Chapter 18 - Daddy Issues
Meskipun Sakura memiliki tekad yang kuat, ia masih belum berani ketika harus berurusan dengan ayahnya dan sifatnya yang seperti baja. Akibatnya, hampir satu setengah minggu setelah ia membuat keputusan untuk berhadapan dengan ayahnya, ia baru benar-benar membawa dirinya melangkah melewati pintu-pintu megah dari rumah yang dulu pernah ia tempati, siap untuk 'memerangi' ayahnya itu.
Melangkah masuk ke dalam rumah megah masa kecilnya itu, hawa dingin yang sudah dikenalnya sepertinya segera mengalir ke dalam tubuhnya, menyebabkan Sakura bergidik. Rumah itu selalu sangat tidak nyaman, sebagian karena rumah itu sangat besar tapi sebagian besar karena tidak pernah benar-benar terasa 'rumah'. Tidak ada kaus kaki kotor tergeletak di sofa, tidak ada piring kotor yang menunggu untuk dibersihkan di bak cuci, tidak ada rambut yang menyumbat di saluran bak mandi, tidak ada noda di karpet, tidak ada tangga berderit yang membutuhkan perbaikan, tidak ada lubang bekas paku yag mengotori dinding. Singkatnya, rasanya seperti tidak ada yang pernah benar-benar tinggal di sana. Rumah itu tidak lebih dari sekedar pamer furnitur, karena itu Sakura perlu pindah ke tempat yang jauh lebih konservatif baginya untuk menyadari apa definisi 'rumah' sesungguhnya.
Langkah Sakura bergema di lantai marmer saat ia mendekati pintu ruang belajar ayahnya dengan takut-takut. Berdiri di depan pintu, ia mengambil napas dalam-dalam, mengepalkan tinjunya begitu erat sehingga buku-buku jarinya memutih. Mendorong pintu terbuka, ia menemukan ayahnya, yang seperti biasa, duduk di belakang mejanya.
Kizashi mendongak dan terkejut memandang wajah Sakura. Ia berdiri dengan cepat, melangkah keluar dari meja, dan berjalan menuju putrinya.
"Sakura. Kejutan yang sangat mengejutkan! Bagaimana kabarmu?" Matanya mengamati tubuh putrinya. "Kau terlihat sehat."
"Terima kasih, Tousan. Aku baik. Aku sering merasa lelah dan bayi ini sangat aktif ketika aku mencoba untuk tidur, tapi sejauh ini, aku baik-baik saja."
Kizashi menatap putrinya dengan tatapan tajam di wajahnya. Mata Sakura beralih ke lantai, kebiasaannya saat menghindari tatapan ayahnya. Kizashi memperhatikan bahwa pipi Sakura merona dan ia berpikir bahwa masa kehamilan sepertinya cocok untuk putrinya itu.
"Untuk apa aku berutang kehormatan ini?" Kizashi akhirnya bertanya setelah beberapa saat hening, yang bagi Sakura rasanya seperti sudah berjam-jam lamanya.
"Aku sebenarnya ke sini karena kita perlu bicara, Tousan."
Kizashi memberi isyarat agar Sakura duduk di sofa. Ia kemudian duduk di ujung yang lain, tidak yakin apa tujuan kunjungan Sakura, tapi ia senang melihat putrinya. "Aku akan mendengarkan," suara Kizashi terdengar halus dan tenang.
Kata-kata Sakura tercekat di tenggorokannya ketika ia berusaha mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan apa yang perlu ia katakan. Kizashi menyaksikan ekspresi wajah putrinya berubah dari gugup menjadi percaya diri dalam rentang hampir satu detik. Mata Sakura berkilat saat ia mulai berbicara dengan suara keras.
"Tousan, seperti yang kukatakan di email beberapa minggu yang lalu, aku sangat kecewa padamu. Aku tidak mengerti kenapa kau bertindak seperti itu."
Kizashi tersenyum pada Sakura. "Aku selalu punya alasan, Sakura."
