expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

To Have and To Hold #11


Chapter 11 - Kelulusan


Pada Sabtu sore di akhir Mei, pendidikan Uchiha Sakura telah selesai. Topi wisudanya terpasang erat di kepalanya, Sakura berdiri di ujung panggung menunggu namanya dipanggil.
"Haruno Sakura," namanya diumumkan melalui pengeras suara. Mengambil napas dalam-dalam, Sakura menggerakkan tubuhnya yang hamil 22 minggu untuk menaiki tangga menuju ke atas panggung. Ketika ia berdiri sambil tersenyum, dengan ijazah di satu tangan dan menjabat tangan profesor serta yang lain, ia mendengar suara 'Whooooooo' dari Sasuke yang berseru dari suatu tempat di kerumunan. Ia tahu bahwa di sudut lain di kerumunan yang sama, ayahnya duduk diam. Tapi tepukan dan teriakan Sasuke ketika ia melintasi panggung menarik perhatiannya dan membuatnya terkikik, kelegaan tumpah ke dalam jiwanya memikirkan fakta bahwa ia akhirnya bisa fokus pada hal-hal lain selain belajar.
Sakura bersyukur sekarang, ia menyadari ketika ia duduk kembali di antara teman-teman sekelasnya, ini akan memberinya waktu untuk fokus pada kehidupan yang sekarang ia jalani, serta dengan pemuda yang telah membantunya menemukan jati dirinya dalam posisi ini.
Ketika ia duduk menatap panggung, memperhatikan teman-teman sekelasnya yang lain meskipun tidak benar-benar mendengar nama mereka, ia hanya ingin segera pergi dari sana. Hidupnya yang lain telah menunggu, ia telah memiliki ijazah, dan sudah waktunya untuk menghilangkan formalitas ini.
Setelah semua ijazah telah dibagikan dan yang tersisa hanyalah foto-foto. Sakura bangkit dan menerobos kerumunan orang, menemukan Sasuke berdiri di dekat pohon. Ia melihat tubuh Sasuke yang tinggi dan berotot dari kejauhan dan mengaspresiasi sikap santai dan tampan yang dilakukan pemuda itu. Ia menyadari lebih dari satu wanita menatap Sasuke, tapi suaminya itu tampak tak peduli, bahkan sepertinya pemuda itu tidak memperhatikan mereka sama sekali. Ketika Sakura akhirnya berjalan ke arah Sasuke, pemuda itu mengangkat Sakura dan memeluknya, bertindak seolah berat badan Sakura ditambah dengan anak mereka adalah hal yang ringan.
"Selamat, Sayang! Aku sangat bangga padamu!" Sasuke mencium Sakura cepat, dan gadis itu merespon dengan bersemangat, melingkarkan lengannya di pinggang Sasuke dan tenggelam ke pelukan pemuda itu.
"Kau hanya butuh tujuh bulan lagi untuk sepertiku sekarang," ucap Sakura pada Sasuke ketika mereka menarik diri.
"Aku tahu... tapi Rambo kecil kita ada di antara kita sekarang dan dia adalah fokusku yang lebih penting."
Sakura menghela napas berat. "Kita tidak akan menamai putra kita Rambo."
Sasuke hanya tersenyum manis pada Sakura, mengabaikan gadis itu yang menolak nama Rambo yang menurutnya keren. Ketika mereka berjalan di trotoar kembali ke tempat parkir, saat itulah, mereka mendengar nama Sakura dipanggil.
Berbalik, Sakura melihat ayahnya melangkah maju ke arah mereka. Sasuke memperhatikan tubuh Sakura menegang ketika Kizashi mendekat.
"Hai, Tousan," ucap Sakura ketika ayahnya berdiri di depan mereka. Sasuke secara naluriah melingkarkan lengannya di sekitar Sakura dan menariknya lebih dekat ketika Kizashi menatap mereka dalam diam.
Kizashi hanya mengangguk pada Sasuke dan menatap putrinya. "Aku sangat bangga padamu, Sakura. Kau berhasil lulus dengan beberapa pujian bagus, meskipun..." Ia berdeham, melirik perut Sakura, "...harus terhalang di setengah perjalanan."
Mata Sasuke menyipit. Tidak bisakah pria paruh baya itu hanya memberi selamat pada putrinya tanpa menyinggung hal lainnya?
Sakura tampak tidak menyadari duri yang dilempar ayahnya. Atau mungkin ia hanya terbiasa dengan kata-kata ayahnya, "Ya Tousan, aku selalu menjadi murid yang baik dan tahun seniorku terbukti tidak terlalu menantang. Aku lega sudah melewatinya, jadi untuk saat ini aku bisa fokus pada bayiku." Tangannya secara naluriah bergerak ke perutnya dan ia melihat tatapan tidak nyaman melintas di mata ayahnya.
"Ya, aku lega kau sudah menyelesaikan pendidikanmu."
