expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Brotherly Love #8



"Yo, Sakura-chan."
Sakura menoleh dan mendapati si kepala kuning, "Hai, Naruto."
Naruto duduk di depan Sakura di kafetaria, menyambar burger gadis itu, "Apa kau tahu di mana Sasuke-teme?"
"Tidak," Sakura tersenyum miring, "Aku kira kau juga menginginkan jusku."
Naruto mengangguk, "Itu saran bagus, Sakura-chan."
"Aku tahu itu," ucap Sakura sarkatis, memberikan sisa makan siangnya pada Naruto.
Kemudian Hinata bergabung dengan mereka, meletakkan buku-bukunya di atas meja dengan kasar dan duduk di depan Sakura juga. "Aku bersumpah suatu hari nanti aku akan mencekik Tsunade-sensei! Dia memberiku hukuman tanpa alasan!"
Sakura tertawa, "Dia memang seperti itu."
"Kurasa," desah Hinata, "Jadi, ada cerita apa?"
"Apa kau melihat Sasuke-teme, Hinata-chan?" tanya Naruto pada Hinata.
"Ya," Hinata nengangguk, "Sekilas aku melihatnya pergi ke gym bersama Mei."
Sakura tersentak dan Naruto menggaruk kepala kuningnya, "Mei? Terumi Mei dari tim renang?"
Hinata mengangguk lagi, "Ya."
"Wow, Sasuke-teme benar-benar playboy," Naruto tertawa.
"Diam, bodoh," ucap Sakura pada Naruto, "Sasu mungkin hanya berbicara dengannya."
"Ti-dak," ucap Naruto, menggoyangkan jarinya, "Mei menyukai Teme sejak lama dan Teme mengatakan dia akan mengencaninya."
"Tapi dia menyebalkan!" Sakura memprotes dan Hinata mengangguk setuju.
Naruto mengangkat bahu, "Tapi dia mudah sekali untuk diajak seks."
Sakura tersedak dan Hinata memukul bagian belakang kepala Naruto dengan tiba-tiba.
"Aduh, Hinata-chan," keluh Naruto, sambil memijat kepalanya.
Hinata memandang dari sudut matanya pada Sakura yang tampak sangat kesal dengan komentar Naruto.
"Kau baik-baik saja, Sakura-chan?"
Huh, pertanyaan macam apa itu? Tentu saja ia tidak baik-baik saja! Sakura tersenyum palsu, "Ya."
"Um," Hinata sekarang memandang Naruto, "Naruto-kun, apa kau bisa memberi kami privasi sebentar?"
Naruto mengangkat bahu, "Tentu." Ia mencium pipi Hinata dan berjalan keluar dari kafetaria.
Sakura kini benar-benar tenggelam dalam pikirannya. Terumi Mei? Sial, apa yang terjadi dengan Sasuke? Tidak bisakah kakaknya itu tetap melajang setidaknya selama sebulan?
Hinata menjentikkan jarinya di depan wajah Sakura, "Hei, ada apa denganmu?"
Sakura memalingkan muka, "Tidak ada."
"Aku sahabatmu, ayolah Sakura-chan," ucap Hinata, ia kini duduk di samping Sakura, "Kau tahu, kau bisa menceritakan semuanya padaku, kan?"
Sakura mengangguk, "Aku tahu Hinata-chan."
"Jadi?" Hinata menatap Sakura menelisik, mendorong Sakura untuk berbicara.
"Apa?" Hal terbaik yang bisa Sakura lakukan adalah berpura-pura bingung. Meskipun ia mengenal Hinata masih beberapa bulan, mereka seolah memiliki hubungan yang hebat dan bisa tahu apa yang terjadi satu sama lain hanya dengan melihat matanya.
"Kau tidak akan memberitahuku?" Hinata terdengar kecewa.
Sakura menghela napas, "Tidak ada yang perlu kuberitahu."
"Benar, dan Naruto-kun sangat jenius."