"Kalau begitu tolong jelaskan padaku kenapa kau mencoba agar suamiku ditangkap karena narkoba, padahal dia tidak terlibat dengan hal itu! Kenapa kau melakukan itu padaku, Tousan? Kenapa kau melakukan itu padanya? Dia tidak pernah melakukan apapun untukmu selain menikahiku, atas permintaanmu, dan kemudian membelaku ketika kau mulai mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan..."
Kizashi akan berbicara, tapi Sakura menyela, "Aku belum selesai." Rahangnya mengeras lagi.
"Tapi ini lebih dari sekedar tentang Sasuke, Tousan. Sepanjang hidupku, kau telah memperlakukanku seperti partner bisnis, bukan anak-anak. Maksudku, kau dulu pernah mendiskusikan pasar saham denganku saat makan malam dan aku masih berusia delapan tahun! Tentu, kau mendukung hobiku, tapi kau tidak pernah, sekali seumur hidupku, kau melakukan hobi bersamaku. Tapi kemudian aku melakukan sesuatu yang bodoh dan aku hamil dan bukannya mendukung dan peduli tentangku, kau mulai terobsesi dengan 'reputasi Haruno yang harus dilindungi'. Selama situasi ini kau tak pernah bertanya padaku bagaimana perasaanku, apakah aku takut, atau bahkan apa yang aku inginkan. Sebaliknya, kau melemparkanku pada Sasuke, kau membayarnya sehingga dia mau bersamaku. Andai aku tidak begitu mencintainya sekarang hingga membuatku takut kehilangannya, aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi beruntung untukmu, dia adalah cinta dalam hidupku dan untuk 'memaksa kami bersama', aku akan mengucapkan terima kasih padamu. Tapi itu tidak mengubah alasan sebenarnya aku di sini, masalah tentang kendalimu padaku."
Kizashi merasa wajahnya menjadi panas karena marah. Sakura tidak pernah berbicara padanya dengan cara seperti ini. Ia telah membesarkan putrinya agar menjadi terhormat, dan selalu menghormati keinginannya tanpa pertanyaan. Suami Sakura rupanya menciptakan monster dalam diri putrinya.
"Aku tidak mengendalikanmu, Sakura. Aku hanya ingin memastikan semuanya terjadi dengan cara tertentu." Kizashi meletakkan tangannya di masing-masing pahanya, telapak tangannya basah karena emosi yang tidak diakuinya.
Sakura mendengus dan tersenyum miring seperti Uchiha. "Kau hidup hanya untuk mengendalikan semuanya. Setengah dari kota menyedihkan ini ada di bawah jempolmu."
"Jika maksudmu statusku yang dihormati setengah dari kota ini, maka kau benar."
Sakura bangkit dari duduknya di sofa kulit dan mulai berjalan mondar-mandir di seberang ruangan.
"Tapi Tousan, kenapa kau selalu memperlakukanku seperti salah satu warga rendahan, bukan sebagai anakmu?" Berbalik menghadap ayahnya, pelupuk mata Sakura penuh dengan air mata yang siap tumpah. "Aku putrimu, Tousan. Tidakkah kau berpikir bahwa kadang-kadang, yang aku butuhkan adalah pelukan dan bukan dekrit?"
Kizashi tidak tahu harus berkata apa dan terus terang, ia tahu bahwa Sakura tidak menunggu jawabannya.
"Tidak semua yang ada di dunia ini dapat diselesaikan melalui transaksi tertutup dan transaksi bisnis di bawah meja, kau tahu. Terkadang, kata-kata yang menghibur, tangan melingkar di bahu, ciuman di kening, atau mungkin hanya menepuk kepala akan lebih baik. Tapi tidak... sepanjang hidupku, selalu tentang 'membalas dendam' atau 'melindungi warisan keluarga'. Dan sekarang, coba tebak apa, Tousan? Aku tidak peduli dengan warisan keluarga ini. Aku punya keluarga baru. Dan itu satu-satunya yang akan kupedulikan. Dan kau bisa duduk di sini, marah, dan merencanakan balas dendam, tapi kau perlu mengingat satu hal yang sangat penting; kau yang memaksakan ini. Kau adalah satu-satunya alasanku menjauhkan diriku dari keluarga Haruno sampai kau bisa membuktikan bahwa kau benar-benar peduli."
