expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

To Have and To Hold #17


Chapter 17 - Surat


Sasuke menatap lantai, kepalanya masih tersembunyi di kedua tangannya, sementara Sakura memegang surat dari Uchiha Fugaku di tangannya yang gemetaran dan mulai membaca.
Sasuke,
Jika kau membuka surat ini sebelum membuangnya, aku akan sangat bersyukur. Ibumu memberitahuku tentang istrimu dan bayimu. Aku hanya ingin mengucapkan selamat. Seandainya aku tidak tahu tentang itu, aku tidak akan mengirimimu surat sekarang. Tapi Sasuke, aku ingin memberitahumu beberapa hal dengan harapan kau akan menjadi lebih baik daripada diriku.
Aku persis di usiamu sekarang ketika kakakmu dilahirkan. Ibumu dan aku masih muda dan belum siap menjadi orang tua. Tapi kami melakukan yang terbaik yang kami bisa. Dan bahkan sekarang, aku tidak dapat menjelaskan mengapa aku pergi. Sebelum aku bertemu ibumu dan dia akhirnya hamil, aku sering berkeliaran dan bermain dengan banyak wanita. Aku menghabiskan sebagian besar remaja dan usia 20-anku untuk memuaskan diriku sendiri. Ketika kakakmu lahir, aku berusaha sangat keras untuk menjadi pria berkeluarga tapi aku merasa itu bukan kehidupan bagiku. Aku menyukai sensasi menantang dan sentuhan wanita yang berbeda setiap malam untuk benar-benar tenang. Ketika aku tahu bahwa ibumu hamil lagi, aku ketakutan. Dan setelah aku pergi, aku terlibat dengan masalah serius, itulah sebabnya aku di penjara sekarang. Aku kecanduan kokain dan satu-satunya cara untuk mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhanku adalah dengan membobol sebuah toko. Masalah menjadi lebih buruk ketika seorang pria di toko itu meninggal. Jadi sekarang aku di penjara dengan banyak waktu luang di tanganku dan itu membuatku berpikir keras.
Aku menulis surat ini untuk memberitahumu bahwa kau beruntung dan aku harap kau bisa menjadi orang tua yang lebih baik daripada diriku. Aku memikirkanmu dan kakakmu sepanjang waktu. Maaf aku ayah yang menyebalkan. Ingatlah bahwa kau harus menjadi dirimu sendiri. Kau tidak bisa memaksakan dirimu menjadi seseorang yang bukan dirimu, itulah yang aku coba lakukan ketika aku menikahi ibumu. Jelas, itu tidak berjalan dengan baik.
Aku tidak berharap untuk mendengar balasan darimu dan aku tidak akan menyalahkanmu. Tapi jika kau ingin menulis balasan untukku, ibumu memiliki alamatku.
Uchiha Fugaku
Tanpa berkata-kata, Sakura mengembalikan surat itu pada Sasuke, pikirannya terguncang.
"Kau sudah selesai?" tanya Sasuke dengan pelan, berdiri.
Sakura mengangguk, memperhatikan Sasuke yang melangkah ke pintu.
"Sasuke-kun? Kau mau kemana?" Suara Sakura satu oktaf lebih tinggi dari biasanya berkat kegugupan yang dirasakannya. Ia menatap punggung Sasuke yang tegang, memperhatikan bahwa bahu suaminya itu tampak kencang. Bahkan, seluruh tubuhnya tampak kaku, seolah siap untuk berubah ke mode bertarung.
Sasuke berbalik dan menatap Sakura. "Menemui ibuku sialan karena memberikan ini... bajingan ini... alamatku."
Berbalik kembali, Sasuke menarik pintu terbuka dan melangkah ke luar. Sakura segera menyusul. Ia tidak akan membiarkan Sasuke menemui Mikoto sendirian, terutama dalam keadaan emosional yang jelas-jelas di alami suaminya saat ini.
Sasuke mendorong pintu rumah ibunya hingga terbuka 90 detik kemudian dan matanya memandang sekeliling ruang tamu, mencari ibunya. Ia mendengar beberapa piring berdenting dan segera menerobos masuk ke dapur. Mikoto berbalik dan tersenyum pada Sasuke, tapi senyumnya menghilang dari wajahnya ketika ia melihat tatapan tajam di wajah putranya dan kekhawatiran yang menyelimuti mata Sakura.
"Sasuke? Apa kau baik-baik saja?" tanya Mikoto pelan.