Sasuke memperhatikan wajah Sakura dan yakin ia melihat Sakura sedikit mengernyit ketika ayahnya mulai berbicara panjang lebar tentang pentingnya mengejar pendidikan tinggi dalam keluarga Haruno. Sasuke hampir meninjukan kepalan tangannya ke depan wajah Kizashi dan berkata 'Dia seorang Uchiha sekarang' tapi ia menahan lidahnya. Ini adalah hari bahagia Sakura dan ia tidak ingin merusaknya. Untuk saat ini, ia hanya akan menyimpan komentarnya tentang ayah Sakura yang bajingan itu untuk dirinya sendiri.
Mata Kizashi melirik Sasuke, "Kurasa kau memperlakukan putriku dengan hormat?"
Lengan Sasuke menegang di sekitar Sakura. Sebelum ia bisa bicara, Sakura mendahuluinya, "Sasuke memperlakukanku dengan luar biasa, Tousan. Aku harap kau akan berhenti menanyakan tentang hal itu."
"Aku hanya ingin memastikan, mengingat dia hanyalah orang asing ketika kalian menikah."
Sasuke angkat bicara sekarang, "Jika aku mengingatnya dengan benar, kaulah yang membuat 'menikahi orang asing' ini terjadi, bukan?"
Mata Kizashi menyipit ke arah Sasuke. Darimana pemuda itu berani berkata sampah seperti itu? Pemuda itu MEMILIKI kekayaan darinya dan pemuda itu kini sudah merasa perlu untuk berbicara?
Mendidih, Kizashi menatap tajam pada Sasuke, "Mengingat putriku dan anaknya tak lebih dari jembatan finansial bagimu, aku merasa perlu memeriksa kesejahteraannya. Status sosialmu... terkenal di seluruh kota ini, Uchiha. Aku masih merasa sangat menyayangkan bahwa putriku memilih pasangan sepertimu. Untuk melindungi reputasinya, aku telah mengizinkanmu memasuki hidupnya dan aku berharap..."
"Reputasinya? Atau maksudmu untuk melindungi reputasimu? Kau tidak peduli dengan putrimu atau perasaannya. Jika kau peduli padanya, kau tidak akan memaksanya menikah seperti budak," ucap Sasuke, melangkah lebih dekat ke arah Kizashi. Ia tidak ingin melakukan ini di hari ini, bukan pada hari bahagia Sakura. Tapi ia tidak akan diam saja saat dihina atau menyaksikan Sakura direndahkan oleh ayahnya sendiri.
Sakura mundur, tidak yakin apa yang harus dilakukan ketika pemandangan di depannya menjadi lebih panas.
"Uchiha, kau boleh berbicara padaku tentang perasaan putriku ketika kau tidak lagi memiliki seratus ribu dolar uangku. Tapi saat ini, aku akan mengingatkan posisimu disini. Kau memberinya nama belakang dan perlindungan atas anaknya yang berlabel bajingan. Hanya itu."
"Tousan!" Sakura akhirnya menjerit. "Hentikan! Berhenti menyerang Sasuke. Dia tidak harus berada di sini bersamaku, kau tahu. Dia bisa saja memilih pergi. Tapi dia menyayangi bayi ini dan dia memilih untuk ada di sini."
Kizashi tersenyum miring pada upaya lemah putrinya untuk membenarkan keberadaan Sasuke dalam hidupnya sebagai sesuatu selain peluang finansial. "Sakura, kau harus ingat bahwa ini hanyalah perjanjian bisnis. Aku percaya bahwa kau gadis pintar tapi jelas bagiku bahwa kau... terlalu dekat pada pemuda ini. Itu sangat bermasalah."
"Dengar, brengsek. Hari ini adalah hari bahagia Sakura. Jika kau punya masalah denganku, kita bisa membahasnya secara pribadi. Tapi kau harus menjauhkan Sakura dari ini. Dia tidak pantas mendapatkan omong kosong ini," geram Sasuke.
Kizashi menurunkan nada suaranya, dengan terang-terangan mengabaikan Sasuke yang marah di depannya, dan sebaliknya berkata pada putrinya, "Aku harus segera pergi, Sakura. Sekali lagi, aku senang kau sudah menyelesaikan pendidikanmu." Pria paruh baya itu kemudian berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Sasuke yang penuh amarah dan Sakura yang menangis di belakangnya.
Kizashi merasa sangat marah ketika ia berjalan pergi. Ia merasa putrinya mempertanyakan penilaiannya, atau lebih buruknya lagi, lupa tentang apa sebenarnya situasi ini. Kedua opsi itu sama sekali tidak bisa diterima. Ia selalu melakukan yang terbaik untuk reputasi putrinya dan keluarganya. Tapi Sakura seolah telah memaksakan tangannya memegang sampah. Kerajaan yang telah ia ciptakan tidak akan ternoda jika saja putrinya bisa menjaga kakinya tetap tertutup. Beruntung baginya, ia memiliki kekayaan yang tak terbayangkan, dan Uchiha Sasuke, sebagai orang yang malang, mengambil umpannya. Sejauh itu rencananya sempurna kecuali satu hal; keduanya saling jatuh cinta. Itu berarti ia kehilangan pegangan pada Sakura. Sakura adalah Haruno... Sakura akan selalu menjadi Haruno. Putrinya itu perlu mengingat itu.
