expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Brotherly Love #6




Miroku Shion. Sakura tidak tahan lagi mendengar nama itu terdengar di koridor Konoha High School. Shion adalah gadis pertukaran baru dari Korea Selatan dan gadis itu benar-benar membuat seisi sekolah gila. Semua siswa laki-laki menyukai Shion dan tubuhnya yang indah, atau rambutnya yang pirang panjang, atau mungkin badannya yang tinggi. Dan semua siswa perempuan menginginkan Shion kembali ke negara asalnya, se-ce-pat-nya.
Yang membuat Sakura semakin marah adalah fakta bahwa Shion adalah gadis yang cantik; gadis itu selalu menguntit Sakura dan berusaha berteman dengannya. Oh, dan Sasuke. Sasuke benar-benar dan sangat terkesan oleh gadis baru itu. Ini perasaan yang paling menjengkelkan yang pernah dirasakan Sakura sepanjang hidupnya hingga sekarang.
Sakura, Ino dan Hinata duduk di kafetaria, meletakkan makan siang mereka di atas meja. Sakura memandang sekeliling ruangan, dan menemukan sebagian besar siswa mengelilingi meja gadis baru itu.
"Uh, aku benar-benar tidak suka gadis bernama Shion itu," ucap Sakura pada teman-temannya.
Hinata memandang Sakura, setuju, "Dia seperti menggunakan mantra di seluruh sekolah, aku tidak melihat ada sesuatu yang menarik pada gadis berambut pirang itu."
Ino cemberut, "Aku gadis pirang yang lebih cantik dari dia, bukan begitu?"
Sakura dan Hinata tertawa, "Tentu, Ino yang cantik."
Tiba-tiba Shion berjalan ke meja Sakura dan duduk di depannya. "Hai, Saku," sapa gadis pirang itu dengan senyum lebar.
Sakura tetap menunduk, sibuk dengan makanannya, "Hai juga."
"Bagaimana latihannya? Aku tidak bisa menontonnya kemarin."
Sakura menelan sandwich-nya, "Bagus."
Shion tersenyum lebar dan melambai pada Ino dan Hinata, "Ups, aku tidak menyadari kalian."
Baik Hinata maupun Ino tersenyum palsu, "Ya," ucap Hinata.
"Jadi, Saku," Shion memulai lagi.
"Panggil aku Sakura, tolong," ucap Sakura menyela gadis pirang itu.
"Oke," Shion tersenyum, "Kau tidak tahu dengan siapa aku akan berkencan malam ini."
"Tidak," Sakura meminum susunya dan memalingkan muka, mencoba untuk memotong pembicaraan dengan Shion. Ugh, segala sesuatu tentang gadis Korsel itu sangat membosankan, bagaimana bisa Sasuke terpesona olehnya?
"Kau tidak ingin mencoba menebaknya?" tanya Shion, ada kekecewaan dalam suaranya.
Sakura tersenyum palsu, "Oh, sorry, kau sendiri yang bilang jika aku tidak tahu dengan siapa kau akan berkencan malam ini, dan aku setuju bahwa aku memang tidak tahu."
Hinata dan Ino terkikik, dan Sakura tersenyum pada teman-temannya itu. Ia meraih sendoknya dan memakan sedikit pudingnya.
"Kakakmu, Sasuke."
Sakura tersedak dan sendok jatuh dari tangannya. Hinata dengan pelan menepuk punggung Sakura.
"Kau baik-baik saja, Forehead?" tanya Ino, khawatir.
Sakura mengangguk perlahan, memijat tenggorokannya. Ia tak percaya apa yang baru saja ia dengar. "Kau berkencan dengan kakakku?"
Shion mengangguk; senyum lebar terukir di wajahnya. "Bukankah itu luar biasa? Kita bisa seperti saudara ipar."
Sakura menggelengkan kepalanya, "Kau gila."