Sakura tertawa palsu, berpura-pura tak merasa gugup sama sekali, "Mungkin."
Hinata memandang sekeliling; memastikan kafetaria kosong. "Ada apa denganmu dan Sasuke, Sakura-chan?"
Sakura terbatuk, "Tidak ada apa-apa, dia um... kakakku," Ia terdengar gugup dan segera mencoba untuk tenang, "Um maksudku, tidak ada yang terjadi."
Hinata tersenyum simpatik, "Kau bisa memberitahuku, Sakura-chan."
Sakura terdiam sesaat, kemudian ia menunduk, berusaha menahan air matanya yang ingin jatuh dari matanya, "Aku tidak tahu apa yang terjadi, aku sangat bingung..."
"Tentang?"
"Sasuke," ucap Sakura dengan suara lemah, "Aku menjadi sangat cemburu saat melihat gadis lain bersamanya. Ini aneh sekali, Hinata-chan."
"Tidak apa-apa. Aku juga akan cemburu jika aku menjadi putri kecil kakak laki-lakiku setelah sekian lama dan tiba-tiba dia memutuskan untuk memiliki gadis lain di hidupnya. Kau hanya khawatir kau akan kehilangan posisi di dalam hidup Sasuke."
Sakura menggelengkan kepalanya, "Aku harap sesederhana itu," Matanya berkaca-kaca dan ia berbisik pada Hinata, "Tapi cemburuku berbeda, aku merasa seperti jangan-sentuh-milikku-atau-aku-akan-membunuhmu."
Hinata sekarang menjadi bingung, "Apa maksudmu?"
"Aku ingin membunuh Shion, dan sekarang Mei, secara harfiah," Sakura mengakui.
Hinata terdiam sejenak untuk memahami apa yang dikatakan Sakura, dan kemudian matanya melebar, "Oh!" Ia berbisik. "Oh Sakura-chan, kau yakin?"
Sakura mulai menangis dan Hinata memeluknya, berusaha untuk menghibur sahabatnya, meskipun gagal. "Jangan menangis, Sakura-chan, ayolah."
Tangisan Sakura semakin deras dan ia mulai terisak, "Aku monster, Hinata-chan. Aku membayangkan hal-hal aneh tentang dia," bisiknya, "Sial! Dia kakakku demi Tuhan."
Hinata membelai rambut merah muda Sakura, "Ya, dia memang seperti kakakmu, tapi bukan berarti kau harus melihatnya sebagai saudara laki-laki," ucapnya dengan tenang, "Dan kalian tidak pernah bertingkah seperti saudara. Kau tahu itu."
"Tapi kami dibesarkan sebagai saudara; orang-orang melihat seperti itu. Seberapa menyedihkan itu?"
Hinata mengangkat bahu, "Kita tidak bisa memilih dengan siapa kita akan jatuh cinta, Sakura-chan," ucapnya, lalu bercanda, "Lihat aku, aku jatuh cinta pada Naruto-kun!"
Sakura tertawa sedikit, "Ya," kemudian suaranya berubah menjadi serius lagi, "Aku tidak boleh jatuh cinta padanya, Hinata-chan. Itu tidak mungkin."
"Mungkin tidak, tapi aku pribadi pikir kalian adalah pasangan yang lucu," Hinata tersenyum,
"Apa yang akan dikatakan orang-orang nanti?" tanya Sakura.
"Aku tidak peduli dengan apa yang orang katakan. Kau adalah sahabatku dan aku ingin melihat senyum di wajahmu."
Sakura menyeka air matanya dan Hinata berdiri, meraih tangan Sakura dan menariknya dari kursi, "Kau tahu? Kita perlu menemui Sasuke dan kau harus memberitahunya bagaimana perasaanmu padanya."
"APA?! Tidak! Aku tidak bisa! Dia hanya melihatku sebagai adik perempuannya!"
Hinata tertawa tak percaya, "Benar."
"Apa maksudmu..." ucap Sakura dengan sedikit pesimis.
