expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Brotherly Love #15



Seminggu kemudian, siswa Konoha High School harus kembali ke jadwal normal mereka dan menghadiri kelas lagi. Tapi bagi Sakura itu bukan masalah besar. Ia suka belajar dan terbiasa dengan hal itu. Ketika Madamu Shijimi mengajar di kelas seni, wanita itu sangat senang bahwa murid-muridnya mengenal budaya Inggris dan terus berbicara tentang Shakespeare dan bagaimana ia ingin murid-muridnya membuat representasi kecil tentang Romeo dan Juliet setelah liburan Natal. Semua murid mengeluh, sebagian besar keluhan berasal dari remaja lelaki. Sementara para gadis berpikir memainkan peran Juliet sangatlah romantis dan mendukung ide guru mereka itu.
"Tapi Shijimi-sensei," seorang pemuda mencoba untuk mengatakan sesuatu, tapi sang guru memotongnya.
"Kiba, berhentilah merengek, kau tahu kedekatan dengan seni merupakan kemurnian jiwa."
Sasori mengangkat tangannya.
"Ya, Sasori?"
"Sensei, jadwal berlatih basketku sangat padat, aku tidak punya waktu untuk berlatih bermain peran," ucap Sasori, "Tidak bisakah Sensei memberiku nilai A jika tim basketku menang melawan Moya High School?"
Shijimi memutar matanya pada pertanyaan Sasori, "Ini tentang Shakespeare, aku yakin kalian akan menyukai tugas ini," ucapnya pada seisi kelas, "Aku ingin melihat Romeo dan Juliet yang berbeda, jadi kreatiflah! Dan Sasori—"
Sasori memandang guru itu, "Ya, Sensei?"
"Lain kali jika kau membuat pertanyaan konyol, kau harus berperan menjadi Juliet." ucap Shijimi. Seisi kelas tertawa dan Shijimi menyeringai.
Ketika bel sekolah berbunyi menandakan kelas berakhir, Sakura membereskan barang-barangnya dalam diam dan pergi ke lokernya. Ia meletakkan semua buku ke dalam loker dan meraih tas selempangnya, berbalik dan hampir melompat kaget ketika menemukan Sasori berada di depannya, tak lupa dengan senyum lebar di wajah pemuda itu.
"Wow, kau membuatku takut, Sasori," ucap Sakura, meletakkan tangannya di dada.
"Maaf Sakura," Sasori tertawa, "Apa kau sibuk sekarang?"
Sakura menggelengkan kepalanya, "Tidak, ada yang bisa kubantu?"
Sasori mengusap rambutnya canggung, "Um, ya. Apa kau sudah memiliki pasangan untuk tugas Shijimi-sensei?"
Sakura menggelengkan kepalanya, "Tidak, belum."
Senyum Sasori melebar, "Boleh aku berpasangan denganmu?"
"Tentu saja," ucap Sakura tersenyum dan mereka mulai berjalan menyusuri koridor, "Kau masih ada jadwal hari ini?"
"Tidak, tidak lagi untung saja," Sasori tertawa, "Mau pergi ke rumahku? Untuk membahas apa yang harus kita lakukan dengan tugas Shijimi-sensei?"
Sakura mengangguk, "Tentu. Aku akan memberitahu ayahku dulu?"
"Oke, aku akan menunggu di sini."
Sakura segera pergi ke gym dan menjelaskan pada ayahnya bahwa ia sepanjang siang akan berada di rumah Sasori untuk membahas tugas drama mereka. Uchiha Fugaku, meskipun ia tidak suka fakta bahwa Sakura pergi ke rumah seorang lelaki terpaksa setuju setelah Sakura merengek.
"Aku akan menjemputmu ketika aku selesai dengan latihan basket di sini, oke?" ucap Fugaku.
Sakura tersenyum dan mencium pipi ayahnya, "Sampai nanti, Tousan."
Saat Sakura keluar dari gym, ia berpapasan dengan Sai dan Naruto yang akan memasuki gym.
"Sasuke-teme mencarimu," ucap Naruto dengan senyum menggoda, "Dia ada di perpustakaan."
"Oh," gumam Sakura, "Tapi, aku akan ke rumah Sasori, dia sedang menungguku, aku tidak bisa pergi ke perpustakaan sekarang."
"UHH, kau punya teman kencan, Sakura?" Sai bercanda.
"Tidak," Sakura terkikik dan mengabaikan tawa Naruto, "Aku harus pergi, sampai jumpa besok."
***
Sakura telah berada di rumah Sasori selama lebih dari satu jam sekarang dan mereka belum mengerjakan apapun. Mereka hanya makan kue bersama ibu dan adik perempuan Sasori, baru lah ketika Nyonya Akasuna pamit untuk bekerja, dua remaja itu akhirnya pergi ke kamar Sasori.
Mata Sakura membelalak kaget ketika ia menatap sebuah ruangan yang disebut kamar Sasori. Semuanya serba hijau, dari dinding, karpet dan selimut, dan Sakura tak bisa untuk tidak berpikir bahwa ia sedang berada di hutan.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan," ucap Sasori, melihat sekelilingnya, "Terlalu banyak hijau, huh?"
Sakura tertawa, "Apa kau suka berkebun atau semacamnya? Ya ampun, kenapa kau tidak merasa pusing di sini?"
Sasori mengangkat bahu, tertawa, "Aku sudah terbiasa. Ibuku suka hijau."
"Aku mengerti," Sakura tertawa juga.
Sasori duduk di lantai, menyandarkan punggungnya ke tempat tidur dan mengangkat alisnya, "Jangan takut, ayolah Sakura. Tidak ada buaya atau sesuatu seperti itu di hutanku."
Sakura menggelengkan kepalanya, tersenyum, "Kau gila, Akasuna Sasori," Ia duduk di samping pemuda itu, membuka buku Romeo & Juliet-nya.
"Jadi, adegan mana yang menurutmu harus kita lakukan?" tanya Sasori pada Sakura, ia mendekat pada Sakura agar bisa membaca buku itu juga.
"Um," Sakura membaca sedikit teks di buku itu, "Mungkin adegan kematian, kurasa itu bagian yang terbaik."
Sasori mengangguk, "Kau jenius."
Sakura tertawa, "Kupikir kita bisa melakukan Shakespeare modern."
"Seperti apa?"
"Aku tidak tahu... mungkin alih-alih dengan racun, kita bisa menggunakan cara yang berbeda."
Sasori melompat dari lantai, "Kita bisa saling membunuh dengan pistol! Seperti di Rambo!"
Sakura tertawa, "Um, bisa jadi, itu akan sangat berbeda," ucapnya pada Sasori, "Tapi kau tahu mereka saling mencintai, kan? Apa gunanya membunuh seseorang yang kau cintai?"
Senyum Sasori menghilang ketika ia duduk di lantai lagi, "Setidaknya Shijimi-sensei menyukai hal yang berbeda."