Sasuke melangkah maju ke meja dapur, membanting surat itu dengan keras hingga membuat laci di bawahnya bergetar.
"Apa kau akan memberitahuku..." ucap Sasuke dengan gigi terkatup, "...alasanmu memberikan pada keparat itu alamat rumah kami? Apa yang kau pikirkan?"
Mikoto memucat, rahangnya kendur. Melangkah maju, ia mendekati Sasuke dan meletakkan tangannya di lengan putranya itu. Sasuke menyentaknya, melangkah mundur. Napasnya memburu, kemarahan melanda setiap pori-porinya saat ia menatap ibunya, menunggu jawabannya.
"Aku... aku minta maaf, Sasuke. Fugaku ingin menulis surat padamu dan pada saat itu keadaan sedang berkecamuk, jadi aku memberikannya begitu saja. Aku tidak berpikir apakah ini akan baik-baik saja..." mata Mikoto beralih ke arah Sakura, yang berdiri diam beberapa kaki di belakang Sasuke, memperhatikan punggung suaminya dengan seksama.
"Sudah berapa lama kau berhubungan dengannya?" Sasuke menuntut.
"Dia mengirimiku surat dari penjara sekitar setahun yang lalu," jawab Mikoto pelan.
"Dan menurutmu, tak masalah berbicara dengannya? Kaasan! Dia meninggalkan kita! Dan sekarang dia di penjara karena membunuh seorang pria? Apa yang kau pikirkan?"
Mikoto menggelengkan kepalanya. "Maaf, Sasuke. Aku... dia... dia hanya ingin menulis surat untukmu, untuk meminta maaf."
Sasuke berjalan kembali ke meja, mengambil surat itu lagi. Kemudian berbalik, dan berjalan keluar ruangan.
"Sasuke! Kau mau pergi kemana?" Mikoto mengejar putranya.
"Jauh darimu," ucap Sasuke pahit, berjalan melewati pintu depan.
Mikoto melirik Sakura, yang matanya basah. "Aku akan berbicara dengannya," bisik Sakura, melangkah cepat keluar pintu mengejar suaminya yang sangat marah.
Pada saat Sakura berhasil menyusul Sasuke, pemuda itu telah naik ke mobilnya. "Sasuke-kun! Tunggu!" panggil Sakura, berlari menuju mobil suaminya.
Sasuke berhenti, tubuhnya setengah berada di dalam mobil, ia menoleh ke arah Sakura.
"Apa... Apa yang kau lakukan?"
"Pergi jalan-jalan," Sasuke membentak Sakura. Ketika Sakura berjengit kaget, Sasuke merasakan sedikit penyesalan dan sedikit merendahkan nada suaranya. "Aku hanya perlu menjernihkan kepalaku. Aku akan kembali nanti." Menggeser tubuhnya lebih ke dalam, ia menutup pintu, menyalakan mobil, dan mundur dari jalan masuk.
Sakura mengawasi Sasuke pergi, tidak yakin harus berbuat apa. Ketika lampu belakang mobil suaminya tak terlihat lagi, ia masuk ke dalam rumah, air mata kekhawatiran mengalir di pipinya.
***
Sasuke berkeliling selama berjam-jam sebelum akhirnya berhenti di sebuah taman. Ia keluar dari mobil, membanting pintu begitu keras hingga kacanya berguncang, dan berjalan ke bangku taman terlepas dari kenyataan bahwa sekarang sudah malam hari dan taman itu sangat sepi.
Menjatuhkan tubuhnya ke bangku taman, Sasuke mengumpat pada dirinya sendiri. Tiga belas tahun, pikirnya. Tiga belas tahun dan dia baru menghubungiku sekarang...
Sasuke memikirkan kata-kata ayahnya. Orang tua muda. Memuaskan dirinya sendiri sepanjang waktu. Bercinta dengan banyak wanita. Sensasi menantang. Kata-kata itu berputar-putar di kepala Sasuke, menggali dan menusuk sampai mereka mengakar sangat dalam. Sebanyak apapun ia mencoba untuk mengabaikannya, satu pikiran terus muncul kembali di kepalanya; ia persis seperti ayahnya.
Seumur hidupnya, Sasuke ingin menjadi apapun kecuali seperti Uchiha Fugaku, hanya untuk menghindari kenyataan bahwa ia putra ayahnya. Ia tidur dengan wanita berbeda-beda. Ia membuat seorang gadis hamil dan menikahinya. Dammitaku adalah ayahku. Pikiran itu membuat perut Sasuke bergejolak.