Sakura berdiri, membawa sisa makanannya ke tempat sampah. Ino dan Hinata mengikutinya ketika gadis berambut pink itu berjalan menyusuri koridor, kembali ke ruang ganti gym.
Ino duduk di bangku, "Aku benar-benar benci Miroku Shion."
Hinata duduk di samping Ino dan memeluk temannya itu, "Kau baik-baik saja, Ino-chan?"
Ino mengangguk perlahan, tersenyum, "Aku baik-baik saja dan perasaanku pada Sasuke tidak sama lagi."
Sakura mulai membuka pakaiannya dan berganti dengan pakaian cheerleaders-nya dengan tenang. Ia merasa dikhianati, bagaimana bisa Sasuke melakukan ini padanya? Berkencan dengan gadis yang paling dibencinya? Laki-laki macam apa dia? Sakura menggelengkan kepalanya, menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri, meletakkan tasnya di loker dan menutupnya dengan keras.
Hinata mendongak, "Apa semuanya baik-baik saja, Sakura-chan?"
Sakura tersentak dari pikirannya, "Ya," Ia duduk di bangku bersama teman-temannya, "Aku tidak percaya Sasuke berkencan dengan seseorang yang sangat aku benci."
Hinata mengangguk, "Aku juga akan benci jika melihat kakakku bersama seseorang yang tidak kusukai."
Ino tertawa, "Kau tidak punya kakak laki-laki."
Hinata memutar matanya, "Seandainya Ino-chan, seandainya aku punya kakak laki-laki aku mungkin akan seperti Sakura-chan."
"Kau cukup beruntung dia tidak tertarik berada di tim cheerleaders karena dia sangat mengidolakanmu, Forehead."
Sakura mengangguk, "Ya, aku akan memastikan tidak ada posisi kosong sampai dia kembali ke negara asalnya."
Hinata tertawa, "Oh, dia akan sangat suka itu."
***
Sakura mengumpulkan seluruh anggota cheerleaders dan menyuruh mereka mulai berlatih. Anggota dari tim basket juga muncul dan mulai melakukan pemanasan.
"Terlihat bagus, anak-anak," Fugaku memuji gadis-gadis itu dan mereka semua tersenyum, terkikik. "Hai Sakura," Sakura melambai pada ayahnya ketika pria itu melewati mereka.
Sasuke adalah pemain terakhir yang masuk ke lapangan; ia mungkin terlambat karena Miroku Shion. Tatapan Sakura tampak menusuk ketika Sasuke tersenyum padanya dan gadis-gadis lain di tim cheerleaders. Sakura kemudian mengalihkan perhatiannya ke anggota timnya, mengajarkan mereka koreografi baru yang diberikan Deidara padanya dua hari sebelumnya.
Tim basket dan kerumunan yang menyaksikan latihan berhenti sejenak untuk menyaksikan Sakura menari dengan lancar; ia sangat pandai dalam hal itu. Gerakannya sehalus balerina.
Sakura kemudian menghentikan musik, "Oke, kalian mengerti?"
Gadis-gadis lainnya mengangguk.
"Bagus, kalian praktekkan sebentar, aku akan segera kembali."
Menjadi kapten cheerleaders itu berarti Sakura mendapat perlakuan khusus, seperti memiliki seseorang yang memenuhi semua yang ia butuhkan. Tapi Tenten, asistennya, merasa tidak enak badan hari ini, jadi Sakura menyuruhnya pulang.
Sakura memperhatikan gadis-gadis itu menari sebentar dan pergi ke sisi lapangan basket, bertemu salah satu pemain Storm yang ada di bangku cadangan hari ini.
"Hei Pain, apa aku boleh minta satu Pocari Sweat-nya?" tanya Sakura seraya menunjuk pada sekotak minuman itu, senyum terbaiknya terukir di wajahnya.
Pain balas tersenyum, "Tentu Sakura, apapun untukmu."