Sakura menulis catatan di bukunya, "Jadi, kita akan sedikit mengubah di bagian adegan meminum racun dan menambahkan ide yang baru saja kau katakan?"
Sasori mengangguk, "Tak masalah bagiku," Ia tersenyum, "Kurasa itu ide yang bagus."
Mereka berdua terinterupsi oleh dering ponsel Sakura.
"Tunggu sebentar," ucap Sakura dan bangkit untuk mengambil ponslenya di tas. Ia tersenyum ketika ia membaca nama Sasuke di layar ponselnya.
"Halo," sapa Sakura, tapi kegembiraannya memudar ketika ia mengenali suara di ujung telepon, "Eh, Tousan. Sudah? Oke, aku akan ke sana sebentar lagi, bye."
"Siapa?" tanya Sasori pada Sakura, menutup bukunya dan berdiri.
"Oh, ini ayahku, dia datang menjemputku." Sakura mengambil tas, dan bukunya, "Kurasa kita bisa mulai mengerjakan tugas ini di tempatku besok?"
Sasori mengangkat bahu, "Aku tidak ada jadwal berlatih basket minggu ini karena kapten dan Coach sedang sibuk merekrut beberapa pemain baru, jadi kurasa bisa."
Sakura tersenyum, "Oke."
Sasori mengantar Sakura ke lantai bawah dan membukakan pintu depan untuk gadis itu. Ketika Sasori mengantar Sakura ke mobil, Sakura bisa merasakan tatapan Sasuke padanya, ia merasa tergelitik memikirkan betapa tampannya Sasuke saat bereskpresi serius, dan masih mengenakan seragam basketnya.
"Hai Coach, hai kapten," Sasori menyapa Fugaku dan Sasuke dengan ramah, "Apa kalian sudah menemukan orang yang cocok untuk tim?"
Sasuke mengabaikan Sasori dan Fugaku menggelengkan kepalanya, "Belum. Semoga saja besok."
"Ya, semoga saja," jawab Sasori dan berbalik memandang Sakura, "Sampai jumpa, Sakura."
Sakura mencium pipi Sasori dan masuk ke kursi belakang mobil. "Kau datang lebih awal, Tousan," ucapnya ketika mencium pipi ayahnya, "Hai Sasu," Ia mencium pipi kakaknya juga, tapi pemuda itu tidak menjawabnya.
"Bagaimana tugasmu?" tanya Fugaku, yang mulai menjalankan mobil.
"Oh, keren sekali," ucap Sakura bersemangat, "Ini akan menjadi drama yang bagus."
Sasuke menyalakan radio dan memandang ke luar jendela. Ia mengetukkan ujung jarinya pada bola basketnya dan memutuskan untuk tidak menunjukkan pada Sakura bahwa ia cemburu. Mengabaikan gadis itu adalah hal terbaik yang harus dilakukan walaupun sebenarnya ia ingin berteriak pada Sakura, meninju Sasori atau apapun itu... Ia memejamkan mata dan tiba-tiba muncul bayangan Sakura dan Sasori bercumbu di kamar pemuda berambut merah itu, tangan Sasori menyentuh perut Sakura-
"Ada apa, Sasuke?" tanya Fugaku, memandang putranya dari sudut matanya, "Kau diam sepanjang sore ini."
Sasuke menatap ayahnya, "Tidak, hanya lelah," Ia berbohong, "Latihan hari ini sangat punk."
Fugaku tertawa, "Punk adalah kata yang sangat bagus untuk menyebut hari ini."
Sakura mengusap bahu Sasuke dengan lembut, "Sasori memberitahuku bahwa kau merekrut pemain baru untuk tim."
'Kau harus bersikap normal di depan ayahmu Sasuke, ayolah,' pikir Sasuke dalam hati sebelum menjawab "Ya" untuk Sakura.
"Bagaimana? Apa ada yang sejago dirimu di tahun pertama?" Sakura bercanda, mencoba untuk membuat percakapan. Sasuke memutar matanya dan memandang ke luar jendela. Untung saja Sakura atau Fugaku tak menyadarinya.
"Tidak ada yang lebih baik daripada anakku," Fugaku tertawa, "Basket sudah ada dalam darahnya." Ia menghentikan mobil saat mereka telah sampai di halaman rumah, "Ayo. Aku sudah lapar."
Sakura terkikik, "Kau dan Sasu selalu merasa lapar."
Mereka keluar dari mobil, "Itu karena kami banyak mengeluarkan tenaga, Sakura," ucap Fugaku, sedikit menggelitik sisi tubuh gadis itu.
Mereka berjalan ke pintu dan disambut oleh Mebuki dan Daisy. Selama makan malam, Sasuke mengabaikan pertanyaan Sakura dan fokus menjawab pertanyaan orang tua mereka dengan jawaban singkat. Tak lama setelah itu, ia pamit dan berlari ke kamarnya.
"Ada apa dengannya? Dia bahkan belum makan makanan penutup," ucap Mebuki terkejut, "Padahal dia selalu menyukai makanan penutup."
Fugaku menggelengkan kepalanya, "Remaja... siapa yang bisa mengerti mereka?"
Ketika mereka selesai makan malam, Sakura membantu Mebuki untuk mengambil barang-barang Natal di garasi dan membawanya ke ruang tamu. Mendekorasi pohon adalah sesuatu yang suka dilakukan oleh para perempuan dan mereka akan selalu senang mendiskusikannya dan membeli barang-barang baru untuk Natal.
"Fugaku-kuun, Sasukee, kemarilah!" teriak Mebuki dari ruang tamu.
"Kurasa mereka tidak akan datang, mereka benci mendekorasi pohon," Sakura duduk, meletakkan topi Santa di kepala Daisy.
Setelah beberapa menit tanpa tanggapan dari kedua lelaki di rumah itu, Mebuki dan Sakura memutuskan untuk memulai dekorasi sendiri. Tak lama kemudian, akhirnya Fugaku muncul di ruang tamu dengan koran di tangannya.
"Kau! Berhenti sekarang!" Mebuki berteriak dan Fugaku segera menghentikan langkahnya.
"Apa salahku?"
"Karena kau sudah di sini, Tousan," Sakura berbicara dengan suara paling manis, "Kami ingi meminta bantuanmu dengan pohon itu."
"Oh, sial," pelan-pelan Fugaku berjalan ke sofa, duduk dan mulai mengeluarkan lampu-lampu Natal, "Kenapa aku harus membantu sedangkan Sasuke tidak?"
Mebuki memandang Sakura, "Pergilah dan seret kakakmu ke sini, Sakura-chan."
Sakura tersentak pada kata 'kakak', bagaimana jika orang tuanya tidak mau mengerti tentang situasinya dengan Sasuke? Apa yang akan terjadi mengingat fakta bahwa mereka benar-benar melihatnya dengan Sasuke sebagai kakak dan adik?
"Sakura, kau dengar ibumu?" tanya Fugaku, "Sakura?"
