Chapter 14 - Kejutan
"Teme, ini terlihat sangat luar biasa," puji Naruto, memandang ke sekeliling kamar anak yang baru saja dicat.
Satu setengah minggu setelah acara berbelanja Sakura dan Ino, Sasuke menyuap Naruto dengan pizza dan bir untuk datang pada hari Kamis malam dan membantunya menyelesaikan tugas mengecat dan merapikan furnitur kamar anak-anak. Setelah melewati banyak diskusi dan hanya satu argumen kecil, Sasuke dan Sakura akhirnya memilih warna oatmeal dan sage green untuk kamar anak. Yah, sebenarnya itu warna pilihan Sakura. Tidak mungkin Sasuke setuju dengan warna seperti 'oatmeal'—benar-benar warna gay sialan—ketika ia bisa memilih 'ninja hitam'. Tapi kemudian Sakura mengatakan padanya jika ia tidak setuju, mereka tidak akan bercinta selama seminggu. Dan akhirnya mereka membeli warna gay dua jam kemudian.
Naruto sedang menggedor paku ke dinding, berusaha memasang gorden, ketika Sasuke menjulurkan kepalanya ke luar kamar, memastikan Sakura tidak ada di sekitar sana, dan menutup pintu. "Hei Dobe... bisa aku meminjam Hinata hari Sabtu ini?"
Naruto menoleh ke arah Sasuke, ekspresi wajahnya semakin gelap saat ia berbicara. "Teme... apa? Kau ingin meminjam pacarku?"
Sasuke memperhatikan Naruto, geli, ketika kemarahan melintasi wajah sahabatnya itu. "Bukan seperti itu, brengsek! Aku tidak pernah meniduri salah satu pacarmu sejak masa sekolah. Aku hanya ingin membeli cincin pernikahan untukku dan Sakura karena kami tidak memilikinya dan kurasa dia benar-benar menginginkannya. Aku butuh bantuan Hinata untuk memilih cincin."
Naruto mengangguk, bahunya yang menegang kembali rileks. "Oke, itu ide yang keren. Aku akan menghubungi Hinata-chan di tempat kerja besok dan kau bisa mengatur waktu dengannya."
"Terima kasih... aku ingin memberi kejutan untuk Sakura. Aku akan membawanya keluar kota akhir pekan depan dan aku akan memberikan cincin itu padanya di sana."
Naruto memiringkan kepalanya, menatap sahabat sejak kecilnya dengan tatapan yang tidak biasa. Tatapan yang membuat Sasuke risih.
"Apa, Dobe?"
Naruto mengangkat bahu, "Aku hanya tidak pernah membayangkan akan melihat sisi lain dirimu yang ini. Kau hanya... benar-benar berbeda dari yang dulu. Maksudku, kau masih sangat brengsek—yang tidak akan pernah berubah—tapi kau benar-benar mencintai Sakura-chan, dan aku tidak pernah menyangka akan melihat ini!"
Sasuke bersandar pada boks bayi yang baru saja dirakitnya, merenungkan kata-kata sahabatnya. Ia telah menghabiskan banyak waktu belakangan ini memikirkan hal-hal sama persis seperti yang Naruto ucapkan tentang dirinya. Akhirnya, ia hanya mengangkat bahu. "Inilah yang terjadi. Ini memang bukan kehidupan yang aku bayangkan pada malam aku bertemu Sakura di pesta itu, itu sudah pasti. Tapi jika aku disuruh mengubah ini?" Sasuke menyeringai pada Naruto. "Tidak akan."
Naruto tersenyum malu-malu, "Aku merasa kita perlu berpelukan atau semacamnya. Ini adalah momen yang mengharukan untuk berbagi dalam persahabatan yang sangat panjang ini!"
Sasuke berjalan mendekati Naruto dan meninju perut sahabatnya itu. "Ini pelukanmu, dasar gay. Sekarang ayo kembali kerjakan tugasmu. Aku ingin semua furnitur ini dirakit sebelum kau membawa pantat besarmu pulang. Sakura ingin kamar baby Harry Potter ini siap dan apa yang diinginkan istriku itu dia dapatkan."
Naruto mengerutkan hidungnya dengan jijik. "Kau menamai anakmu Harry Potter?"
"Itu nama yang sangat menyebalkan, bukan? Tapi itu nama penyihir yang hebat. Aku tak sengaja melihat film itu sekilas saat kakakku menontonnya." ucap Sasuke dengan seringai puas. Harry Potter telah menjadi nama favoritnya selama beberapa hari sekarang.
"Teme... itu mengerikan. Sakura-chan akan menendangmu."
Sasuke memutar matanya. Naruto tidak akan tahu nama-nama yang berkelas. Bahkan, seandainya sahabatnya itu dinamai dengan nama salah satu bagian tubuh pada ikan. Sahabatnya itu tidak akan tahu.
***
Sabtu pagi, Sasuke menyuruh ibunya untuk mengalihkan perhatian Sakura agar berbelanja barang-barang 'terakhir' untuk kamar anak-anak sehingga ia bisa bertemu Hinata di salah satu toko perhiasan di mall. Setelah mendengarkan saran ibunya tentang cincin—sebuah emas... emas kuning. Emas akan cocok dengan warna kulitnya—ia memutuskan bahwa ia benar-benar tidak suka emas kuning. Tapi selain saran kecil itu, ia tidak tahu apa-apa tentang membeli perhiasan.
Sasuke bertemu Hinata di depan toko dan bersama-sama mereka berjalan ke dalam toko perhiasan itu.
Ketika mereka berjalan masuk, Hinata mulai mengajukan pertanyaan yang menurutnya, harus diajukan sebelum membeli perhiasan. "Jenis band cincin apa yang kau cari? Yang polos? Yang memiliki desain atau mungkin hanya band cincin khas pernikahan?"
Sasuke berhenti berjalan dan memandang Hinata dengan heran. "Kupikir itu hanya... kau tahu ... hanya ada satu jenis band. Aku tidak menyadari bahwa ada banyak... pilihan. Kurasa kau ada di sini untuk membantuku memilih warna emas dan ketebalannya."
