di bibirnya untuk mengisyaratkan semua orang agar berbicara dengan pelan.
Mereka semua melangkah masuk dan Sakura terkejut melihat ayahnya di sana. Ia bertemu dengan mata ayahnya dan ayahnya itu tersenyum.
"Aku senang kau baik-baik saja, Sakura. Aku sangat khawatir," bisik Kizashi. Air mata mengalir di pipi Sakura. Kata-kata ayahnya tampak tulus. Senyum di wajah ayahnya juga benar-benar asli. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa ayahnya benar-benar peduli padanya.
"Siapa yang mau memegang Baby Sachio lebih dulu?" Sakura berbisik pada mereka.
"Sachio?" tanya Mikoto, memandangi bayi itu seolah ia akan merebutnya dan tidak pernah mengembalikannya pada orang tuanya—Sasuke juga melihat tatapan ibunya itu, dan mengepalkan tinjunya. Ia bisa membayangkan pertarungan dengan ibunya.
Sasuke mengangguk, mengambil bayi itu dari lengan Sakura. Memegangnya agar semua orang bisa melihatnya, "Perkenalkan, Uchiha Sachio."
***
Dua hari setelah Sachio lahir, setelah Sakura dan bayinya berada di bawah pengawasan selama 48 jam untuk memastikan tidak ada efek buruk dari insiden di tangga, mereka diperbolehkan untuk pulang. Terlepas dari kenyataan bahwa Sachio lahir prematur lima minggu lebih cepat, ia mempunyai berat 2,3 kg, yang berarti ia cukup besar untuk meninggalkan rumah sakit.
Ketika mereka dalam perjalanan menuju rumah, Sakura menyaksikan pemandangan bergerak sedikit lambat dan mengerutkan alisnya dengan khawatir. "Sasuke-kun?" tanya Sakura dari kursi belakang, di mana ia duduk dengan Sachio. "Apa ada masalah dengan mobilnya?"
Dari kursi depan, Sasuke mengerang. "Tidak, Sayang, santai saja."
Sakura tersenyum melihat pemandangan yang terlewati. "Tapi, Sayang," Ia memulai dengan manis, "Kita akan sampai di rumah lebih cepat jika kau menjalankan mobil dengan kecepatan normal."
Merengut, Sasuke menekankan kakinya ke gas hingga mobil meluncur di angka 45, "Oke, Miss Speed ​​Demon, aku harap kau bahagia sekarang."
Sakura mendengus tertawa dan menatap Sachio, yang sedang tidur nyenyak di sebelahnya. Jantungnya berdebar setiap kali ia melihat ke arah putranya. Wajahnya yang kecil sangat sempurna. Sachio benar-benar terlihat seperti versi miniatur dari ayahnya.
Setelah tiba di rumah dalam perjalanan 10 mil yang membutuhkan waktu hampir 25 menit berkat ayah yang sangat seksi tapi tampak gugup sebagai pengemudi, mereka membawa Sachio dan tas-tas masuk ke dalam rumah. Sakura menghela napas dengan puas, senang akhirnya berada di rumah kembali. Rumah sakit berisik dan tidak nyaman dan ia tidak bisa tidur karena terganggu oleh perawat, dokter, atau pengunjung. Ia sangat ingin jatuh ke tempat tidurnya sendiri.
Dalam diam, mereka menaiki tangga dan masuk ke kamar anak. Sasuke membuka gendongan bayi pada Sakura, mengangkat bayi mereka yang tidur, dan menempatkannya di boks bayi.
Kedua orang tua baru itu melihat Sachio sejenak, mengagumi pemandangan di depan mereka. Kemudian Sakura menyalakan monitor bayi, meraih speaker, dan mereka diam-diam meninggalkan ruangan.
"Sasuke-kun, aku akan tidur siang. Aku sangat lelah," bisik Sakura setelah mereka berada di luar kamar anak.
Sasuke menguap. "Aku ikut denganmu. Aku tidak bisa tidur saat kau di rumah sakit."