Sambil melirik kembali ke belakang, ia melihat lengan Sasuke melingkar erat di sekitar Sakura ketika mereka berjalan ke tempat parkir. Ya... cinta adalah masalahnya. Dengan perasaan terbakar, Kizashi berjalan menuju mobilnya.
Ketika Sakura masuk ke mobil Sasuke, ia menghela napas dan menghapus air matanya. Kata-kata kejam ayahnya terus terngiang di kepalanya. Ketika ia hanya berdua dengan Sasuke, sulit baginya untuk mengingat bahwa situasi mereka sebenarnya bukan seperti dua orang yang sudah menikah dan yang sedang menunggu bayi mereka lahir. Ia mencintai Sasuke tanpa ragu. Tentu saja, ia tidak mengatakan itu pada Sasuke. Dan kata-kata ayahnya mengingatkannya kembali alasan ia—tepatnya—tidak mengatakan pada Sasuke bahwa ia mencintai pemuda itu; karena pernikahan mereka adalah transaksi uang yang dirancang untuk menenangkan semua pihak.
Sakura tidak mengatakan apa-apa dalam perjalanan pulang dari kampus ke rumah mereka. Sasuke menatap Sakura berulang kali, mengawasi gadis itu yang menghapus aliran air mata yang mengalir di pipinya diam-diam. Ia sangat membenci Haruno Kizashi. Ia belum pernah melihat seorang ayah merendahkan anaknya seperti cara Kizashi meremehkan Sakura—dan ayahnya sendiri yang merupakan pecundang terbesar di planet ini. Ia ingin berteriak dan melempar sesuatu. Ia tidak memilih ini terjadi. Ia tidak memilih untuk menjadi ayah pada usia 22 tahun. Tentu, ia tidak melakukan apapun untuk benar-benar mencegahnya ketika ia memiliki kesempatan, tapi kehidupan ini telah disodorkan padanya. Menikahi Sakura adalah caranya memastikan bahwa anaknya memiliki seorang ayah. Itu tidak akan berubah. Tapi ia tidak menyadari pada saat itu, bahwa Haruno Kizashi akan menggunakan transaksi uang di antara mereka sebagai senjata setiap ada kesempatan untuk merendahkannya. Tapi korbannya bukan dirinya. Ia bisa mengatasinya jika ia adalah korban yang dipilih Kizashi untuk dilukai. Sebaliknya, korban pria paruh baya itu adalah gadis mungil yang sedang hamil dan duduk di sampingnya ini.
Selama mengemudi, sebuah gagasan mulai terpikir oleh Sasuke bahwa jika ia mengembalikan uang itu dan keluar dari rumah itu, ia dan Sakura bisa bercerai dan berpisah. Tapi ia masih akan berjuang untuk memastikan ia mendapat hak kunjungan sehingga putranya tahu bahwa ayahnya tetap mencintainya. Kemudian Haruno Kizashi akan keluar dari hidupnya dan tidak bisa lagi menggunakan uang itu sebagai cara untuk menyakiti Sakura. Tapi itu berarti ia harus meninggalkan Sakura sendiri. Dan ia sangat takut setelah empat bulan pernikahan yang sangat palsu tapi terasa sangat nyata ini, ia tidak akan bisa mengucapkan selamat tinggal pada Sakura tanpa merasa ingin mati.
Ketika Sasuke membelokkan mobil ke halaman rumah mereka, ia menyingkirkan pikiran itu dari benaknya. Hari mereka yang sempurna hancur dan sekarang ia harus mengumpulkan potongan-potongan itu dan mencoba untuk melakukan yang terbaik dari itu.
Di halaman rumah, Sakura memperhatikan beberapa mobil ada di sana. Ia memandang Sasuke dengan bingung, yang menatap lurus ke depan dan menolak untuk bertemu matanya. Ia sekilas melihat pintu depan terbuka dan kepala Mikoto mencuat keluar sebelum cepat-cepat menghilang dan pintu terbanting tertutup lagi.
Sakura menoleh ke arah Sasuke, warna merona kembali ke pipinya. "Uchiha Sasuke? Apa kau merencanakan pesta kejutan untukku?"
Sasuke menoleh menghadap Sakura, mengangkat alisnya, "Mungkin... Kau pantas mendapatkan semacam perayaan hari ini. Ini hari yang besar, meskipun ada banyak sekali yang terjadi."
Sasuke meraih ke seberang kursi dan mencium Sakura, merasakan air mata mengalir di mata gadis itu lagi. Tapi kali ini air mata itu bukan karena ayahnya, tapi karena Sasuke yang telah melakukan sesuatu yang begitu indah baginya.
Mereka menarik diri dan Sasuke keluar dari mobil, berjalan ke sisi lainnya untuk membantu Sakura keluar. Menutup pintu di belakangnya, ia menyelipkan tangannya di pinggang Sakura dan menatap gadis itu sejenak, "Kau cantik... dan aku minta maaf tentang apa yang terjadi hari ini."
Sakura menatap Sasuke, dan Sasuke bisa melihat rasa sakit di mata gadis itu. Ia mendekatkan kepalanya dan menempelkan bibirnya ke bibir Sakura, meskipun faktanya emosinya ada di mana-mana dan mencium Sakura hanya akan membuat semuanya kabur.