"Sakura-chan, aku memperhatikan cara dia memandangmu di danau! Itu bukan tatapan seorang saudara laki-laki," Hinata menjentikkan jarinya di depan wajah Sakura, "Bangunlah, sist. Itu tatapan berbeda."
Sakura hanya bisa tersenyum sedikit, "Menurutmu begitu?"
"Tentu," jawab Hinata, "Ayo." Ia menarik Sakura keluar dari kafetaria dan menyusuri koridor.
Dalam hati, Sakura mempraktekkan apa yang akan dikatakannya pada Sasuke, sementara Hinata terus saja menariknya. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak kencang dan tangannya menjadi berkeringat.
'Sasu, dengar, kurasa aku mencintaimu.'
'Itu bukan cinta; Aku hanya ingin berhubungan seks denganmu.'
"Tidak, bukan itu," gumam Sakura pada dirinya sendiri.
'Kau membuat seluruh tubuhku berdesir ketika kau menyentuhku?'
Sakura menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak bisa menemukannya," suara Hinata menarik Sakura dari pikirannya.
Sakura mengangkat bahu, kecewa, "Tidak apa-apa, aku tidak yakin apakah aku siap untuk berbicara dengannya sekarang. Kalau begitu, um, ayo pergi ke perpustakaan."
Sakura mulai berbelok dan Hinata mengikutinya, tapi berhenti berjalan ketika Sakura memegangi lengannya dengan erat.
"Aduh, kukumu, Sakura-chan..."
Bibir Sakura telah pucat sekarang dan ia terus menatap lurus ke depan. Mata Hinata memperhatikan Sakura dan ia mengikuti arah pandangan sahabatnya itu, ia melihat Sasuke berciuman dengan Mei di pintu perpustakaan.
"Ya Tuhan," bisik Hinata pada dirinya sendiri dan kemudian memandang sahabatnya, "Apa kau baik-baik saja?"
Sakura perlahan menggelengkan kepalanya, air mata mengalir di wajahnya sekarang. "Aku... aku..." ucapnya terbata-bata. "Sial."
***
Sasuke menertawakan sesuatu yang dikatakan Mei padanya dan sedikit memiringkan kepalanya, agar Mei bisa leluasa mencium lehernya. Matanya tak sengaja bertemu mata Sakura dan ia melihat adiknya menangis. Ia dengan cepat menjauh dari Mei dan berlari ke arah Sakura.
Sasuke menangkup wajah Sakura dengan kedua tangannya, "Saku, apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?"
Sakura terisak lagi dan kemudian berlari ke toilet perempuan. Hinata menggelengkan kepalanya dan menyandarkan punggungnya ke dinding.
"Apa yang terjadi padanya, Hinata?" Suara Sasuke terdengar sangat khawatir sekarang.
Hinata menghela napas, "Ino-chan ternyata benar ketika dia mengatakan bahwa memperdaya hati perempuan adalah tindakan ilegal." Hinata bergumam pada dirinya sendiri, tapi Sasuke bisa mendengarnya.
Sasuke merasakan kemarahan menguasai tubuhnya dan tangannya mulai gemetar ringan karenanya, "Siapa yang menghancurkan hati Sakura? Katakan, Hinata! Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri."
Hinata mendongak dan menatap Sasuke yang tampak khawatir, "Aku tidak mungkin memberitahumu."
"Apa itu Pain?" tanya Sasuke lagi, kini ia memerah karena cemburu.
Hinata melihat Mei meletakkan tangannya di pinggul, tampak kesal. "Sudahlah, Sasuke. Pacarmu menunggumu; biar aku yang mengurus Sakura-chan."
Hinata kemudian berjalan ke toilet perempuan dan memanggil Sakura.
"Aku di sini."
Hinata mendengar suara lemah datang dari bawah wastafel. Ia membungkuk di depan Sakura dan mengusap lutut sahabatnya dengan lembut, "Bagaimana perasaanmu?"