Mereka berjalan ke kamar dan Sasuke mulai membuka pakaiannya. Ia lelah tapi merasa benar-benar damai. Gadis yang dicintainya lebih dari apapun itu selamat dan baik-baik saja dan mereka memiliki bayi yang tampak nakal sedang tidur di kamar sebelah—bahkan pada usia dua hari, Sasuke dapat benar-benar tahu bahwa anak itu akan memiliki keahliannya. Luar biasa.
"Hei, Sayang," Sasuke menoleh pada Sakura ketika gadis itu membuka celananya. "Kau ingin coba membuat anak lagi?" Ia mengangkat alisnya sugestif.
Sakura memukul lengan Sasuke dan memutar matanya. Memakai gaun tidur di atas kepalanya, ia menyaksikan Sasuke mengerutkan alis.
"Kau tidak tidur telanjang? What the fuck?"
Sambil menarik selimut, Sakura naik ke tempat tidur. "Kita tidak akan berhubungan seks untuk sementara waktu, jadi kupikir aku akan kembali tidur memakai gaun tidur. Mungkin... untuk menghindari... beberapa dari kenakalan tengah malammu."
Sasuke naik ke tempat tidur di sebelah Sakura, menopang dirinya sendiri dengan lengannya sehingga ia bisa menatap istrinya. Sakura masih memiliki perban di atas luka besarnya dan memar di wajahnya. Tapi gadis itu masih sangat cantik hingga membuat dada Sasuke berdebar.
"Apa maksudmu 'Kita tidak akan berhubungan seks untuk sementara waktu'?"
"Begini," Sakura memulai, ia tahu ia akan menyaksikan perubahan wajah Sasuke akibat kurangnya seks, "Seandainya aku melahirkan Sachio lewat vagina, aku tidak akan bisa berhubungan seks selama setidaknya enam minggu." Ia memperhatikan wajah Sasuke memucat dan ia terkekeh. "Tapi karena aku melahirkan melalui operasi sesar, dokter mengatakan padaku untuk membiarkan diriku sembuh total sebelum kita melanjutkan aktivitas seksual normal kita."
"Jadi, uhh..." Sasuke tampak gugup, bayangan malam yang sunyi menerpa otaknya. "Jadi, berapa lama?"
Sakura tersenyum manis pada Sasuke, mencondongkan dirinya untuk mencium bibir suaminya itu. Ketika ia menarik diri, ia berbisik, "Empat sampai delapan minggu." Kemudian ia menjauh dari Sasuke dan berbaring di bantalnya.
Ruangan itu hening sesaat, tapi Sakura tahu sesuatu akan meledak. Menyeringai seperti perempuan gila di dalam ruangan yang terang benderang itu, ia mendengar Sasuke menarik napas.
"Dammit! Maksudmu kita harus menunggu selama itu untuk berhubungan seks lagi? Shit! Dan payudaramu sangat besar sekarang! Maksudmu aku tidak bisa menikmatinya? Aku mungkin akan mati konyol." Nada suara Sasuke terdengar tinggi, hampir berteriak, dan ekspresinya tampak jengkel.
"Tidurlah, Sasuke-kun," ucap Sakura sebagai jawaban, diam-diam tersenyum lebar.
Sasuke mendengus dan Sakura merasakan tubuh Sasuke berbaring dengan frustrasi. Tapi kemudian Sasuke menyeringai di bantalnya, ia menutup matanya. Suaranya rendah dan tegas. "Kau sebaiknya tidak marah jika beberapa film porno mulai diputar di rumah ini. Aku hanya ingin bilang bahwa tubuhku seperti mesin yang diminyaki dengan baik dan jika aku tidak menggunakannya untuk menjaga bentuk performa tetap terbaik, keterampilan seksualku mungkin akan berkurang. Dan kau tidak ingin itu terjadi, bukan?"
Sakura tertawa. Berbalik menghadap Sasuke, ia menempelkan bibirnya pada bibir suaminya itu. Ketika ia menarik diri, ia berbisik, "Aku bilang kita tidak bisa berhubungan seks... tapi mulutku masih berfungsi dengan baik, kau tahu. Dan jika aku ingat, kau tampaknya menikmati keterampilanku itu dengan baik." Di bawah selimut, ia menepuk paha Sasuke. "Kurasa kita akan baik-baik saja."