Berjalan ke pintu, Sasuke mengetuknya untuk memperingatkan siapa pun untuk mundur dan kemudian mendorong pintu itu terbuka. Melangkah ke dalam rumah, Sakura disambut oleh sorak sorai "Selamat!"
Sakura berseri-seri ketika ia melihat ruang tamu penuh dengan orang-orang; Mikoto, Itachi, Naruto, Hinata, Sai, Shikamaru, Ino, dan beberapa orang yang tidak dikenali Sakura tapi ia hampir yakin mereka adalah teman kerja Sasuke. Ia bisa mencium aroma makanan panggang yang berembus dari halaman belakang dan menyadari bahwa Naruto mendapat bagian sebagai pemanggang. Pemuda itu memeluk Sakura dan kemudian berpamitan untuk kembali memanggang di belakang.
Sasuke mundur, memperhatikan Sakura ditarik ke kerumunan orang dan ia merasa mual. Sebelumnya, ini tampak seperti hal yang indah untuk dilakukan baginya. Ia telah bekerja sangat keras dan merahasiakan ini begitu lama karena ia ingin membuat Sakura merasa istimewa hari ini. Tapi sekarang, ketika ia melihat pemandangan di depannya, berkat konfrontasi Haruno Kizashi, ia merasa seperti teman-teman dan keluarganya hanya bidak dalam permainan mereka. Mereka hanya digunakan sebagai pelengkap untuk membuat pernikahannya dengan Sakura tampak nyata dan sah. Dan meskipun ia tahu bahwa tidak ada kebenaran dalam pemikirannya itu, ia tidak bisa untuk tidak berpikir bahwa Sakura juga akan beranggapan seperti dirinya.
Sakura dengan lembut memeluk semua orang, membuat obrolan ringan dengan mereka. Tapi senyumnya terasa hampa, bahkan dalam kegembiraan pesta kelulusan yang mengejutkan ini, ia merasa membutuhkan waktu sendirian untuk mengendalikan emosinya.
Sakura permisi untuk berganti pakaian, dan Sasuke menangkap mata Sakura ketika gadis itu mulai menutup pintu. Ia bisa mengatakan bahwa Sakura akan menangis begitu gadis itu sendirian di dalam kamar. Ia ingin mengikuti Sakura tapi kakinya tak mau bergerak.
Di dalam kamar, tubuh Sakura bergetar dipenuhi isak tangis. Ia memaki dirinya sendiri karena jatuh cinta pada Sasuke. Dalam heningnya malam, ketika Sasuke bercinta dengannya, memanggilnya 'miliknya' dan menunjukkan perhatian padanya, mudah untuk percaya bahwa ini... hubungan... yang nyata. Tapi hanya butuh kata-kata pedas dari ayahnya untuk membawanya kembali ke kenyataan. Sasuke ada di sini karena pemuda itu dibayar untuk berada di sini. Sakura ada di sini karena ia tidak punya pilihan.
Untuk pertama kalinya, Sakura bertanya-tanya apakah sulit untuk bisa menghilang begitu saja. Ia punya cukup uang yang bisa ia gunakan untuk pergi jauh dan tak seorangpun, baik ayahnya maupun Sasuke, tidak akan menemukannya. Dan kemudian ia bisa melupakan bahwa ia punya hubungan keluarga dengan Haruno Kizashi atau bahwa ia mencintai Uchiha Sasuke. Ia akan membesarkan putranya sendirian dengan damai... Dan meskipun ide itu kedengarannya menarik, ia terlalu mencintai Sasuke dan tidak ingin menjauhkan pemuda itu dari anaknya. Jadi ia terjebak dalam kebahagiaan palsu ini. Dan ini adalah pil pahit yang harus ditelannya.
***
Naruto berjalan kembali ke dalam rumah beberapa menit kemudian dan mendapati Sasuke masih menatap pintu kamar yang tertutup.
"Teme, kau baik-baik saja?"
Sasuke berbalik ke arah sahabatnya dan menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dobe... semuanya sia-sia. Ayah brengsek Sakura muncul di acara wisuda dan mengingatkan Sakura bahwa aku di sini hanya untuk uang dan bahwa aku perlu mengingat posisiku di strata sosial kota ini."
"Pria itu benar-benar bajingan. Kenapa dia memperlakukan Sakura-chan seperti itu? Dia putrinya!"
"Karena dia bisa... dan karena Sakura selalu membiarkannya. Tapi Sakura mencoba membelaku hari ini, dan saat itulah keadaan benar-benar berubah."
Naruto meletakkan tangannya di pundak Sasuke. "Teme... kau tahu dia mencintaimu, kan?"
"Ya..." Sasuke menjawab perlahan, dadanya mengencang dan napasnya tidak teratur hanya karena memikirkan cinta Sakura untuknya. "Aku tahu..."
"Apa yang akan kau lakukan tentang hal itu? Apa kau akan membiarkan ayahnya mengacaukan hubungan ini? Aku belum pernah melihatmu sebahagia ini sepanjang hidupku. Kau memang masih brengsek sebagian besar waktu tapi setidaknya sekarang kau bahagia. Gadis di kamar itu yang bertanggung jawab atas kebahagiaanmu. Dan jangan beri aku omong kosong bahwa bayi itu yang membuatmu bahagia karena kau belum pernah bertemu dengannya. Tapi karena Sakura-chan lah alasan kau berjalan nyengir seperti orang bodoh."