Sakura duduk di samping Pain, meminum sebotol Pocari Sweat dan menonton gadis-gadis timnya menari.
"Di pertandingan terakhir kalian sangat bagus," puji Pain, tampak sedikit memerah.
Sakura tersenyum, "Terima kasih, kenapa kau tidak bermain hari ini?"
Pain mengangkat bahu, "Lututku tidak berfungsi dengan baik hari ini."
Sakura melihat ke bawah, dimana ada sekantong es di lutut kanan Pain. Pain mengangkat kantong itu dan Sakura bisa melihat lutut Pain benar-benar bengkak.
Mata Sakura melebar, "Oh, itu pasti sakit."
Pain mengangguk, sedih, "Ya, aku harap aku bisa ikut bermain bulan depan, tapi aku tidak tahu apakah itu mungkin terjadi."
Sakura tersenyum simpatik, "Lututmu pasti akan segera membaik, Pain."
Sakura kemudian memandangi gadis-gadis timnya dan mereka masih menari, ia tersenyum melihat betapa cepat mereka mempelajari koreografi baru itu. Ia tiba-tiba merasakan tatapan seseorang menusuknya dari lapangan basket dan ia bertemu tatap dengan onyx Sasuke. Remaja laki-laki itu menatap dengan ekspresi membunuh ke arah Sakura dan Pain yang berbicara.
"Sasuke, fokus pada permainanmu."
Sakura mendengar suara ayahnya dan ia tersenyum sendiri.
"Um, Sakura?" panggil Pain.
Sakura menoleh pada Pain lagi, "Ya?"
"Aku ingin tahu apa kau mau jika kita berkencan kapan-kapan," Pain mengusap kepalanya dengan gugup.
Sakura tersenyum melihat betapa lucunya Pain, "Tentu."
Pain tersenyum lebar, "Baiklah, bagaimana jika akhir pekan ini?"
Sakura mengangguk, "Apa kau punya nomor teleponku?"
Pain berkata tidak dan Sakura memintanya untuk menunggu. Sakura meminta sebuah pena dan selembar kertas pada Hinata dan menuliskan nomornya di situ. Ia berjalan kembali ke tempat Pain dan memberikan kertas itu padanya.
"Telepon aku malam ini."
Pain tersenyum, "Tentu, Sakura."
"Kalau begitu aku harus pergi, gadis-gadis itu menungguku," Sakura tersenyum, menunjuk ke arah tim cheerleaders-nya.
Pain tertawa, "Oke, silahkan."
Sakura tertawa juga dan berjalan kembali ke timnya.
Ketika latihan selesai, Sakura mengambil tasnya dan sebelum Sasuke bisa mengatakan apapun pada adiknya, gadis itu telah menghilang dari sekolah bersama Ino dan Hinata.
***
Malam harinya
Saat Sasuke belum tiba di rumah, Sakura menggunakan kesempatan itu untuk bertanya pada orangtuanya apakah ia boleh berkencan tanpa kakaknya memprotes bahwa ia terlalu kecil. Awalnya, Fugaku mengatakan tidak, tapi dengan bantuan Mebuki, Sakura akhirnya mendapat persetujuan untuk berkencan dengan Tendo Pain.
Fugaku, Mebuki, dan Sakura kini sedang menonton film di ruang tamu, Fugaku dan Mebuki berada di sofa sedangkan Sakura berbaring di lantai dengan Daisy di sisinya. Sasuke tiba di rumah dan nendapati seluruh keluarganya berkumpul di ruang tamu.
"Bagaimana kencanmu, Nak?"
Sasuke duduk di lantai, di samping Sakura, menepuk lembut kepala Daisy. "Baik."
Sakura tidak memandang Sasuke; ia terus menonton film dalam diam.
"Apa Shion gadis yang baik?" tanya Mebuki, tatapannya masih tertuju ke film.