"Ah," Sakura tersentak, "Ya, aku akan memanggil Sasu."
Sakura menaiki tangga, seraya berpikir apa yang harus dikatakan pada orang tuanya jika mereka mengetahui tentang dirinya dan Sasuke suatu hari nanti, atau jika ia dan Sasuke memutuskan untuk benar-benar bersama. Membayangkan menjadi kekasih Sasuke membuat senyum lebar muncul di wajah Sakura, dan ketika ia berjalan masuk ke kamar pemuda itu, ia tidak bisa untuk tidak merasa beruntung memiliki Sasuke.
"Kaasan memanggilmu."
Sasuke mendongak dari buku catatannya ke arah Sakura, "Katakan padanya aku sibuk."
Sakura menggelengkan kepalanya, "Ayolah Boo, kita akan mendekorasi pohon Natal!"
Sasuke mengangkat alisnya, "Aku tahu."
Sakura berjalan ke arah Sasuke dan mengambil buku catatan Sasuke dari tangan pemuda itu, "Ayo."
"Kembalikan," ucap Sasuke sedikit tiba-tiba dan Sakura berjengit pada nada suara yang digunakan Sasuke padanya.
"Wow, ada apa denganmu?" tanya Sakura, mengembalikan buku catatan Sasuke, "Aku hanya bercanda."
Sasuke mengusap rambut hitamnya, tak nyaman, "Um... maaf, aku hanya sedikit mencemaskan sesuatu."
"Oke," Sakura duduk di pangkuan Sasuke dan membelai rambut pemuda itu, "Mau membicarakannya?"
Sasuke menggelengkan kepalanya perlahan, merasakan perutnya mengencang saat Sakura membelainya, "Bukan apa-apa."
Sakura menyandarkan kepalanya di bahu Sasuke, "Kau yakin kau baik-baik saja, Sasuke-kun?" Ia mencium sudut bibir Sasuke, membelai leher pemuda itu perlahan, "Aku tidak suka melihatmu cemas."
Sasuke berdesir, "Ya. Aku baik-baik saja," Ia berbohong untuk kedua kalinya hari ini, "Baiklah, ayo kita bantu Kaasan sebelum dia marah."
Sakura berdiri dan begitu pula Sasuke. Sakura menarik lengan Sasuke dan membuat pemuda itu berhenti berjalan, "Hei, bagaimana dengan ciumanku?"
Sasuke berbalik dan mengecup bibir Sakura singkat, "Ayo, Sakura."
"Sakura? Kau tidak pernah memanggilku Sakura."
Sasuke mengangkat bahu, "Itu namamu, kan?"
Sakura berjalan mendekat pada Sasuke dan Sasuke merasa tubuhnya nyeri karena menginginkan gadis di depannya.
"Sasuke-kun, apa yang terjadi?"
Sasuke menelan ludah, "Tidak ada, Saku, santai saja," Ia kemudian berjalan keluar dari kamar, sementara Sakura tetap di posisi yang sama seperti sebelumnya.
Apa yang terjadi pada Sasuke? Pemuda itu baik-baik saja di pagi hari dan sekarang bertingkah sangat aneh padanya. Sakura menggelengkan kepalanya dan berjalan keluar kamar juga. Saat ia menuruni tangga, ia bisa mendengar suara Sasuke dari ruang tamu.
"Aku sudah di sini, Kaasan," ucap Sasuke sambil duduk di sofa di sebelah ayahnya. "Tousan, aku benci ini."
Fugaku setuju, "Ya, aku juga."
Sakura melangkah ke ruang tamu dan menyelesaikan bagiannya mendekorasi pohon dalam diam.
"Oke, kita perlu lampunya. Fugaku-kun, bisakah kau memasangnya?"
Fugaku mengangguk, "Tentu."
Fugaku menempatkan lampu-lampu bersama Sasuke, termasuk Daisy. Pohon besar mereka kini penuh dengan hiasan dan tidak ada yang lebih cantik dari ini.
Mebuki tersenyum, "Oh, terlihat sangat bagus!"
"Benar-benar indah, Kaasan," ucap Sakura sedikit bersedih hati. Ia duduk di sofa dan melirik Sasuke dengan sudut matanya. Bagaimana jika sebenarnya Sasuke cemburu karena ia pergi ke rumah Sasori? Tidak, pasti bukan itu, Sakura bisa merasakannya. Ketika Sasuke cemburu, pemuda itu akan berteriak dan bersikap kasar. Sekarang Sasuke bahkan tidak mau berbicara dengannya. Pemuda itu mungkin hanya mencemaskan tim basketnya. Itu dia. Sakura akan memberikan waktu untuk Sasuke; ia tidak ingin menekan pemuda itu.
Sasuke duduk di samping Sakura dalam diam. Brengsek, melihat kesedihan di mata Sakura membuatnya merasa begitu bersalah. Ia tidak punya alasan untuk memperlakukan Sakura dengan buruk, Sakura bukan tipe gadis yang akan mengambil kesempatan dengan dua lelaki di saat yang bersamaan, bukan? Sasuke menggelengkan kepalanya mencoba mengeluarkan pikiran negatifnya dan menghela napas. Sasuke tahu Sakura mungkin sekarang sedang bertanya-tanya pada dirinya sendiri apakah dia melakukan sesuatu yang salah, dan ini tidak adil karena telah membuat gadis itu berpikir bahwa Sasuke memperlakukan gadis itu dengan buruk karena sesuatu yang mungkin telah dia lakukan.
"Matikan lampu ruang tamu, Fugaku-kun. Ayo kita lihat dengan lampu Natal yang menyala."
Fugaku mematikan lampu ruangan dan merangkul bahu istrinya, mereka terus menatap pohon yang semua lampunya menyala.
Sasuke perlahan meraih tangan Sakura yang duduk di sampingnya dan mengaitkan jari-jari mereka. Sakura menatap Sasuke dan Sasuke bisa merasakan mata gadis itu sedikit berair.
"Maaf," bisik Sasuke di telinga Sakura sebelum mencium pipi gadis itu dengan lembut. Sakura mengangguk pelan dan melempar senyum kecil.
Sisa malam itu, Sasuke mencoba yang terbaik untuk tidak memperlakukan Sakura dengan buruk ketika mereka menonton film Natal bersama orang tua mereka di ruang TV sekaligus menikmati kue dan susu. Ketika film selesai, mereka semua saling mengucapkan selamat malam dan beranjak ke kamar masing-masing.
Sakura memejamkan matanya, menghirup udara masuk dan keluar dari paru-parunya, berusaha untuk tidak memikirkan Sasuke. Ia hampir tertidur ketika ia merasakan bibir seseorang menempel di bibirnya. Rasa aneh yang mengalir di sekujur tubuhnya memberitahunya siapa orang itu, tapi ketika ia membuka matanya untuk melihat Sasuke, ia berpura-pura terkejut. "Kau menakutiku!"