Naruto menepuk pundak Sasuke dan kemudian meninggalkan sahabatnya itu sendirian, memutuskan bahwa sahabatnya itu akan mencari tahu sendiri.
Sasuke berdiri tak bergerak setelah Naruto menghilang, masih menatap pintu kamar. Ia diam-diam memohon agar pintu terbuka, tapi tidak.
Akhirnya, ia tidak bisa menerima omong kosong ini lagi, ia memutuskan berjalan mendekat, sepenuhnya bersumpah untuk menendang pintu sialan itu jika ia memang harus melakukannya, tapi untung saja pintu itu tidak terkunci.
Sasuke membukanya diam-diam dan menyelinap ke dalam, menutupnya di belakangnya. Sakura sedang duduk di tempat tidur, menunduk, kakinya terlipat di bawah selimut.
Sakura mendongak menatap Sasuke, memberi senyum sedih, sebelum memandang kembali ke bawah. "Aku akan keluar beberapa menit lagi, Sasuke-kun. Aku minta maaf jika membuat semua orang menunggu. Aku hanya... hanya perlu waktu."
"Persetan dengan semua orang, Sakura. Mereka bisa menunggu." Sasuke berjalan ke arah Sakura, mempersiapkan pidatonya di kepalanya tentang seberapa sampah omong kosong ayahnya dan bagaimana gadis itu seharusnya tidak mendengarkannya karena pria tua itu tidak penting. Tapi ia tahu bahwa seperti apapun ayahnya, akan tetap penting bagi Sakura.
Alih-alih mengatakan sesuatu, Sasuke malah terganggu oleh kesedihan di wajah Sakura. Itu bukan ekspresi yang ia sukai. Memutuskan untuk mencoba pendekatan lain, ia membuang pidato besarnya dan bergerak ke arah Sakura. Merangkak di tempat tidur di sebelah Sakura, ia bersandar di bantal, merentangkan kakinya, dan menarik Sakura di antara kakinya itu. Sakura bersandar di dada Sasuke dan lengan Sasuke melingkar mengelilingi tubuh gadis itu.
Saat Sasuke mencium bagian atas kepala Sakura, gadis itu memejamkan mata, menikmati pelukan Sasuke. Mereka tetap seperti itu untuk sementara waktu, hanya mendengarkan musik, tawa, dan suara yang datang dari luar pintu kamar. Mereka tahu bahwa mereka harus menghadapi pesta, karena mereka adalah tuan rumah dan pesta ini untuk Sakura. Tapi mereka butuh beberapa menit lagi dan baru mereka bisa kembali ke sana...
Sasuke menatap gadis mungil yang meringkuk di lengannya dan memejamkan matanya. Tanpa berpikir, ia berbicara, "Biarkan saja ayahmu, Sakura, karena aku mencintaimu DAN Hawkeye kecil ini."
Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, rasanya Sasuke ingin menariknya kembali. Ya, ia serius dengan semua kata-katanya, tapi tetap saja... ia tidak ingin mengatakannya seperti itu.
Sakura tidak mengatakan apapun sebagai tanggapan. Bahkan, gadis itu tidak berkedip. Sasuke mulai panik, mengira Sakura akan tertawa. Atau menangis lagi. Atau mungkin muntah. Dan kemudian ia tidak yakin bahwa Sakura bernapas. Ia tergoda untuk mencubit Sakura hanya untuk memastikan bahwa gadis itu mendengar ucapan mulutnya yang mengerikan, yang menggantung di udara, bau dan bernanah saat ia menunggu jawaban gadis itu. Tapi tepat ketika ia berniat untuk meraih paha Sakura, untuk mencubit gadis itu sampai menjerit, ia melihat senyuman lebar di wajah Sakura, "Kita tidak akan menamai anak kita Hawkeye... dan aku mencintaimu juga, Sasuke-kun."
***
"Uh... Mikoto-basan, aku tidak akan melakukan itu jika aku jadi dirimu." Setengah jam setelah Naruto meninggalkan Sasuke yang memandang sedih pada pintu kamar yang tertutup, ia kembali ke dalam rumah untuk melihat apakah ada perubahan dalam sikap menyedihkan sahabatnya itu. Untunglah, Sasuke sudah tidak ada di tempat dia berdiri menyedihkan sebelumnya, tapi pintu kamar tidur masih tertutup, dan saat ini ada Mikoto di depan pintu itu, tubuhnya menempel di pintu berusaha menguping.
Mikoto menoleh pada Naruto dan mengibaskan tangannya. "Aku hampir tidak bisa mendengar mereka. Aku hanya ingin tahu apa mereka baik-baik saja atau mereka berencana untuk segera keluar. Aku ingin tahu apa mereka membutuhkanku..."
Naruto mencibir. Ia cukup yakin ia tahu apa yang terjadi di balik pintu itu. Dan itu mungkin melibatkan hobi favorit Sasuke dan Sakura, hobi yang tidak melibatkan Uchiha Mikoto sebagai audiens.
