expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Brotherly Love #16



Sasuke berhenti menggedor pintu kamar Sakura begitu orang tua mereka tiba dari toko kelontong. Dan Uchiha Fugaku, yang selalu menjadi ayah yang perhatian, membelikan dua remaja itu majalah, satu tentang bola basket untuk Sasuke, dan satu lagi untuk Sakura dengan salah satu foto aktor favoritnya sebagai sampulnya.
Pada malam hari, ketika Sakura tidak bisa tidur karena kata-kata Sasuke selalu terngiang di benaknya, ia meraih majalah yang diberikan ayahnya dan mulai membaca artikel tentang aktor favoritnya. Tapi, yang menarik perhatiannya bukanlah fakta bahwa aktor favoritnya menyukai kanguru dan berselancar ketika sedang berlibur. Ia menemukan satu halaman yang tampaknya menjadi solusi untuk semua masalahnya dengan Sasuke. Setidaknya itulah yang Sakura pikirkan.
"Cara move on dari mantan kekasih," Sakura membacanya, "Um, ini mungkin bisa membantu."
Ia memperhatikan artikel yang memasang foto seorang gadis yang sedang memegangi foto mantan kekasihnya. "Oke... ayo kita lihat," gumam Sakura sambil menggigit bibir bawahnya dan mulai membaca teks di halaman itu.
Jika kau benar-benar jatuh cinta pada kekasihmu, kau mungkin membayangkan masa depan bersamanya, dan ketika hubunganmu berakhir, sangat sulit untuk menerima bahwa mimpimu tidak akan menjadi kenyataan.
"Beritahu padaku tentang hal itu," gumam Sakura menggelengkan kepalanya dan terus membaca, "Jika kau sulit fokus pada apapun selain dia, kau perlu tahu bahwa kau mungkin membutuhkan bantuan kami. Kau harus benar-benar ingin move on dari mantan kekasihmu dan harus bersedia untuk mengambil beberapa langkah yang perlu dilakukan."
Sakura menghela napas, apa ia benar-benar siap untuk move on dari Sasuke? Ia terluka, itu pasti, tapi ia masih sangat menyukai Sasuke. Ia memejamkan matanya, merebahkan kepalanya di bantal, kata-kata Sasuke terus mengganggunya.
'Aku akan meminta Mei menjadi pacarku besok.'
Sialan. Sakura membuka matanya begitu ia merasa akan menangis. Ia telah memutuskan bahwa ia tidak akan lagi membuang air matanya untuk Sasuke dan ingin menepati janjinya itu.
"Oke, ayo kita lihat langkah-langkahnya," Sakura mulai membaca lagi, kali ini lebih merasa tertarik, "Lima langkah mudah untuk menyingkirkan mantan."
'Mudah, oke,' pikir Sakura dalam hati dan memutar matanya. Ia merasa menyingkirkan Sasuke dari hidupnya akan menjadi salah satu hal paling sulit yang pernah ia lakukan.
1. Jangan menyimpan foto, kontak, dan bahkan hadiah kecil yang dia berikan padamu. Siapkan kantong sampah besar dan buang semua hal yang mengingatkanmu pada mantan kekasihmu.
2. Buat daftar tentang sikap-sikap buruknya. Setiap kali kau memikirkan sesuatu tentang dia yang membuatmu jengkel, tulislah. Membaca ulang daftar itu akan membantumu mengingatkan bahwa dirimu akan jauh lebih baik tanpa dia.
3. Jangan menelepon atau menghubunginya. Jangan pernah, bahkan jika kau merasa membutuhkan kasih sayang. Lakukan segala upaya untuk menjauh dari hidupnya.
4. Jika kau membutuhkan pundak untuk menangis atau seseorang untuk mendengarkan, hubungi teman. Teman bisa menjadi penyokong yang luar biasa. Manfaatkan temanmu selama masa sulit ini.
5. Menuliskan emosimu adalah cara yang bagus untuk membicarakan tentang patah hati jika kau merasa bergantung pada keluarga atau temanmu. Belilah buku harian!
Sakura melihat sekeliling kamarnya, dinding merah muda dan perabotan serba putih dengan banyak sekali foto dirinya dan Sasuke, selalu bersama, merangkul satu sama lain dan dengan senyum lebar di wajah mereka. Sakura menghela napas; membuang semua kenangan mereka ke tempat sampah akan sangat sulit, meskipun itu perlu ia lakukan jika ia ingin move on.
Sakura perlahan berdiri dan mulai mengumpulkan semua fotonya bersama Sasuke. Ketika ia selesai, ia melemparkan semuanya ke tong sampah. Merasakan tangannya gemetar, ia pergi ke lemari pakaiannya dan meraih hoodie Sasuke yang dipinjamnya di London sebelum mereka pergi ke Cambridge. Ia mencium hoodie itu; wangi parfum Sasuke masih menempel di hoodie itu dan dadanya terasa sakit ketika ia menyadari bahwa ia tidak akan pernah sedekat ini lagi dengan Sasuke. Sekarang pemuda itu milik Mei, dan jalang bodoh itu tidak akan pernah membiarkannya mendekati Sasuke. Tapi mengapa ia masih memikirkan Sasuke? Brengsek.
"Kau bisa sebodoh ini saat kau mau, Sakura," gumam Sakura pada dirinya sendiri, menggelengkan kepalanya dan melemparkan hoodie Sasuke ke tempat tidurnya, "Dia benar-benar hanya memanfaatkanmu, berhenti menjadi pengecut seperti ini."
Sakura mengambil semua hadiah yang pernah Sasuke berikan padanya, boneka beruang, kemeja, CD milik Sasuke yang masih bersamanya dan memasukkan semuanya ke dalam kotak merah muda. Besok pagi ia akan mengembalikannya. Uchiha Sasuke adalah bab yang telah selesai dalam hidupnya.
***
Sakura berbicara sepanjang malam dengan Hinata di telepon, mereka mengobrol tentang majalah dan tips-tips move on yang Sakura baca, tapi ia menyadari fakta bahwa ia tidak bisa membuat daftar sikap-sikap buruk Sasuke. Pemuda itu masih terlalu sempurna di matanya.
Setelah hampir satu jam bertelepon, Hinata memberi Sakura satu nasihat yang sangat bagus, jika Sakura tidak ingin memikirkan Sasuke setiap saat, Sakura hanya perlu membuat pikirannya sibuk. Sakura setuju dengan Hinata, itu adalah hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menghindari dirinya memikirkan Sasuke bercumbu dengan kekasih jalangnya.
Sakura bangun pagi-pagi sekali dan segera pergi ke sekolah diam-diam. Jadi ia tidak perlu bertemu Sasuke; ia tidak ingin melihat pemuda itu sama sekali. Ia sampai di sekolah dan kelas masih terkunci, tapi ia berhasil menghibur dirinya dengan berselancar di internet melalui iPhone-nya. Sejauh ini, harinya berjalan sangat baik, tidak memikirkan Sasuke sesering yang ia perkirakan.
