Chapter 15 - Matchmaker
"Jadiii?" tanya Naruto pada Sasuke dengan alis terangkat dan ekspresi bertanya-tanya menghiasi wajah tampannya yang kekanak-kanakan. Hari itu adalah hari Senin pagi dan kedua pemuda itu kembali bekerja. Sasuke dan Sakura telah kembali dari akhir pekan mereka yang bahagia di Hamamatsu malam sebelumnya dan Naruto memperhatikan bahwa ada kesombongan ekstra dalam langkah sahabatnya pagi itu, melebihi kesombongan sebelum-sebelumnya.
Sasuke berpura-pura polos. "Apa, Dobe?"
"Bagaimana akhir pekanmu?" Naruto jelas kesal pada Sasuke yang mempermainkannya.
Sasuke menyeringai, mengingat kembali akhir pekannya tentang seks, hal romantis, berbelanja, seks, makanan enak, berjalan-jalan, dan seks. "Luar biasa, Dobe. Luar biasa..."
"Jadi, kurasa dia menyukai cincin itu?"
Shit, ya Sakura menyukai cincinnya. Gadis itu meniduri Sasuke dengan sangat liar setelah mendapatkan cincin itu. Siapa yang tahu cincin bisa menjadi afrodisiak?
"Dia menyukai cincin itu. Aku perlu berterima kasih pada Hinata karena membantuku memilihnya." Ketika Sasuke mengucapkan nama Hinata, ia memikirkan tentang percakapan mereka pada hari Sabtu sebelumnya. "Ngomong-ngomong tentang Hinata... seberapa serius kalian berdua sekarang?"
Naruto menatap langit-langit, berpikir, "Aku mencintainya, Teme."
Sasuke, yang merasa sedikit terlalu penuh cinta setelah perjalanan ke Hamamatsu, ingin mendekati subjek ini dengan hati-hati karena Hinata memintanya untuk tidak membicarakan ini sama sekali. "Apa... apa kau sudah berpikir untuk menikahinya?"
Naruto menghela napas. "Jujur? Ya, setiap hari sejak kencan ketiga kami." Alisnya tiba-tiba berkerut, ekspresi khawatir melintasi wajahnya. "Apa? Apa dia mengatakan sesuatu ketika dia membantumu memilih cincin? Apa dia berpikir aku bertindak terlalu cepat... Shit, apa aku terlihat terburu-buru? Aku tahu aku seharusnya tidak mengatakan padanya tentang perasaanku begitu cepat. Aku mungkin seperti memaksanya. Brengsek... Aku tidak ingin kehilangan dia. Bagaimana aku harus memperbaikinya? Shit, aku selalu bertindak terlalu cepat dan terburu-buru!" Naruto mengacak rambutnya yang sedikit tidak terurus, dahinya berkerut di bawah intensitas kekhawatirannya.
Sasuke menyeringai, "Tenang, Dobe. Kau tidak bertindak terlalu cepat. Bahkan, kau mungkin tidak bertindak cukup cepat!"
Wajah Naruto menunjukkan kebingungan. "Kenapa kau bilang begitu?"
"Anggap saja dia mungkin akan senang dengan arah apapun yang ingin kau tuju, selama itu bergerak ke arah komitmen yang lebih dalam." Sasuke bersandar pada mobil yang sedang mereka kerjakan, mendorong tangannya ke saku dan menyilangkan kaki.
"Jadi... maksudku... aku tahu kami belum lama berkencan, tapi menurutmu dia akan... menurutmu dia menginginkan lebih?" Naruto tampak penuh harapan.
Menepuk punggung Naruto, Sasuke mengangguk, "Ya... saatnya untuk menghilangkan perasaan ragu itu. Dan secara pribadi, jika aku belum menikah, tidak mungkin kau aman."
Mata Naruto melotot. "Dia ingin aku melamarnya, bukan? Ya Tuhan... dia ingin menikah. Aku hanya... aku tidak tahu apa... Wow... Maksudku, aku ingin menikahinya tapi mungkin terlalu cepat dan bagaimana jika semuanya tidak berhasil dan... oh Tuhan..."
Sasuke menyeringai pada sahabatnya, berbalik, dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Naruto yang mengoceh sendiri. Ia merasa puas menjadi 'mak comblang' hari ini.
