Chapter 12 - Games
Sakura tidak pernah menjadi orang yang mengasihani diri sendiri. Ia telah berhadapan dengan kenyataan bahwa orang-orang memiliki kehidupan mereka sendiri. Ketika sesuatu yang tidak menguntungkan terjadi, ia dengan cepat harus bangkit sendiri dan terus melanjutkan langkahnya karena matanya selalu fokus pada apa yang benar-benar penting—masa depannya.
Ia sekarang sedang sendirian di rumah seminggu setelah kelulusannya, sedang melipat pakaiannya ketika satu pemikiran muncul dalam kepalanya; sekarang, ia seharusnya berada di New York City, mencari apartemen pertamanya. Karena audisi pertama untuk Broadway akan segera tiba.
Sebelum hari kelulusannya, fakta bahwa mimpinya hilang tidak benar-benar mempengaruhinya. Ya, ia jelas tahu bahwa hidupnya akan berbeda sekarang karena ia hamil dan menikah dengan seorang pemuda yang ia tidak benar-benar kenal dengan baik, bahkan jika ia benar-benar mencintai pemuda itu. Ya, ia telah menyadari bahwa impiannya telah menguap dan ia harus menemukan dan mengejar impian baru. Tapi saat ia masih sibuk dengan pendidikan, rasanya masih belum banyak yang berubah. Namun setelah lulus, membuatnya terlalu banyak waktu untuk berpikir. Dengan tidak adanya studi yang harus dilakukan, tidak ada kertas untuk menulis, tidak ada tugas untuk dikerjakan, ia mulai merenungkan kehidupan dan menyadari sudah sangat banyak yang telah berubah.
Sakura tahu, bahkan ketika kini ia duduk bersila di tempat tidur milknya dan Sasuke, bahwa ia harus menyerahkan mimpi yang ia kejar sejak ia berusia empat tahun adalah salah satu hal terburuk yang harus dilakukan siapapun. Beberapa hari terakhir ia memikirkan ini, dan ia merahasiakan ini dari Sasuke. Ia tidak ingin Sasuke menyadari bahwa hatinya hancur untuk apa yang tidak bisa ia kejar ini, karena ia memang mencintai Sasuke dan menikmati kenyataan bahwa Sasuke mengatakan padanya bahwa pemuda itu juga merasakan hal yang sama.
Sakura memang mencintai bayi laki-laki yang tumbuh di dalam dirinya. Ia bermimpi tentang bayinya hampir setiap malam. Tapi ia masih mencintai Broadway... ia masih menyukai perasaan yang ia dapatkan ketika ia bernyanyi... ia masih menginginkan panasnya sorotan lampu panggung. Sebesar apapun ia mencoba, hal-hal itu sulit untuk ia lupakan.
Ketika Sakura melihat sekeliling rumah yang ia tinggali bersama Sasuke, yang sudah sangat bersih karena ia telah menghabiskan seminggu terakhir membersihkan segala sesuatu di sana karena bosan, ia menyadari bahwa ia perlu mengisi waktunya. Duduk di rumah, memikirkan mimpi yang hilang tidak akan mengubah apapun. Dan sejujurnya, ia tidak bisa mengakui bahwa ia ingin mimpinya kembali, sungguh. Ia tidak membayangkan hidup seperti ini dan ini bukan apa yang ia rencanakan, tapi Sasuke... Sasuke menjadikan semuanya sangat berharga. Ia menikah dengan salah satu pemuda paling tampan yang pernah ia temui dan pemuda itu mencintainya. Dan itu bukan hal yang akan seorang wanita cerdas seperti dirinya ingin singkirkan. Hidup benar-benar berbeda dari yang direncanakannya. Tapi ia akan beradaptasi. Dalam hampir empat bulan ini, ia akan memiliki gelar baru; Mama. Dan itu? Itu lebih mendebarkan daripada sorotan lampu panggung paling terang sekalipun.
Sakura menyeka air matanya, menyingkirkan kaus kakinya yang terlipat, dan memutuskan untuk mulai menulis sebuah daftar. Daftar yang harus ia lakukan untuk membuat dirinya sibuk.