Sakura tersenyum, "Buruk," Ia menyeka air matanya, "Takdir adalah hal yang sangat kejam."
Hinata duduk di depan Sakura, "Tidak, tidak begitu, Sakura-chan."
Sakura menggeleng, "Aku merasa sangat menyukainya, aku bersumpah kadang-kadang ini menyakitkan secara fisik," Air matanya jatuh lagi, "Dan ini adalah cinta terlarang."
Hinata memeluk Sakura, "Ini bukan cinta terlarang; ini hanya lebih rumit daripada cinta biasa."
Sakura menghela napas, "Bahkan meskipun dia juga menyukaiku, orangtua kami tidak akan membiarkan kami bersama."
"Kau tidak pernah tahu, beberapa orang kadang bisa mengejutkan," Hinata melepaskan pelukannya, "Sasuke benar-benar khawatir tentangmu."
Sakura mendekap kakinya ke tubuhnya, meletakkan dagunya di atas lututnya, "Aku tidak ingin bertemu demgannya sekarang."
Hinata mengangguk, "Oke. Kau mau jalan-jalan?"
Perlahan Sakura menggelengkan kepalanya, "Tidak, bisakah kita tinggal di sini sebentar?"
"Tentu," ucap Hinata, "Kita bisa tinggal di sini sampai kau merasa lebih baik, bahkan jika kau mau disini sampai berusia 80 tahun."
Sakura tertawa kecil, "Kau adalah teman terbaik," ucapnya, "Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu, serius. Terima kasih banyak."
Hinata tersenyum, "Sama-sama, Sakura-chan."
***
Malamnya, Sasuke dan Fugaku tiba di rumah tepat saat makan malam. Mereka segera mandi dan bergabung dengan Mebuki di ruang makan, berbagai makanan sudah siap di atas meja.
Fugaku duduk di kursinya, "Di mana Sakura?"
"Dia merasa tidak enak badan sejak pulang dari sekolah," jawab Mebuki, duduk tepat di sisi suaminya.
Sasuke juga duduk, "Apa yang terjadi padanya?"
"Aku tidak tahu," jawab Mebuki, "Sakura hanya mengatakan itu masalah pribadi."
"Oh," gumam Sasuke, "Aku akan mencoba berbicara dengannya nanti."
Fugaku mengangguk, "Ide bagus, Nak."
Mereka makan dalam diam dan ketika mereka selesai, Sasuke segera pergi ke kamarnya untuk mengerjakan PRnya karena Mebuki dan Fugaku menganggap bahwa PR adalah hal yang paling penting dalam kehidupan siswa jika mereka menginginkan nilai bagus.
Sekitar jam 10 malam, Sasuke baru pergi ke kamar Sakura dan karena pintu kamarnya tidak terkunci, ia memutuskan untuk langsung masuk. Ia mendapati Sakura berbaring bertumpu pada lengannya, pandangannya tertuju pada dinding.
"Saku?" panggil Sasuke, "Apa kau baik-baik saja?"
Sakura tidak bergerak, "Hmm."
Sasuke berjalan ke tempat tidur Sakura dan duduk di ujungnya. "Apa kau yakin?"
Mata Sakura berkaca-kaca lagi dan ia memejamkan matanya sebelum air matanya mengalir.
"Kenapa kau menangis, Saku? Ini kedua kalinya hari ini kau menangis, aku benar-benar khawatir," Sasuke menyeka air mata Sakura, membelai wajahnya, "Siapa yang membuatmu seperti ini, Saku?"
Sakura membuka matanya lagi dan menatap Sasuke, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengatakan bahwa semua ini terjadi karena kakaknya, jadi ia mencoba untuk tetap tenang, "Kau tidak mengenalnya, tidak perlu khawatir."
Sasuke berbaring miring, di depan Sakura, "Aku khawatir," gumamnya, membelai rambut Sakura dengan lembut, "Kau benar-benar penting bagiku Saku, kau teman terbaikku."
Sakura semakin menangis, "Aku... aku minta maaf."