Hinata mendengus, meletakkan tangannya di bahu Sasuke. "Kau memang orang yang tidak berbudaya. Kau pasti membutuhkan bantuanku."
Beberapa menit kemudian, Sasuke diam-diam mengucapkan terima kasih pada Naruto karena memiliki kekasih berkelas, karena kini keduanya berdiri di depan baki berisi cincin pernikahan dan Sasuke mulai pusing. Cincin-cincin itu semua pada dasarnya tampak sama—bulat—tapi ada yang memiliki satu berlian, ada yang dua berlian, ada yang tebal, ada yang tipis, ada yang punya pola desain di dalam bandnya, dan ada juga yang sederhana. Sungguh luar biasa. Dengan mata sedikit kabur, Sasuke menoleh pada Hinata dan mengangkat bahu. "Apa yang harus kulakukan?"
Hinata menatap baki berisi cincin-cincin itu. "Apa kau melihat sesuatu yang kau suka?"
Sasuke menggerakkan matanya ke atas dan ke bawah pada deretan cincin. Akhirnya, ia mendorong baki berpita itu menjauh darinya. "Semuanya jelek," ucapnya pada karyawan wanita berbibir tipis yang sekarang cemberut di belakang meja. Ia kemudian melihat baki berisi emas kuning, ia mendorong baki itu menjauh juga. "Ibuku suka ini... jadi jauhkan ini dariku."
"Sasuke, kau bilang kau suka emas putih... Jadi bagaimana dengan dua cincin ini?" Hinata menunjuk satu set cincin sederhana, satu lebih kecil dan satu lebih besar.
Sasuke mengambil yang lebih besar dari keduanya dan menyelipkannya ke jari manisnya. Menatap cincin pernikahan di tangannya membuat penglihatannya kabur selama sedetik. Ya, ia tahu ia sudah menikah tapi dengan sebuah cincin pernikahan seakan berteriak 'I AM SO OFF THE MARKET!'. Cincin itu memiliki finalitas tertentu. Anehnya, itu tidak membuatnya takut. Itu membuatnya merasa... puas. Mengamati cincin itu, Sasuke akhirnya berkata, "Ya... kurasa ini..."
Wanita yang cemberut di belakang meja kini berubah tersenyum lebar ketika ia mulai menghitung komisi di dalam benaknya. Bahkan sebelum ia bisa menanyakan ukuran cincin, Sasuke berbicara lagi. "Aku perlu melihat cincin pertunangan juga."
Hinata menoleh ke arah Sasuke, rambutnya berayun di belakangnya. "Cincin pertunangan?"
Sasuke mengangkat bahu. "Sakura juga tidak memilikinya, kau tahu. Aku ingin dia memiliki dua cincin..."
Sasuke melihat mata Hinata mulai berkaca-kaca dan ia ingin bersembunyi di bawah batu sekarang juga. Ia bisa menangani Sakura yang menangis, tapi ini Hinata? Serius?
Hinata tersenyum pada Sasuke, "Kau lelaki yang romantis. Kau menggemaskan."
Sasuke meringis, "Hinata, tutup mulutmu," kemudian ia berjalan ke arah cincin pertunangan.
Karyawan wanita itu mulai meraih baki berisi cincin dengan berlian berukuran besar. Tapi Sasuke mengangkat tangannya untuk menghentikan wanita itu. "Jangan menyarankan salah satu dari itu. Aku bukan miliarder..."
Cemberut lagi, wanita itu menggerakkan tangannya ke baki berisi cincin dengan berlian yang lebih kecil. Hinata mendengus ketika karyawan wanita itu memandangi berlian-berlian besar dengan penuh damba, membayangkan komisi yang didapat seandainya pembelinya miliarder.
Begitu baki-baki itu disodorkan di depannya, mata Sasuke tertarik pada cincin pertunangan dengan band emas putih. Bahkan, sebelum Hinata dapat menyarankan sesuatu, Sasuke sudah mendahuluinya, "Yang itu."
Hinata melihat cincin yang ditunjuk Sasuke dan kemudian menatap pemuda itu, berseri-seri. "Kau bahkan tidak butuh bantuanku, Sasuke. Cincin itu sangat indah."
"Cincin itu sangat Sakura," ucap Sasuke lembut. "Indah, bersih, dan berkilau dalam cahaya... seperti Sakura. Aku berharap aku bisa membeli sesuatu yang lebih besar tapi... kuharap dia menyukai ini."
Hinata merasa dirinya akan menangis. Ia meletakkan tangannya di lengan Sasuke, "Dia akan menyukainya. Dan kau sangat manis, Sasuke. Kuharap aku bisa memberitahu Sakura-chan tentang ini..."
"Jangan berani-beraninya kau bilang padanya! Dia harus terkejut akhir pekan depan. Kami punya rencana akhir pekan yang dia bahkan belum tahu. Dan jangan sampai dia tahu lebih dulu!" ucap Sasuke merengut. Perjalanan mereka harus sangat mengejutkan Sakura. Ia berharap akan ada beberapa air mata bahagia dan beberapa seks, serius.
Hinata menghela napas. "Oke, oke... aku tidak akan mengatakan sepatah kata pun. Tapi begitu dia memakai ini di jarinya, aku akan memberitahunya betapa bodohnya kau saat di sini."
Seraya berjalan menuju kasir, Sasuke mengangguk pada Hinata, "Oke, kau bisa menceritakan semua tentang ini sesudahnya. Tapi jika kau membocorkannya sedikit sekarang, aku akan mengatakan pada Naruto-dobe bahwa kau menciumku."
Hinata melotot. "Jangan berani kau mengarang cerita!"
Sasuke menyeringai. "Jarang ada wanita yang bisa menolakku. Dia mungkin akan percaya padaku."
Masih tetap memelototi Sasuke, meskipun tahu bahwa Sasuke hanya mengancamnya, Hinata melakukan hal pertama yang muncul di benaknya. Ia menginjak kaki Sasuke dan bergegas keluar dari toko untuk menunggu pemuda itu di luar.