Wajah Sakura menari-nari di otaknya, membuat Sasuke nyaris mual karena rasa bersalah. Apa ia akan melakukan hal yang sama pada Sakura? Apa ia akan bangun di suatu hari nanti dan memutuskan ia tidak bisa bersama Sakura dan anak mereka dan pergi begitu saja? Itulah yang dilakukan ayahnya, meskipun ibunya sangat mencintai ayahnya. Apa ia akan melakukan itu pada Sakura? Apakah ia, pada suatu hari, bangun dan memutuskan ia tidak ingin berada di dekat Sakura lagi dan meninggalkan gadis itu sendirian di dunia? Ia adalah ayahnya?
Fuck.
Sasuke berdiri dari bangku dan mulai berjalan mondar-mandir. Otaknya hampir tidak dapat membentuk pikiran yang koheren ketika darahnya terus mengamuk di dalam nadinya. Sebaliknya, gambar-gambar dari masa kecilnya melintas di benaknya. Ayahnya meneriaki ibunya. Ibunya menangis. Ayahnya semakin jarang pulang sampai dia benar-benar tidak pernah kembali. Menangis sendiri di kamar ketika masih kecil, berharap ayahnya akan datang berkunjung untuk merayakan ulang tahunnya.
Rasa panik mengalir cepat melewati tubuh Sasuke ketika ia membayangkan Sakura yang sedang hamil. Bayi itu adalah putranya... Apakah siklus Uchiha yang penuh dengan kekacauan ini akan terus berlanjut, diturunkan dari generasi ke generasi seperti warisan atau kutukan keluarga? Sasuke jatuh kembali ke bangku taman, empedu naik ke tenggorokannya. Apakah ia akan meninggalkan bayi itu, terlepas dari kenyataan bahwa saat ini, pada saat ini, ia menyayangi bayi itu lebih dari hidupnya sendiri bahkan sebelum ia bertemu dengan bayi itu?
Sasuke bersandar ke belakang dan menatap bintang-bintang. Aku bukan Uchiha FugakuAku tidak bisa membiarkan diriku menjadi seorang pria yang tidak berharga seperti ayahku sekarang.
Berdiri dengan kaki letih, jantungnya begitu berat hingga rasanya berdebar dari suatu tempat di dekat perutnya. Ia adalah ayahnya. Kesamaan antara dua kehidupan mereka sampai saat ini sangat jelas, hingga membuatnya nyeri.
***
Sasuke melangkah masuk ke rumahnya yang telah gelap pada pukul 11:30 malam. Membuka pakaiannya, ia dalam diam naik ke tempat tidur di sebelah sosok Sakura yang tampak tenang. Begitu Sasuke berbaring, Sakura berbalik menghadap suaminya itu.
"Apa kau baik-baik saja?" Sakura berbisik dalam kegelapan.
"Aku tidak ingin membicarakannya," jawab Sasuke dingin.
Jantung Sakura terasa berdetak kencang karena kata-kata dingin suaminya. "Sasuke-kun, kita harus membicarakannya." Ia bergeser lebih dekat pada Sasuke, meraih tubuh suaminya dalam upaya untuk menghiburnya. Sasuke tersentak ketika Sakura menyentuhnya.
"Tidak malam ini, Sakura." Sasuke berbalik ke samping, membelakangi Sakura.
Sakura menatap ke depan, tak percaya bahwa Sasuke menolaknya. Fakta bahwa Sasuke menolaknya seolah membakar perutnya. Sasuke adalah pria yang secara fisik tidak pernah mengatakan tidak pada sentuhannya. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik memunggungi Sasuke. Air mata mengalir di pipinya, ia menatap kegelapan, berharap Sasuke akan berubah pikiran dan menoleh padanya dan memeluknya, sampai akhirnya rasa lelah memaksanya untuk tidur.
***
Ketika Sakura bangun keesokan paginya, tempat Sasuke tidur sudah dingin. Bangkit dari tempat tidur secepat perut hamilnya mampu dan mengecek sekeliling rumah tapi Sasuke sudah pergi.
Dengan hati berat, Sakura berganti pakaian dan melangkah ke lantai bawah. Ia berjalan ke luar rumah dan menuju rumah Mikoto.
Mengetuk pelan, Sakura mendorong pintu terbuka. Mikoto sedang duduk di sofa, menatap ke ruang kosong. Matanya bengkak dan hidungnya merah.