Kizashi tergagap. Dadanya mengencang dan ia ingin berteriak pada Sakura tapi tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ketika melihat mata Sakura, ia benar-benar tidak memiliki pembelaan dan tidak bisa mengekspresikannya dengan benar.
Sakura duduk kembali dan menatap lurus ke mata ayahnya, berbicara dengan pelan. "Yang diinginkan seorang anak perempuan hanyalah sosok ayah yang menyayanginya."
"Bagaimana kau bisa mengatakan aku tidak menyayangimu?" Kizashi berdiri, nada suaranya meninggi ketika ia berbicara. "Aku telah melakukan semua yang kubisa untuk memastikan bahwa kau memiliki kehidupan terbaik. Jika itu tidak menunjukkan cinta, apa lagi yang harus dilakukan?"
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, Tousan. Sebuah pelukan, ciuman. Atau mungkin kata-kata 'aku menyayangimu' yang keluar dari mulutmu, bahkan sekali saja. Apa kau sadar bahwa kau tidak pernah mengatakan itu padaku sepanjang hidupku? Ayah macam apa dirimu?" Suara Sakura reflektif, diwarnai dengan rasa sakit dari masa kecil yang kesepian yang masih menghantuinya.
"Hanya karena aku tidak pernah mengatakan kata-kata itu bukan berarti aku tidak merasa seperti itu. Aku percaya bahwa seluruh hidupku adalah tentang melindungimu, dan keluarga ini, sehingga nama Haruno akan identik dengan kebaikan, kekuatan, dan kemampuan. Masa depanmu akan aman berkat kerja kerasku."
Sakura berdiri, bahunya merosot. Ia merasa lelah, seolah-olah semua yang ia katakan sekarang sudah terkuras darinya dan ia tidak punya apa-apa untuk diperdebatkan. Perdebatan ini sia-sia. Mencoba berunding dengan ayahnya sama saja seperti berbicara dengan patung batu. Dan ia tidak berniat tinggal lebih lama di sana mengenang dirinya seperti rekaman rusak. Yang ia ingin lakukan hanyalah pulang dan tenggelam dalam pelukan Sasuke karena pemuda itu tahu persis apa itu cinta dan tidak memiliki masalah untuk mengungkapkannya dalam banyak cara. Cinta itu membuatnya merasa hidup. Sasuke dan bayi ini adalah satu-satunya yang kumiliki... dan yang kubutuhkan.
Wajah Sakura berubah tanpa ekspresi saat ia berbicara. "Tousan, aku menyerah. Aku menyerah... Kau tidak akan pernah melihat bahwa ada lebih banyak hal dalam hidup ini daripada sebuah reputasi yang baik atau posisi publik yang patut dihormati." Sakura berbalik untuk pergi. Namun ia berhenti setelah beberapa langkah, dan kembali menoleh ke ayahnya. "Aku sudah selesai, Tousan. Sampai kau memutuskan untuk menyayangiku untuk apa dan untuk siapa aku, aku sudah selesai. Sampai kau tahu apa artinya menjadi sosok ayah yang sebenarnya, aku sudah selesai." Dengan ekspresi yang kuat, wajahnya kembali berwarna, ia berbalik dan menghilang dari pandangan ayahnya, menutup pintu ruang belajar di belakangnya dengan sedikit bantingan.
Kizashi melangkah mundur di mejanya, sarafnya terasa pecah karena pertengkaran ini, tapi tiba-tiba ia mendengar suara yang membuat darahnya menjadi dingin, sebuah jeritan yang mengerikan dan menyakitkan yang bergema di seluruh rumah besarnya, yang memantul di dinding. Beberapa detik setelah suara jeritan, bunyi dentuman yang memuakkan bergema mengisi udara rumah itu.
Beberapa saat kemudian, juru masaknya, Teuchi, berlari ke dalam ruangan, wajahnya panik. "Kizashi-sama!" Ia berteriak. "Sakura-chan jatuh dari tangga!"