Saat jam istirahat, Sakura bertabrakan dengan Deidara dan pemuda itu mengatakan pada Sakura bahwa Tayuya, salah satu teman terbaiknya di tim cheerleaders ingin menyampaikan sesuatu dan sedang menunggu Sakura di gym.
"Bagus, lebih banyak hal yang kulakukan akan lebih baik," Sakura tersenyum pada dirinya sendiri, meletakkan buku-bukunya di dalam lokernya dan menutupnya. Ia melangkah menuju gym, mendorong pintu berat terbuka dan melangkah masuk, matanya dengan cepat menemukan gadis berambut merah yang harus ia temui di sana.
"Hai Tayuya-chan," Sakura menyapa gadis itu dengan senyum, "Kau ingin bertemu denganku?"
Tayuya mengangguk dengan sedih, "Aku tidak bisa berada di tim lagi."
Sakura duduk, tampak benar-benar bingung, "Kenapa tidak?"
"Aku harus pindah ke luar kota," jawab Tayuya berbisik, mulai menangis, "Ibuku memberitahuku kemarin."
"Astaga," ucap Sakura sambil menggelengkan kepalanya, "Aku turut bersedih."
"Aku juga," ucap Tayuya, "Aku tidak ingin pergi, kau tahu aku suka berada di tim ini."
"Ya, aku tahu," Sakura meyakinkan gadis berambut merah itu, "Ini menyedihkan Tayuya-chan, ini benar-benar menyedihkan," Sakura memeluk gadis itu. "Kami akan sangat merasa kehilanganmu."
Tayuya menyeka air matanya, "Maafkan aku, Sakura."
"Ini bukan salahmu," Sakura tersenyum, "Tidak apa-apa."
"Aku ingin membantumu menyeleksi anggota baru untuk menggantikan tempatku," ucap Tayuya, "Boleh?"
Sakura tersenyum simpatik pada Tayuya, "Tentu saja."
"Terima kasih, aku akan ke sini nanti, aku masih punya beberapa minggu di Konoha High Shcool."
Mereka berpelukan erat, "Kau akan selalu disambut baik di sini, Tayuya-chan," Sakura meyakinkan gadis itu, "Kau tahu kau adalah salah satu anggota terbaik yang ada di timku."
Tayuya tersenyum, "Thanks, Sakura."
Mereka berpelukan sekali lagi sebelum Sakura melangkah meninggalkan gym untuk mengambil notebooknya di loker. Ia ingin menggunakan waktu luangnya sebelum makan siang untuk membuat pengumuman bahwa timnya perlu merekrut anggota baru untuk tim cheerleadersnya.
"Bagus sekali," Sakura memutar matanya ketika ia membuka notebooknya, menyalakannya dan mengetik teks dengan cepat, "Oh sial."
Sakura terpilih sebagai kapten cheerleaders, ini adalah kali kedua ia mengorganisir seleksi untuk menemukan gadis-gadis yang berbakat untuk timnya dan itu benar-benar diperlukan kerja keras. Setidaknya liburan sudah dekat dan Deidara akan dapat menggunakan waktu liburnya untuk mengerjakan koreografi baru untuk uji seleksi.
KONOHA HIGH SCHOOL CHEERLEADING SQUAD
INFORMASI SELEKSI
Seleksi terbuka untuk semua siswi Konoha High School saat ini, siswi baru dan siswi pertukaran. Setiap orang diperbolehkan untuk mengikuti seleksi perekrutan posisi dalam tim.
Tunjukkan rasa banggamu dan kenakan pakaian nyaman berwarna merah & putih dan pastikan untuk memakai sepatu yang tepat untuk keselamatan saat uji seleksi.
Kami mencari gadis yang energik, menyenangkan, ramah, berdedikasi dan berbakat untuk bergabung dengan tim kami.
Hubungi Kapten Cheerleaders jika tertarik.
Sakura membacanya beberapa kali sebelum menyimpannya di flashdisk dan membawanya ke lab komputer untuk dicetak.
Ketika ia berjalan keluar dari lab dengan kertas di tangannya, ia bertabrakan dengan Hinata.
"Wow, kedua kalinya aku bertabrakan dengan seseorang hari ini," Sakura tertawa dan Hinata tersenyum.
"Hati-hati, sist," canda Hinata dan menatap kertas-kertas di tangan Sakura, "Ada apa ini?"
Suara Sakura terdengar sedih, "Ada bagian yang kosong di tim kami."
"Eh, kalian membuka seleksi?"
"Hm," jawab Sakura, mengangguk, "Setelah liburan," Sakura menghela napas, "Tim kami sudah sangat hebat, tapi Tayuya harus pindah ke kota lain."
"Itu kabar buruk," ucap Hinata ketika mereka mulai berjalan di koridor, "Bagaimana perasaanmu hari ini?"
Sakura mengangkat bahu dan Hinata tersenyum.
"Masih buruk?"
"Aku hanya mencoba sibuk pada hal-hal lain seperti yang kau katakan."
Hinata tersenyum, "Itu hal terbaik yang harus dilakukan, Sakura-chan. Jangan buang waktumu dengan Sasuke dan pacarnya."
"Pacar jalangnya," Sakura mengoreksi sahabatnya dengan cepat dan Hinata tertawa.
"Yup, sist."
Sakura tertawa juga, "Apa kau mau membantuku?"
"Tentu," Hinata tersenyum dan mengambil beberapa lembar kertas di tangan Sakura, "Ngomong-ngomong, aku dulu selalu ingin menjadi cheerleaders yang populer."
***
Saat makan siang, seluruh siswa di sekolah telah mengetahui tentang seleksi untuk tim cheerleaders dan banyak gadis telah menemui Sakura untuk bertanya-tanya. Akhirnya, ia berhasil menangani gadis-gadis itu dan bisa pergi ke kafetaria. Setelah mengambil makan siang, ia duduk di meja yang biasa ia gunakan, menunggu Ino dan Hinata.
"Sakuraaa!"
"Oh, tidak," gumam Sakura pada dirinya sendiri tapi sudah terlambat, ia merasakan tangan di bahunya dan mau tidak mau ia berbalik, "Hai, Shion."
"Hai, sister," Shion melambai penuh semangat dan duduk bersama Sakura, "Coba tebak?"
"Apa?"
Shion tersenyum lebar, "Aku akan sangat berusaha untuk bisa masuk di tim cheerleadersmu."
Sakura berpura-pura gembira, "Luar biasa."
Gadis pirang itu mengamati Sakura selama satu menit penuh dalam keheningan total, membuat Sakura merasa sangat tidak nyaman dengan tatapan Shion padanya. Ia membuka mulutnya untuk meminta Shion berhenti menatapnya, tapi gadis pirang itu lebih cepat darinya.
"Apa kau baik-baik saja, sister?" tanya Shion, ada sorot khawatir di matanya, "Kau tampak berbeda..."
Sakura menelan ludah, "Berbeda?"
"SEDIH," jawab Shion dengan tenang, "Apa kau...?"
"Aku baik-baik saja, Shion," Sakura berbohong dan mencoba tersenyum, "Aku hanya lelah."