Beberapa menit kemudian setelah mengurus pembayaran di kasir, Sasuke berjalan keluar, memasukkan tanda terima ke dalam dompetnya. Ia akan kembali awal minggu depan untuk mengambil cincin itu. Semakin lama cincin itu berada di toko, semakin kecil kemungkinan Sakura untuk menemukannya disembunyikan di tempat aneh, seperti laci kaus kaki misalnya.
Sasuke menawarkan untuk membelikan Hinata makan siang karena telah membantunya memilih cincin dan gadis itu dengan senang hati menerima, perutnya sudah bergemuruh keras. Sambil duduk di Yoshinoya, mereka mengunyah kentang goreng dalam diam.
Hinata mendongak, dengan ragu-ragu bertemu dengan mata Sasuke, "Kau kenal baik Naruto, kan?"
Sasuke mengangguk. "Dia sudah menjadi sahabatku sejak kecil. Aku mengenalnya lebih baik daripada orang lain. Kenapa?"
Hinata menarik napas, merenungkan kata-kata Sasuke. Membuka mulutnya, tapi tidak ada yang keluar, jadi ia menutupnya. Mencoba lagi, akhirnya ia mencicit, "Apa kau pikir dia tipe lelaki yang ingin menikah?"
Sasuke tertawa terbahak-bahak dan memutar matanya. "Hinata, jika aku adalah tipe lelaki yang ingin menikah, aku bisa bersumpah padamu bahwa teman bodohku juga sama sepertiku. Dia dilahirkan untuk menikah... Apa kau ingin menikah dengannya atau apa?"
Hinata menatap makanannya yang tersisa setengah. "Aku... aku tahu kami belum berkencan lama, tapi kurasa aku mencintainya lebih daripada yang pernah kulakukan pada pria lain. Aku... umm... aku sering memikirkan bagaimana rasanya menikah dengannya."
Sasuke tidak berkata apa-apa, hanya mengaduk kentangnya di dalam saus tomat dan memasukkannya ke mulut.
"Apa... menurutmu dia merasakan hal yang sama tentangku?" Hinata menambahkan, wajahnya merah padam. Ia tidak percaya ia menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini pada sahabat Naruto. Ia jelas sudah jatuh cinta. Tidak ada lagi yang bisa menjelaskan perilakunya yang konyol ini.
Sasuke mengulurkan tangannya ke seberang meja dan menepuk tangan Hinata. "Aku sangat mengenalnya. Dia benar-benar gila tentangmu. Aku terkejut dia tidak bernyanyi ketika kau muncul waktu itu."
Hinata berseri-seri, sedikit rileks. "Baguslah. Kuharap, beberapa tahun dari sekarang, dia dan aku bisa diposisimu dan Sakura-chan."
Sasuke menyeringai, menyedot minumannya.
"Sasuke... bisa aku meminta agar kau tidak memberitahu Naruto tentang percakapan ini?"
"Tentu saja," Sasuke berjanji, meskipun ia berencana akan memberitahu Naruto tentang ini nanti. Sahabatnya itu mungkin akan kencing di celana dan bergegas ke toko perhiasan yang sama untuk membeli cincin pertunangannya sendiri.
***
Di rumah, Sakura tampak lelah dari acara berbelanjanya dengan Mikoto. Sebenarnya, ia bosan mendengarkan Mikoto berceloteh. Ia tidak pernah mengenal ibunya sendiri, tapi ia sering membayangkan apakah ia akan menjadi wanita yang suka memerintah dan galak seperti Mikoto. Dan seandainya ibunya masih hidup, mungkin ayahnya tidak akan seperti sekarang.
Duduk di meja, Sakura menyalakan laptopnya. Masuk ke akun Gmailnya, ia terkejut melihat email dari orang yang baru saja ia pikirkan.
Sakura,
Meskipun aku mungkin tidak lagi memiliki nomor teleponmu, aku berharap alamat email ini masih aktif. Aku benar-benar berharap mendengar kabar darimu sebelumnya. Aku tidak mengerti bagaimana kau membiarkan... pemuda itu... ada di antara kita. Kau dan aku selalu memiliki hubungan yang baik. Aku menyadari bahwa aku tidak selalu emosional atau menunjukkan tingkat kepedulian yang sama dengan cara yang sama seperti yang dimiliki ayah-ayah lain, tapi aku selalu berusaha memberimu kehidupan yang layak, kehidupan di mana kau bisa mendapatkan semua yang kau inginkan. Diammu beberapa minggu terakhir membuatku sadar bahwa mungkin aku seharusnya mendengarkan kekhawatiran atau keinginanmu. Atau mungkin aku seharusnya lebih memahami perasaanmu. Aku hanya berharap kau menyadari bahwa aku bekerja sangat keras sepanjang hidupku untuk memastikan bahwa warisan Haruno tidak ternoda dan tetap terhormat. Aku minta maaf bahwa tindakanku terkadang terlihat mementingkan diri sendiri, tapi aku hanya memikirkan kebaikan keluarga kita, keluargamu.
Pertimbangkan untuk menghubungiku ketika kau siap. Aku akan senang mendengar kabar darimu dan berharap kita bisa melewati jalan buntu ini.
Daddy
Sakura menatap kosong ke layar, bertanya-tanya apakah ia harus membalas. Pikirannya berubah dan ia mulai segera mempertanyakan motif ayahnya. Apakah ayahnya tulus? Apakah ini hanyalah salah satu dari rangkaian permainan ayahnya yang tidak pernah berakhir? Atau apakah ayahnya benar-benar merindukan dirinya seperti seorang ayah yang merindukan anak perempuannya yang berhenti berkomunikasi dengannya? Air mata terbentuk di pelupuk matanya ketika ia berpikir tentang ayahnya yang meluangkan waktu untuk menghubunginya dengan mengirim email, karena ini adalah satu-satunya media yang bisa digunakan sekarang karena nomor teleponnya telah berubah dan ia telah pindah rumah.