"Sakura!" Kizashi segera meraih ponselnya, menghubungi nomor 911 seraya berlari menuju putrinya, napasnya memburu karena panik. Ia mulai berbicara pada operator di ujung telepon tepat saat ia menatap pemandangan putrinya di lantai di bagian bawah tangga, tidak sadarkan diri. Tubuh Sakura tampak tidak terluka tapi ada goresan besar di wajahnya, dari pelipis hingga hampir bagian rahangnya, kemungkinan besar karena berbenturan dengan tangga marmer. Mata Kizashi langsung beralih ke perut Sakura. Awalnya tampak tidak ada yang salah. Tapi kemudian, ketika ia membungkuk di samping Sakura, napasnya tercekik, ia melihat darah mulai merembes di celana putrinya di antara pahanya.
Ya Tuhan...
Beberapa menit kemudian, yang terasa seperti bertahun-tahun bagi Kizashi, suara sirene ambulan memenuhi jalan masuk rumahnya. Salah satu karyawan Kizashi membiarkan EMT masuk, yang bergegas membawa tandu. Mereka memeriksa Sakura selama beberapa menit, memeriksa tanda-tanda vitalnya dan memeriksa kesehatan bayi yang dikandungnya sebaik mungkin.
"Apa dia akan baik-baik saja?" tanya Kizashi pada petugas medis yang berada di dekatnya, suaranya bergetar.
"Sepertinya tidak ada yang patah. Tapi kepalanya mendapatkan beberapa goresan. Kekhawatiran kami fokus pada bayinya. Kami harus membawanya ke rumah sakit sekarang."
Mereka dengan cepat membaringkan Sakura, yang masih tidak sadarkan diri, ke tandu dan membawanya ke dalam ambulan. Kizashi masuk ke dalam ambulan juga dan duduk di samping putrinya. Ketakutan menguasai dirinya memikirkan cucunya yang belum lahir, ia meraih tangan Sakura dan memegangnya erat-erat selama perjalanan ke rumah sakit.
Begitu mereka tiba, Kizashi keluar dari ambulan dan menyaksikan petugas membawa putrinya itu masuk ke dalam. Ia mengeluarkan ponselnya lagi, jari-jarinya bergetar ketika ia mencari nomor telepon Sasuke. Menekan tombol 'panggil', terdengar dering tiga kali sebelum akhirnya Sasuke menjawab.
Di ujung sana, Sasuke tidak mengenali nomor itu, tapi ia tetap memilih untuk menjawab.
"Sasuke," Di ujung telepon Sasuke mendengar nada suara panik, napas yang memburu. "Ini aku Haruno Kizashi. Tolong, jangan ditutup. Ini... ini tentang Sakura."
Perut Sasuke terasa mengencang. "Ada apa dengan Sakura?"
"Dia... dia datang menemuiku dan ketika dia pergi... aku tidak tahu apa yang terjadi... tapi dia jatuh. Dia ada di rumah sakit sekarang."
Sasuke merasakan kepalanya mulai pusing. Titik-titik cahaya putih mulai mengaburkan penglihatannya, melenyapkan semua yang ia lihat. Sakura. Bayi mereka. Ya Tuhan...
"Apa dia baik-baik saja? Bagaimana dengan bayinya?" Sasuke berteriak di telepon ketika ketakutan paling mengerikan terasa membebani pangkal tengkoraknya dan menyebar ke seluruh tubuhnya sampai ia mengira dirinya akan jatuh karena beratnya.
Kizashi diam sebelum akhirnya menjawab. "Aku... aku tidak tahu. Tapi kau harus ke sini sekarang. Aku akan menemuimu di luar pintu darurat."
Naruto, yang berdiri beberapa meter jauhnya dari Sasuke, menyaksikan seluruh percakapan sepihak yang terjadi dan melihat wajah Sasuke pucat dan gemetaran. "Teme? Ada apa?"
Sasuke menatap Naruto dengan tatapan kosong, seolah-olah ia bahkan tidak melihat sahabatnya itu berdiri di sana. "Sakura... jatuh... bayinya... rumah sakit," suaranya pecah dan lemah.
Tanpa pikir panjang, Naruto meraih lengan Sasuke dan menariknya ke pintu. "Aku akan mengantarmu, Teme!"