Gadis berambut pirang itu mengangguk mengerti, "Oke. Jadi, bisa aku mendaftar?"
Sakura mengambil napas dalam-dalam, "Tentu, kenapa tidak?"
Sakura memberi Shion formulir dan gadis pirang itu menuliskan namanya. Hinata dan Ino melangkah mendekati mereka dan duduk bersama Sakura juga.
"Jika aku masuk, kita akan bersama sepanjang sore 3 kali seminggu," ucap Shion bersemangat, "Luar biasa, bukan?"
"Tentu," jawab Sakura sarkastis, "Itu lebih dari yang bisa aku minta."
Shion memeluk Sakura sebelum berlari ke meja lain. Begitu gadis itu pergi, Ino mulai tertawa sangat keras dan Hinata menatap Sakura dengan ngeri, "Gadis itu seperti sedang mabuk, aku bersumpah."
Sakura terkikik, "Entah bagaimana aku sudah merasa bahwa ia akan ikut seleksi."
"Tentu saja," Hinata memutar matanya, "Dia mengidolakammu."
"Uh, beruntungnya aku," ucap Sakura meringis.
"Oke," Ino memulai, "Aku juga ingin mencoba ikut seleksi."
"Kau apa?" Sakura tidak bisa menahan tawa, "Ino-pig, aku menyayangimu dan kau adalah salah satu sahabatku, tapi kau tidak bisa menari."
"Aku sudah berlatih," protes Ino dengan nada suara tersinggung, "Aku bertaruh."
Sakura terkikik tapi ia akhirnya memberikan formulir pada Ino, "Tulis namamu, tuan putri."
Sakura menyaksikan Ino menulis namanya dengan tanda seru dan gambar hati pada akhir namanya. Tiba-tiba Sakura merasakan tangan seseorang di bahunya dan ia berbalik untuk melihat siapa orang itu dengan senyum di wajahnya.
"Um…" Senyum Sakura menghilang, "Ada yang bisa kubantu, Mei?"
Mei mengangguk, "Aku ingin mendaftar untuk seleksi."
"Oh," Sakura tampak bingung, "Kau sudah berada di tim renang..."
"Lalu?" ucap Mei dengan nada kasar.
"Tidak apa-apa," Sakura berusaha bersikap sopan dan memberi Mei formulir, "Cepatlah, aku harus pergi."
Mei menuliskan namanya, "Kupikir karena aku pacar saudaramu, aku akan mendapat perlakuan khusus?"
Sakura merasakan tubuhnya gemetar karena marah, Sasuke benar-benar meminta Mei menjadi kekasihnya hari ini. Jauh di lubuk hati Sakura, ia berharap Sasuke akan berubah pikiran, tapi ternyata ia tidak memahami pemuda itu dengan baik. Saat ia membuka mulut untuk menjawab perkataan Mei, Hinata menendangnya di bawah meja. Mereka saling menatap dan Sakura mengangguk kepada sahabatnya itu, mengatakan pada sahabatnya bahwa semuanya baik-baik saja.
Sakura berbalik dan menatap Mei lagi, "Karena kau pacar Sasuke, kau harus lebih berusaha melakukan yang terbaik daripada yang lain," Sakura melempar senyum sinis, "Karena aku bersumpah padamu, aku sebenarnya tidak ingin kau berada di timku. So, jadilah 'hebat', karena 'bagus' saja tidak cukup."
Mei menatap Sakura dengan ekspresi jijik dan pergi tanpa pamit.
"Entah bagaimana bayangan Shion di tim cheerleaders tampaknya lebih baik bagiku sekarang," Sakura berpura-pura tertawa dan Hinata tersenyum padanya.
Hinata tahu betapa sakit perasaan Sakura karena situasi ini, tapi sahabatnya itu tidak akan pernah menunjukkannya.
"Aku harus pergi," Sakura berdiri, "Sampai jumpa nanti."
Sakura berjalan keluar dari kafetaria. Ia berjalan ke kelas seni dan melihat Sasuke bersama Mei berbicara di depan pintu gym. Ia memutar matanya, Mei jelas mengadu pada Sasuke tentang caranya memperlakukan gadis itu. Itu tipikal Mei, ratu drama. Sakura mengabaikan rasa sakit di hatinya ketika ia melihat mereka berciuman dan segera masuk ke dalam kelas seni.
"Oh, Sakura, kau datang lebih awal," Shijimi menyapa Sakura dan Sakura tersenyum.
"Ya, Sensei, jika kau keberatan, aku bisa kembali nanti. Hanya saja—" Sakura menunduk sebentar, "Kafetaria sangat ramai, aku ingin bernapas."
"Sedang menderita karena cinta?" tanya Shijimi.
Sakura duduk dan hanya mengangkat bahu.
"Segalanya akan menjadi lebih baik, Sakura. Matahari selalu muncul setelah badai," ucap Shijimi, tersenyum pada muridnya itu, "Mencintai dan dicintai adalah seni. Ketika kau menderita karenanya, saat itulah karya terbaikmu akan datang menginspirasi," Shijimi mengangkat tangannya untuk mendramatisir, "Ini seperti pohon, kau dapat memotong batangnya tapi jika itu adalah cinta sejati, dia akan tumbuh lagi karena akar terdalam masih ada, apa kau memahaminya?"
Sakura mengangguk, kedengaran ironis, untuk pertama kalinya di tahun itu ia mengerti semua yang dikatakan Shijimi dan itu benar-benar masuk akal baginya. Jika apa yang ia dan Sasuke miliki adalah cinta sejati, segalanya akan berjalan baik bagi mereka di suatu hari nanti. Pasti akan terdengar lebih mudah seperti ini, tapi ia tidak bisa melihat akhir yang bahagia dari kisah cintanya.
"Um, terima kasih atas nasehatmu Sensei, tapi aku takut apa yang aku inginkan mustahil terjadi."
Shijimi tersenyum, "Oh, mustahil adalah kata tersembunyi untuk sebuah kisah cinta terbaik." Bel sekolah berdering dan beberapa siswa tiba di kelas seni, tapi Shijimi tetap meneruskan  ceramahnya pada Sakura, "Seperti yang kubilang, Sakura, cinta adalah perasaan paling kuat di dunia, hal terlarang kadang-kadang adalah hal baik, tapi kemustahilan adalah hal yang lebih baik," ucap Shijimi dengan suara tinggi, "Dan jika keduanya digabung... itu luar biasa."
Sasori berjalan melewati Sakura dan mengedipkan mata pada gadis itu, Sakura membalas dengan senyum kecil dan mengalihkan perhatiannya pada Shijimi lagi.
"Itulah yang membawa kita untuk mengenal Romeo dan Juliet. Mereka mati karena cinta," ucap Shijimi, suaranya bergetar karena emosi, "Karena cinta terlarang dan kemustahilan mereka."
Perkataan Shijimi disela oleh seorang murid, "Aku tidak ingin mati untuk membuktikan pada seseorang tentang cintaku."