Bersandar di kursi, Sakura teringat masa kecilnya. Ayahnya benar; ayahnya itu tidak pernah menjadi orang yang menunjukkan banyak emosi. Ayahnya tidak pernah memujinya untuk sesuatu yang ia lakukan dengan baik karena ia akan selalu unggul dalam semua yang ia lakukan. Ketika usahanya gagal, ayahnya bukan orang yang suka menghukum atau menghakiminya. Diamnya ayahnya cukup untuk memberitahu Sakura bahwa ia telah membuat ayahnya tidak senang dan harus melakukan yang lebih baik. Ia tahu, meskipun ia tidak berada di rumah selama konfrontasi di antara Haruno dan Uchiha, ayahnya pasti sangat marah. Tapi ia juga tahu bahwa ayahnya menyadari bahwa Sasuke dan Mikoto benar.
Sakura membungkuk ke depan, menopang kepalanya dengan tangannya. Sangat menyakitkan baginya bahwa ayahnya menggunakannya sebagai alat tawar-menawar ketika mencoba membebaskan diri dari hubungan dengan Uchiha Sasuke, terutama hubungan yang ayahnya ciptakan sendiri dengan memaksanya menikah. Ayahnya tidak merencanakan Sakura dan Sasuke untuk menjadikan pernikahan mereka benar-benar nyata, dan mungkin, ia berharap, ayahnya menyadari bahwa ada lebih banyak hal dalam kehidupan daripada hanya mengendalikan seseorang sepanjang waktu?
Sambil menarik napas, Sakura berdebat apakah ia harus membalas email ayahnya atau mengabaikannya saja? Tangannya akan menutup laptopnya, tapi dadanya sakit hanya memikirkan bahwa ia mengabaikan ayahnya. Ia mungkin tidak setuju dengan tindakan ayahnya, tapi ia benar-benar menyayangi ayahnya. Bagaimanapun, dia adalah ayahnya.
Dengan napas berat, Sakura menekan 'balas' dan mulai mengetik.
Daddy,
Terima kasih telah mengirimiku email. Aku akan mengakui bahwa aku cukup terkejut mendapatkan pesan ini darimu. Aku memahami kecemasanmu dan keinginanmu untuk berbicara padaku. Tapi aku harap kau bisa mengerti ketika aku mengatakan bahwa aku belum siap untuk bertemu denganmu. Semua yang kau lakukan pada Sasuke, suamiku, tidak bisa dimaafkan. Aku tidak peduli apa tujuanmu; tapi tindakanmu salah besar. Untuk mengikuti keinginanmu dan mengunjungimu sekarang hanya akan menjadi pengakuan bahwa aku tidak mempermasalahkan caramu memilih untuk menunjukkan ketidaksenanganmu pada Sasuke, dan aku tidak suka itu.
Aku tahu bahwa aku tidak pernah benar-benar menentangmu ketika kau melakukan hal-hal yang tidak kusetujui. Tapi aku sudah menjadi wanita dewasa dengan seorang anak dan sekarang saatnya aku berdiri sendiri. Dan aku bisa mengatakan padamu bahwa aku sangat kecewa dengan caramu memperlakukanku.
Tolong beri aku lebih banyak waktu. Ketika aku siap untuk bertemu denganmu, aku akan menghubungimu.
Aku juga berharap suatu hari nanti kita bisa menjalin hubungan yang lebih baik, terutama anakku dengan kakeknya di masa depan.
Sakura
Dengan hati berat, Sakura menekan tombol 'kirim' sebelum ia bisa berubah pikiran. Mungkin butuh waktu 21 tahun baginya, tapi pertengkarannya dengan ayahnya saat kelulusan telah memulai reaksi berantai. Uchiha Sakura sudah selesai menerima omong kosong dari ayahnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Haruno melakukan semuanya dengan anggun dan tenang. Keluarga Uchiha melawan dan bahkan sedikit menyerang. Dan Sakura? Ia adalah seorang Uchiha sekarang.
***
"Sasuke-kun, kita akan pergi kemana?" tanya Sakura untuk yang ke-17 kalinya dalam 90 menit mereka berkendara.
Sasuke mengabaikan pertanyaan Sakura, terus mengetuk-ngetukkan ujung jarinya ke kemudi.
Sakura menghela napas, menyadari bahwa Sasuke tidak akan memberitahunya, bahkan informasi terkecil sekali pun. Ia akhirnya memandang keluar jendela ke pemandangan yang semakin gelap. Ia membaca setiap tanda berwarna hijau, mencoba menentukan kemana arah tujuan mereka.
Hari itu adalah Jumat malam di minggu ke-29 kehamilan Sakura dan mereka sedang dalam perjalanan menuju akhir pekan rahasia yang direncanakan Sasuke. Sakura menolak keras ketika Jumat pagi ini sebelum berangkat bekerja Sasuke memyuruhnya mengemas pakaian untuk dua hari ke depan. Ia menuntut untuk tahu ke mana mereka akan pergi tapi Sasuke hanya menyeringai, menciumnya, dan melangkah menuju pintu, meninggalkannya dengan banyak pertanyaan sekaligus juga bersemangat tentang akhir pekan yang membuatnya penasaran ini.
Ketika Sasuke pulang dari bekerja, ia langsung mengambil ranselnya, yang telah ia siapkan secara diam-diam malam sebelumnya. Ia juga menyuruh Sakura mengambil gaun paling indah di lemari dan membawanya ke mobil. Gagasan untuk memakai gaun—apapun yang Sasuke rencanakan—membuat Sakura semakin penasaran. Sasuke bukanlah orang yang paling romantis, pikir Sakura, tapi Sasuke bisa jadi romantis kapan pun ketika pemuda itu mau, dan rasanya seperti itulah yang mungkin akan terjadi.
"Sasuke-kun, aku perlu tahu ke mana kita akan pergi, jadi aku bisa memastikan ada rumah sakit atau tidak di dekat sini... aku takut tiba-tiba mengalami sakit atau semacamnya," Sakura mencoba mencari alasan untuk mengorek informasi, tapi ucapannya tidak berpengaruh apapun, Sasuke sepertinya mengetahui upayanya dalam menemukan tujuan mereka.