Menjelang siang, dengan bantuan semangkuk besar es krim, Sakura telah menarik diri dari rasa iba pada dirinya sendiri dan membuat dua daftar yang akan ia lakukan; pertama daftar untuk persiapan bayi, dan yang kedua tentang pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Sasuke tentang hidup pemuda itu sebelum kedatangannya. Ia mengenal hati Sasuke dengan baik, ia tahu setiap lekukan, setiap otot, setiap titik halus di tubuh Sasuke, tapi masih ada begitu banyak pertanyaan di dalam kepalanya. Jadi sekarang, ia akan fokus untuk menarik hal-hal tersembunyi itu ke tempat terbuka. Ia ingin tahu semua yang membuat seorang Uchiha Sasuke menjadi pemuda yang luar biasa sekaligus menjengkelkan.
***
Di pagi yang sama, bertentangan dengan perasaan Sakura, seorang Haruno Kizashi masih merasa sangat marah. Ia berharap akan mendengar kabar dari Sakura dalam seminggu terakhir ini. Dan ketika Sakura menelepon nanti, ia akan dengan tenang, tidak menuduh, bertanya pada putrinya itu mengapa kunjungannya diabaikan. Dan ia akan dengan tenang, tidak menuduh, mengingatkan Sakura untuk tidak mengabaikannya. Tapi sampai saat ini Sakura belum menelepon. Jadi Kizashi memutuskan untuk menelepon seseorang pagi itu. Ia memiliki banyak relasi di luar sana untuk dimanfaatkan dan pada hari itu, ia akan menggunakan salah satunya.
***
Sasuke dan Naruto sedang memperbaiki Camero '68 ketika tiba-tiba bos mereka berjalan ke tempat mereka bekerja dengan empat petugas polisi di belakangnya.
"Teman-teman... aku ingin kalian berhenti bekerja dulu. Polisi di sini datang dengan surat perintah penggeledahan," ucap bos mereka, Kakashi, mengumumkan pada enam karyawan di bengkel itu.
"Untuk apa?" respon Sasuke, tampak sedikit khawatir.
Seorang polisi melangkah maju. "Kami telah menerima informasi bahwa ada aktivitas narkoba yang berasal dari tempat ini. Sekarang, tolong kalian tetap di tempat sehingga kami dapat mengerjakan tugas kami..."
Setengah jam berikutnya berlalu dengan lambat. Lima karyawan lainnya sudah di biarkan duduk. Sedangkan Sasuke di dorong menghadap dinding dan digeledah selama lima menit, bahkan harus melepas sepatunya. Selanjutnya, Sasuke diperintah berdiri, pemuda itu tidak bergerak tapi buku-buku jarinya terkepal dan rahangnya mengeras, karena kini kotak peralatannya dan ranselnya diperiksa. Begitu mereka selesai dengan bagian dalam bengkel, mereka memeriksa kendaraan semua karyawan. Sasuke memperhatikan bahwa mereka menghabiskan waktu tiga kali lebih lama untuk menggeledah mobilnya dibanding yang dilakukan pada mobil karyawan lain.
Semua ini omong kosong dan ada sesuatu yang terasa tidak beres. Penggeledahan narkoba terhadap salah satu bisnis bengkel terbesar di kota, di siang hari dan saat jam kerja? Fuck, ini tidak seharusnya terjadi di sana.
***
Ketika Sasuke pulang ke rumah tiga jam lebih awal dan dengan ekspresi mengerikan di wajahnya, Sakura tahu ada sesuatu yang terjadi. Sasuke menjatuhkan diri di sofa dan menarik Sakura ke pangkuannya, tanpa sadar membelai rambut gadis itu dengan jari-jarinya tanpa mengatakan apa-apa.
"Apa yang terjadi, Sasuke-kun? Kau terlihat marah."
"Ada penggeledahan narkoba di tempat kerjaku hari ini," ucap Sasuke dengan nada serius.
Spontan Sakura menutupi mulutnya dengan tangan, terkejut. "Apa sebabnya?"
"Persetan kalau aku tahu. Yang kutahu adalah mereka menghabiskan tiga kali lipat lebih lama untuk menyelidikiku dan barang-barangku. Dan itu tidak luput dari perhatian bosku, yang langsung memanggilku ke kantornya setelah polisi pergi, dan menuduhku membawa barang sampah itu ke tempat kerja. Polisi tidak menemukan apa-apa, tentu saja, tapi Kakashi marah padaku karena aku adalah target mereka sehingga dia juga mencurigaiku. Kemudian setelah dia menyadari dia tidak menemukan apapun karena aku tidak melakukan kesalahan, dia menutup toko lebih awal. Aku yakin dia ada di bar sekarang." Sasuke mengusap wajahnya dengan tangannya. "Fuck," umpatnya.