Kelas tertawa dan Shijimi memutar matanya, "Baiklah, kita lanjutkan tentang Shakespeare..."
***
Sasuke menatap PR-nya yang berantakan dan mengerang frustrasi. Selama lebih dari dua jam ia mencoba menyelesaikannya, tapi ia tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Ia perlu melihat Sakura. Ia telah merindukan Sakura sepanjang hari ini, merindukan sentuhannya, senyumnya, suaranya, cekikikannya... Sasuke memejamkan matanya, mencoba mengingat alasan mengapa ia begitu jauh dari gadis impiannya...
"Sialan Sasori," gumam Sasuke pada dirinya sendiri, menggelengkan kepalanya, "Sialan Sakura."
Ketika ia membuka matanya, ia tidak bisa berhenti berpikir bagaimana bisa Sakura melakukan ini padanya, hatinya sangat sakit ketika pikirannya mengulang kembali ke hari dimana ia melihat Sakura dan Sasori berciuman. Tapi sial, meskipun ia bisa saja membunuh Sakura dan Sasori sekarang, ia masih sangat membutuhkan gadis itu.
"Dia benar-benar mengkhianatiku," bisik Sasuke pada dirinya sendiri, "Kenapa aku tidak bisa berhenti merindukannya? Sialan!"
Sasuke berdiri, entah bagaimana tempat tidurnya terasa tidak terlalu nyaman lagi dan ia ingin tidur dengan Sakura di tempat tidur gadis itu, seraya memeluk gadis itu. Sasuke melihat sekeliling kamarnya, mengambil napas dalam-dalam saat ia memikirkan alasan untuk pergi menemui Sakura, berbicara dengan gadis itu, dan mungkin bahkan memeluk gadis itu hanya untuk sementara waktu.
Sasuke duduk kembali di kursi komputernya, meraih iPhone-nya dan mencari semua foto yang mereka ambil di London. Ia tersenyum melihat foto Sakura di pangkuannya, memeluknya dan mengulurkan lidah ke kamera... Kami-sama, mungkinkah ia bisa tersenyum lagi seperti ia tersenyum di dalam foto itu? Ia terlihat sangat bahagia bersama Sakura di foto itu... Tapi sialan Sakura lebih memilih Sasori. Ponselnya tiba- tiba bergetar menandakan ia mendapat pesan teks baru. Ia segera menekan tombol baca.
Aku merindukanmu
-Mei
Itu dia. Mei. Sasuke akan menggunakan gadis itu sebagai alasan untuk menemui Sakura! Ia menyeringai dan melemparkan ponselnya ke tempat tidur, berdiri dari kursi dan berjalan ke kamar Sakura. Ia sama sekali tidak marah jika Sakura memperlakukan Mei dengan buruk ketika gadis itu mencoba mendaftar mengikuti seleksi tim cheerleaders, tapi ia akan berpura-pura marah, hanya untuk membuat Sakura cemburu. Sakura perlu memahami semua yang Sasuke rasakan ketika ia melihat Sasori dan gadis itu berciuman.
Sasuke mengambil napas dalam-dalam dan menyerbu kamar Sakura, "Kenapa kau harus bersikap sangat buruk pada Mei? Dia memberitahuku bagaimana kau memperlakukannya hari ini."
Sakura tak mengalihkan pandangannya dari bukunya, "Aku memperlakukannya dengan pantas sesuai yang kumau dan aku tidak peduli apa yang akan kau pikirkan tentang itu."
"Sialan," Sasuke mengumpat, "Kenapa kau selalu saja bertindak seperti itu?" tanya Sasuke, menggelengkan kepalanya, "Dia pacarku sekarang dan kau harus memperlakukannya dengan baik."
Sakura memandang Sasuke untuk yang pertama kalinya pada hari itu, "Dia adalah pacarmu, bukan pacarku. KAU yang perlu memperlakukannya dengan baik," ucap Sakura dan menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinganya, "Bukan aku."
Sasuke menggelengkan kepalanya. Sekarang ia benar-benar mulai merasa marah pada Sakura lagi. Sakura yang dulu ia cintai dan kenal tidaklah seperti ini. Sakura tidak akan memperlakukan seseorang dengan buruk hanya karena gadid itu merasa ingin melakukannya. Sakura-nya tidak akan melukai perasaan orang lain. Ini adalah Sakura yang baru, gadis yang ia benci.
"Kau hanya iri, jadi kau mencoba merendahkannya untuk membuatmu merasa lebih baik, eh?" Sasuke mengabaikan wajah Sakura yang terkejut, "Tapi terima saja Sakura, dia adalah orang yang lebih baik daripada dirimu."
"Orang yang lebih baik daripada diriku?"
"Ya," ucap Sasuke dengan tenang, "Kau tidak akan pernah sebaik dia."
Sakura tertawa tak percaya, "Sebaik dia?" Ia berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah Sasuke, "Sebaik dia?" tanyanya lagi, "Jadi, mendapatkan nilai jelek dan bercinta dengan seluruh anggota tim renang itu yang kau sebut baik?"
"Kau bercinta dengan semua orang juga," bentak Sasuke kasar, "Setelah seminggu berkencan, siapa tahu. Pain mungkin juga akan beruntung."
"Kau brengsek," bisik Sakura pada Sasuke, takut orang tuanya bisa mendengarnya, "Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan."
"Ya, benar," ucap Sasuke dengan tenang, "Pastikan kau menggunakan kondom, jadi ibu dan ayah tidak perlu membesarkan bayi bodohmu."
Sakura menggelengkan kepalanya. Sasuke membuat rasa sakitnya menjadi lebih dalam. Pertama, pemuda itu berkata bahwa ia mudah sekali untuk bercinta, sekarang pemuda itu berkata bahwa ia bercinta dengan semua orang dan sedang mengandung bayi.
"Aku tidak tahu apa yang salah denganmu, tapi kau sepertinya memiliki masalah serius."
"Oh, tentu saja kau tidak tahu," ucap Sasuke dengan sarkastik, "Kau dan Sasori tidak tahu apa-apa tentang itu."
"Apa hubungan dia dengan situasi ini?" tanya Sakura dengan sangat bingung, "Kenapa kau membawa namanya dalam situasi kita?"
'Aktris bodoh' pikir Sasuke dalam hati, pintar sekali Sakura berpura-pura untuk membela kekasihnya di depan dirinya. "Kita tidak punya 'situasi' bersama, Sakura. Aku punya situasi dengan Mei," bisik Sasuke, "Kau tahu? Aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku denganmu lagi," ucapnya, "Jika kau bahkan tidak bisa mengakui kesalahanmu maka aku tidak mau punya situasi denganmu di sini."
"Ya, kau benar. Kau tidak perlu melakukan apa-apa di sini," Sakura setuju, berjalan ke pintu dan membukanya, "Keluar." Ia mengambil kotak merah muda yang berisi semua barang, foto, kemeja, hoodie dan beberapa hadiah yang pernah Sasuke berikan padanya, "Dan bawa ini bersamamu, tolong."