"Basan, serius... kau mungkin harus pergi sebelum kau mendengar sesuatu yang tidak kau sukai."
Mikoto mengibaskan tangannya  lagi dengan sembrono pada Naruto, "Ini masih siang dan di rumah ini penuh dengan orang. Aku benar-benar ragu bahwa sesuatu yang tidak pantas sedang terjadi. Lagipula, Sakura-chan sedang hamil!"
"Kau tahu anakmu bagaimana, kan?" Naruto mengerutkan alisnya ke arah Mikoto. Apakah mereka berbicara tentang Uchiha Sasuke yang sama? "Siang hari... rumah penuh tamu... wanita hamil... hal terburuk, paling salah, waktu paling mustahil untuk berhubungan seks? Kedengarannya seperti waktu yang sempurna bagi Sasuke-teme untuk mencoba hal menantang jika kau bertanya padaku!"
Mikoto memelototi Naruto, "Beraninya kau mengatakan hal-hal mengerikan tentang putraku yang luar biasa." Dan kemudian dengan cepat menempelkan telinganya ke pintu kamar lagi. "Kurasa aku mendengar mereka berbicara," bisiknya pada Naruto.
Memutar matanya, Naruto berjalan menjauh, meninggalkan Mikoto sendirian, yang terus berusaha mengintip melalui lubang kunci. Tunggu, kurasa aku melihat kaki...
Di dalam kamar, Sasuke memperhatikan wajah Sakura ketika bibirnya menyentuh puting gadis itu. Kerutan dan air mata yang telah merusak wajah Sakura sebelumnya telah digantikan oleh senyum damai. Ini adalah ekspresi yang Sasuke sukai. Tepat ketika ia akan mencoba untuk melihat seberapa jauh Sakura akan membiarkannya bergerak, ia mendengar suara gesekan di pintu dan membeku.
Sakura memperhatikan Sasuke, "Ada apa, Sasuke-kun?"
"Shhh..." Sasuke berbisik. "Ibuku ada di balik pintu."
"Bagaimana kau tahu?" Sakura menatap Sasuke dengan pandangan bertanya.
"Aku bisa mendengar napasnya yang seperti naga. Napas apinya mungkin akan membuat pintu terbakar dalam satu menit. Percayalah... dia sedang menguping."
"Mau bagaimana lagi, kita bermesraan di siang hari dengan rumah penuh tamu, ini sangat tidak pantas," Sakura mengingatkan suaminya, menyadari betapa nakal perilaku mereka ini sebenarnya.
Sasuke memandang Sakura. "Persetan dengan itu... ini terlalu panas. Kita baru saja menyelesaikan cinta kita secara verbal... Aku percaya bahwa beberapa foreplay juga diperlukan."
Mata Sakura memandang ke langit-langit. Bagaimana ia bisa mencintai pemuda seperti Sasuke? Dan ia ngeri pada dirinya sendiri saat menyadari bahwa Sasuke mungkin akan berhasil merayunya dengan rumah yang penuh dengan tamu di sisi lain dari pintu kamar mereka. Sasuke memang hebat dalam hal itu.
Melepaskan tangannya dari payudara Sakura dengan ekspresi tak rela di wajahnya, Sasuke bangkit dari tempat tidur dan melangkah pelan menuju pintu. Ia berdiri diam sejenak sampai ia mendengar sedikit gemerisik. Ketika Sakura berdiri untuk menyesuaikan pakaiannya, Sasuke menyentak pintu terbuka dan Mikoto tersandung ke dalam kamar.
"Aku tahu kau menguping, dasar kalelawar!" protes Sasuke ketika ia menangkap basah ibunya.
Mikoto tampak terkejut dan merasa bersalah. "Aku... aku tidak menguping. Aku sedang memeriksa Sakura-chan. Dia tampak lelah dan kalian berdua menghilang jadi aku ingin memastikan dia baik-baik saja... bayinya..."
Sasuke mengerang. "Kaasan, dengar. Sakura tidak apa-apa. Dia baik-baik saja. Kami baik-baik saja. Sekarang ayo kembali ke pesta." Sambil memeluk Sakura, ia membimbing gadis itu keluar untuk bergabung kembali dengan orang-orang.
Begitu mereka berjalan ke halaman belakang, Naruto berbalik dan memandangi mereka. Melihat senyum di kedua wajah mereka, ia memberi Sasuke acungan jempol, yang dibalas Sasuke dengan acungan jempol juga.
Sasuke berjalan bersama Sakura ke meja teras tempat Hinata dan Ino duduk, "Aku akan meninggalkan Sakura bersama kalian... pastikan kalian membuatnya tersenyum." ucap Sasuke. Pemuda itu kemudian melenggang pergi dan Sakura memperhatikannya, tersenyum dan menggigit bibirnya sendiri.
Hinata memperhatikan Sasuke kemudian Sakura, dan bertanya, "Apa yang terjadi dengan kalian berdua?"
"Ohh... Sasuke-kun mencintaiku!"
Ino dan Hinata menjerit pada saat yang bersamaan.
"Tapi memang sudah waktunya kalian menyampaikan kata-kata itu," gumam Ino.