Ketika Sasuke menjatuhkan dirinya ke dalam mobil Naruto, ia memejamkan mata dan memohon siapapun, apapun, yang ada di luar sana untuk mendengarkan. Tolong biarkan mereka berdua baik-baik saja. Tolong. Mereka adalah hidupku...
***
Mobil Naruto belum benar-benar berhenti saat Sasuke membuka pintu dan melompat keluar. Ia berlari cepat melintasi lapangan parkir menuju pintu masuk darurat Rumah Sakit Umum Shibuya.
Sesuai dengan kata-katanya, Kizashi berdiri di dekat pintu, meremas-remas tangannya sementara alisnya berkerut karena khawatir.
Sasuke segera berlari ke arah Kizashi, berteriak, "Dimana Sakura?" Suaranya terdengar sangat panik.
Kizashi menoleh, "Mereka baru saja membawanya pindah dari UGD ke ruang bersalin."
Sasuke memucat. "Ruang bersalin? Kehamilannya baru berusia 35 minggu! Dia belum siap!"
Wajah Kizashi tampak kacau, "Aku tahu... Kita harus segera ke sana." Meraih lengan Sasuke, Kizashi mulai menarik pemuda itu.
Sasuke menoleh ke belakang ke arah Naruto, ia berteriak, "Bisakah kau menelepon ibuku dan menyuruhnya ke sini? Tolong?"
"Siap, Teme!" Naruto melambaikan tangan, mulai memencet ponselnya.
Sasuke berlari ke lift, menekan tombol 'up' 15 kali sebelum pintu akhirnya terbuka. Ia dan Kizashi segera masuk ke dalam, menekan tombol '2', dan menunggu dengan tidak sabar ketika lift tampak berjalan naik menuju tujuan mereka. Rasanya seperti berjam-jam lamanya sampai lift berhenti dan pintu terbuka.
Ayolah! Sasuke nyaris tak menghentikan langkahnya ketika ia keluar dari lift dan membaca tanda untuk melihat ke arah mana ia harus melangkah. Begitu ia menemukannya, ia melangkah dengan kecepatan penuh, jantungnya berdebar kencang dan tangannya gemetar.
Sasuke berhenti di meja perawat. "Uchiha! Aku di sini untuk Uchiha Sakura!" Ia berteriak pada tiga perawat di belakang meja. Mereka semua mendongak ke atas, dengan mata terbelalak, pada pemuda rupawan yang nyaris seperti dewa yang berdiri di depan mereka.
Salah satu perawat yang lebih tua tersenyum pada Sasuke dan melangkah maju. "Apa kau suaminya?"
Sasuke mengangguk dengan tidak sabar.
"Kami sedang mempersiapkan istrimu untuk dioperasi sekarang."
"Bagaimana... bagaimana keadaannya?" Suara Sasuke bergetar sama seperti tangannya.
"Dia jatuh cukup buruk. Kami belum benar-benar menangani luka di wajahnya tapi kami akan segera melakukannya begitu kami berhasil mengeluarkan bayinya."
"Ya Tuhan... bagaimana keadaan bayinya? Tolong katakan padaku dia masih hidup?"
Perawat itu menjangkau ke seberang meja dan meraih tangan Sasuke, menepuknya untuk menenangkannya. "Dia sangat beruntung. Insiden yang dia alami melukai rahimnya dan membuat bayinya tertekan, tapi selama bayinya segera dikeluarkan, dia akan baik-baik saja." Saat itu, bel berbunyi. Menatap lampu yang berkedip, perawat itu berkata lagi, "Mereka memanggilku kembali ke ruang bersalin sekarang. Kami akan melakukan operasi sesar dan sayangnya, kami tidak bisa mengijinkanmu masuk ke sana karena ini sangat mendadak. Tapi tolong tetap di ruang tunggu dan kami akan keluar segera setelah kami mengurus istrimu."
Sasuke mengangguk bodoh, berbisik, "Terima kasih."
Ketika perawat itu melangkah pergi, Sasuke berbalik dan hampir berlari ke arah Kizashi. Sasuke meraih lengan pria paruh baya itu, "Apa yang sebenarnya terjadi? Aku bahkan tidak tahu dia akan ke rumahmu hari ini."