Sasuke meraih kotak itu, realisasi menghantamnya sekarang. 'Situasi' mereka telah berakhir, Sakura mengembalikan barang-barangnya untuk digantikan dengan milik Sasori. Sasuke membuka mulutnya tapi sebelum bisa mengatakan apapun, Sakura membanting pintu kamarnya.
Sasuke benar-benar brengsek! Bagaimana bisa ia jatuh cinta pada pemuda itu? "Ugh," erang Sakura ketika ia menghempaskan dirinya ke tempat tidur dan memejamkan matanya, "Kau sangat bodoh, sangat bodoh."
Ia membuka matanya lagi dan duduk di tempat tidurnya. Ia harus mengingat semua hal buruk yang Sasuke katakan padanya, ia tidak ingin melewati hal itu lagi. Ia menutup bukunya dan mengambil notebooknya. Mungkin ini saat yang tepat untuk mulai membuat daftar sikap-sikap buruk seperti yang dikatakan pada majalah itu...
"Ini cara terbaik untuk mengingatkanmu bahwa kau akan jauh lebih baik tanpa dia, Sakura," bisik Sakura pada dirinya sendiri, "Kau akan jauh lebih baik tanpa dia."
Sakura mengulanginya beberapa kali. Ia tahu ia akan lebih baik jika menjauh dari Sasuke, setidaknya sekarang. Sasuke terlalu menyakitinya dan ia tidak tahan lagi. Tapi kenapa ia tidak merasa lebih baik tanpa pemuda itu? Kenapa ia merasa hati dan tubuhnya seperti menginginkan pemuda itu? Yang ia ingin lakukan hanyalah berteriak pada Sasuke, mengatakan pada Sasuke bahwa ia membenci pemuda itu, tapi sungguh, rasanya mustahil, ia merasa tidak akan pernah bisa membenci Sasuke. Ia bisa marah pada Sasuke selama beberapa jam, tapi tidak pernah membenci pemuda itu. Benci terasa terlalu berlebihan. Sialan, sejak kapan ia menjadi sangat bergantung pada Sasuke seperti ini?
Sakura mengerang, berbaring di tempat tidur dan memejamkan matanya. Ia baru saja kehilangan keberanian untuk membuat daftar sikap-sikap buruk Sasuke... lagi.
***
Dua minggu kemudian
Sasuke dan Sakura terbangun oleh suara alarm masing-masing. Ketika mereka berjalan keluar dari kamar mereka dan bertemu di koridor, mereka tidak mengatakan apa-apa, hanya turun ke bawah dalam keheningan dengan aroma kue yang baru saja dipanggang menusuk hidung mereka. Mereka melangkah ke dapur dan disambut oleh seorang wanita tua.
"Lihat siapa yang sudah bangun," ucap wanita tua itu dan Sakura tersenyum lebar.
"Baasan!" Sakura berlari ke pelukan neneknya, memeluknya erat-erat.
"Kau tumbuh sangat besar, Sakura-chan."
Sakura terkikik, menatap dirinya sendiri, "Menurutmu begitu?"
Haruno Koharu mengangguk, membelai wajah Sakura, "Bayi kecilku telah tumbuh menjadi gadis cantik."
"Terima kasih, Baasan."
Koharu memandang Sasuke, "Kau sudah dewasa juga, Nak. Setiap kali aku melihatmu kau terlihat lebih tinggi," Ia tersenyum, dan membuka lengannya, mengundang Sasuke ke dalam pelukannya, yang disambut Sasuke dengan senang hati.
"Kau juga masih terlihat cantik, Baasan," ucap Sasuke, "Lebih muda dari sebelumnya."
"Aku sering menonton MTV," ucap Koharu bersemangat, "Acara TV itu..." Ia menggelengkan kepalanya, kemudian menatap kedua remaja itu, "Ada sesuatu yang berbeda di sini, aku bisa merasakannya."
Sakura duduk dan begitu pula Sasuke, "Kami tidak saling berbicara satu sama lain lagi, mungkin itu masalahnya."
"Kenapa tidak?"
Sasuke mengangkat bahu, "Ceritanya panjang," jawabnya, tidak benar-benar ingin mengingat alasan sebenarnya ia tidak berbicara dengan Sakura lagi.
"Kalian tidak boleh bertengkar," protes Koharu, menatap kedua remaja itu dengan sorot prihatin. "Kalian kan um... saudara."
"Kami bukan saudara kandung, kami hanya kebetulan tinggal bersama," ucap Sakura, "Sayang sekali," tambahnya cepat.
"Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Terakhir kali aku berbicara dengan kalian, semuanya baik-baik saja," ucap Koharu, "Aku masih ingat kalian berdua bersemangat tentang perjalanan kalian ke Inggris."
Sakura menghela napas ketika bayangan dirinya dan Sasuke di London menyerbu benaknya, ia memandang Sasuke dari sudut matanya dengan sangat cepat, tapi tampaknya pemuda itu lebih tertarik menatap dinding, "Tidak, semuanya sudah berubah, Baasan."
Koharu mengamati cucunya dan kemudian beralih pada Sasuke selama lebih dari satu menit sebelum berbicara lagi, "Oke, jika memang itu yang kalian mau, aku tidak akan mengatakan apa-apa," desahnya dalam-dalam, "Siapa yang mau segelas susu dan kue?"
"Aku," ucap dua remaja itu bersama. Sasuke berdeham dan bergumam "Terserah" dengan suara rendah.
"Baiklah," Koharu mengambilkan dua remaja itu makanan dan duduk di depan mereka, ia melihat mereka makan dalam diam, "Jadi, Natal tahun ini akan menjadi sunyi, sangat sunyi..."
Sakura mengangkat bahu dan Sasuke mengabaikan komentar Koharu, ia lebih memusatkan perhatiannya untuk menggigit kue di hadapannya, "Kue ini enak, Baasan."
Koharu mengangguk dan terus memperhatikan mereka makan. Ada sesuatu yang salah di sini dan ia tidak tahu apa itu. Sasuke dan Sakura selalu tidak bisa berpisah bahkan hanya selama satu jam, tapi sekarang mereka bahkan tidak mau memandang wajah satu sama lain? Ini sangat aneh.
"Kalian tahu aku ada di sini pertama kali kalian mendapatkan kamar sendiri?" tanya Koharu.
Dua remaja itu mendongak tapi tak menjawab.
"Kalian punya koneksi yang kuat, kalian selalu melakukan semuanya bersama-sama."
Sakura terus memandangi neneknya, sementara Sasuke menatap ke bawah.
Koharu melanjutkan, "Jauh di lubuk hatiku, aku selalu berpikir hubungan kalian itu berbeda," ucapnya dan tersenyum, "Aku ingat ketika Fugaku dan Mebuki mencoba membuat Sakura tidur di kamarnya sendiri... kurasa aku tidak perlu mengatakan itu tidak berhasil, bukan?" Ia tertawa, sementara Sakura dan Sasuke tidak bisa menahan senyum kecil mereka, "Kurasa waktu itu dia masih sekitar 5 atau 6 tahun dan dia sudah bergantung padamu, Sasuke."