Saat jam makan siang, Sasuke menelepon Sakura. "Hei, Sayang... bagaimana menurutmu tentang ide mengundang Naruto-dobe dan Hinata untuk makan malam malam ini?"
Sakura mengangguk di ujung telepon. "Itu ide bagus sekali! Kalau begitu aku akan pergi berbelanja sekarang."
"Sweet, Sakura. Aku mencintaimu." Menutup teleponnya, Sasuke pergi ke ruang istirahat dan membicarakan idenya pada Naruto, mengundang sahabatnya itu untuk makan malam. Sahabatnya itu kemudian mengirim pesan pada Hinata—karena si kepala kuning itu masih terlalu gugup untuk menelepon Hinata setelah percakapannya dengan Sasuke—dan Hinata mengkonfirmasi bahwa ia akan datang.
Sasuke bersandar di kursinya, menyeringai ketika ia menggigit sandwich ayamnya. Naruto akan bertindak seperti orang tolol malam ini, ia tahu. Ini akan menyenangkan...
***
Sakura berada di tengah-tengah sebuah toko kelontong, bersenandung pelan pada dirinya sendiri seraya memilih jagung ketika ia mendengar namanya dipanggil.
"Sakura? Haruno Sakura?"
Menoleh ke suara itu, Sakura berhadapan muka dengan Shion, putri salah seorang teman ayahnya yang paling menyebalkan. Sakura ingin sekali memutar matanya dan terus berjalan, tapi rasa kesopanan yang ia latih berpuluh-puluh tahun menahannya di tempat.
Memaksakan senyum palsu, Sakura menyapa, "Hai, Shion, apa kabar?"
Shion menatap perut Sakura yang hamil. Matanya beralih dari perut ke mata Sakura, "Sepertinya aku lebih baik darimu."
Senyum palsu Sakura berubah menjadi tatapan menyipit. Menempatkan tangannya dengan protektif di perutnya, ia menggerutu, "Aku baik-baik saja, terima kasih banyak."
Shion memiringkan kepalanya menatap Sakura. "Aku tidak tahu kau hamil."
"Aku tidak mengeluarkan iklan pengumuman di halaman depan majalah, bukan..." jawab Sakura dengan dingin.
"Siapa... siapa ayahnya?" ucap Shion dengan tatapan ingin tahu sekaligus nada suara cemoohan—menurut pendapat Sakura.
Sambil menarik tangan kirinya dari belakang tubuhnya agar cincinnya dapat terlihat, dan bersyukur dalam hati karena Sasuke telah memberinya cincin itu, Sakura menjawab, "Ayahnya sudah pasti suamiku."
Shion mengeluarkan tawa tak percaya. Sakura sudah menikah? Gosip apa ini? Ia tidak pernah begitu peduli pada Haruno Sakura. Ia selalu merasa Sakura terlalu disiplin dan tidak pernah benar-benar suka bersenang-senang. "Jadi siapa pria yang beruntung itu?"
"Namanya Sasuke. Uchiha Sasuke."
Shion menggigit bibir atasnya, berpikir sejenak. "Aku tidak mengenali namanya. Apa dia pemilik saham?"
Sakura terkekeh, mencoba membayangkan Sasuke dalam balutan pakaian formal, membahas pasar saham dan mungkin terlibat dalam permainan bisnis dengan kerumunan orang kaya. "Tidak, dia tidak ada hubungannya dengan orang-orang kaku itu," gumam Sakura.
Shion menatap Sakura dengan pandangan penasaran. "Sepertinya kau menikah dengan seorang... pekerja biasa... kalau begitu?"
Sakura meletakkan tangan di pinggangnya. "Ya, dia bekerja... setiap hari. Dan kadang-kadang pada akhir pekan, dia libur."
Shion memiringkan kepalanya, "Jadi... aku anggap kehamilan ini tidak disengaja? Tidak mungkin ayahmu mengijinkanmu bergaul dengan... kelas bawah..."