Tanpa menoleh ke arah istrinya, Sasuke terkekeh. "Saku... sayang, Aktingmu sangat buruk. Jangan khawatirkan pantat kecilmu. Akan ada rumah sakit yang dekat dengan tujuan kita. Tapi aku jamin kau tidak membutuhkannya."
"Oke," Sakura merengut, menyilangkan lengannya seperti anak manja yang tidak mendapatkan keinginannya, "Tidak usah bilang ke mana kau membawaku."
"Bagus, Sayang, aku memang tidak akan memberitahumu."
Mengerang, Sakura berusaha terlihat seperti wanita yang frustrasi. Tapi Sasuke hanya menyeringai, jelas bertekad untuk menahan rahasianya sedikit lebih lama. Sambil mendesah, Sakura duduk merosot di kursinya dalam diam selama perjalanan itu.
Bunyi gesekan ban di jalanan, ditambah aroma tubuh Sasuke, akhirnya menidurkan Sakura. Ia bangun hampir dua jam kemudian, dan terkejut melihat mereka melewati jalan tol menuju Hamamatsu. Ia mendorong dirinya duduk tegak di kursi, matanya membelalak. "Kita akan ke Hamamatsu? Kenapa?"
Sasuke melirik Sakura dan menyeringai sebelum mengalihkan fokusnya kembali ke jalan. "Karena kita... harus ada di sana."
Sakura sejenak merengut pada jawaban Sasuke sebelum membiarkan senyum bahagia terpasang di wajahnya. "Aku belum pernah ke Hamamatsu! Ini hebat! Jadi apa yang akan kita lakukan ketika kita sampai di sana, Sasuke-kun?"
Sasuke melirik jam. "Malam ini, sayang, kita akan tidur. Besok, kita akan melakukan hal-hal lain... hal-hal yang memang harus kita lakukan."
Sakura menjerit kecil. Hamamatsu! Ia begitu bosan terjebak di Shibuya. Hamamatsu adalah tempat favoritnya. Belanja, laut, museum, restoran, teater... Ohhh! Banyak yang harus dilakukan di sana!
Sakura tersenyum lebar ketika mobil mereka terus melaju dan langit Hamamatsu mulai terlihat. "Aku tidak tahu kenapa kau membawaku ke sini, Uchiha Sasuke, tapi aku mencintaimu!"
"Kau akan semakin mencintaiku, Uchiha Sakura, aku bersumpah," balas Sasuke.
Sakura duduk bahagia saat langit Hamamatsu menjadi lebih jelas. Segera, mobil mereka melewati jalan-jalan pusat kota dan Sakura menyaksikannya dengan kagum, sementara Sasuke tampak jengkel menatap jalanan.
"Ini hari Jumat malam! Kenapa jalanan harus macet? Ini bukan jam sibuk, bajingan!" Sasuke memukul kemudi ketika lalu lintas di depannya tetap tak bergerak tanpa alasan yang jelas.
Sakura hanya mengerutkan kening pada Sasuke ketika pemuda itu mulai berubah mood dan berhasil menemukan kata-kata umpatan untuk menggambarkan keadaan lalu lintas di sana. Ketika mobil di depannya akhirnya mulai bergerak lagi, Sasuke bergumam sendiri, dan Sakura hanya menggelengkan kepalanya.
"Tidak tahan dengan lalu lintas kota besar, huh?" tanya Sakura, menahan tawanya.
Sasuke hanya menyipit ke arah Sakura dan berbalik menatap tajam ke mobil-mobil di depannya.
Beberapa menit kemudian—setelah Sasuke hampir menabrak seorang pria bersepeda sambil memakan pizza. Ngomong-ngomong, siapa yang memakan pizza sambil bersepeda? Sialan, dasar orang bodoh!—Sasuke membelokkan mobilnya ke tempat parkir sebuah hotel. Sakura menghela napas lega karena jika Sasuke terus berkendara, ia cukup yakin anak mereka akan mengamuk di dalam rahimnya dan mungkin akan keluar untuk mengumpat marah dan mengacungkan tinjunya yang kecil pada ayahnya.
Ketika mereka keluar dari mobil, Sakura bertanya dengan hati-hati, "Apa kau baik-baik saja sekarang, Sasuke-kun?"
Menarik barang-barang mereka dari bagasi, Sasuke menyeringai miring pada istrinya. "Aku baik-baik saja, Sayang. Kemarahan kecil di jalan tidak akan menyakiti siapapun."
Sakura mendengus. "Jika itu kau sebut 'kemarahan kecil', bisakah kita memastikan bahwa kita tidak akan berkendara ke tempat lain selama kita di sini. Aku takut padamu sekarang..."
Sasuke berjalan menghampiri Sakura, mencium bibirnya, dan kemudian berbisik ke telinga gadis itu, "Kau bisa membantuku meredakan kemarahan ini begitu kita di kamar... Kau tahu hal yang bisa kau lakukan dengan lidahmu? Itu akan membantu..."
Sakura mundur dan mencubit Sasuke, wajahnya memerah. Tubuhnya berdesir dari kepalanya hingga kuku kakinya. Ini akan menjadi akhir pekan yang fantastis.
***
"Sasuke-kun, lihat pemandangan ini!" Sakura berdiri di depan jendela kamar hotel mereka, memandangi pemandangan dari lantai 28 kamar mereka. Lampu-lampu kota Hamamatsu bersinar di sekeliling mereka dalam kegelapan. Ia bahkan bisa melihat sinar bulan memantul dari perairan danau yang bergelombang.
Sasuke duduk di tempat tidur, melepaskan sepatu dan kaus kaki, menyaksikan istrinya yang memuji pemandangan dari jendela kamar mereka. Ia senang melihat Sakura begitu bahagia... dan tidak sabar untuk melihat betapa bahagianya gadis itu nanti di akhir pekan ini. Ia merogoh ke saku celananya, dengan cepat meraih kotak cincin dan dengan cekatan memasukkannya ke dalam ranselnya. Besok, istrinya akan memakai cincin itu.