"Apa maksud percakapan ini, Baasan?" tanya Sasuke tiba-tiba, tidak ingin terdengar kasar, hanya ingin tahu.
"Uh, aku hanya bernostalgia di sini, aku sudah tua, biarkan aku bersenang-senang sebentar," ucap Koharu main-main dan melanjutkan, "Dulu ketika kalian berada di Hokkaido bersamaku selama seminggu dan juga Kurenai, kalian ingat Yuhi Kurenai?" tanya Koharu, "Teman baik ibumu? Dia dulu sangat menyayangiku."
Sakura tertawa, "Kau begitu percaya diri, Baasan."
Koharu tertawa juga, "Aku serius. Jadi kalian ingat dia?" Ia bertanya lagi dan mereka mengangguk, "Jadi, dia dulu datang berkunjung dengan suaminya, Ajuma?"
"Asuma," Sakura membetulkan neneknya, "Namanya Asuma, Baasan."
"Kami dulu memanggilnya alien berbulu," ucap Sasuke pelan tanpa memandang Sakura, tapi Koharu tersenyum, ia membuat kemajuan, setidaknya itu yang ia pikirkan, "Ngomong-ngomong, waktu itu dia mengundang kita untuk makan malam dan aku membelikan Sakura gaun merah muda yang benar-benar imut, yang membuatnya tampak seperti seorang putri," Koharu tersenyum dan menatap gadis remaja itu, "Meskipun aku menutup mataku, aku masih bisa melihat mulut Sasuke ternganga ketika dia melihatmu. Dan seperti kau tahu, jika aku tidak salah, dia menggunakan kata malaikat untuk menggambarkanmu, Sakura-chan."
Sasuke memerah dan Sakura menatap pemuda itu dari sudut matanya lagi. "Aku tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini, Baasan." ucap Sakura.
"Intinya adalah kalian memiliki hubungan yang hebat, tidak ada gunanya membuangnya hanya karena hal bodoh yang mungkin terjadi di antara kalian berdua."
Andai saja Koharu tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, ia tidak akan berkata seperti itu. Ini lebih rumit daripada yang bisa diketahui siapa pun, tapi sebanyak apapun Koharu berusaha untuk membantu, hanya Sasuke dan Sakura satu-satunya yang bisa menyelesaikan masalah mereka, itupun JIKA mereka ingin menyelesaikannya. Sasuke merasa dikhianati, dan Sakura merasa dimanfaatkan. Butuh waktu lama bagi mereka untuk menyelesaikan semua masalah itu.
"Aku sedang mencoba, Kami-sama tahu aku sedang mencoba," Koharu berbisik lebih kepada dirinya sendiri, tapi dua remaja itu juga bisa mendengarnya, "Bagaimana sekolahmu, Sakura-chan?"
"Baik."
"Kuharap masih mendapat nilai bagus?" Neneknya bertanya sambil tersenyum.
"Yup," yakin Sakura, "Kelas atas seperti biasa," Ia terkikik dan menyeruput susunya.
"Dan tim basketmu, Sasuke?" Koharu menatap remaja lelakki itu, "Semuanya baik-baik saja?"
"Ya," jawab Sasuke mengangguk.
Keheningan yang canggung memenuhi dapur lagi.
Sakura menghela napas, "Di mana Tousan dan Kaasan?"
"Mereka sedang pergi," jawab Koharu cepat, "Untuk membantu Santa, kau tahu."
Sakura terkikik, "Baiklah."
Sasuke memutar matanya dan berdiri. Semua omong kosong ini terlalu berat baginya, "Aku akan mengunjungi Mei dan kemudian Naruto, aku akan kembali dalam beberapa jam."
Mau tak mau Koharu merasa penasaran, "Siapa itu?"
"Hm," Sasuke mengusap bagian belakang lehernya dengan malu, "Pacarku."
"Oh," Koharu terdengar kecewa, "Untuk alasan gila aku selalu berpikir bahwa kau dan Sakura akan berakhir bersama," Ia tertawa dan menggelengkan kepalanya, "Sepertinya itu akan menyenangkan."
Sakura memandang Sasuke dan untuk pertama kalinya dalam dua minggu mereka saling berbagi pandangan. Neneknya berpikir akan menyenangkan jika Sasuke dan Sakura berkencan? Wow, itu kabar baik... setidaknya jika suatu hari mereka memutuskan untuk mencoba lagi.
"Itu tidak akan pernah terjadi," ucap Sasuke dengan dingin, "Sakura tidak akan pernah lebih baik dari Mei."
Gadis berambut merah muda itu menelan ludah, merasakan sakit yang lebih dari sebelumnya. Perasaan penuh harap yang ia miliki beberapa detik lalu menguap darinya. Kini rasa sakit yang begitu kuat melanda dirinya, sangat menyakitkan hingga ia bersumpah tidak bisa merasakannya secara fisik. Ia menunduk, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak boleh menangis sekarang. Ketika ia mengangkat kepalanya, matanya bertemu mata onyx Sasuke, warna hitam yang dulu menenangkan sekarang benar-benar gelap. Sakura merasa marah, marah karena Sasuke memperlakukannya seperti ini di depan neneknya; membandingkannya dengan gadis yang paling dibencinya.
Koharu memandangi cucunya dan terkejut melihat kesedihan di mata gadis itu. Ia kemudian menatap Sasuke, menggelengkan kepalanya, "Kau tidak perlu bersikap kasar pada Sakura, Sasuke."
Sasuke mengabaikan wanita tua itu dan melangkah meninggalkan dapur.
Sakura menghela napas, "Lupakan saja, Baasan. Dia brengsek, semua orang tahu itu," Ia berpura-pura tersenyum, "Apa kau mungkin ingin pergi ke mall bersamaku? Aku perlu membeli sesuatu untuk Hinata dan Ino."
Koharu tersenyum simpatik pada Sakura, "Aku akan siap-siap dalam 10 menit."
***
Di mall
"Jadi, apa yang kau inginkan untuk Natal? Kau tahu uang bukan masalah," ucap Koharu, berusaha membuat Sakura benar-benar senang, "Katakan saja padaku."
Sakura tertawa, "Kau terlalu memanjakanku, Baasan."
Koharu meraih tangan Sakura seraya berjalan, "Kau adalah cucu perempuan favoritku."
"Aku satu-satunya cucu perempuanmu," ucap Sakura sarkastis, "Tapi aku suka dimanja olehmu."
Mereka duduk di Starbucks dan memesan dua kopi. Koharu membelai tangan Sakura dan gadis itu tersenyum pada neneknya, "Apa?"
"Kau sangat besar," suara Koharu bergetar dengan emosi, "Aku sangat senang kau menjadi gadis yang hebat."
"Terima kasih," Sakura tersenyum tulus kali ini, "Aku sangat merindukanmu!"
Koharu tertawa, "Aku juga, Sakura-chan," Ia memajukan tubuhnya di atas meja dan berbisik, "Kau tahu jika kau ingin mengatakan sesuatu padaku, aku akan mendengarkan, bukan?"