Sasuke memeluk Sakura dan gadis itu menyembunyikan wajahnya di dada Sasuke. Hati Sasuke hancur melihat Sakura bersedih untuk seseorang. Sungguh menyakitkan mengetahui bahwa Sakura sangat menyukai orang lain bahkan sampai menangisinya. Perasaan seperti itulah yang Sasuke ingin Sakura rasakan hanya untuknya. Sasuke secara sadar jatuh hati pada Sakura dan fakta bahwa adiknya tidak menyadari itu terlalu berat baginya.
Tangisan Sakura semakin deras dan perhatian Sasuke semakin besar, "Bicara padaku, Saku, kumohon."
"Dia tidak menyukaiku," bisik Sakura, "Dia hanya menganggapku sebagai teman."
Sasuke membelai pipi Sakura, menatap mata emerald-nya yang bulat, "Jika dia cukup bodoh untuk tidak menyukaimu, itu artinya dia tidak pantas untukmu, Saku. Jangan khawatir, kau akan menemukan orang lain."
"Aku tidak menginginkan orang lain. Aku menginginkannya!" Sakura menghela napas, memijat dadanya, "Sial, rasanya sangat sakit di sini."
Sasuke menutup matanya. Hatinya juga terasa sakit, karena 'saudara perempuannya' dan cintanya baru saja menghancurkan hatinya. Sasuke terus mendengarkan Sakura yang mengatakan bahwa pemuda itu sempurna untuknya tapi entah bagaimana mereka tidak bisa bersama. Tangan Sasuke meraih selimut semakin erat, saat rasa cemburu di dalam dirinya semakin tak tertahankan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Sakura dengan suara lemah.
Sasuke menatap mata Sakura, mata yang menangisi orang lain, "Aku baik-baik saja, Saku, jangan khawatir."
Sakura duduk, meyeka matanya dengan punggung tangannya, "Ada apa?"
Sasuke tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin mengatakan pada Sakura bahwa ia memiliki rasa berbeda pada Sakura, tapi sialnya, Sakura adalah saudara perempuannya di mata semua orang, apa yang akan Sakura pikirkan tentang dirinya jika ia mengatakan pada gadis itu semua hal yang ada dalam pikirannya ini? Sasuke merasa seolah seluruh tubuhnya terbakar, terbakar dengan cemburu, terbakar dengan keinginan untuk memiliki si rambut merah muda mungil yang kini sedang menatapnya dengan tatapan bingung.
Sasuke membuka mulutnya untuk mengatakan bahwa ia menginginkan Sakura untuk dirinya sendiri, tapi menutupnya kembali sebelum gadis itu bisa mendengar suara apapun. Ia tidak bisa mengambil resiko kehilangan Sakura. Bagaimana jika Sakura takut dan lari untuk memberitahu orangtua mereka? Apa yang akan mereka pikirkan nanti?
'Kau benar-benar gangguan jiwa' atau cacian semacam itu? Itu pun jika ia cukup beruntung, karena ia cukup yakin bahwa ayahnya akan mengirimnya ke panti rehabilitasi atau tempat lain yang mungkin bisa menyembuhkan dirinya yang dianggap gangguan jiwa.
'Dia menyukai orang lain Sasuke, terima itu,' ucapnya dalam hati pada dirinya sendiri dan akhirnya menemukan kata-kata untuk berbicara lagi. "Tidak ada," Sasuke mengusap kepala Sakura, "Um, kau sudah merasa lebih baik?"
Sakura mengangguk, menunduk. Helai rambutnya menyembunyikan salah satu matanya dan gadis itu menggigit bibir bawahnya, "Aku tidak tahu kau berkencan dengan Terumi Mei."
Sasuke merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena mendengar nama Mei, tapi karena ia sangat menyukai ketika Sakura menggigit bibirnya seperti ini.
'Ya, mencoba melupakanmu.' Itu yang ingin Sasuke katakan, tapi alih-alih, ia mengangkat bahunya, "Dia baik."