Sasuke berdiri, menarik lepas kaosnya di atas kepalanya, dan membuka celananya, membuangnya sembarangan ke lantai. Melangkah di atas karpet tebal dan mewah, ia melingkarkan lengannya di perut Sakura yang akan terus membesar, bergabung dengan istrinya itu memandangi pemandangan yang menakjubkan dalam keheningan.
"Aku tidak tahu kenapa kau membawaku ke sini, tapi terima kasih, Sasuke-kun," ucap Sakura lembut, tangannya mengusap lengan Sasuke yang melingkari perutnya.
"Tidak ada salahnya untuk sesekali kita berpergian," ucap Sasuke, mengubur wajahnya di leher Sakura dan memberikan ciuman di bawah telinga gadis itu, titik yang selalu menyebabkan erangan kecil keluar diri bibir Sakura. Sambil menyeret Sakura, Sasuke berbisik, "Ayo tidur, Sayang."
Godaan dalam suara Sasuke membuat tubuh Sakura berdesir. Mengangguk, Sakura berbalik ke pelukan suaminya dan membiarkan dirinya dibimbing ke tempat tidur.
***
Sasuke bangun pagi-pagi keesokan harinya, sudah menjadi kebiasaannya. Ia berpikir untuk membangunkan Sakura, tapi gadis itu tampak begitu damai di pelukannya di balik selimut, lagipula mereka tidak punya rencana apapun sampai sore ini jadi ia kembali bergabung dengan istrinya itu. Bergeser mendekat, ia memeluk erat tubuh Sakura, kembali tidur selama beberapa jam lagi.
Mereka bangun jam 10 pagi dan memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur karena tidak ingin menyia-nyiakan hari mereka. Setelah mandi bersama, mereka pergi ke restoran hotel untuk makan siang sebelum pergi jalan-jalan menelusuri Hamamatsu untuk berbelanja dan melihat-lihat. Mereka tidak memiliki tujuan khusus dan tidak punya tempat khusus untuk dikunjungi selama berjam-jam berjalan-jalan.
Menggunakan transportasi umum, mereka berakhir di sebuah wisata akuarium, dimana Sakura berseru dan terpesona pada lumba-lumba kecil sampai Sasuke yang melihatnya merasa ingin muntah. Ketika Sasuke bergumam "Itu hanya ikan sialan", pemuda itu mendapat ceramah dari Sakura selama lima menit tentang bagaimana lucunya lumba-lumba mamalia dan sangat cerdas dan bla bla bla...
Sasuke berhenti mendengarkan ceramah Sakura begitu kata 'mamalia' keluar dari bibir gadis itu dan alih-alih hanya memperhatikan payudara istrinya yang memantul ketika gadis itu berbicara dengan penuh semangat tentang lumba-lumba. Begitu Sakura menyadari tatapan Sasuke tertuju pada payudaranya, ia menggeram, menginjak kaki suaminya, dan melangkah pergi.
Sambil terkekeh, Sasuke menyusul Sakura, meminta maaf, dan mengatakan pada istrinya bahwa lumba-lumba adalah ikan terbaik yang pernah ada. Lalu ia mencium Sakura lembut di tengah akuarium, yang sepertinya berhasil membuat gadis itu tidak lagi berminat untuk berdebat.
Setelah akuarium, mereka kembali ke jantung kota untuk berbelanja dan makan siang. Sasuke melirik jam tangannya dan mendesah keras berusaha terlihat dramatis. "Sayang, kita mungkin nanti akan berjalan-jalan sampai larut malam. Mau tidur siang sebelum kita harus berkeliling lagi? Kau terlihat sangat lelah." Ia membuat kesalahan dengan menaik-turunkan alisnya.
"Sasuke-kun, jika kau ingin kembali ke hotel dan ingin melakukan hubungan seks, katakan saja padaku," Ia menghela napas, jengkel pada usaha suaminya yang sangat payah untuk membawanya kembali ke kamar hotel mereka dan 'telanjang'.
"Oke, baiklah. Sakura, aku ingin kita kembali ke hotel dan melakukan seks di siang hari ini."
Memutar matanya, Sakura berdiri dan mendorong kursinya ke belakang. "Kau, babi besar." Ia mengambil tas kecilnya dan berjalan beberapa langkah, tapi kemudian menoleh. "Kau ikut atau tidak? Aku membeli celana dalam berenda baru yang ingin kutunjukkan padamu," ucap Sakura menyeringai.
Sasuke balas menyeringai, menaruh beberapa uang di atas meja, dan mengikuti Sakura keluar restoran. Sejauh ini, ia benar-benar mencintai Hamamatsu—kecuali untuk lumba-lumba dan bajingan pencinta pizza di atas sepeda.
***
Sore hari, meskipun mereka lelah karena kegiatan mereka di kamar tidur sepanjang siang, kini mereka berdua telah mengenakan pakaian indah mereka dan sedang duduk di sebuah restoran lima blok dari hotel mereka. Sakura membaca menu restoran itu, akhirnya memilih ayam panggang. Sedangkan Sasuke memilih steak, tentu saja, dan memilih untuk mengabaikan harga gila di restoran itu—ia bisa mendapatkan tiga steak di Shibuya untuk harga itu.
Mereka duduk disana, menikmati musik lembut dari kuartet biola yang diputar di sudut restoran. Sasuke bergeser dengan gugup beberapa kali dan itu tidak luput dari pandangan Sakura.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Sakura pada suaminya sebelum menyesap minumannya.
Sasuke menatap Sakura, matanya terlihat lebih gelap. "Ya... baik... luar biasa..."
Sakura mengejek. "Aku tahu kau bohong."
Sasuke hanya mengangkat bahu, tidak mengatakan apa-apa. Sebaliknya, ia mengetuk-ngetukkan kakinya dengan cepat di lantai.
Tidak lama setelah makanan mereka diantar ke meja, Sasuke memutuskan bahwa ini sudah waktunya. Ia berdeham, menyesap sedikit dari gelas anggurnya, dan mulai berbicara.