Sakura menelan ludah, "Ya," Ia tersenyum, "Terima kasih."
Nenek itu mengangguk, "Baiklah," Ia memulai, "Apa kau berencana untuk mendapatkan lisensi secepatnya?"
Sakura mengangguk juga, "Ya, secepat yang aku bisa, tapi aku masih harus menunggu sampai ulang tahunku."
"Ya, itu benar," Koharu setuju, "Banyak mobil baru sudah keluar untuk saat ini."
Sakura terkikik mengetahui bahwa neneknya akan benar-benar memberinya mobil jika ia meminta, "Ya."
Koharu mengusap dagunya sambil berpikir, "Apa rencanamu minggu depan?"
"Tidak ada," jawab Sakura, "Ino akan berada di China dan Hinata akan pergi ke rumah bibinya."
"Mungkin kau bisa ikut bersamaku dan menginap sampai akhir bulan ini," Koharu menyarankan, "Dan Gaara bisa membuatmu sibuk! Kau tahu nenekmu sudah tua dan harus tidur lebih awal," Ia mengedipkan mata dan tertawa, "Dia lucu dan seorang anak yang baik."
"Ide yang luar biasa, Baasan," Sakura menyeringai, "Tapi siapa Gaara?"
"Dia tetanggaku dan dia sedang mencari pacar," Koharu terdengar bersemangat, "Dia anak yang sangat tampan."
Sakura memutar matanya, "Aku tidak butuh pacar Baasan, terutama yang tinggal di Hokkaido."
"Siapa yang mengatakan bahwa kau membutuhkan pacar?" tanya Koharu, "Hanya liburan."
"Aku tidak tahu kau paham tentang hubungan asmara," ucap Sakura pada neneknya, tertawa.
"Aku tahu banyak hal, sudah kubilang aku selalu menonton MTV bersama Gaara," Koharu tertawa, "Jadi, apa keputusanmu? Mungkin lebih baik kau pergi berlibur selama beberapa hari..."
"Kau benar," ucap Sakura, "Aku benar-benar suka ide itu, Baasan. Aku ingin menghabiskan beberapa hari denganmu."
Koharu tersenyum, "Baiklah, kita harus memesan tiket pesawat setelah kita selesai di sini."
"Luar biasa."
***
"Kita pulang," teriak Koharu dari pintu masuk, Sakura mengikuti neneknya ke dalam dan menutup pintu dengan bantuan kakinya.
Mebuki melangkah ke ruang tamu dan tampak terkejut melihat jumlah tas yang ada di tangan mereka, "Wow, kalian membeli seisi mall?"
Sakura tertawa dan Koharu meletakkan tas belanjaannya di bawah pohon Natal. Ia duduk di sofa, menggosok-gosok lututnya, "Hanya beberapa barang untuk cucuku."
Mebuki mengangguk, "Beberapa, huh?"
Mereka mendengar pintu belakang tertutup dan kemudian suara langkah kaki. Sedetik kemudian, Fugaku berjalan ke ruang tamu dengan senyum lebar di wajahnya, "Di mana Sasuke?"
"Baru saja pulang," jawab Mebuki, "Dia ada di atas."
"Aku butuh semua orang berkumpul di sini. Sekarang sudah waktunya!" ucap Fugaku, sedikit menggelitik Sakura, "Bisakah kau memanggil kakakmu ke sini, Sakura?"
Sakura mengerang frustrasi, "Sasuke bukan kakakku. Berapa kali aku harus mengatakan ini padamu?"
Mebuki memutar matanya, "Aku tidak percaya kalian masih bertingkah seperti ini."
"Aku sudah memberitahumu untuk mencari solusi masalah kalian," Fugaku menggelengkan kepalanya, "Aku tidak membesarkan anak-anak untuk saling membenci."
"Tousan!" Sakura berteriak, "Jangan memaksaku pergi ke sana."
"Sakura-chan..." Mebuki menatap Sakura dengan mata memohon, "Tolong."
"UGH! Oke, aku akan memanggilnya," gerutu Sakura, berjalan ke lantai atas, mengumpati Sasuke dalam hati. Sakura mengetuk pintu dan pemuda itu membukanya setelah satu menit.
"Ya?"
"Tousan ingin kau turun," ucap Sakura dan berbalik untuk pergi, tapi Sasuke memegang tangannya, membuat Sakura berhenti dan menatap pemuda itu lagi.
Sasuke menelan ludah; ia tidak tahu harus berbuat apa. Semenit yang lalu ia sendirian di kamarnya mengumpati Sakura dan sekarang ia sangat ingin menyentuh dan mencium gadis itu. Sasuke ingin mengatakan pada Sakura bahwa ia tidak bermaksud bertingkah seburuk itu, tapi ia tidak bisa. Ia memandangi bibir Sakura dan sekali lagi benaknya terbayang akan bibir Sasori yang menempel di bibir itu, menghisap bibir yang dulunya miliknya, hanya miliknya. Sialan, bagaimana jika Sakura tidur dengan Sasori juga? Bagaimana jika mereka sudah melakukannya? Bagaimana jika Sasori meminta Sakura menjadi kekasihnya sebagai hadiah Natal? Semua itu terlalu berat bagi Sasuke; ia tahu ia tidak akan bisa bertahan setelah ini. Sialan Akasuna Sasori, mengapa pemuda itu harus mengejar Sakura-nya. Tapi sekali lagi, Sakura tidak akan mengatakan tidak jika gadis itu mau. Ya, gadis itu selalu menyukai Sasori sejak dulu, dan sekarang ke mana pun Sasuke berjalan di lingkungan sekolah, ia menemukan mereka berbicara, tertawa, berangkulan satu sama lain... Sasori selalu ada di kamar Sakura ketika Sasuke pulang setelah latihan atau Sakura selalu ada di rumah pemuda berambut merah itu. Sial, Sasuke sangat ingin meninju Sasori.
"Ya?" tanya Sakura dengan pelan, matanya berkedip penuh harap ketika ia mengamati ekspresi bingung Sasuke, "Apa yang kau inginkan?"
Sasuke menggelengkan kepalanya, "Bukan apa-apa, lupakan saja."
Sakura mengangguk, "Baiklah kalau begitu."
Mereka berjalan berdampingan ke lantai bawah. Sakura masih menikmati sensasi di perutnya ketika Sasuke memegang tangannya satu atau dua menit yang lalu. Ia duduk di sebelah Koharu dan neneknya itu tersenyum padanya, "Semua baik-baik saja?" tanya neneknya.
Sakura hanya mengangguk, "Baik."
"Ada apa, Tousan?" tanya Sasuke.
Uchiha Fugaku tersenyum, "Waktunya memberikan hadiah, Nak."
Sasuke duduk di lantai dan Daisy berlari ke arahnya, meletakkan kepalanya di pangkuannya. Ia membelai telinga anjing itu dengan malas ketika ia melihat ayahnya membungkuk di depan mereka bertiga dan mengambil sebuah kotak besar berwarna merah muda, "Yang ini untuk putriku, Sakura."