Berbalik lagi, Sakura membiarkan suaminya yang tertegun dengan pikirannya sendiri dan memaksa dirinya untuk tidur beberapa jam sebelum Sachio terbangun.
***
Satu Tahun Kemudian
Ruang tamu rumah keluarga Uchiha kini penuh dengan orang. Kado-kado dengan kertas mengkilap ditumpuk di atas meja dan ada dekorasi bergambar truk dan kereta api kartun di mana-mana. Sakura berjalan dari dapur ke ruang tamu dan kembali lagi ke dapur, meraih peralatan makan, piring, dan serbet. Mikoto berdiri di tengah ruangan, menggoyang-goyangkan Sachio di lengannya, sementara kakeknya, Kizashi, mengayunkan mainan di depan wajah balita itu dan berbicara dengan nada rendah.
"Oh, Kizashi. Sachio tidak peduli tentang yang kau katakan itu!" Mikoto merengek, menatap pria yang hampir seumuran dengan dirinya.
Kizashi menatap tajam pada Mikoto. "Sachio akan peduli, suatu hari nanti, tentang perguruan tinggi mana dia harus masuk. Dan apresiasi sehat terhadap pendidikan tidak akan pernah salah jika dimulai sejak dini."
Mikoto memutar matanya. "Apa kau tidak bisa santai sedikit? Maksudku, astaga, ganti jasmu dan bersantai! Dan kau bisa berbicara dengan Sachio tentang perguruan tinggi ketika dia sudah berusia 16 tahun. Sekarang, dia hanya peduli dengan air liur, makan, dan berceloteh 'doo-doo'."
Hinata terkikik melihat mereka dari seberang meja. Acara berkumpul seperti ini biasanya menghasilkan pertikaian antara kakek dan nenek yang memperebutkan mana yang lebih baik untuk balita itu. Sasuke, biasanya ingin meninju mereka berdua dan menendang mereka keluar, sedangkan Sakura hanya tersenyum, senang memiliki seorang ibu seperti Mikoto dan seorang ayah yang setelah tidak pernah benar-benar memahami bagaimana menjadi seorang ayah sejati, kini menjadi seorang kakek yang penyayang. Pria paruh baya itu rupanya sangat menyayangi Uchiha kecil.
Sasuke melangkah kembali ke dalam rumah setelah memeriksa makanan di atas panggangan dan bersiul nyaring untuk mendapatkan perhatian semua orang. Semua mata, termasuk mata hitam Sachio yang hampir identik warnanya dengan miliknya, tertuju ke arahnya. Sakura kembali ke ruang tamu, menata sendok, dan mengangguk pada suaminya.
"Terima kasih, teman-teman, sudah datang hari ini. Aku tahu kalian mungkin memiliki hal-hal yang lebih baik untuk dilakukan pada hari Sabtu daripada menghabiskannya bersama kami." Sasuke memberi isyarat agar Sakura bergabung dengannya. Setelah Sakura berada di sampingnya, ia melingkarkan lengannya di bahu Sakura dan menariknya lebih dekat ke sisinya. "Kami bersyukur semua orang penting bisa ada di sini ketika kami merayakan ulang tahun pertama Sachio."
Sasuke melihat sekeliling ruangan. Teman baiknya di dunia, Naruto, tengah menatapnya, tapi tangan pemuda itu dengan lembut diletakkan di atas perut istrinya yang hamil. Sasuke memikirkan hari itu, hampir enam bulan yang lalu, ketika Naruto dan Hinata datang ke rumah, dengan penuh kegembiraan, untuk memberitahukan bahwa Hinata hamil. Goresan tinta hampir belum kering pada surat nikah mereka dan sekarang mereka sudah memulai keluarga sendiri. Hinata dan Sakura menjerit dan melompat-lompat di sekitar ruangan, merencanakan 'jadwal main' dan perjalanan ke museum dan hal-hal lain yang berkaitan dengan 'ibu', yang membuat Naruto dan Sasuke bosan karena tidak melibatkan mobil, musik, atau wanita.