Mata Sakura berkilat. Dasar anjing betina. Membuang kekesalannya menjauh, ia memberikan Shion senyuman manis. "Ya, kehamilan ini memang tidak direncanakan. Tapi, bayi kami sangat diinginkan, tidak seperti... berapa banyak? Oh ya, tiga yang kau aborsi." Ia menyeringai ketika wajah Shion menegang, "Hanya karena kau pikir itu rahasiamu, bukan berarti aku tidak tahu. Ayahmu suka mengoceh begitu dia mendapat bourbon kecil di dalam dirinya. Kebetulan aku berada di kamar ketika dia memberitahu ayahku tentang... oh... apa kata yang dia gunakan?" Sakura menyilangkan lengannya, "Oh, benar... kekecewaannya terhadap seorang anak perempuan. Itu adalah ungkapan yang tepat yang dia gunakan."
Shion mencibir, "Aku tahu kau masih menyebalkan, Sakura."
Sakura tertawa. "Tidak, Shion, aku sebenarnya orang yang sangat baik. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menilai suamiku yang 'miskin' ketika dua dari ayah bayimu yang kau aborsi adalah tukang kebun..." Ia tersenyum cerah, "Semoga harimu menyenangkan, Shion-chan..." Kemudian ia mendorong trolinya ke depan, meraih beberapa jagung, dan berbelok ke rak susu.
Berdiri sendiri adalah hal yang mengasyikkan. Sakura telah menghabiskan terlalu banyak hidupnya untuk membiarkan orang lain meremehkan atau mengecewakannya. Bertindak seperti ini pada Shion terasa luar biasa. Bahkan, Sakura merasa sedikit... badass. Lebih tepatnya, merasa seperti seorang Uchiha.
***
Ketika Sasuke tiba di rumah dengan Naruto mengikuti di belakangnya, Sakura dan Hinata terkikik-kikik di dapur saat mereka sedang menyiapkan makan malam. Berjalan memasuki pintu, Sakura menangkap Naruto menatap Hinata dengan aneh sebelum wajah pemuda itu memerah.
Hinata melangkah keluar dari seberang meja dan memeluk Naruto, yang berdiri kaku di sana dengan mata terbelalak. Menyadari bahwa Naruto tidak balas memeluknya kembali, Hinata menatap wajah pemuda itu, "Apa kau baik-baik saja, Naruto-kun?"
Naruto menatap Hinata, lalu ke arah Sasuke. Kemudian menatap kembali ke arah Hinata lagi, "Aku baik-baik saja... baik... ya, baik-baik saja. Bagaimana kabarmu hari ini? Ada yang terjadi? Ada hal mengkhawatirkan, atau sesuatu yang harus kuketahui?"
Sasuke berjalan masuk ke dapur, mencibir, ia menarik Sakura ke dalam pelukannya dan memberikan ciuman. Sambil menarik diri, ia berbisik di telinga istrinya, "Aku sedikit membocorkan pada Naruto-dobe bahwa Hinata ingin komitmen yang lebih serius dan mungkin bahkan ingin menikah dengannya. Dia sedikit panik. Makan malam ini pasti menyenangkan..."
Sakura berbalik dan memukul lengan Sasuke. "Aku tidak percaya kau melakukan itu padanya! Hinata memintamu untuk tidak mengatakan apa-apa!"
Sasuke hanya mengangkat bahu, bergumam "ups" dan berjalan ke kulkas untuk mengambil bir.
"Sasuke-kun," Sakura mengamuk dalam bisikan yang keras, "Kau kadang-kadang benar-benar brengsek!"
Ketika Sasuke akan berjalan keluar dari dapur, ia mengecup pipi Sakura, "Ya sayang, tapi aku tetap 'suami brengsek'mu."
Sakura memutar matanya dan berjalan ke kompor untuk mengecek daging yang ia masak. Sambil mendesah, ia tidak bisa untuk tidak berpikir bahwa Sasuke sangat beruntung tidak ia tusuk dengan garpu daging malam ini. Campur tangan dalam kehidupan cinta orang lain... serius? Bahkan jika itu adalah sahabatnya...
Dua puluh menit setelah Sasuke dan Naruto tiba di rumah, Sakura dan Hinata selesai menyiapkan makan malam, daging sapi panggang, sayuran, jagung bakar, roti gulung, dan salad sudah tertata di atas meja. Naruto dan Hinata duduk bersebelahan, dan gadis itu mencium pipi Naruto, yang menyebabkan si kepala kuning itu melompat kaget.