"Itu mengerikan! Kenapa mereka mencurigaimu? Kau tidak menggunakan narkoba!"
"Lagipula kenapa mereka harus menggeledah tempat kerjaku daripada tempat lain."
Sasuke menurunkan Sakura dari pangkuannya dan mencium bibir istrinya itu. "Aku akan pergi jogging untuk mencoba membakar amarah ini."
Sakura memperhatikan Sasuke melangkah ke luar, perutnya terasa mengencang, tapi ia tahu itu bukan disebabkan oleh bayinya. Apa yang sedang terjadi ini?
Setelah selesai jogging, Sasuke segera mandi dan menjatuhkan diri di depan televisi. Sakura telah menyiapkan lasagna untuk makan malam dan ketika mereka duduk, Sakura ingin mengalihkan perhatian Sasuke dari peristiwa mengerikan hari itu dengan menyodorkan daftar yang telah dibuatnya.
Sasuke melihat selembar kertas itu, penuh coretan tangan Sakura, dan ia menunjuknya dengan garpu. "Apa itu, Sayang?"
Sakura tersenyum pada Sasuke ketika ia meneguk tehnya. "Aku menyadari hari ini bahwa, tentu saja, masih banyak yang kau dan aku tidak ketahui tentang satu sama lain. Kita melakukan semua ini secara terbalik, kau tahu... sayang, pernikahan, jatuh cinta, dan kemudian baru benar-benar mengenal satu sama lain. Jadi daftar ini... ini akan menjawab beberapa pertanyaanku tentangmu." Ia bersandar di sofanya, puas.
Sasuke menatap Sakura lalu turun ke daftar itu. Ia tidak yakin apa yang sedang ia hadapi, tapi Sakura menatapnya dengan mata penuh harap. Akhirnya Sasuke tersenyum pada istrinya itu, "Tanyakan saja padaku."
Sakura mengambil daftar itu dan membaca pertanyaan disana. Ia menatap Sasuke, "Oke, pertanyaan pertama; apa kenangan ulang tahun favoritmu sejak kecil?"
Sasuke menggigit lasagna-nya, mengunyah, dan menelannya. "Itu mudah! Saat aku berusia tujuh tahun, aku ingin sepasang sepatu bot koboi dan meja biliar untuk ulang tahunku. Ibuku bilang aku tidak bisa memiliki keduanya dan aku harus memilih satu. Tapi aku menolak karena... yeah... aku menginginkan keduanya. Tapi ibuku terus memberitahuku bahwa aku harus memilih dan aku benar-benar menolak. Jadi pada hari ulang tahunku, aku turun ke bawah dan di sana ada meja biliar dengan sepasang sepatu bot koboi abu-abu diletakkan di tengahnya. Itu sangat mengagumkan! Aku ingat waktu aku memakai sepatu bot dengan piyama Superman dan bermain biliar hampir sepanjang hari." Sasuke memutar ulang hari itu dalam benaknya sejenak dan kemudian menambahkan, "Dammit, itu hari yang hebat."
Sakura tersenyum lebar, senyumnya membuat mata emeraldnya berkilau. Ini persis hal yang ia ingin ketahui tentang suaminya.
"Lanjut?" tanya Sasuke, memasukkan setengah potong roti ke dalam mulutnya.
Sakura melihat daftarnya lagi. "Apa ketakutan terbesarmu?"
Sasuke merengut. Itu bukan pertanyaan yang mudah. Ia takut banyak hal; kegagalan, impotensi, ular, impotensi, kehilangan rambut kerennya, impotensi... "Umm... yang paling kutakutkan? Aku takut tidak bisa menjagamu dan bayi kita. Aku takut menjadi seperti ayahku, kurasa."
Sakura berkata pelan, "Kau tidak akan, kau tahu..."
"Aku tidak akan apa?"
"Kau tidak akan mengecewakan kami... dan kau tidak akan berubah seperti ayahmu."
Sasuke memiringkan kepalanya ke gadis cantik di seberangnya. "Tapi bagaimana kau tahu?"
Sakura berdiri dan berjalan ke arah Sasuke. Ia duduk di pangkuan pemuda itu. "Kau tidak akan menjadi seperti ayahmu karena kau sangat menyadari apa yang dia lakukan padamu dan ibumu dan kakakkmu. Tidak, Uchiha Sasuke, kau tidak akan seperti ayahmu... atau ayahku... kau akan menjadi tipe ayah yang luar biasa dan anak kita akan sangat beruntung memilikimu."