Mata Sasuke menatap pasangan lain yang tampak bahagia sedang duduk di sofa. Ino dan Sai semakin dekat setelah diperkenalkan pada acara wisuda Sakura. Dan bahkan Shikamaru berhasil menemukan seorang gadis yang tidak menganggapnya membosankan. Namanya Temari dan dia cantik. Terlalu cantik untuk Shikamaru, menurut pendapat Sasuke. Ia tahu ini hanya masalah waktu sebelum gadis bernama Temari itu sadar dan beralih ke seseorang yang sedikit tidak membosankan seperti sahabatnya. Namun, Sasuke tetap bahagia dengan yang terjadi akhir-akhir ini, jadi ia menyimpan pendapatnya sendiri dan membiarkan semuanya berjalan sesuai alurnya.
Kakaknya, Itachi, telah menjadi orang yang susah dijauhkan dari Sachio sejak balita itu lahir. Itachi selalu ingin menggendong Sachio dengan segala cara dan Sakura dengan senang hati membiarkannya. Biasanya, Itachi dan Mikoto akan berdebat tentang siapa yang akan menggendong Sachio segera setelah Sakura melangkahkan kaki masuk ke rumah Mikoto dengan Sachio di lengannya. Sakura hanya akan mencium kepala putranya, membisikkan cinta padanya, dan membiarkan dua Uchiha berdebat habis-habisan di ruang tamu. Sachio menganggap pertengkaran itu lucu. Suara mereka, alih-alih membuatnya takut, malah membuat balita itu tersenyum dan terkikik-kikik. Sudah pasti dia putra Sasuke. Pasti.
Memandang ke sekeliling ruangan, kini giliran Sakura untuk berbicara. "Aku hanya ingin memberitahu kalian semua betapa kami sangat menyayangi kalian dan terima kasih atas semua yang telah kalian lakukan untuk kami." Ia melangkah maju. "Tahun lalu sedikit rumit. Aku membayangkan menjadi ibu lebih mudah daripada yang sebenarnya. Tapi aku tahu bahwa cinta dan persahabatan kalian telah membuat semuanya lebih mudah. ​​Dan..." Sakura mulai terisak dan Sasuke memutar matanya di belakangnya. Ini lagi. Istrinya itu selalu menangis tentang sesuatu sepele belakangan ini. "...aku hanya ingin memberitahu kalian semua bahwa kami akan terus membutuhkan kalian, mungkin lebih dari sebelumnya... karena sekarang aku hamil lagi."
Ada desahan kolektif di seluruh ruangan, diikuti oleh jerit kebahagiaan dari Hinata. Mikoto mulai mengoceh pada Itachi tentang berbagi tugas mengasuh anak dan Kizashi berseri-seri dari tempatnya berdiri.
Sakura berbalik menghadap Sasuke, yang menatapnya, benar-benar terpana.
Sasuke berjalan ke samping Sakura dan lengannya segera mengitari pinggang istrinya, menariknya ke tubuhnya. "Apa kau yakin?"
Sakura mengangguk, "Aku pergi ke dokter kemarin. Kau akan menjadi ayah lagi dalam delapan bulan." ucapnya dan Sasuke dengan cepat mencium bibirnya. "Jadi, kau senang?" tanya Sakura gugup.
"Senang? Aku sangat bahagia!" Sasuke mencium Sakura lagi, hampir lupa daratan dengan kegembiraan saat satu pikiran melintas di otaknya. Satu pikiran, di tengah semua pikirannya yang campur aduk tentang rumah yang terlalu kecil atau berharap memiliki seorang anak perempuan, satu pikiran yang terus muncul. Ia merenungkan pikiran itu sejenak. Tidak, aku sama sekali tidak seperti ayahku.
Setelah mencium Sakura sekali lagi, ia mengangkat kepalanya untuk berbicara pada orang-orang di ruangan itu.
"Jadi bagaimana kalau kita menikmati makan siang dan kemudian memotong kue ulang tahun?"
***
The End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)