Sasuke tersenyum dam membelai daun telinga Sakura, "Aku ingin ciuman selamat malamku."
Sakura mendorong Sasuke dengan lembut, "Aku ingin memberimu ciuman yang benar tapi kau hanya mengecupku tadi."
Sasuke memeluk Sakura, menelusupkan hidungnya di leher gadis itu, "Aku brengsek Saku dan kau tahu itu," Ia berbisik, "Maaf, Cherry."
Sakura terkikik kecil, "Aku tidak bisa marah padamu untuk waktu yang lama dan kau tahu itu juga."
Sasuke menggigit leher Sakura, "Ya."
Sasuke perlahan-lahan menggerakkan bibirnya ke bibir Sakura dan menggigit bibir bawah gadis itu dengan lembut, meminta izin untuk mendapatkan kehangatan di dalam mulut gadis itu. Sakura memeluk leher Sasuke ketika ia membuka mulutnya dan lidah Sasuke menerobos masuk, membuatnya meleleh dengan ciuman pemuda itu. Mereka berciuman sampai paru-paru mereka membutuhkan pasokan udara dan perlahan-lahan menarik diri.
"Aku harus pergi," Sasuke berbisik pada Sakura, mencium kening gadis itu, "Apa kau ingin aku kembali tidur denganmu?"
Sakura cemberut dan berkata dengan suara merengek, "Aku suka itu," desahnya, "Tapi kurasa itu tidak baik, aku masih khawatir dengan situasi kita."
Sasuke memutar matanya, "Ya, kau mungkin benar," Ia duduk lurus di tempat tidur Sakura, "Daripada menginginkan malam penuh seks panas. Menyelesaikan PR-ku jauh lebih menyenangkan," ucapnya sarkatis.
Sakura terkikik, menjilat leher dan belakang telinga Sasuke, "Sayangku konyol."
Sasuke memejamkan mata dan memajukan tubuhnya, meraih bibir bawah Sakura dengan giginya, "Jangan bermain api, Saku," bisiknya, "Kau tahu apa yang kau lakukan denganku ketika kau memanggilku Sayang."
Sakura menyeringai dan mengecup-ngecup bibir Sasuke, "Sayang, sayang, sayang, sayangkuuu."
Ujung jari Sasuke mengusap perut Sakura dan tangannya yang lain membelai kaki gadis itu. Sakura memejamkan mata dan mengerang ketika tangan Sasuke mulai membelai bagian dalam pahanya.
"Sasuke, kemarilah, kau perlu melihat ini!"
Mereka mendengar suara Fugaku dari koridor dan keduanya segera saling menjauh.
"Sial," gumam Sasuke, mengecup bibir Sakura, "Lebih baik aku pergi sebelum kita ketahuan."
"Sasuke-kun, ayolah, aku sudah basah..." Sakura cemberut dan berbisik pada Sasuke, "Aku membutuhkanmu."
"Di mana Saku yang polos?" tanya Sasuke, senyum main-main muncul di wajahnya, "Jangan menatapku seperti itu, Cherry. Kau tahu kalau aku bisa, kau sudah telanjang sekarang."
"SASUKEEE," Fugaku berteriak lagi dan Sasuke segera berdiri.
"Ugh!"
Sakura terkikik dan memberikan ciuman singkat pada Sasuke, "Aku harus menyentuh diriku sendiri malam ini, kalau begitu."
Sasuke menjilat bibir bawahnya ketika bayangan tentang Sakura yang menyentuh dirinya sendiri muncul di benaknya, "Bayangkan itu tanganku, kumohon," Ia memohon, "Dan kau harus menceritakan semuanya padaku besok."
Sakura tertawa, "Selamat malam, Sayang."
Sasuke berbalik dan menatap Sakura, "Saku..."
"Baiklah, baiklah," ucap Sakura, berpura-pura polos, "Selamat malam, Boo."
***
"Kaasan, Sasori dan aku akan ke kamarku untuk mengerjakan tugas kami," teriak Sakura dari pintu dapur.
Mebuki yang sibuk di dapur menoleh, "Sakura-chan?"
"Ya?"
"Biarkan pintunya terbuka, oke?" ucap Mebuki, alisnya terangkat, "Kau tahu aturan ayahmu ketika seorang lelaki berkunjung ke rumah."
Sakura memutar matanya, "Baiklah."
Sakura kembali ke ruang tamu dan meminta Sasori untuk mengikutinya ke kamarnya, "Ibuku berkata untuk membiarkan pintunya terbuka."
Sasori tertawa, "Apa yang dia pikir akan kulakukan? Menyerangmu?"
Sakura terkikik, "Aku tidak tahu."
Sasori melihat sekeliling kamar Sakura, dindingnya berwarna merah muda dan perabotannya cenderung putih, banyak terpajang foto Sasuke dan gadis itu di London, ada juga Daisy yang bermain di taman bersama Mebuki dan Fugaku selama liburan.
"Aku suka kamarmu," ucap Sasori, "Tapi aku merindukan hijau," candanya.
Sakura terkikik, "Aku tidak terlalu suka hijau."
Daisy melompat ke tempat tidur Sakura dan menatap Sasori.
"Anjingmu luar biasa," puji Sasori, menepuk kepala Daisy dengan lembut.
Sakura duduk di sebelah Sasori, "Thanks."
"Sakura, dengar," Sasori memulai, "Boleh aku bicara sebentar denganmu sebelum kita mulai mengerjakan tugas?"
Sakura mengangguk, "Tentu, ada apa?"
Sasori menghela napas dan memandang Sakura, "Kau sudah lama berada di pikiranku, mungkin sejak di danau itu, dan aku tidak tahu kenapa." Ia mengakui.
"Mm, haruskah aku mengucapkan terima kasih atau haruskah aku minta maaf?" Sakura mencoba bercanda meskipun ia tahu apa yang dibicarakan Sasori.
Sasori tertawa, "Aku tidak tahu," Ia menyimpulkan.
Sakura tidak bisa menahan tawanya juga, "Tidak tahu?"
Sasori mengangguk, tersenyum, "Ya. Apa kau mau pergi keluar bersamaku kapan-kapan?"
"Umm... kurasa itu bukan ide yang bagus, Sasori."
Sasori tampak kecewa, "Kenapa?"
"Karena," Sakura memulai, "Kurasa aku menyukai orang lain sekarang."
"Oh," Sasori menunduk dan kemudian menutup celah di antara mereka, "Kau yakin?"
"Ya," ucap Sakura, mengangguk.
"Oke."
Tapi sebelum Sakura bisa bernapas lega, Sasori membuka mulutnya lagi.
"Jadi jika aku melakukan ini? Apa kau tidak akan merasakan apa-apa?" Dalam hitungan detik, bibir Sasori menempel di bibir Sakura, melahap bibir gadis itu dengan ciuman yang keras dan ceroboh.