"Sakura... Aku tahu bahwa kau dan aku tidak memiliki 'pertunangan'," Suara Sasuke sedikit pecah dengan rasa gugup ketika ia berbicara. "Dan karena kita tidak bisa kembali ke masa lalu dan membuat semua ini nyata sejak awal, kita bisa memastikan ini nyata di masa depan."
Sasuke mendorong kursinya ke belakang dan berjalan ke sisi meja Sakura. Sambil berlutut, ia menarik kotak cincin dari sakunya. Sedangkan Sakura tampak terkejut, menutupi mulutnya dengan tangan.
Ketika Sasuke berusaha membuka kotak itu, ia menyadari bahwa ia gemetaran. Kumpulkan keberanianmu, Uchiha! Gadis ini sudah menjadi istrimu!
Membuka kotak itu, Sasuke menyerahkannya pada Sakura. "Uchiha Sakura... aku tahu aku tidak bisa memintamu menikah denganku karena kita memang sudah menikah... Tapi... maukah kau terus memiliki ikatan pernikahan denganku?"
Sakura menatap cincin berlian di dalam kotak dan kemudian memandang wajah suaminya yang tampan—yang tampak gugup. Ia menyadari keheningan di restoran ketika orang-orang disana menatap mereka dengan penuh rasa ingin tahu, memperhatikan kata-kata yang diucapkan Sasuke. Tapi ia tidak peduli. Tangannya gemetar dan dengan air mata mengalir di sudut matanya, ia mengangguk.
"Ya, Sasuke-kun, aku berjanji akan terus bersamamu."
Sasuke menghembuskan napas yang tidak disadari telah ditahannya dan kemudian menegur dirinya sendiri dalam hati. Bukan berarti ia benar-benar melamar Sakura. Shit, mereka sudah menikah! Tapi... melakukan sesuatu yang romantis seperti ini membuatnya merasa sensitif dan rentan.
Melepas cincin itu dari kotak, Sasuke menyelipkannya di jari Sakura. Ia menarik Sakura ke arahnya dan mencium gadis itu di tengah tepukan dan beberapa siulan seisi restoran sebelum menarik diri. Menekan keningnya pada kening Sakura, ia berbisik, "Aku sangat mencintaimu." Ia kemudian berdiri, duduk kembali, dan kembali fokus ke makanannya.
Para pengunjung satu persatu berpaling, menyadari bahwa pertunjukan sudah berakhir. Sakura hanya duduk di sana, senyum lebar terpasang di wajahnya ketika ia menggerakkan tangannya yang menyebabkan cincin itu berkilau dalam cahaya.
"Aku menyukainya, Sasuke-kun. Terima kasih," ucap Sakura lembut.
Sasuke hanya tersenyum, meraih ke seberang meja untuk mengambil salad yang belum dimakan, dan mencoba rileks di kursinya. Shit, aku baik-baik saja.
***
Setelah makan malam—yang didiskon oleh restoran sebagai hadiah 'selamat atas pertunangan kalian'—Sasuke dan Sakura berjalan-jalan di trotoar. Mereka hampir tiba di hotel ketika Sasuke berbelok, menarik Sakura ke belakang.
"Sasuke-kun, kita akan kemana? Hotel kita ada di sana."
"Kita tidak akan pergi ke hotel, Sayang. Kita harus pergi ke tempat lain dan hanya tinggal 15 menit untuk sampai ke sana." Sasuke mengambil langkah, mencengkeram tangan Sakura dengan erat, dan gadis itu pun mengikutinya.
Ketika Sasuke melambatkan langkahnya saat sampai di tujuan mereka, Sakura berhenti mendadak, tangannya menutupi mulutnya lagi karena terkejut.
Mereka berdiri di depan sebuah gedung teater.
Mulutnya terbuka, air mata mengalir di mata Sakura lagi. "Kau membawaku ke sini untuk menonton Wicked?"
Sasuke mengangguk. "Kau menyukainya, bukan?"
Kini giliran Sakura yang mengangguk. "Tapi bagaimana kau tahu?"
"Kau selalu mendengarkan soundtrack-nya. Bahkan, kurasa aku hafal liriknya hampir sama baiknya denganmu. Jadi kupikir kau ingin menontonnya."
Sakura memeluk leher Sasuke dan mencium pipi pemuda itu. "Kau terlalu baik padaku, Sasuke-kun."
Sasuke meletakkan tangannya di pinggang Sakura dan menatap mata gadis itu. "Aku hanya memberikan apa yang aku dapatkan, Sayang."
Sakura berbalik, melakukan sedikit tarian bahagia yang aneh yang menyebabkan Sasuke tertawa terbahak-bahak, dan kemudian mereka berjalan ke pintu masuk tempat penyerahan tiket.
Segera, mereka duduk dibaris ke-15 di bagian tengah, dan setelah lampu mati, selama teater berlangsung, Sasuke mendapati dirinya terpesona oleh karakter, kostum, dan musiknya secara langsung. Ia juga terus melirik ke arah Sakura, yang menggenggam tangannya erat-erat sepanjang teater berlangsung, bahkan ketika gadis itu tersenyum begitu lebar, ia takut mata gadis itu akan keluar dari kepalanya yang cantik.
Pada akhirnya, ketika Elphaba dan Glinda mengucapkan salam perpisahan untuk yang terakhir kalinya, Sasuke mengarahkan matanya ke langit-langit untuk melawan rasa panas aneh di matanya—sepertinya angin Hamamatsu yang bodoh telah meniupkan sampah ke matanya.
Teater berakhir, Sakura berdiri dari tempat duduknya dan bertepuk tangan keras sebelum mengeluarkan siulan yang paling nyaring dan paling keras yang pernah Sasuke dengar. Sasuke menatap Sakura sendu saat gadis itu melompat-lompat kecil dan bertepuk tangan liar. Ia merasakan sedikit rasa bersalah karena seharusnya Sakura berada di atas panggung, bukan berada di kerumunan dan bertepuk tangan. Tapi gadis itu sama sekali tidak terlihat sedih, sepanjang Sasuke memperhatikan. Gadis itu tampak bersinar dengan sukacita. Jadi mungkin Sasuke perlu membuang rasa bersalahnya. Ia tahu bahwa malam ini, Sakura tidak fokus pada mimpinya yang hilang. Gadis itu fokus padanya, pada anak mereka... pada mereka berdua.