Sasuke meraih belakang kepala Sakura dan mencium istrinya itu dengan kasar, takut emosinya akan mengkhianatinya. Ia tidak ingin menjadi pria cengeng di depan Sakura hari ini, bahkan jika hari ini adalah hari yang mengerikan. Tapi dengan Sakura di pangkuannya dan lasagna di dalam perutnya, hari ini sedikit lebih baik sekarang.
Sakura bangkit dari pangkuan Sasuke dan kembali ke tempatnya semula.
Sasuke menatap Sakura ketika gadis itu sedang melihat daftar, "Sekarang giliranmu, Sayang."
Sakura mendongak. "Aku?"
"Ya... aku juga ingin tahu tentangmu."
Sakura berpikir sejenak. "Ketakutan terbesarku adalah bahwa aku akan menjadi ibu yang buruk. Aku takut aku akan menjatuhkannya atau lupa memberinya makan atau meninggalkannya sendirian di rumah atau sesuatu yang mengerikan. Atau bagaimana jika aku mencoba memaksanya untuk berjalan terlalu cepat... atau aku bernyanyi terlalu keras padanya dan dia menjadi tuli?" Ia memperhatikan bibir Sasuke bergerak dan mulai tertawa. Ia merengut pada pemuda itu. "Ini tidak lucu. Bagaimana jika aku memaksakan terlalu banyak lagu padanya dan dia tumbuh menjadi pembunuh berantai?"
Sasuke terus tertawa, menyukai cara Sakura menggigit bibir ketika sedang cemas. "Jika aku akan menjadi ayah yang luar biasa, kau juga akan menjadi ibu yang luar biasa. Kau tidak perlu khawatir tentang itu. Aku selalu ada disampingmu."
Sakura tersenyum lebar, mengangguk, "Dan kenangan ulang tahun masa kecil favoritku? Itu terjadi saat ulang tahunku yang keenam belas, ketika ayahku membawaku ke New York dan kami menghabiskan akhir pekan di enam pertunjukan Broadway yang berbeda. Itu adalah akhir pekan yang luar biasa."
Sasuke memperhatikan Sakura berbicara tentang Broadway dan tidak melewatkan sekilas kesedihan yang melintas di mata gadis itu. Dan meskipun kesedihan itu hilang secepat kesedihan itu datang, tapi hal itu meninggalkan rasa terbakar di dada Sasuke karena ia tahu Sakura masih sering memikirkan tentang Broadway. Harapan terdalamnya adalah ia bisa memberi Sakura kehidupan yang membuat gadis itu tidak menyesali pilihan yang telah dibuatnya. Hanya itu yang bisa Sasuke lakukan, selain mencintai Sakura.
Setelah makan malam, Sasuke membantu Sakura mencuci piring dan kemudian mereka meringkuk di bawah selimut dan menonton TV sampai ia melihat Sakura mulai tertidur. Ia membangunkan Sakura dan kemudian melingkarkan lengannya di tubuh gadis itu untuk membimbingnya ke kamar tidur.
Sasuke duduk di tempat tidur, memperhatikan Sakura mengganti pakaian dengan gaun tidurnya. Ia suka menatap Sakura... gadis itu sangat cantik. Dan semakin besar perutnya, semakin mengagumkan.
Begitu Sakura selesai berganti pakaian, Sasuke melepas kaosnya dan mereka meringkuk bersama di bawah selimut. Sasuke membungkuk dan mencium Sakura dalam-dalam sebelum mematikan lampu.
Dalam kegelapan, Sasuke berbisik, "Aku mencintaimu, Saku."
"Aku juga mencintaimu, Sasuke-kun," bisik Sakura sebelum berguling ke samping untuk menghadap suaminya itu.
Mereka berbaring diam selama beberapa menit, keduanya masih memikirkan kejadian hari ini. Sakura mendengar Sasuke menarik napas seolah pemuda itu akan mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Beberapa menit kemudian, pemuda itu melakukannya lagi.
"Sasuke-kun, ada apa?"
Sasuke menyelipkan tangan di bawah kepalanya, menatap keluar ke kegelapan kamar mereka. "Ini mungkin terdengar gila tapi aku... aku pikir apa yang terjadi hari ini ada hubungannya dengan..."
Sakura memotong ucapan Sasuke. "...dengan ayahku. Ya, aku tahu."
Sasuke berbalik ke samping sehingga ia sekarang menghadap Sakura. "Tapi kenapa dia melakukan hal seperti itu?"