Kizashi menghela napas. "Sakura datang untuk berbicara dan... kami berdebat. Dia akhirnya marah padaku dan memberitahuku bahwa dia sudah selesai dengan hubungan kami. Dia kemudian pergi dan beberapa detik kemudian, aku mendengar teriakannya ketika dia jatuh dari tangga. Aku segera menelepon 911 dan mereka membawanya ke sini dalam waktu singkat."
Seluruh tubuh Sasuke bergetar ketika membayangkan istrinya yang hamil jatuh dari tangga. Ia tiba-tiba merasa sangat pusing. Menjatuhkan diri ke kursi, ia menundukkan kepalanya di antara kedua lututnya dan mencoba berkonsentrasi untuk bernapas. Menyadari bahwa perutnya terus bergejolak, ia berdiri dan berlari menuju toilet, di mana ia mengosongkan isi perutnya.
Setelah berkumur dan membasuhkan air dingin ke wajahnya yang sangat pucat, Sasuke menatap dirinya sendiri di cermin. Sakura dan bayi mereka harus baik-baik saja. Mereka sudah sampai sejauh ini dan sudah menanggung banyak hal hanya untuk kehilangan semuanya sekarang. Sakura dan bayi itu sangat berarti baginya dan mereka harus baik-baik saja. Sambil menguatkan diri melawan emosinya yang mengamuk, ia mencengkeram wastafel, menarik napas panjang, dan berjalan kembali ke ruang tunggu.
Naruto sekarang berdiri bersama Kizashi dan mereka berdua menatap pintu toilet, menunggu Sasuke.
"Kau baik-baik saja?" tanya Naruto, meletakkan tangannya di bahu Sasuke. Tapi sahabatnya itu hanya menggelengkan kepalanya dan menjatuhkan diri ke kursi lagi.
"Ibumu, kakakmu, Ino, dan Hinata-chan sedang dalam perjalanan ke sini," ucap Naruto.
Sasuke mengangguk, menatap pintu ruang bersalin.
"Apa kau butuh sesuatu, Nak?" tanya Kizashi.
Sasuke mengernyit mendengar panggilan Kizashi, tapi pria paruh baya itu rupanya tak menyadarinya. Sasuke tidak yakin Kizashi bahkan menyadari apa yang baru saja dikatakannya, karena untuk sekali ini, Sasuke dapat mengatakan bahwa Kizashi benar-benar cemas dengan keadaan Sakura. Waktu yang tidak tepat untuk memutuskan peduli dengan putrimu.
"Tidak, aku baik-baik saja." Kemudian Sasuke dengan cepat menambahkan, "Terima kasih."
Ketiga lelaki itu duduk diam, semuanya khawatir dan terlalu lemah untuk berbicara. Tiba-tiba, langkah Mikoto yang sangat keras, yang bergegas menyusuri lorong setelah keluar dari lift, menyela ketenangan pikiran mereka. Itachi membuntuti di belakangnya, mengikuti langkah cepat ibunya. Melihat Sasuke, Mikoto menjatuhkan tasnya dan berlari ke arah Sasuke, menarik putranya ke dalam pelukan yang sangat erat.
"Bagaimana dia? Bagaimana kabar Sakura-chan?" tanya Mikoto di bahu Sasuke.
"Dia sedang di ruang bersalin sekarang."
Mikoto menarik dirinya kembali, tangannya dengan kuat mencengkeram bahu Sasuke. "Bersalin? Bayinya? Ini terlalu cepat!"
"Rahimnya terluka ketika dia jatuh. Bayinya dalam kesulitan, menurut perawat. Jadi mereka harus mengeluarkannya sekarang atau... atau... kita akan kehilangan dia." Saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, Sasuke menggelengkan kepalanya dengan tak percaya. Dibalik pintu itu, putranya akan datang ke dunia. Putranya... Anaknya dan Sakura... Tapi apakah dia akan hidup ketika dia sampai di sini? Sasuke menggelengkan kepalanya, menyingkirkan pikiran negatif. Bayi itu adalah seorang Uchiha dan Uchiha harus berhasil melawan apapun!