"Naruto-kun," keluh Hinata, "Ada apa denganmu malam ini?"
"Apa? Tidak ada apa-apa," gumam Naruto saat ia mengambil sesendok besar penuh kentang dan wortel ke piringnya.
Hinata memperhatikan Naruto dari sudut matanya, menatap tajam pemuda itu ketika memasukkan makanan ke mulutnya yang besar.
Sakura, yang ingin mengalihkan perhatian Hinata dari Naruto yang gelisah dan malang, mulai berbicara, "Jadi aku bertemu musuh bebuyutanku hari ini."
"Siapa?" tanya Hinata penasaran.
Sakura menghela napas. "Namanya Shion dan dia adalah manusia yang menyeramkan, dia memiliki hati mengerikan dan tidak pernah ingin kalah bertahun-tahun. "
Sasuke menaruh botol birnya. "Sakura! Aku belum pernah mendengarmu berbicara buruk tentang siapa pun!"
Sakura tersenyum. "Kau belum pernah bertemu gadis ini. Ngomong-ngomong, dia terkejut melihatku hamil dan bahkan lebih kaget lagi kalau aku menikah dengan 'pria pekerja'."
Sasuke menyeringai. "Apa kau memberitahu dia bahwa pekerja yang kau nikahi ini sangat seksi dan tampan?"
Hinata tertawa dan Sakura tersenyum. "Tidak. Aku sudah memberitahukan namamu padanya. Aku mengira reputasimu sampai di telinganya tapi ternyata tidak."
"Aku biasanya tidak bercinta dengan gadis-gadis kaya... kecuali dirimu."
Sakura memutar matanya lagi. Ia sepertinya ditakdirkan untuk sakit kepala dengan matanya yang sering berputar malam ini. "Ngomong-ngomong, Shion mulai merendahkanku karena kehamilanku yang tidak direncanakan dan kemudian aku mengingatkannya tentang tiga aborsi yang dilakukannya... aku hanya ingin memberitahu kalian bahwa rasanya sangat puas setelah melawannya!"
Sasuke mengulurkan tangan ke arah Sakura dan mencuri ciuman dari gadis itu, "Selamat, sayang... kau berhasil mengatasinya. Dan kau, sebagai Uchiha, perlu memastikan hidupmu sebebas-bebasnya." Ia kemudian menambahkan lebih banyak saus ke saladnya, dan berkata lagi, "Menikah denganku adalah hal yang hebat untukmu... aku tahu. Berbicara tentang pernikahan..." Ia memandangi Naruto, yang kepalanya terangkat ketika mendengar kata 'Pernikahan'.
"Pernikahan? Siapa yang mengatakan sesuatu tentang pernikahan. Maksudku, aku tidak menyebut pernikahan. Hinata-chan, apa kau mengatakan sesuatu tentang pernikahan? Aku hanya..." Suara Naruto menghilang, wajahnya memerah lagi.
Sasuke mendengus dan fokus pada saladnya.
Hinata duduk di kursinya, memperhatikan Naruto yang mencoba memotong wortel tanpa hasil karena tangannya gemetar. Mulut Hinata terbuka dan kemudian tertutup lagi tanpa suara. Menoleh, ia memelototi Sasuke. Sasuke yang merasakan seseorang menatapnya, segera menatap langit-langit seolah ia ada di dalam Kapel Sistina.
"Sasuke," bisik Hinata, dengan gigi terkatup. "Apa kau memberitahukan pembicaraan kita minggu lalu ke Naruto-kun?"
"Uh... percakapan apa?" tanya Sasuke, berusaha menghindari tatapan menuduh Hinata.
"Pembicaraan kita di Yoshinoya... setelah aku meluangkan waktu untuk menjadi teman baikmu dan kemudian kau berjanji padaku untuk tidak akan mengatakan apapun pada orang-orang tertentu..."
Kepala Naruto dan Sakura terangkat, memandang Hinata kemudian Sasuke, kemudian Hinata lagi.
"Oh! Pembicaraan itu? Kurasa aku lupa..."
Hinata menghela napas dengan jelas. Melirik Sakura, "Aku benci suamimu, kau tahu itu, kan?"