"Kaasan," ucap Sakura, "Apa kau melihat Sasuke pagi ini?"
Mikoto menggelengkan kepalanya, mengusap tisu ke hidungnya. "Aku belum melihatnya sejak dia pergi dari sini dalam kondisi marah kemarin."
"Oh," desah Sakura, sedih. Ia duduk di sebelah Mikoto di sofa. "Dia pulang larut malam kemarin lalu pergi saat aku bangun pagi ini. Dia juga tidak mau berbicara denganku semalam." Ketika ia berbicara, ia tersedak air matanya yang masuk ke tenggorokannya. Mikoto melingkarkan lengannya ke arah Sakura, menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
"Jangan sedih. Setiap kali dia kesal pada sesuatu, dia akan menarik diri dan tidak akan berbicara sampai dia merasa siap dan lebih baik. Tapi dia pasti akan berbicara... Jika nanti dia siap berbicara pada seseorang, seseorang itu adalah kau karena dia mencintaimu."
"Aku harap kau benar." Sakura memeluk Mikoto dengan cepat dan kemudian pamit pulang. Ia tidak akan duduk dan menunggu Sasuke hari ini. Ketika Sasuke siap, pemuda itu akan mendatanginya.
Sakura menghabiskan siang harinya dengan Ino, yang mengalihkan pikirannya dari masalahnya dengan mengajaknya menonton film penuh air mata lalu berjalan-jalan keluar untuk makan pizza yang membuat bayinya sangat bahagia—Oke, sebenarnya membuat Sakura bahagia.
Ketika Sakura sampai di rumah, langit sudah hampir gelap. Ia hampir menangis lega ketika melihat mobil Sasuke ada di halaman.
Berjalan ke dalam rumah, Sakura mengecek di setiap ruangan sebelum akhirnya ia menemukan Sasuke duduk di lantai kamar anak, diam-diam memetik gitarnya. Membuka pintu lebar-lebar, Sakura bersandar pada kusen. Sasuke mendongak, onyx Sasuke bertemu dengan mata Sakura yang khawatir, dan kemudian kembali menatap gitarnya.
"Sasuke-kun, bicara padaku."
Sasuke mengabaikan Sakura. Sebagai gantinya, ia terus memetik gitarnya.
Tidak menyerah, Sakura berbicara lagi. "Aku tidak akan pergi sebelum kau berbicara padaku."
"Aku tidak mau bicara," Sasuke menggeram. "Aku ingin mengatasi masalah ini sendirian."
Sakura menghela napas, kemarahan menguasai tubuh kecilnya. "Coba pikirkan, kau tidak sendirian lagi dan kau harus berbicara denganku tentang hal ini. Dan kurasa bersikap buruk padaku tidak akan membuatmu merasa lebih baik."
Sasuke meringis mendengar kata-kata Sakura. Ia menjadi brengsek bagi istrinya. Ya, ia tidak bisa menyangkalnya. Tapi bagaimana ia harus berbicara dengan Sakura tentang ini? Ini adalah hal yang paling pribadi, hal yang paling mengerikan untuk dibayangkan ketika ia tiba-tiba menemukan bahwa hidupnya mencerminkan orang yang paling dibencinya.
Sakura merendahkan tubuh hamilnya dengan hati-hati ke lantai sehingga ia bisa menatap mata Sasuke. "Aku tidak akan menyerah. Reaksimu untuk ini terlalu konyol dan aku tidak akan mentolerirnya lagi."
Konyol? Apa Sakura bercanda? Sasuke memelototi istrinya. "Reaksiku terhadap hal ini adalah benar. Bagaimana seandainya kau suatu hari mengetahui bahwa kau persis seperti ayahmu, yang kita berdua tahu adalah omong kosong yang tidak berharga? Bagaimana perasaanmu?"
Sakura menatap tajam. "Aku tahu aku tidak seperti ayahku. Dan kau tahu apa? Kau tahu, jauh di lubuk hatimu, kau juga tidak seperti ayahmu."
"Bagaimana kau bisa mengatakan itu?" Sasuke meletakkan gitarnya ke samping dan dengan marah mengacak rambutnya. "Kau membaca surat sialan itu. Aku bisa membayangkannya! Aku tidur dengan banyak wanita, aku membuatmu hamil, kita menikah. Yang tersisa hanyalah untuk pergi dan meninggalkanmu lalu aku akan menyelesaikan siklus sialan itu!"