Mikoto menarik dirinya dari pelukan putranya dan dengan anggukan singkat pada Kizashi, ia duduk di kursi. Perlahan Itachi berjalan mendekati Sasuke, melingkarkan lengannya di pundak adiknya, dan memeluknya dengan cepat sebelum menarik diri untuk duduk di samping ibunya. Naruto mendongak, mendengar bunyi langkah di lantai, dan ia berjalan ke arah Hinata yang datang bersama Ino.
"Bagaimana dengannya?" tanya Hinata.
Dengan nada tenang, Naruto menceritakan ulang segalanya pada Ino dan Hinata, yang matanya langsung beralih ke arah Sasuke. Ada garis-garis kekhawatiran di sekitar mata kedua gadis itu.
Berjalan menghampiri Sasuke, Ino memeluknya dan menepuk pipi pemuda itu. Menatap ke mata Sasuke yang terluka, ia berbisik, "Mereka akan baik-baik saja. Aku yakin itu."
"Kuharap kau benar, Ino."
Mereka semua duduk dengan gelisah di ruang tunggu, sangat tidak nyaman. Setiap kali pintu terbuka, Sasuke bangkit dari kursinya. Menyadari bahwa ia tidak mendapatkan berita apapun dari orang yang keluar dari sana, ia akan duduk kembali seraya menatap orang itu dengan pandangan penuh kebencian. Ia mengusap rambutnya, meregangkan tubuh, dan mendesah keras. Pada saat yang sama, beberapa orang datang ke ruang tunggu untuk menunggu kelahiran keluarga mereka dan mereka semua tersenyum bahagia. Sasuke rasanya ingin meninju mereka semua. Bagaimana bisa mereka tersenyum seperti orang idiot ketika seluruh hidupnya tergantung pada hasil di balik pintu besi bodoh itu?
Setelah hampir satu jam berlalu, Sasuke berdiri dan menendang kursinya hingga bergeser jauh. Orang-orang yang tersenyum bahagia di sisi lain ruangan itu berbalik menatapnya, jelas terkejut. "Bullshit. Apa yang membuat mereka begitu lama?"
Mikoto menatap Sasuke dengan tatapan meyakinkan. "Operasi sesar membutuhkan waktu. Ditambah lagi mereka harus memeriksa rahim Sakura-chan dan organ-organ di sekitarnya untuk kemungkinan pendarahan internal. Bersabarlah, Sasuke... Aku yakin mereka baik-baik saja."
"Fuck," umpat Sasuke.
Kizashi, yang duduk diam sepanjang waktu, akhirnya berdiri. "Sasuke, aku akan segera kembali. Aku akan pergi mencari beberapa informasi agar kita bisa mendapatkan kabar Sakura di dalam."
Kizashi melangkah pergi dan Sasuke memutar matanya karena ia tahu bahwa Kizashi akan mencoba menggunakan reputasinya untuk mengorek informasi. Tapi, shit, jika itu tentang Sakura dan bayinya, ia tidak akan menghalanginya.
Menit-menit berlalu seperti berjam-jam lamanya ketika Sasuke memandangi lorong ke arah Kizashi menghilang. Ketika pria paruh baya itu kembali, dia memasang senyum di wajahnya. "Kau akan bisa melihatnya dalam beberapa menit. Dia sudah dipindahkan dari ruang pemulihan dan mereka berdua berada di ruangan lain sekarang."
Sasuke merasa seperti ditinju di bagian perutnya. "Mereka? Anakku... dia baik-baik saja?"
Kizashi meletakkan tangannya dengan kuat di bahu Sasuke. "Putramu baik-baik saja."
Kelegaan menerpa tubuh Sasuke seperti angin dingin. Pandangannya kabur saat air mata mulai menggenang. "Terima kasih," ucap Sasuke, tatapannya terkunci pada Kizashi.
Kizashi mengangguk dan duduk di samping Mikoto lagi. Kali ini Mikoto tersenyum pada pria paruh baya itu, bukan melotot seperti sebelumnya.
Pintu terbuka dan perawat yang sama yang berbicara dengan Sasuke sebelumnya mendekatinya. "Uchiha-san? Ikuti aku."