Sakura tersenyum, geli, sekaligus merasa tidak enak pada Naruto yang malang dan malu. "Tidak apa-apa, Hinata-chan. Aku juga sedikit membencinya sekarang."
Sasuke memandangi dua gadis itu dengan polos, menyeringai dan biasanya membuat Sakura ingin merobek pakaiannya—ketika Sakura tidak bermaksud menusuknya dengan garpu daging karena menjadi brengsek, tentu saja.
Naruto berdeham tiba-tiba dan enam bola mata menatapnya. Ia meraih tangan Hinata, "Hinata-chqn, jika kau ingin menikah denganku... yang harus kau lakukan hanyalah meminta."
Hinata menyentak tangannya dari tangan Naruto. Ia menyembunyikan kepalanya di kedua tangannya, bergumam, "Ya Tuhan... ini sangat memalukan." Ia mengangkat kepalanya dan menatap Naruto, "Naruto-kun, aku minta maaf tentang sahabatmu yang brengsek itu. Aku hanya bilang padanya bahwa aku sangat senang bisa bersamamu dan aku melihat peluang bagi kita di masa depan. Bukan mengharapkan lamaran."
Naruto menatap Hinata, mulutnya menganga. Akhirnya, bahunya merosot dan ia bersandar. "Syukurlah... Bukannya aku tidak ingin menikahimu atau apa pun karena aku benar-benar mencintaimu, tapi kau tahu kita baru saja berkencan dan aku tidak ingin terburu-buru karena kau benar-benar luar biasa dan kita harus menghabiskan waktu bersama sebanyak mungkin—" Hinata menempelkan jari-jarinya di bibir Naruto, membuat pemuda itu diam.
"Tidak apa-apa, Naruto-kun. Kau bisa berhenti bicara sekarang."
Naruto menundukkan kepalanya. Sasuke meregangkan tubuh, melempar seringai pada Sakura, dan mengambil sepotong besar daging panggang ke piringnya. "Sekarang sudah berakhir..."
***
"Apa maksudmu kau tidak ingin melakukan seks?" ucap Sasuke sambil menyeringai, tahu betul bahwa Sakura tidak benar-benar bisa melawan pesona Uchiha.
Sakura melepaskan celana dalamnya dari kakinya dan menarik bajunya ke atas kepalanya. "Kau membuat malu teman-teman kita malam ini dan aku masih sangat kesal padamu."
Sasuke menghela napas, menarik kaosnya sendiri ke atas kepalanya, dan kemudian menatap Sakura dengan tatapan berpura-pura sedih. "Aku tidak bermaksud mempermalukan mereka."
Sakura memandang Sasuke dengan ragu.
"Tunggu, oke... ya, aku melakukannya... Tapi, Sayang, aku melakukannya karena aku ingin mereka bahagia seperti kita..." Sasuke mendekat ke arah Sakura, tangannya meluncur di atas perut gadis itu yang membuncit dan naik ke atas untuk menangkup payudaranya. Sakura memelototi Sasuke dan mendorongnya.
Sasuke memasang wajah terluka dan menurunkan nada suaranya, "Ayolah, Sayang... kau akan menahan gairahmu ketika semua yang coba kulakukan adalah berusaha menyatukan kedua anak gila itu untuk selamanya?"
Sakura mengerang ketika tangan Sasuke bergerak menangkup pantatnya. "Kau bisa membuat mereka putus untuk selamanya!"
"Tidak, Saku... tidak akan pernah. Aku mengenal Naruto-dobe sangat baik."
Tepat pada saat itu, Sakura mendengar getaran ponselnya di meja rias. Ia berjalan mengambil ponselnya dan membaca pesan teks yang masuk. Sambil tersenyum, ia menyerahkannya pada Sasuke dan kemudian pemuda itu tertawa terbahak-bahak.
Pesan dari Hinata:
Naruto melamarku! Kami akan menikah!
Sasuke menarik Sakura ke dalam pelukannya. Mengubur wajahnya di leher gadis itu, "Kau lihat itu, kan... Jadi apa kau masih tidak akan membiarkanku memasukimu?"
Sakura menginjak kaki Sasuke dan mencium bibir pemuda itu. "Kau menang..."
***
To be continued
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)