Sakura berdiri dengan senyum lebar di wajahnya, "Kupikir aku tidak akan mendapatkan hadiah karena aku sudah diijinkan pergi ke Cambridge."
"Tidak mungkin, Nak," Fugaku mencium kening Sakura dan memberikan kotak itu, "Semoga kau menyukainya."
Saat Sakura duduk di lantai untuk membuka hadiahnya, Sasuke tidak bisa menahan senyum melihat betapa lucunya gadis itu. Meskipun Sakura sudah beranjak dewasa, kadang-kadang gadis itu masih bertindak seperti bocah. Dan dulu Sasuke suka itu, ia menyukai kenyataan bahwa ia bisa melindungi dan memanjakan Sakura. Tapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, itu semua bukan tugasnya lagi. Itu milik Sasori.
"Wow, ini notebook pink yang aku inginkan!" Sakura berseru dan memeluk ayahnya, "Terima kasih, Tousan," Ia lalu mencium ibunya, "Terima kasih, Kaasan."
"Kami senang kau menyukainya. Kau terus membicarakan komputer sebulan penuh," Mebuki tersenyum dan menyelipkan helai rambut Sakura ke belakang telinganya.
Sakura terkikik, "Luar biasa, terima kasih sekali lagi."
"Giliranku," Koharu memberi Sakura sebuah kotak kecil.
"Lagi, Baasan?"
Koharu mengangkat bahu, "Aku suka memberi hadiah."
Sakura terkikik dan membuka kotak itu, "Wow," bisiknya ketika ia mengambil kalung emas putih dengan liontin huruf S dari dalam kotak itu, "Aku menyukainya, Baasan," Ia mencium pipi neneknya, "KaasanTousanBaasan memberiku hadiah lagi hari ini dan aku ingin tahu apakan ini tidak apa-apa."
"Apa?" tanya Fugaku, "Kuharap bukan sesuatu yang mahal."
Koharu tertawa, "Aku akan membawa Sakura ke rumahku selama seminggu, apa tidak masalah?"
"Tentu saja tidak," Mebuki menjawab lebih cepat, "Tapi itu berarti Sasuke akan sendirian di rumah."
Sasuke menatap orangtuanya, "Kenapa?"
"Ibumu dan aku akan pergi untuk merayakan Tahun Baru berdua," jawab Fugaku, "Tapi akan kembali sehari setelahnya."
Sakura merenungkan pembicaraan yang sedang berlangsung dan ketika ia melirik sejenak pada Sasuke, matanya bertemu tatap dengan mata pemuda itu. Mata onyx pemuda itu berkilau seperti batu safir, memandangnya begitu... entahlah. Sebenarnya, Sakura tidak tahu apa yang sedang terjadi di benak Sasuke, untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia merasa takut, ia tidak tahu sama sekali apa yang dipikirkan Sasuke atau perasaan pemuda itu, dan ia dulu sangat mengenal pemuda itu.
"Aku um, aku akan pulang di Malam Tahun Baru," desah Sakura, "Dia tidak akan sendirian, jangan khawatir."
Fugaku mengangguk sambil tersenyum, "Baiklah kalau begitu."
"Selanjutnya untuk Sasuke," Koharu memberi Sasuke Xbox baru dan remaja lelaki itu terlihat sangat senang.
"Terima kasih, Baasan," Sasuke memeluk wanita tua itu dan duduk di sofa.
Sakura meraih sebuah kotak persegi di bawah pohon berisi bola, "Ini bola basket, bolamu sudah lama, jadi kurasa kau akan menyukainya," ucapnya, melemparkan bola itu pada Sasuke.
Sasuke meraih bola ketika masih di udara, "Terima kasih," Ia tersenyum lemah, "Aku juga punya hadiah untukmu."
Sasuke meletakkan bolanya di sofa dan mengambil kotak kuning di bawah pohon.
"Ini buku tentang bintang-bintang," Sasuke mengangkat bahu, "Kau sangat menyukainya, kupikir ini ide yang bagus."
"Terima kasih," ucap Sakura dan mengambil kotak itu.
Mebuki, Fugaku, dan Koharu merasa sangat sedih dengan cara kedua remaja itu berinteraksi satu sama lain, seolah mereka belum pernah menjadi sahabat di sepanjang hidup mereka, tapi tampaknya tak ada yang bisa orang-orang tua itu lakukan.
"Giliran kami," ucap Mebuki, "Oke, karena umurmu hampir 17 tahun..." Ia memulai dengan senyum lebar di wajahnya dan memandang Fugaku.
Fugaku mengambil kunci mobil di saku belakangnya dan memberikannya pada Sasuke, "Selamat Natal, Nak."
Sasuke tersenyum dan memeluk orang tuanya, "Ini luar biasa."
Sakura duduk di sebelah neneknya lagi dan menyandarkan kepalanya di bahu neneknya itu.
"Boleh aku melihatnya?" tanya Sasuke dengan gembira, "Di mana mobilnya?"
"Aku tadi memarkirnya di jalan masuk," ucap Fugaku dan sebelum ia bisa berbicara lagi, Sasuke sudah berlari keluar. Fugaku tertawa dan memandang putrinya, "Apa kau tidak ingin melihat mobil kakakmu, Sakura?"
Sakura menggelengkan kepalanya, "Nanti saja, Tousan."
Mebuki dan Fugaku melangkah keluar menyusul Sasuke, sementara Koharu memeluk Sakura. Ia tahu apa yang disembunyikan gadis itu, ia telah memanfaatkan waktunya bersama Sakura untuk menyusun semua potongan teka-teki ini.
"Aku tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua, aku tahu." ucap Koharu.
Sakura menatap neneknya, tampak ketakutan, "Apa?!"
"Kau menyukainya, Sakura-chan, itu cukup jelas."
Sakura menggelengkan kepalanya perlahan. Ini tidak bisa terjadi. Ia merasa pusing, lemah, benar-benar gugup, semua perasaan itu bercampur jadi satu. Ia berpegangan pada sofa, merasa benar-benar lemah, seolah ia bisa pingsan kapan saja sekarang.
Koharu mengelus pipi Sakura yang pucat, "Sakura-chan, lihat aku," Ia memanggil gadis itu, merasa khawatir, "Apa kau merasa baik-baik saja?"
"A-Aku," Sakura kehabisan kata-kata dan mulai menangis, "Aku tidak mau ini terjadi."
"Ini bukan salahmu, aku tahu," ucap neneknya dengan tenang, "Ini juga bukan masalah bagiku."
"Aku sangat menyukainya," Sakura menyembunyikan wajahnya di dekapan neneknya, terisak-isak, "Tapi dia sama sekali tidak menyukaiku."
"Tidak apa-apa, Sakura-chan," Koharu mengusap punggung cucunya perlahan, menghibur remaja itu, "Aku ada di sini untukmu, Nak."
"Kumohon jangan bilang siapa-siapa," Sakura berhasil berbisik di antara isak tangisnya, "Kumohon."
Koharu mencium puncak kepala Sakura, "Jangan khawatir. Ini rahasia kita."
***
To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)