Mendengus, Sakura memegang lengan Sasuke erat-erat. "Kau bodoh, Uchiha Sasuke. Kau harus berjalan kembali ke kamar mandi dan melihat dirimu di cermin dengan baik. Maka mungkin kau akan melihat apa yang kulihat; Seorang pria baik yang mungkin memiliki beberapa kekurangan tapi dia sangat mencintaiku dan bayi ini, dan dia tidak akan pergi."
"Tapi kau tidak tahu!" Sasuke berteriak. "Ayahku mencoba menjadi pria berkeluarga dan lihat apa yang terjadi padanya?"
"Ya, aku tahu itu."
"Bagaimana?" tanya Sasuke, suaranya lebih rendah dan matanya memancarkan kebingungan, hampir putus asa mendengar jawaban istrinya.
"Kau punya kesempatan untuk memiliki banyak uang dengan bersamaku. Tapi kau memilih untuk membuang uang itu sehingga kau bisa memilikiku tanpa campur tangan orang lain. Jadi coba pikirkan, itulah yang membuatmu berbeda. Apa kau pikir ayahmu akan melakukan itu jika dihadapkan dengan uang? Kau MEMILIH hidup ini bersamaku ketika kau bisa saja pergi. Dan aku tahu kau tidak akan meninggalkanku sekarang ketika kau bisa pergi sejak kemarin-kemarin."
Menutup matanya, Sasuke menarik napas panjang. Ketika ia berbicara kembali, suaranya sangat tenang. "Aku hanya tidak tahu bagaimana kau bisa memiliki begitu banyak kepercayaan padaku ketika aku tidak memiliki satu pun dalam diriku. Kita belum saling mengenal lama. Bagaimana kau bisa yakin bahwa akulah pria yang kau pikirkan itu? Kau bisa saja bangun besok pagi dan aku telah pergi."
Kedua tangan Sakura menangkup wajah Sasuke. Begitu mata mereka saling menatap, ia mulai berbicara. "Aku bisa yakin 25 tahun dari sekarang bahwa kau akan tetap ada di sampingku. Aku percaya padamu karena aku mencintaimu. Kau telah mengubah hidupku selamanya. Apa kau tahu betapa kesepiannya aku sebelum ada dirimu? Hidupku sangat menyedihkan... mengejar pendidikan dan melakukan apapun yang ayahku katakan padaku adalah seluruh duniaku, tapi sekarang, kau dan bayi ini adalah alasanku bangun setiap pagi, kau adalah alasanku bebas dari kendali ayahku, kau adalah alasanku bisa tidur nyenyak di malam hari, meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, terlepas dari apa yang terjadi, aku hanya tahu bahwa kau akan terus berada di sisiku."
Mata Sasuke tertutup lagi dan kepalanya jatuh ke depan, keningnya bertemu dengan kening Sakura. Ia merasakan tubuhnya rileks saat ketenangan mulai mengalir perlahan di setiap ototnya yang tegang. Perlahan, lengannya melingkar di pinggang Sakura dan menarik gadis itu ke arahnya. "Aku tidak pantas untukmu," bisik Sasuke, matanya terpejam erat.
Menatap wajah Sasuke yang tampan, Sakura melihat cairan di sudut mata suaminya itu. Ia memberikan ciuman lembut di setiap kelopak mata Sasuke sebelum berlutut dan menarik kepala Sasuke ke dadanya.
"Kau pantas mendapatkanku dan kau akan terus terikat denganku," bisik Sakura di rambut hitam Sasuke.
"Aku mencintaimu, Sakura," suara Sasuke terdengar lemah dan penuh emosi saat ia berbicara.
"Aku tahu itu, Sasuke-kun."
"Bahkan jika aku seperti dia, itu tidak berarti aku harus berakhir dengan cara yang sama. Aku tidak akan pernah pergi. Aku ingin menjadi pria yang kau lihat ketika kau melihatku."
"Aku juga tahu itu."
Sasuke memeluk Sakura erat malam itu, bercinta dengan gadis itu seolah-olah ia belum menyentuhnya selama berbulan-bulan. Ketika Sasuke tertidur, tangan Sakura dengan lembut mengusap kepala pemuda itu, seraya berpikir tentang semua peristiwa yang telah terjadi.
Kejadian dengan Uchiha Fugaku ini telah membuat satu hal sangat jelas bagi Sakura; sudah saatnya ia berhadapan dengan ayahnya sendiri dan menyelesaikannya.
***
To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)