"Karena dia bisa," ucap Sakura pelan. "Kepala polisi selalu berada di bawah tangannya. Aku pernah mendengar dia merujuk tentang 'relasi' mereka beberapa kali. Mungkin dia menggunakannya kali ini..."
"Tapi kenapa? Aku hanya tidak mengerti. Dia yang 'ingin' aku menikahimu, ingat?"
Sakura bergeser mendekat pada Sasuke. Sasuke melingkarkan lengannya ke pinggang Sakura, menarik gadis itu sedekat mungkin.
"Tapi dia tidak berencana membuat kita nyaman satu sama lain. Dan dia jelas tidak berencana membuat kita saling jatuh cinta. Aku sudah memikirkan hal ini sejak kelulusan. Dengan aku dipaksa menikah denganmu, dia berpikir dia masih bisa mengendalikanku, tapi sekarang setelah kau dan aku memiliki pernikahan yang nyata, dia memiliki kendali yang jauh lebih sedikit atas diriku... Jadi mungkin dia berharap mereka akan menemukan narkoba dan kau akan masuk penjara. Atau mungkin dia berharap semua hal itu akan membuatmu dipecat. Itu memberinya kekuatan kembali..."
Sasuke menghela napas, memikirkan kemarahan yang ditunjukkan Haruno Kizashi saat kelulusan Sakura. Ia kemudian menempelkan bibirnya ke bibir Sakura dengan lembut. "Dia tetap tidak akan bisa menjadi penghalang di antara kita... Kau tahu itu, kan?"
Sakura mengangguk dalam kegelapan dan balas mencium Sasuke. "Dia tidak akan bisa."
Kata-kata sederhana Sakura sedikit menenangkan Sasuke. Merasakan ketegangan yang ia alami sepanjang hari berkurang, ia mendorong pelan Sakura untuk berguling ke arah lain, membelakanginya. Kemudian menarik Sakura agar punggung gadis itu menempel pada dadanya. Ia melingkarkan lengannya pada Sakura, melindungi putranya. Dalam keheningan, ia membelai perut Sakura dengan ibu jarinya sampai mereka berdua tertidur.
***
Uchiha Sasuke seolah memiliki papan target di punggungnya. Kurang dari seminggu setelah dugaan 'narkoba' di tempat kerjanya, ia telah dipanggil oleh polisi tidak kurang dari enam kali. Ia punya begitu banyak kartu peringatan berbagai pelanggaran—melaju 7 mil/jam adalah melebihi batas kecepatan? Serius? Mengemudi terlalu cepat dalam cuaca hujan? SERIUS?—hingga ia harus mengambil pinjaman hanya untuk membayar tebusan omong kosong itu. Haruno Kizashi sedang mempermainkannya, Sasuke tidak ragu lagi.
Pada saat akhir pekan tiba, Sasuke sudah kehabisan akal. Sakura selalu dibuat cemas, selalu gelisah karena ia yakin bahwa Sasuke bisa menghubunginya dari penjara kapan saja, memerlukan tebusan. Untuk pertama kalinya dalam kehidupannya yang singkat dengan Sasuke, ia melihat Sasuke benar-benar terbuka ketika mendiskusikan ayahnya. Hingga ia melemparkan sekotak penuh spageti sembarangan ketika Sasuke memberitahunya tentang pelanggaran terakhirnya.
Jumat malam, Sasuke memghubungi Sakura dalam perjalanan pulang kerja dan mengatakan pada istrinya itu bahwa ia akan mampir ke rumah ibunya terlebih dulu. Ia belum berbicara dengan ibunya tentang seluruh masalah Haruno Kizashi, dan setelah seminggu yang seperti neraka ini, ia tahu ia perlu. Jika ada satu orang di seluruh bumi yang bisa dijadikan tempat berbagi masalah seperti Haruno Kizashi dan mencari solusi, itu adalah Uchiha Mikoto.
Sasuke membanting rumah masa kecilnya, menyebabkan ibunya menyentakkan kepalanya dari buku resep masakan yang dibacanya.
"Apa yang salah denganmu?" tanya Mikoto menyipitkan mata, tatapannya terfokus pada rahang putranya yang mengeras.
Sasuke menarik kursi dan duduk. Menjatuhkan kepalanya ke kedua tangannya, "Sialan Haruno Kizashi."
"Ayah Sakura? Apa yang terjadi dengannya? Kupikir dia sudah bunuh diri."