Sasuke berada di belakang perawat itu dalam sekejap, hampir menginjak tumit perawat itu saat ia dibimbing ke aula dan melewati beberapa ruangan. Di dekat ujung aula, perawat itu berhenti dan memberi isyarat pada Sasuke.
"Mereka ada di sana." Sambil tersenyum, perawat itu menepuk pundak Sasuke, "Selamat, kau menjadi ayah."
Sasuke merasa kakinya berubah menjadi jeli. Ia pusing, takut, sekaligus sangat bahagia hingga ia tidak bisa bernapas. Ia berhenti di dekat pintu, melihat ke dalam melalui celah kecil. Ia terkesiap ketika melihat Sakura, yang wajahnya tampak memar tapi masih tetap cantik.
"Sasuke-kun," panggil Sakura gugup ketika ia melihat Sasuke mengintip dari celah pintu.
Sasuke mendorong pintu terbuka. Sakura sedang bersandar di ranjang, perban besar menutupi luka di wajahnya. Di lengannya ada buntelan selimut. Saat ia berjalan maju perlahan, ia memperhatikan buntelan selimut itu bergerak sedikit dan kemudian ia melihat kepalan sebuah tangan mungil muncul dari selimut biru itu dan menjangkau ke udara kosong.
"Holy fuck," bisik Sasuke, langkahnya goyah ketika matanya tertuju pada tangan mungil itu. Ia sedikit berlari ke depan, dan melingkarkan lengannya di bahu Sakura. Mencium bibir gadis itu, dan ia melihat ke bawah, untuk pertama kalinya, ke mata putra mungilnya. Bayi itu menatapnya, dengan mata kecilnya yang bulat. Pandangan Sasuke tiba-tiba menjadi kabur lagi dan air mata tanpa malu-malu mengalir di wajahnya. Sakura mengangkat bayi itu dari tubuhnya dan memberi isyarat agar Sasuke menggendongnya.
Dengan hati-hati, Sasuke menyelipkan buntelan kecil itu ke dalam pelukannya. Pada awalnya, ia tidak dapat berbicara. Ia akhirnya berhasil mengalihkan pandangannya dari putranya dan memandang ke arah Sakura. "Apa dia baik baik saja?"
Sakura mengangguk. "Dia masih terlalu kecil dan harus tinggal di rumah sakit selama beberapa hari, tapi dia baik-baik saja. Lebih tepatnya, dia sempurna." Sakura menatap mata Sasuke. "Dan dia mirip denganmu."
Sasuke menghembuskan napas lega. Berjalan ke kursi, ia duduk, matanya tidak pernah berpaling dari putranya.
Membungkuk, ia menekankan hidungnya ke kepala kecil putranya dan menghirup aromanya. Menatap anaknya dengan lembut, ia berbisik, "Hei, buddy. Aku papamu. Aku sudah menunggumu di sini."
Dari ranjang, Sakura menyaksikan suaminya menangis ketika menggendong putra mereka. Air matanya sendiri mengalir di pipinya karena ia tidak percaya bahwa bayi itu ada di sini. Manusia mungil yang telah mereka ciptakan dalam keadaan yang paling buruk, tapi telah menyebabkan perubahan kehidupan revolusioner bagi dua orang bahkan sebelum berhasil lahir ke dunia. Dan sekarang bayi itu akhirnya sampai di sini, menghirup udara yang sama seperti dua orang yang akan mencintainya dan melindunginya seumur hidupnya. Sakura tidak percaya ia akhirnya bisa menyentuhnya, memeluknya, dan bernyanyi untuknya.
Sasuke menatap Sakura, tersenyum dengan air mata kebahagiaan, "Aku mencintaimu, Sakura. Terima kasih."
Menyeka air matanya, Sakura tersenyum, jantungnya berdebar dengan cinta yang luar biasa yang ia rasakan untuk pemuda yang terisak beberapa meter darinya dan bayi mungil yang menggeliat di lengan kuat pemuda itu. "Jadi sekarang kita sampai pada bagian yang paling sulit. Apa, tepatnya, kita akan menamai putra kecil kita?"
***
To be continued
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)