Sakura menarik diri secepat mungkin, segera merasa bersalah. Apakah ia mengkhianati Sasuke? Tidak, tentu tidak. Ia dan Sasuke tak ada hubungan serius, hanya 'friends with benefits' seperti yang pemuda itu sendiri katakan.
Tapi Sakura sangat berharap mereka menjalin hubungan serius. Ia telah menunggu dengan sabar sampai Sasuke memintanya menjadi kekasih pemuda itu, tapi pemuda itu tampaknya berpikir mereka alan baik-baik saja hanya dengan status 'friends with benefits'. Mereka pasti akan berciuman setiap hari dan saling menginginkan tubuh satu sama lain setiap mereka saling bertatapan; mungkin itu hanya ketegangan seksual pada remaja, tapi bagaimana jika Sakura hanya merasakan itu untuk Sasuke? Ia merasa pusing memikirkannya, ia ingin menjadi lebih dari teman Sasuke, sial, ia ingin menjadi kekasih pemuda itu.
"Jadi, apa yang kau rasakan?" Suara Sasori berhasil membawa Sakura kembali dari lamunannya, "Apa kau menyukainya?"
"Hm, tentu," Sakura berbohong, mengabaikan fakta bahwa tubuhnya telah membandingkan ciuman Sasori dengan ciuman Sasuke, "Dengar Sasori, kau tampan dan aku menyukaimu tahun lalu-"
"Tapi?" Sasori menyela, "Ayo, Sakura, lanjutkan."
"Ehem."
Kedua remaja itu menoleh ke belakang dan wajah Sakura menjadi pucat ketika ia melihat ibunya berdiri di ambang pintu.
"Kaasan, berapa lama kau di sana?" Sakura tersipu, "Kami hanya, umm... berbicara."
Mebuki memandang Sakura tak percaya, "Aku di sini lumayan lama," Ia meyakinkan putrinya, "Aku ingin tahu apa kalian mau kue?"
"Tentu, terima kasih, Basan," ucap Sasori dengan suara lemah, "Dan um, aku minta maaf."
Mebuki menghindari kenyataan bahwa ia ingin tertawa begitu keras pada ekspresi malu kedua remaja itu, "Tak masalah, tapi fokuslah menyelesaikan tugas kalian, bukan berciuman, setuju?"
"Ya," jawab keduanya, menunduk.
"Bagus," ucap Mebuki, "Aku akan membawakan kuenya sebentar lagi."
"Ya Tuhan," bisik Sakura dan mereka mulai tertawa begitu Mebuki meninggalkan kamar, "Ayo selesaikan tugasnya."
Sasori menghela napas, "Baiklah."
Sakura duduk di kursi komputernya di depan Sasori, "Aku sudah menulis naskah untuk kita," Ia menunjukkan pada Sasori sebuah kertas merah muda dan pemuda itu tersenyum.
Sasori mengambil kertas itu dari tangan Sakura dan membacanya dengan cepat, ia menyeringai, "Cool, Sakura."
"Kau menyukainya?"
Sasori mengangguk, "Aku juga suka adegan ciumannya," candanya dan Sakura memerah, "Aku hanya bercanda, jangan khawatir Sakura."
Sakura berdiri, "Baiklah, ayo kita berlatih."
Sasori berdiri juga dan mereka mulai mengatakan dialog mereka, terus-menerus tertawa saat berusaha menjadi karakter Shakespeare.
"Kau benar-benar Romeo yang lucu."
Sasori menggelitik sisi tubuh Sakura, "Lihat, bagaimana denganmu?"
"Aku Juliet yang imut, ayolah," Sakura cemberut dan Sasori mengangguk.
"Ya, kau imut."
Sakura memerah lagi, "Ayo kita latihan adegan kematian."
"Siapa yang mati lebih dulu?"
Sakura mengangkat tangannya, "AKU!" serunya bersemangat, "Setidaknya itulah yang akan kau pikirkan."
Sasori tertawa, "Oke, berbaringlah, mayat."
"Uh, tidak di lantai," Sakura memandangi anjingnya, "Turun Daisy."
Anjing itu melompat turun dari tempat tidur dan meringkuk di lantai. Sakura berbaring di tempat tidurnya, mengayunkan kakinya dengan gugup. "Oke."
Sasori mulai mengatakan dialognya, "Oh Juliet, katakan ini tidak benar, mereka bilang kau sudah mati, tapi aku tidak mau mempercayai itu."
Sakura terkikik sedikit dan mencoba fokus pada karakternya yang telah mati, "Maaf," gumamnya.
"Kumohon, buktikan bahwa mereka salah, kumohon Juliet, kembalilah, kembalilah padaku," seru Sasori palsu dan menyentuh wajah Sakura.
Sakura berbaring diam, berusaha tidak menunjukkan napasnya.
"Jika kau meninggalkanku, aku tidak punya alasan untuk hidup lagi," ucap Sasori melanjutkan dialognya, ia mengambil sebotol parfum di meja samping tempat tidur Sakura, "Juliet, ini untukmu, cintaku yang abadi."
***
"Hei, Basan," Naruto menyapa Mebuki ketika ia memasuki pintu dapur bersama Sasuke.
Mebuki tersenyum, "Hai, kalian."
"Kami akan berlatih basket sebentar di halaman belakang, oke?"
Mebuki mengangguk, "Oke, tapi sebelum itu, pergilah menyapa Sasori, dia di atas bersama Sakura."
"Apa yang dia lakukan di sini?"
Mebuki memberikan mereka sepiring kue, "Berikan ini pada Sakura."
Sasuke bertanya lagi dengan tidak sabar, "Apa yang dia lakukan di sini, Kaasan?"
"Mereka sedang mengerjakan tugas sekolah," jawab Mebuki dan tertawa memikirkan ciuman mereka, "Tapi kurasa mereka sedang berkencan, aku memergoki mereka bercium-" Ia berhenti sebelum selesai berbicara, "Ah, bukan apa-apa."
Sasuke tersentak dan mulutnya sedikit ternganga, "Apa?!"
"Mungkin tidak," Mebuki menambahkan dengan cepat, mengetahui betapa posesifnya Sasuke pada adik perempuannya, "Bersikaplah sopan dan berikan kue itu, Sasuke."
Naruto memandang Sasuke dan menggelengkan kepalanya. Sasuke mengerti bahwa sahabatnya berusaha mengatakan bahwa ibunya sudah gila dan ia memutar matanya, menyenggol lengan Naruto, "Ayo pergi."
Mereka berdua menuju ke tangga dan mulai berjalan ke atas.
"Menurutmu Saku berpacaran dengan Sasori?"
Naruto menggelengkan kepalanya lagi, "Tidak, ibumu bercanda," Ia tertawa, "Maksudku, kita tahu bahwa Sakura-chan sudah berkencan dengan orang lain," Naruto berbisik di kalimat bagian terakhir dan Sasuke tersenyum, mengangguk.
"Ya Dobe, kau benar," Mereka telah sampai di koridor, "Ibuku mungkin hanya bercanda."