Sasuke mendengus terhadap lelucon ibunya. Meraih kursi di sebelahnya, ia menepuk kursi itu, "Duduk disini."
Mikoto, tampak cemas karena Sasuke tidak pernah benar-benar ingin berbicara dengan duduk bersebelahan seperti ini, ia melirik sosok putranya yang frustrasi. Selama setengah jam berikutnya, Sasuke menceritakan semua yang terjadi, dimulai dengan fakta-fakta yang sudah ibunya ketahui—pernikahan paksa dan uang—dan diakhiri dengan interaksi terakhirnya dengan Haruno Kizashi.
Ketika Sasuke selesai berbicara, ia mengangkat kepalanya dan menatap ibunya, mengharapkan kata-kata penghiburan. Sebaliknya, ibunya berkata, "Dan?"
"Dan? Dan apa? Semua ini rumit! Kami hanya tidak ingin dia terus ikut campur. Sakura juga butuh ketenangan selama kehamilannya. Aku ingin semua ini... selesai..."
Mikoto mengerutkan alisnya dan menatap bingung pada putranya sejenak. Lalu ia mengangkat tangannya dan memukul bagian belakang kepala Sasuke dengan keras. "Apanya yang rumit, bodoh? Keluar dari rumah itu dan kembalikan uangnya. Lalu tidak perlu ada koneksi lagi dengannya!"
Sasuke memelototi ibunya. Ibunya itu selalu membuat segalanya tampak begitu mudah. Kecuali... "Lalu di mana kami akan tinggal?"
"Kau mencintai Sakura-chan, kan?"
Sasuke mengangguk, jantungnya berdebar kecil seperti pria cengeng setiap kali ia membayangkan mata emerald Sakura menatapnya. "Tidak pernah aku perkirakan untuk... tidak pernah berencana juga untuk... tapi ya, aku... mencintainya." ucapnya sedikit berbelit.
"Kalau begitu tidak masalah di mana kalian tinggal. Rumah akan menjadi rumah, di mana pun itu, karena di situlah Sakura-chan dan bayinya berada. Dan..." Mikoto tersenyum, "...sayangku, Sasuke yang bodoh, ada rumah yang bisa kau sewa, berjarak tiga rumah dari sini. Rumah itu tidak sebesar rumahmu yang sekarang, tapi yang lebih penting, itu bukan milik Haruno Kizashi!"
Luar biasa, Sasuke memelototi ibunya lagi. "Tinggal dengan jarak tiga rumah darimu? Sialan tidak!"
"Gratis pengasuhan bayi..." Mikoto menawarkan, masih tersenyum. Sasuke berubah bersemangat. Itu menggiurkan... gratis pengasuhan bayi. Jadi ia tidak perlu membuang uang untuk membayar seorang babysitter.
***
Sasuke segera membuka pintu rumah yang ia tinggali bersama Sakura. Ia tidak sabar untuk berbicara dengan gadis itu tentang percakapannya dengan ibunya... dan kemudian membawa gadis itu ke tempat tidur. Karena semua kejadian ini, seks sedikit terlupakan dan itu tidak 'keren'. Tapi ketika ia masuk, rumah itu gelap kecuali satu lampu menyala di ruang tamu, yang menyinari Sakura. Gadis itu meringkuk di bawah selimut dengan tisu di tangannya, menangis.
Sasuke menjatuhkan ranselnya dan berlari ke arah Sakura. "Sayang, ada apa?"
Sakura menatap Sasuke, terisak. Air mata mengalir di pipinya. "Seorang wanita... seorang wanita datang ke sini sekitar satu jam yang lalu dan memberitahuku bahwa kau... kau adalah ayah dari anaknya dan kau meninggalkannya."
Kepala Sasuke terasa pusing. What the fuck? Ia bangkit dari sofa dan berdiri di depan Sakura. "Itu benar-benar sebuah kebohongan, Sakura. Itu benar-benar sebuah KEBOHONGAN. Kau adalah wanita pertama, dan satu-satunya yang aku hamili. Aku bersumpah. Dan aku meninggalkannya?"
Sakura terisak-isak ke dalam selimut dan Sasuke berdiri di sana tanpa daya, jantungnya berdegup kencang karena ia perlu Sakura untuk mempercayainya.
Sasuke berlutut lagi di depan Sakura. "Sayang... sayang... lihat aku." Ia meletakkan tangannya di bawah dagu Sakura dan mengangkat wajah gadis itu. Menyeka air mata istrinya itu, "Omong kosong itu tidak benar... Kumohon... kau harus percaya padaku." Ia tidak ingin memohon tapi ia akan melakukannya jika itu harus.