Sakura semakin mendekat pada Sasuke, merasa lemah ketika pemuda itu menyelipkan sehelai rambutnya ke belakang telinganya, "Kau menyukainya?"
Sasuke menghela napas, "Kurasa," ucapnya sedikit ragu.
Sakura merasakan sakit yang tajam di dadanya, tapi ia berpura-pura tersenyum, "Aku ikut bahagia untukmu, Boo."
Sakura mencium pipi Sasuke dan ketika ia menarik diri dari pemuda itu, Sasuke memeluknya dengan lengannya yang kuat sehingga tidak mungkin untuk Sakura membebaskan diri. Sakura hanya diam di sana, memeluk Sasuke dengan air mata menggenang di matanya. Sakura membenamkan kepalanya di tulang selangka Sasuke dan Sasuke bisa merasakan napas panas Sakura di kulitnya. Sasuke mengusap punggung Sakura perlahan dengan ujung jarinya di balik kaos gadis itu dan Sakura mencium aroma parfum Sasuke dan itu membuat seluruh tubuhnya berdesir.
Sial, ia sangat menginginkan Sasuke dan bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ia tidak tahu sejak kapan ini terjadi dan bagaimana bisa Sasuke menjadi begitu penting baginya, tapi faktanya ia memang cukup tergila-gila pada pemuda itu.
Sentuhan tangan Sasuke menjadi begitu kuat sehingga Sakura bisa bersumpah kakaknya itu akan meninggalkan bekas di punggungnya, tapi ia tidak mengatakan sepatah katapun. Sentuhan Sasuke adalah perasaan terbaik di dunia.
Sakura membelai rambut halus di leher Sasuke, menempelkan mulutnya di tulang selangka pemuda itu, "Kau sungguh baik-baik saja?"
Sasuke menyembunyikan wajahnya di leher Sakura, mengabaikan pertanyaan gadis itu, "Kau tidur denganku malam ini?"
Sakura menutup matanya dan mengerang pelan. Sasuke sedikit menjauh dari Sakura dan mereka saling menatap, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci saja, "Tidak malam ini," jawab Sakura, "Aku ingin sendiri untuk sementara waktu."
"Baiklah," ucap Sasuke, memaksakan diri untuk menjauh dari Sakura sebelum ia tidak bisa menahan semuanya lagi, "Semoga kau segera membaik, Saku."
Sasuke berdiri dan berjalan ke pintu. Ia mendengar Sakura memanggilnya lagi, tapi ia tidak berbalik untuk menghadap gadis itu, ia tidak ingin gadis itu melihat matanya berkaca-kaca.
"Terima kasih banyak," suara Sakura terdengar lembut, "Untuk segalanya."
Sasuke mengangguk, melihat ke lantai, "Apapun untukmu, Saku," Ia menutup pintu dan melangkah ke kamarnya sendiri.
Sasuke mengunci pintu kamarnya dan berbaring tengkurap, menyembunyikan wajahnya di bantal. Sudah lama ia tidak menangisi apapun atau siapapun, bahkan ketika ia sangat merindukan ibunya. Ini adalah perasaan baru baginya, menangisi seseorang yang ia sukai, menangis karena ditolak, dan itulah yang ia lakukan sepanjang malam ini. Ia menangis sampai kelelahan dan tertidur.
Sakura pun melakukan hal yang sama, begitu Sasuke meninggalkannya sendirian, ia menangis hingga tertidur.
Hari berikutnya, mereka berdua bangun dan memutuskan berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. Mereka menjalani hari seperti yang biasa orang lain lihat; bertingkah seperti saudara kandung, saling bercanda, bermain-main dan hang out seperti hari-hari sebelumnya ketika mereka belum memiliki rasa berbeda satu sama lain, atau setidaknya ketika mereka belum menyadari bahwa perasaan itu sudah lama ada di sana, tersembunyi di hati mereka, menunggu untuk ditemukan...
***
To be continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)