"Yaa, orang-orang tua kadang memang bertingkah aneh," ucap Naruto dan mereka tertawa lagi, "Ayo kita lihat apakah Sasori ingin bermain bersama kita juga."
Sasuke memutar matanya, ia tidak menyukai Sasori, "Terserah," Ia membuka pintu kamarnya sendiri, "Aku akan ganti bajuku dulu."
"Oke," ucap Naruto, melanjutkan langkahnya ke kamar Sakura, "Boleh aku makan kue ini sedikit?" Ia berhenti dan melihat ke belakang, "Teme?"
***
Sakura berpura-pura bangun dan matanya melebar ketika ia melihat tubuh Sasori berbaring miring. Ia menyentuh wajah Sasori, berpura-pura menangis, "Romeo, Romeo, apa yang kau lakukan?"
Sakura mengambil botol parfum dan menatap Sasori, "Kau sangat egois, kau minum semuanya dan bahkan tidak menyisakan untukku."
Sakura tersenyum ketika ia melihat Sasori tersenyum juga.
"Sekarang aku harus mengambil racun dari bibirmu."
Sakura memajukan tubuhnya, membelai wajah Sasori, "Aku mencintaimu, aku mencintaimu." Ia menempelkan bibirnya perlahan ke bibir Sasori dan mencium pemuda itu.
Mata Naruto terbelalak dan ia berlari menjauh dari kamar Sakura, menabrak Sasuke di koridor dan menarik sahabatnya ke kamar Sakura, "Kau harus melihat ini."

Sasuke kehabisan kata-kata, pemandangan Sakura dan Sasori berciuman memenuhi kepalanya, juga lengan Sasori yang melilit di pinggang Sakura saat pemuda itu memperdalam ciuman mereka. Cekikikan Sakura yang dulu membuat Sasuke gila dalam cinta kini menuntunnya ke rasa jijik dan kemarahan yang luar biasa.
"Teme, aku tidak percaya kalau mereka akan berkencan!" Naruto berbisik pada Sasuke, "Kurasa ibumu benar."
Sasuke tidak ingin mempercayai apa yang dilihat matanya, tapi ciuman itu terus berlangsung lebih dari satu menit. Ia berhasil menggelengkan kepalanya dan segera menarik lengan Naruto, "Ayo pergi, Dobe."
"Boleh aku membawa kue ini?" tanya Naruto, "Please?"
Sasuke hanya mengangguk, lebih tidak sabar daripada apa pun untuk pergi dari sana. Sasuke tidak bisa terus menonton pemandangan yang dibagikan oleh Sasori dan Sakura dengan berpura-pura bahwa itu tidak mempengaruhi dirinya sama sekali. Tindakan Sakura sekarang, lebih dari sebelumnya, mempengaruhi seluruh hidupnya. Melihat gadis itu mencium lelaki lain, menyentuh lelaki lain setelah semua yang mereka lakukan berdua, sangatlah keterlaluan.
Brengsek, Sasuke merasa sangat bodoh telah percaya bahwa Sakura benar-benar peduli padanya. Betapa pintar Sakura memainkan peran. Ternyata itu bukan cinta. Sasuke merasa dikhianati. Sial, sebenarnya ini pertama kalinya ia merasa benci pada Sakura. Dan ia ingin Sakura merasakan sakit yang sama dengan apa yang ia rasakan saat ini.
"Fuck," ucap Sasuke pada dirinya sendiri ketika Naruto meraih bola dari tangannya dan mulai menggiring bola di lapangan halaman belakang.
"Teme, lupakan saja," Naruto mencoba memperbaiki situasi, "Kau akan menemukan orang lain yang lebih baik. Aku bertaruh untuk itu."
FuckFuckFuck.
***
Sakura memutar matanya dan melepaskan lengan Sasori darinya, "Sekarang aku akan bergabung denganmu di surga, kekasihku, Romeo-ku," ucapnya, meraih beruang yang seharusnya sebuah pistol dan menembak dirinya sendiri di dada. Kemudian ia jatuh di atas Sasori.
Sasori mengangkat kepalanya, "Kau sudah mati?"
Sakura terkikik, "Kurasa."
"Kurasa ini sudah cukup bagus," ucap Sasori, mereka berdua duduk kembali, "Tapi jika kau mau, kita bisa mengulang bagian ciuman lagi."
Sakura tertawa, "Tidak, terima kasih. Ngomong-ngomong Romeo, kau seharusnya sudah mati, jadi jangan melilitkan lengan di tubuhku."
Sasori cemberut, "Ah, baiklah kalau begitu," Ia meraih buku dan tas punggungnya, "Sudah sore Sakura, aku harus pulang."
"Oke, aku akan mengantarmu ke bawah."
Mereka menuruni tangga sambil tertawa dan mengobrol. Sasori mengucapkan salam perpisahan pada Mebuki dan melangkah pergi. Begitu Sasori telah menghilang dari pandangan, Mebuki melempar senyum menggoda pada Sakura. "Jadi, Sasori eh."
Sakura memutar matanya, "Jangan mulai Kaasan, kami hanya teman."
"Benar," Ibunya tertawa, "Sasuke dan Naruto ada di halaman belakang, sedang bermain."
Sakura tersenyum, ia sangat merindukan Sasuke, "Aku akan kesana," Ia menatap anjingnya, "Ayo pergi Daisy, ayo kita bermain sebentar dengan mereka."
Sakura berjalan ke pintu belakang dan melangkah ke luar rumah, ke teras. Sakura duduk di tangga, "Hei, kalian."
Naruto dan Sasuke berhenti bermain dan menoleh ke belakang.
Naruto tersenyum lebar, "Yo, Sakura-chan," Sedangkan Sasuke hanya menggerakkan kepalanya, menyapa tanpa suara. "Kata Basan, Sasori ada di sini," ucap Naruto lagi, berbicara dengan nada suara main-main.
Sakura mengangguk, "Ya, dia baru saja pergi."
"Hmm," ucap Naruto dan tertawa, "Aku tidak pernah tahu jika kau juga seorang playgirl."
Sakura bingung, "Apa?"
"Apa?" Naruto mengejek, "Aku tidak mengatakan apa-apa."
Sakura memutar matanya dan mengabaikan Naruto; pemuda itu cenderung bodoh kapan saja dia mau. Dan, sebagian besar waktu, pemuda itu akan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali.
Sasuke duduk di kursi pinggir kolam renang seraya minum sebotol air, sementara Daisy mencoba memakan bolanya.
"Itu bukan makanan, Daisy, ayolah," Sasuke mendapatkan bolanya kembali dan melemparkannya ke arah Naruto.
"Teme, bolanya basah kuyup."
Sasuke tersenyum palsu, "Bukan salahku."