Setelah mereka meninggalkan teater, Sasuke memanggil taksi dan mereka kembali ke hotel. Secara fisik, Sakura kelelahan dari kegiatan sepanjang hari ini. Begitu masuk ke kamar mereka, Sasuke bahkan tidak perlu menyalakan lampu. Sakura telah membuka tirai, membiarkan lampu-lampu kota Hamamatsu masuk ke ruangan lagi, dan mulai membuka pakaiannya di bawah sinar bulan.
Sasuke duduk di tempat tidur, masih berpakaian lengkap, dan menyaksikan Sakura diam-diam menarik gaunnya ke pinggulnya dan dengan pelan menggantungkannya di belakang kursi. Mulutnya terasa berair ketika melihat Sakura meraih ke belakang punggung dan membuka branya. Melemparkan branya ke lantai, Sakura menarik lepas celana dalam renda merahnya dan tersenyum. Mencoba untuk terlihat sedayu mungkin dengan perut hamil, ia merangkak ke tempat tidur dan duduk di balik selimut.
Sasuke dengan cepat melepaskan pakaiannya sendiri, jantungnya berdetak kencang. Sudah waktunya untuk bagian kedua, bung, ucapnya dalam hati.
Dalam kegelapan ruangan yang sunyi itu, Sasuke merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan cincin. Sakura berbaring di tempat tidur, menatap ke jendela yang terbuka, dan tidak memperhatikan Sasuke. Perlahan, Sasuke merangkak naik ke tempat tidur sampai ia berada di sebelah istrinya itu.
"Saku," bisik Sasuke.
Sakura menoleh untuk menatap suaminya.
"Masih ada satu hal lagi yang ingin kuberikan padamu."
Sakura berbalik, tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap Sasuke penuh harap, senyum kecil bermain di bibirnya.
Mejangkau ke sampingnya, Sasuke mengeluarkan dua cincin pernikahan dan mengangkatnya sehingga Sakura bisa melihatnya di ruangan yang remang-remang itu. Mata emerald Sakura membelalak kaget saat ia menatap cincin itu. Sasuke meraih tangan Sakura, menariknya ke bibirnya. Ia memberikan ciuman di punggung tangan Sakura, kemudian membaliknya dan mencium tiap jari-jari gadis itu. Membalikkan tangan Sakura kembali, Sasuke menyelipkan cincin itu di jari Sakura. Ia berbisik, "Dengan cincin ini, aku menikah denganmu... lagi."
Sakura mengeluarkan isak kecil kebahagiaan, air mata mengalir di pipinya melihat sikap lembut Sasuke. Ia mencondongkan tubuh ke depan, mencium bibir Sasuke dalam ciuman yang intens, sebelum meraih cincin yang satu lagi. Ia meraih tangan Sasuke, mengulangi tindakan pemuda itu dan mencium tangannya dengan lembut. Mengambil cincin itu, ia menyelipkan cincin di jari pemuda itu, "Dengan cincin ini, aku menikah denganmu... Untuk saling memiliki dan saling menjaga dari hari ini dan seterusnya..."
Sasuke tersenyum, sebenarnya ingin membiarkan dirinya menangis sesekali tanpa merasa seperti gay. Ia mencintai gadis ini. Ia mencintai gadis ini...
Sakura meraih tangan Sasuke, mengaitkan jari-jari mereka, sebelum mendorong dirinya dari posisinya di tempat tidur dan mengangkang di pangkuan suaminya itu. Saling menatap untuk sesaat, ia menjatuhkan ciuman dengan lembut di sepanjang garis rahang Sasuke sebelum melebur ke dalam pelukan pemuda itu.
Sasuke melingkarkan lengannya di tubuh Sakura, "Apa aku berbuat baik?" Ia berbisik ke rambut Sakura yang beraroma stroberi.
"Sangat baik," ucap Sakura jujur, suaranya diwarnai dengan emosi bahagia yang mengalir di sekujur tubuhnya yang mungil. Ia tidak pernah benar-benar tahu seperti apa cinta kecuali ini? Ini adalah cinta...
Sasuke mengencangkan pelukannya pada Sakura dan menariknya untuk berbaring di tempat tidur. Ia meletakkan tangannya di perut Sakura, berharap bisa merasakan putra mereka menendang.
Beberapa menit berlalu, akhirnya tangannya disambut dengan tendangan yang kuat. "Kurasa Conan juga menyetujuinya." ucap Sasuke.
"Conan?" Sakura terkikik, meletakkan tangannya di atas tangan Sasuke.
"Conan berteriak 'badass' kurasa," ucap Sasuke. Sakura mendengus, menyimpan pendapatnya sendiri untuk saat ini.
Mereka duduk diam selama beberapa menit, keduanya memandangi jari manis mereka dan merasakan tendangan putra mereka.
"Sasuke-kun?" Sakura akhirnya berbisik.
"Ya, Nyonya Uchiha?"
Penggunaan atas nama 'resminya' membuat Sakura tersenyum dan merasakan desiran melintasi tubuhnya. Sasuke membuatnya lemah malam ini! Berfokus kembali pada pertanyaannya, ia mulai berbicara. "Kenapa kau terus bersikeras menyarankan nama-nama mengerikan seperti itu?"
Sasuke hanya tertawa, tidak mau membahas nama-nama bayi sekarang. Sebagai gantinya, ia menundukkan kepalanya dan menempelkan bibirnya ke puting Sakura yang terbuka, menariknya lembut dengan giginya sampai gadis itu merespon dengan erangan. Mereka akan berbicara nama bayi sekembalinya mereka ke Shibuya. Sekarang adalah waktunya untuk tidak berbicara sama sekali.
***
To be continued
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)