Sakura mengangguk. Matanya mempelajari wajah Sasuke, "Aku tidak menangis karena apa yang dilakukan wanita itu, Sasuke-kun. Aku bahkan tidak percaya padanya. Kecerdasanku sangat terhina jika aku cukup bodoh untuk percaya pada wanita menyedihkan itu. Aku menangis karena ayahku berusaha sangat keras untuk memisahkan kita..." Ia memalingkan muka, sebelum berbalik untuk melihat mata onyx Sasuke lagi. "Aku menangis karena aku tidak punya ayah yang menyayangiku... atau bahkan peduli dengan apa yang terjadi padaku. Sebagai gantinya, dia mengirim sembarang wanita, yang samar-samar seperti pernah kukenal, jadi kupikir wanita itu bekerja untuk ayahku, berpura-pura hamil untuk mendorongku menjauh darimu. Tapi sebaliknya, aku merasa seperti hidup dalam opera sabun yang ditulis dengan skenario buruk. Omong kosong macam apa ini?" Ia menekankan kata umpatannya.
Sasuke meraih pundak Sakura dan memeluknya. Rasa lega melandanya bahwa Sakura tidak meragukannya. Ia bisa menangani masalah menjengkelkan yang dilemparkan Haruno Kizashi padanya. Tapi ia tidak bisa mengatasi ini jika Sakura meragukan dirinya.
Mereka saling berpelukan selama beberapa menit dan Sasuke membelai rambut Sakura dalam diam. Begitu tubuh Sakura mulai rileks dan isak tangisnya hilang, Sasuke menarik diri dan menatap Sakura. "Bagaimana pendapatmu jika aku menyarankan agar kita memutuskan semua hubungan dengan ayahmu? Kembalikan uang sialan itu dan pindah dari rumah ini?"
Sakura ternganga. "Kau... kau akan melakukan ini untukku?"
Sasuke tertawa. "Kau bercanda? Lagipula aku belum menyentuh uang itu. Aku lebih suka menjadi bangkrut tapi bersamamu daripada memiliki semua uang itu tapi kehilanganmu. Kau dan bayi ini..." tangannya mengusap perut Sakura, "...adalah hal paling penting. Bukan rumah sialan ini dan juga uang sialan itu."
Isak tangis muncul kembali membuat tubuh Sakura bergetar mendengar kata-kata Sasuke. "Tapi... tapi di mana kita akan tinggal?"
Sasuke menghela napas. "Ibuku memberitahuku malam ini bahwa ada rumah kecil yang bisa kita sewa, berjarak tiga rumah dari rumahnya. Jika kau mau, kita bisa melihatnya besok."
Mata Sakura berbinar, kebahagiaan memancar diantara air matanya. "Aku ingin sekali tinggal dekat dengan ibumu!"
Sasuke mengerang, "Oke, setidaknya salah satu dari kita akan senang kalau begitu." Memalingkan kepalanya ke arah Sakura lagi, "Aku hanya menginginkanmu... itu saja... aku hanya menginginkan keluarga kita." Ia mencondongkan tubuh ke depan dan mencium Sakura dengan lembut. Sakura menghela napas tenggelam ke dalam pelukan Sasuke, mengubur hidungnya di tulang selangka suaminya itu.
"Jadi, sayang, kau benar-benar ingin melihat rumah itu?"
"Ya, Sasuke-kun... ayo besok kita lihat rumah itu!"
***
Pada jam 9 pagi keesokan harinya, pemilik sewa bertemu Sasuke dan Sakura di luar rumah mungil di ujung jalan, berjarak tiga rumah dari rumah Mikoto. Membuka kunci pintu, wanita pemilik sewa memberi isyarat agar pasangan muda itu masuk. Rumah itu jelas lebih kecil dibandingkan dengan rumah mereka saat ini. Ruang tamu dan dapur kurang dari setengah ukuran ruang makan yang mereka nikmati sekarang. Di lantai atas, ada tiga kamar tidur kecil dan tidak ada kamar mandi utama dengan Jacuzzi dan pancuran terpisah.
Sasuke yakin, melihat sekeliling rumah itu, bahwa Sakura tidak akan menyukainya. Sakura terbiasa dengan kemewahan. Rumah yang gadis itu tinggali bersama ayahnya bisa disebut sebagai sebuah rumah besar. Rumah yang mereka tinggali bersama, meski tidak mewah, jelas berada di level yang lebih tinggi dari ini. Dan rumah ini sangat sederhana sekali.