Sakura terus memperhatikan Sasuke dengan matanya. Pemuda itu tampak sangat tampan hanya dengan mengenakan celana pendek basketnya. Ia menjilat bibir bawahnya perlahan saat melihat Sasuke menyingkirkan rambut hitamnya yang basah dari matanya dan menyeka keringat dari dahinya. Mata Sakura beralih ke perut Sasuke dan ia merasakan putingnya mengeras memikirkan dirinya mencium dan menjilati seluruh tubuh berotot pemuda itu.
Wajah Sakura sangat memerah ketika ia bertemu tatap dengan Naruto dan menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran Sasuke yang telanjang dari benaknya. Ia bisa menunggu, setidaknya sampai malam.
Setelah makan malam, Naruto meminta tumpangan pulang dan Fugaku mengatakan bahwa ia bisa mengantarkan Naruto, sekalian karena Mebuki akan pergi ke toko kelontong untuk membeli beberapa barang. Ketika orang tuanya mengatakan mereka akan keluar selama sekitar tiga puluh menit, Sakura tidak bisa menahan senyum. Ia akhirnya akan memiliki waktu hanya berdua dengan Sasuke dan ia sangat ingin merasakan tubuh kencang pemuda itu di tubuhnya lagi.
Sakura segera berlari ke dapur setelah orang tuanya pergi karena ia tahu Sasuke sedang menyelesaikan giliran tugasnya membereskan dapur. Ia tersenyum lebar dan memeluk Sasuke dari belakang, melingkarkan lengannya di pinggang pemuda itu, "Kita hanya berdua, Sasuke-kun."
Sasuke berhasil menarik diri dari Sakura dan mulai meletakkan piring di mesin pencuci piring, "Luar biasa," ucapnya sarkastis, "Beri aku piring itu, tolong."
Sakura menelan ludah, mereka jelas tidak akan bermesraan malam ini, "Jadi, bagaimana harimu?" Ia mengganti topik pembicaraan sambil mengulurkan piring pada Sasuke, "Aku tidak melihatmu di sekolah hari ini."
"Aku sibuk," jawab Sasuke dengan dingin.
"Sibuk apa? Bermain dengan bolamu?" Sakura mencoba bercanda, tapi senyumnya menghilang begitu ia melihat wajah serius Sasuke.
Sasuke mengambil keranjang sampah, "Ya." Ia melangkah ke luar, mengabaikan keinginannya untuk berteriak pada Sakura dan pergi ke rumah Sasori sekarang untuk memukul pemuda itu. Ia melemparkan sampah ke dalam tong besar di depan rumah dan ketika ia berbalik untuk kembali ke dalam rumah, ia menabrak Sakura. "Apa yang kau inginkan?"
"Maaf, hanya ingin memberimu ciuman." ucap Sakura.
Sasuke mulai berjalan kembali ke rumah, "Sial, Saku, kau kadang bertingkah seperti penguntit yang aneh."
"Penguntit?!" tanya Sakura tersentak, "Benarkah?"
Sasuke berhenti dan berbalik menghadap Sakura lagi, "Ya."
"Wow," Sakura berbisik dan melihat ke bawah sebentar, kemudian menambahkan dengan tenang, "Aku tidak tahu jika kau merasa seperti itu, maafkan aku."
Sasuke merasa sangat buruk memperlakukan Sakura seperti ini, "Sudahlah."
Sasuke memutuskan akan memaafkan Sakura jika gadis itu mengakui bahwa dia berkencan dengan Sasori di belakangnya. Ia ingim memberi Sakura kesempatan untuk menjelaskan. Setidaknya itu yang terakhir bisa ia lakukan setelah semua yang mereka lalui bersama.
"Jadi apa yang kau lakukan hari ini?"
Sakura mengangkat bahu, "Hal-hal biasa, seperti mengerjakan tugas."
'Dan dia berbohong padaku, dia membuang kesempatan'. Setidaknya itulah yang Sasuke pikirkan.
Sakura merasa sesuatu yang buruk akan terjadi, Sasuke jauh berbeda. Pemuda itu tidak pernah seperti ini dan ia merasa takut.
"Tidak ada lagi?" tanya Sasuke sedikit curiga, "Kau yakin?"
Sakura memberanikan diri menatap onyx Sasuke yang menusuk, "Apa kau punya sesuatu untuk ditanyakan padaku?"
Sasuke berpikir sejenak dan kemudian menggelengkan kepalanya, "Bukan ditanyakan," ucapnya, "tapi mencari informasi."
Sakura menatap gugup, "Katakan padaku?"
Sasuke mengalihkan pandangannya, "Aku," Ia tiba-tiba kehilangan keberaniannya, "Lupakan saja, bukan apa-apa."
"Katakan, kumohon," Sakura memohon dengan matanya, "Kumohon, Boo."
Sasuke menarik napas dalam-dalam. Gambaran Sakura dan Sasori yang berciuman menyerbu kepalanya lagi dan lagi, membuatnya ingin Sakura merasakan sakit seperti dirinya.
"Aku akan meminta Mei untuk menjadi pacarku besok."
"Apa?!" Sakura tidak percaya apa yang didengarnya, "Apa yang kau katakan?"
Sasuke mengulanginya dan Sakura tiba-tiba merasa pusing. Orang macam apa Sasuke? Memanfaat dirinya hanya untuk seks dan kemudian mencampakkannya? Tidak, pasti ada sesuatu yang terjadi dan ia bertekad untuk membuat Sasuke berubah pikiran.
"Kupikir kau tidak menyukainya," protes Sakura, "Sasuke-kun, ayolah, dia menyebalkan."
"Kau tidak tahu segalanya tentangku," balas Sasuke kasar.
Sakura mengangguk pelan, "Sepertinya tidak."
"Aku harus menyelesaikan PRku," ucap Sasuke, mengusap bagian belakang lehernya dengan tidak nyaman.
Sakura masih berusaha menahan air matanya, "Semoga berhasil dengan Mei."
Sasuke memandang Sakura sekali lagi sebelum berbalik dan melangkah ke dalam rumah.
Sakura duduk di tangga teras dan mengambil ponsel di sakunya. Ia menghubungi nomor yang sangat familiar. "Halo," ucapnya, masih menahan air matanya.
"Sakura-chan, apa semuanya baik-baik saja?" ucap suara dari ujung telepon.
"Tidak," jawab Sakura dengan suara lemah, "Aku perlu bicara, apa kau punya waktu?"
"Tentu saja, kau menangis?"
Sakura mencoba untuk menghentikan air matanya yang jatuh, "Ya."
"Apa yang terjadi?"
"Apa kau keberatan jika aku ke sana?"
"Tentu saja tidak, aku akan menunggumu."
***
Sakura membunyikan bel pintu rumah Hyuga dan menunggu sampai ia melihat bayangan sahabatnya mendekati pintu. Hinata membuka pintu dan Sakura segera mulai menangis.
"Sakura-chan, apa yang terjadi?" tanya Hinata khawatir dan Sakura berlari memeluknya erat-erat.
"Aku merasa hanya dimanfaatkan," ucap Sakura, "Sasuke hanya memanfaatkanku."