Hinata mengangguk setuju. "Cinta begitu... fantastis." Sambil menghela napas melamun, ia melihat ke arah Naruto, yang memasukkan hotdog ke mulutnya seakan dia belum makan selama berbulan-bulan, meskipun faktanya itu hotdog ketiganya dalam lima menit.
Sakura bersandar santai ke kursi plastik hijaunya. Hari ini berubah dari mengagumkan menjadi mengerikan menjadi luar biasa dalam dua jam terakhir. Tapi ia sudah belajar; hidup dengan Uchiha Sasuke jelas seperti naik roller coaster, roller coaster yang mendebarkan dan berbahaya dengan banyak tikungan, tanjakan, dan turunan. Mengamati teman-temannya saat mereka meraih piring makanan sebelum mengalihkan pandangannya ke suaminya yang tampan, yang bertemu tatap dengannya dan melempar senyum dari seberang halaman, ia memutuskan bahwa roller coaster itu sepadan dengan apa yang ia dapatkan.
"Uhh... Forehead?" tanya Ino.
Sakura menoleh ke arah gadis pirang itu. "Ya, Pig?"
"Bisakah kau memberitahuku siapa pemuda berkulit pucat yang duduk di sana, yang berbicara dengan suamimu dan kenapa aku belum pernah bertemu dengannya?"
"Itu Sai. Dia salah satu sahabat Sasuke."
"Sial, dia seksi. Aku harus berkenalan dengannya..." Ino menatap Sakura penuh harap.
Terkikik, Sakura meraih tangan Ino dan menariknya dari kursi. Ia menyeret sahabatnya melewati halaman ke tempat Sai dan Sasuke berada.
"Permisi. Aku tidak bermaksud mengganggu, tapi aku perlu meminjam Sasuke sebentar." ucap Sakura dan menatap Sasuke, "Sasuke-kun, sayang, aku sangat membutuhkan bantuanmu."
Sasuke memandang Sakura, mengangkat bahu ke arah Sai, dan berjalan pergi bersama istrinya, meninggalkan Ino sendirian dengan targetnya.
"Apa yang kau butuhkan, Sayang?" tanya Sasuke ketika mereka sudah beberapa langkah.
"Oh, tidak ada. Aku hanya perlu kau meninggalkan Sai sendirian agar Ino bisa berbicara dengannya. Kelihatannya dia sudah bernafsu sepanjang siang ini dan terus terang, aku dalam suasana hati yang baik untuk menjadi malaikat perjodohan."
Sasuke tertawa dan bergumam, "Aku yakin kau memang malaikat," sebelum menangkap bibir Sakura dalam sebuah ciuman.
***
Perut Sakura mulai bergemuruh karena lapar setelah beberapa saat menghirup aroma ayam bakar. Ia berjalan ke meja dan mulai mengambil piring ketika Sasuke berdeham menarik perhatian semua orang.
"Aku hanya ingin berterima kasih pada kalian semua karena sudah datang hari ini untuk merayakan kelulusan Sakura. Ini hari yang besar baginya dan aku bangga padanya. Hanya dalam beberapa bulan lagi, kami juga akan menyambut putra kami ke dunia dan aku yakin kita semua akan bersama-sama merayakan kelahirannya juga. Tapi hari ini khusus untuk Sakura dan pencapaiannya yang luar biasa..."
Ketika Sasuke menyelesaikan mini speech-nya, orang-orang mengulurkan hadiah pada Sakura, tiba-tiba mengelilingi gadis itu. Dengan mata berkaca-kaca, Sakura berterima kasih pada semua orang dan meletakkan hadiah-hadiah itu di atas meja. Ia akan membukanya nanti, menjaga privasi mereka. Dan sejujurnya, ia tidak peduli dengan apa yang ada di dalamnya. Kebaikan yang ditunjukkan padanya sudah sangat luar biasa dan itu adalah hadiah yang sebenarnya.
Setelah semua makanan akhirnya habis tak tersisa, permainan voli dadakan pun pecah. Sakura tidak ikut bermain karena kehamilannya, jadi ia sibuk menyaksikan sinar matahari menerpa suaminya yang sekarang bertelanjang dada. Dadanya sedikit berkeringat... Dadanya sedikit berkeringat, bergerak naik-turun... Sakura mengalihkan tatapannya saat Ino berhasil memukul bola voli, dan bola itu mendarat tepat di antara kaki Naruto. Ino dan Hinata ber high five, dan mereka berdua menyeringai ke arah Naruto yang masih berusaha mencari tahu bagaimana ia baru saja dikalahkan oleh seorang gadis manja seperti Ino.
Para tamu mulai pergi beberapa jam kemudian. Pada saat itu Sakura sudah merasa kelelahan berkat pasang surut emosinya. Sebelum Naruto dan Hinata pergi, Hinata berbisik pada Sakura, "Hadiah dariku untukmu ada di kotak merah. Sasuke mungkin akan lebih menikmatinya daripada dirimu!" Kedua gadis itu kemudian saling berpelukan, sebelum Naruto meletakkan tangannya di punggung Hinata dan membimbing gadis itu melewati pintu.