Ketika mereka berjalan menuruni tangga, Sakura memeluk leher Sasuke. "Aku menyukainya, Sasuke-kun."
Terkejut, Sasuke mengangkat satu alisnya, "Sungguh? Ini sama sekali tidak elegan. Ini hanya rumah yang membosankan dan sederhana."
"Tapi aku menginginkannya, Sasuke-kun. Rumah ini dekat dengan rumah ibumu, yang akan sangat membantu setelah bayi kita lahir. Dan... jika kita pindah ke sini, mungkin segalanya akan menjadi lebih baik. Ayo ambil rumah ini."
Dua puluh menit kemudian, Sasuke dan Sakura telah menuliskan cek dan membawa kunci rumah mungil baru yang akan segera mereka sebut 'rumah'. Pemilik sewa akan kembali besok, ketika mereka pindah, untuk meminta mereka menandatangani kontrak.
Ketika mereka melangkah keluar dari rumah mungil itu, Sasuke mengambil ponselnya dan menghubungi teman-temannya untuk meminta bantuan. Ia ingin rumah mungil itu sudah penuh besok dan semuanya sudah dipindahkan dari rumah lama mereka. Dan begitu mereka benar-benar keluar dari rumah lama mereka, ia akan melakukan obrolan kecil yang tenang dan menyenangkan dengan Haruno Kizashi.
Saat Sasuke dan Sakura kembali ke rumah lama mereka, Sakura melihat selembar kertas terlipat terjepit di bawah pintu. Sementara Sasuke masih membuka pintu, Sakura membuka lipatan kertas itu dan membacanya. Dan kemudian mulai terkikik.
Sasuke mendorong pintu depan terbuka dan menatap Sakura, bingung, melihat istrinya berdiri terkikik di teras. "Ada apa, Sakura?"
Tanpa kata Sakura menyerahkan kertas itu pada Sasuke. Ketika Sasuke selesai membaca, ia tertawa bergabung dengan Sakura.
Kertas itu berbunyi:
Dearest Sakura,
Ini menjadi salah satu bentuk perhatianku, berkat hubungan baik yang kumiliki dengan Kepala Polisi, aku tahu bahwa 'suami'mu telah memiliki lebih dari satu pelanggaran hukum pada akhir-akhir ini. Aku telah menunggumu untuk meneleponku untuk membahas masalah yang sangat serius ini, tapi karena kau tidak melakukannya, aku datang berkunjung. Tapi karena kau tidak ada di rumah, aku berharap untuk mendengar kabar darimu dalam waktu dekat. Kita perlu membahas keseriusan masalah ini. Awalnya aku percaya bahwa pernikahan ini adalah hal terbaik untuk melindungi nama Haruno, tapi pendapatku telah berubah. Aku tidak bisa membiarkanmu memiliki hubungan dengan penjahat kriminal.
Aku menunggu teleponmu,
Daddy.
"Sakura .. apa kau pikir dia sudah akan menyerah?" tanya Sasuke, memeluk pinggang Sakura yang masih terkikik dan menarik gadis itu ke dalam rumah.
Sakura mencium hidung Sasuke, "Tidak. Tapi kupikir dia sedang kesusahan berurusan dengan musuh yang belum pernah dilihatnya sebelumnya."
Sasuke menyeringai. "Aku benar-benar badass, bukan?"
Sakura mencubit lengan Sasuke. "Aku tidak berbicara tentangmu. Aku berbicara tentang 'cinta'. Aku tidak berpikir ayahku tahu apa yang harus dilakukan ketika dia berusaha melawan 'cinta'. Kurasa dia masih percaya bahwa dia dengan mudah bisa mengaturku dengan hanya melakukan beberapa aksi bodoh atau drama palsu. Tapi ayahku lupa, aku selalu lebih pintar daripada dia. Dan dia juga lupa bahwa aku bukan lagi bocah berumur 5 tahun! Dia yang memaksa kita bersama dan... kita tetap akan akan bersama seperti ini."
Sasuke mencium bibir Sakura dan memeluk gadis itu. Adrenalin kemenangan masuk melalui pori-porinya, karena besok, Haruno Kizashi akan dikebiri secara figuratif di tangan Uchiha Sasuke dan ia akan sangat menikmatinya.
***
To be continued
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)