Hinata berhasil menarik Sakura ke dalam rumah dan membawa gadis itu ke kamarnya. Ketika mereka sudah ada di sana, Hinata menutup pintu dan menyuruh sahabatnya duduk.
"Ceritakan semuanya," ucap Hinata, "Tapi kumohon tenanglah dulu."
"Kau harus berjanji tidak akan memberitahu siapa pun," Sakura memohon, "Berjanjilah padaku."
"Tentu saja," Hinata meyakinkan sahabatnya, "Ini rahasia kita."
"Sasuke dan aku bercinta saat di London," ucap Sakura tak lebih dari sekedar bisikan, "Aku tahu ini terlalu cepat, tapi aku ingin membuatnya bahagia dan itu sangat luar biasa, Hinata-chan."
Hinata duduk di sebelah Sakura dan memeluk gadis itu, "Aku tidak akan menghakimimu, Sakura-chan. Lanjutkan."
Sakura terisak lagi, kali ini lebih pelan, "Aku sangat menyukainya dan dia tadi bilang akan meminta Mei menjadi pacarnya besok."
"Kami-sama, dia brengsek!" seru Hinata, menutup mulutnya dengan tangannya dan menggelengkan kepalanya tak percaya, "Bagaimana dia bisa melakukan ini padamu?"
Sakura menunduk menatap kakinya, "Aku merasa sangat buruk, Hinata-chan. Aku sangat malu pada diriku sendiri."
"Jangan seperti ini, kau hanya mengikuti kata hatimu," ucap Hinata sambil membelai rambut sahabatnya, "Tidak apa-apa, ini bukan salahmu, Sasuke saja yang brengsek."
Sakura mengangguk, "Aku tahu, tapi dia menyebutku sebagai penguntit yang aneh," ucapnya lagi. "Aku bukan penguntit, Hinata-chan. Aku hanya ingin bersamanya."
Hinata menggelengkan kepalanya, "Aku bisa membunuh Sasuke sekarang."
Sakura menghela napas, sebesar apapun ia ingin membenci Sasuke, tidak mungkin baginya untuk membenci pemuda itu. Sasuke bisa menjadi brengsek, playboy, dan banyak hal lainnya, tapi Sasuke masih tetap Boo-nya, dan akan selalu begitu.
"Ini bukan kesalahannya; kita tidak bisa memaksa seseorang untuk menyukai kita. Kurasa tidak seharusnya aku begitu bodoh untuk mempercayai semua yang dia katakan."
Hinata memandang sahabatnya dengan takjub. Meskipun Sasuke sangat menyakitinya malam ini, tapi sahabatnya itu terus membelanya. Astaga, Sakura benar-benar seseorang yang spesial.
"Kau akan mendapatkan yang lebih baik, Sakura-chan. Aku yakin kau akan."
Sakura berdiri, "Terima kasih atas waktumu, Hinata-chan, aku harus pulang sebelum ibu tiba di rumah atau dia akan khawatir."
"Aku akan mengantarmu, jangan khawatir," ucap Hinata, tersenyum simpatik pada sahabatnya, "Jika kau butuh sesuatu, hubungi saja aku, oke?"
"Tentu."
Mereka segera masuk ke mobil Hinata dan meluncur menuju ke kediaman Uchiha. Begitu Hinata menepikan mobilnya di depan pagar rumah Sakura, gadis berambut merah muda itu mengucapkan terima kasih sekali lagi dan berjalan dengan pelan ke halaman depan. Rupanya orang tuanya belum tiba di rumah. Ia menghela napas; ini bukanlah akhir dari malam yang ia tunggu. Ia berencana telanjang di bawah Sasuke malam ini, bukan berdebat dengan pemuda itu.
Jantung Sakura berdebar kencang saat tangannya terulur pada gagang pintu rumah, berharap Sasuke berubah pikiran dan ketika ia melangkah masuk, pemuda itu bisa mengatakan bahwa pemuda itu menyesal atas semua omong kosong yang dia katakan.
"Dari mana kau? Aku khawatir!"
'Mungkin tidak.' batin Sakura.
Sakura mengabaikan Sasuke dan berjalan ke tangga, tapi pemuda itu menarik lengannya. "Aku sedang bertanya."
Sakura berbalik, memastikan ia terdengar cukup tenang, "Dan bukan berarti kau akan mendapatkan jawaban."
Sasuke melepaskan lengan Sakura dan gadis itu menaiki tangga dalam diam. Sakura menutup pintu kamarnya dan melepas sepatunya ketika Sasuke berjalan masuk ke kamarnya. Sasuke menatap Sakura dari atas ke bawah, mencari sesuatu yang berbeda dalam diri gadis itu.
"Apa kau tidak punya sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan daripada berada di kamarku?" tanya Sakura dengan kasar, tapi Sasuke hanya menyilangkan lengannya.
"Jawab pertanyaanku."
"Brengsek kau Sasu, kau sangat menyebalkan! Pergi dan tanyakan saja calon pacarmu yang aneh ke mana dia pergi, kau bukan siapa-siapaku atau orang tuaku, pikirkan itu."
Sasuke meraih bahu Sakura, memeganginya dengan keras, "Jawab pertanyaanku."
"Kau menyakitiku, Sasuke," teriak Sakura, "Lepaskan!"
"Kau tahu apa?" ucap Sasuke dengan wajah jijik, "Kau tidak layak disebut wanita."
Sakura tertawa tak percaya jika sekarang Sasuke berbicara seperti itu padanya. Seminggu yang lalu ia adalah gadis paling istimewa di dunia dan sekarang Sasuke memperlakukannya seperti sampah? Dan pemuda itu tidak memberikan alasan sama sekali atas perlakuannya?!
"Jadi sekarang aku tidak layak?" Sakura menggelengkan kepalanya, "Kau tidak berpikir begitu seminggu yang lalu!"
"Ya, muda sekali kau tidur dengan seseorang hanya dalam waktu seminggu," ucap Sasuke sarkastis, "Aku seharusnya tahu."
Mata Sakura membelalak dan mulutnya ternganga, "Apa kau menyebutku jalang? Aku memberimu keperawananku!"
"Ha, malang sekali," Sasuke mengejek Sakura, dengan senyum miring di wajahnya, "Jika kau tidak menginginkannya, harusnya kau menutup kakimu!"
Kemarahan Sakura memuncak dan ia menemukan kekuatan dari dalam dirinya. Ia mendorong Sasuke keluar dari kamarnya, "Aku membencimu!" Ia menutup pintu dan menguncinya.
Sasuke terus menggedor pintu dengan keras agar Sakura membukanya, tapi Sakura menutupi wajahnya dengan bantal dan mengabaikan pemuda itu. Ia tidak akan menangisi Sasuke lagi, jika memang Sasuke sangat menginginkan Mei, pemuda itu bisa memiliki gadis itu sesukanya; lagipula Sasuke pantas menerima seseorang yang menyebalkan seperti Mei...
***
To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)