Sasuke dan Sakura berdiri di teras depan dan melambai ketika teman-teman mereka pergi. Sasuke menarik Sakura ke dalam pelukannya, dagunya menempel di atas kepala gadis itu, ketika mereka menyaksikan senja menyelimuti bagian kecil kota mereka. Sasuke bisa tahu dari ketegangan bahu Sakura bahwa gadis itu masih merenungkan kejadian dengan ayahnya hari ini. Tapi ia tahu bahwa setidaknya Sakura tahu persis di mana gadis itu berdiri sekarang. Ia tidak bermaksud mengatakan pada Sakura bahwa ia mencintai gadis itu hari ini. Tidak. Bahkan, ia belum mengakuinya pada dirinya sendiri. Tapi perubahan dan kegembiraan yang dibawa Sakura dalam hidupnya dalam waktu singkat tidak dapat disangkalnya. Ibunya selalu memberitahunya—dan itu adalah salah satu dari beberapa kali ketika ia benar-benar mendengarkan ibunya—bahwa dalam kehidupan 'Segala sesuatu terjadi karena suatu alasan'. Ketika Sakura bersandar padanya, menggerakkan tangannya ke perut gadis itu hingga ia bisa merasakan tendangan kecil Valentino—nama bayi favorit barunya, ia tidak pernah lebih bersyukur atas pergolakan yang telah mengganggu hidupnya.
Tanpa kata-kata, Sasuke menarik Sakura kembali ke dalam rumah dan mengunci pintu. Menutup tirai, ia menarik lepas kaosnya ke atas kepalanya. Sakura memperhatikan tanpa bicara, karena setiap kali Sasuke melepaskan pakaiannya, ia merasa seperti ia mengetahui rahasia pemotretan majalah dewasa. Otot-otot dada Sasuke, six-pack yang beriak, semuanya ada di sana. Ia memperhatikan semua yang dilakukan Sasuke, pemuda itu melirik dan tersenyum pada Sakura ketika menarik paha berototnya keluar dari celana jeansnya.
"Aku akan mandi."
Sakura mengangguk dan mengikuti Sasuke berjalan menuju kamar tidur.
Melihat dari balik bahunya, Sasuke berkata dengan lembut, "Kau bisa bergabung denganku jika kau mau."
Sakura tidak bergerak sesaat, mengawasi Sasuke menghilang ke kamar mandi mereka. Cahaya masuk ke serambi saat Sasuke menyalakan lampu ke kamar mandi. Dan kemudian Sakura melangkah menyusul Sasuke secepat kaki telanjang dan perut hamilnya memungkinkan. Ia mendengar pemutaran lagu di kamar mandi, salah satu lagu jazz favorit Sasuke yang terdengar lembut. Sambil melepas pakaiannya, ia mendengarkan air diputar dan pintu pancuran tertutup. Setelah benar-benar telanjang, Sakura masuk ke kamar mandi dan mengetuk pintu pancuran.
Sasuke berdiri di bawah aliran air, matanya terpejam, wajahnya menoleh ketika ada yang mengetuk. Membuka satu mata, ia menyeringai melihat Sakura telah telanjang juga.
Sambil membuka pintu, Sakura dengan gugup bertanya, "Boleh aku menerima tawaran bergabung denganmu?"
Sasuke mengulurkan tangannya pada Sakura dan menarik gadis itu ke bawah pancuran bersamanya. Meraih shower pouf, Sasuke menyabuni Sakura dengan buih-buih lembut. Sakura mengerang ketika pouf itu mengusap pinggulnya. Pouf itu kemudian lepas dari genggaman Sasuke dan jatuh ke lantai kamar mandi saat tangannya bergerak perlahan di pinggul Sakura dan turun ke paha gadis itu. Mandi yang sebenarnya terlupakan, Sasuke menghimpit Sakura ke dinding kamar mandi yang lembab, menarik wajah gadis itu yang basah ke dalam ciuman yang kuat. Dengan gerakan lambat yang disengaja, bibirnya mulai bergerak di atas kulit Sakura yang basah, yang panas, sebelum akhirnya mereka menyatu di bawah semprotan air hangat itu.
Ketika Sasuke membawa Sakura ke puncak orgasme, di bawah pancuran air hangat, dengan musik lembut yang berputar di antara suara derasnya air dan kenikmatan diantara mereka, tak seorang pun mendengar bunyi bel berulang-ulang atau ketukan pintu yang memaksa.
Di luar, Haruno Kizashi menatap tajam pintu rumah. Ia mampir sore ini berharap untuk berbicara dengan putrinya lagi. Dengan kepala yang lebih tenang, mungkin ia bisa berunding dengan Sakura tentang perasaan putrinya itu terhadap 'suaminya'. Sepanjang hari, pemikiran bahwa Sakura terlepas dari genggamannya meninggalkan benjolan yang tak menyenangkan di tenggorokannya. Tapi ketika ia berdiri mengetuk dan membunyikan bel pintu, benjolan itu perlahan-lahan digantikan oleh amarah. Ia tahu mereka ada di rumah. Jelas mereka ada di rumah karena mobil mereka terparkir di halaman. Hanya saja tak pernah terpikirkan olehnya bahwa mereka berani mengabaikannya...
***
To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)