"Ya Kaasan, dia hebat," jawab Sasuke dengan senyum konyol.
Telepon tiba-tiba berdering dan Fugaku mengangkatnya.
"Halo? Ya, Oh, dia ada di sini, siapa?" Fugaku tersenyum, "Oh hai, ya, bagaimana dengan lututmu? Bagus, bagus, ya, aku akan memberikannya ke Sakura."
Fugaku menyerahkan telepon pada Sakura, "Ini Pain, Sakura."
Sakura tersenyum lebar dan melompat dari lantai, berlari ke kamarnya dengan telepon di genggamannya. Sasuke mendengar pintu kamar tertutup dan menatap orang tuanya, bingung.
"Pain? Tendo Pain?" tanya Sasuke dan ayahnya mengangguk. "Kenapa dia menelepon Saku?"
Mebuki sedikit menaikkan volume dari TV, "Mereka akan pergi berkencan pada akhir pekan."
Sasuke melompat dari lantai juga, "Apa?!"
"Tenanglah, Sasuke, dia sudah meminta ijin dari kami dan kami memberikannya, dia 16 tahun, kurasa itu usia yang baik untuk mulai berkencan."
"Tousan, ayolah."
Mebuki memandang Sasuke, "Kami sedang menonton film, Sayang."
Sasuke mendengus, berlari ke lantai atas dan masuk ke kamar Sakura tanpa mengetuk lebih dulu. Gadis itu mengabaikan Sasuke sepenuhnya dan terus berbicara dengan Pain.
"Haha, itu bukan film picisan, aku janji," Sakura terkikik, "Oke, aku tidak sabar menunggu sampai hari Sabtu. Aku juga, sampai jumpa, Pain." Ia menutup telepon dan menatap Sasuke, "Ada yang bisa kubantu?"
"Kau tidak bisa berkencan dengan Tendo Pain."
Sakura berdiri, membuka lemari pakaiannya dan melihat-lihat pakaiannya, "Hm, Tousan memberiku ijin."
"Sakura, aku tidak main-main di sini."
Sakura menoleh ke belakang dan tersenyum, "Kau pikir siapa yang main-main di sini, Sasu?"
"Kau terlalu kecil untuk berkencan!"
Sakura menutup pintu lemari pakaiannya, "Kaasan bilang umur 16 adalah usia yang baik untuk mulai berkencan." Ia menguap dan berbaring di tempat tidurnya, "Aku lelah, bisakah kau biarkan aku tidur?"
"Tidak," ucap Sasuke, sambil menyilangkan lengannya.
"Oh boy," Sakura menatap langit-langit, "Beri aku kesabaran, Tuhan."
Sasuke mulai meledak, "Sial, Saku! Kau tidak akan berkencan dengan siapapun, tidak karena aku kakakmu."
Sakura tertawa tak percaya, "Kau tahu, Sasu? Kau bukan kakakku."
Sasuke menggelengkan kepalanya perlahan, "Kuminta padamu untuk tidak berkencan dengan Pain, Saku," pintanya dengan lembut.
"Aku akan berkencan dengannya, maaf."
Sasuke mengangguk setuju, "Jadi, kau memilihnya dibanding aku?"
Sekarang Sakura merasa marah pada Sasuke. Ia berdiri dan menarik Sasuke keluar dari kamarnya. "Kau memilih Shion dibanding aku sebelum Pain mengajakku berkencan, jadi jangan berpikir aku akan melakukan apapun untukmu, karena aku tidak akan melakukannya."
Sakura menutup pintu di depan wajah Sasuke dan untuk berjaga-jaga, ia juga menguncinya.
Sasuke mengetuk pintu, meminta Sakura untuk membuka pintu, tapi gadis itu memakai headphone dan mengabaikannya.
Fugaku memandangi tangga, "Menurutmu kita harus ke sana?"
Mebuki menggelengkan kepalanya, "Tidak, mereka bisa menyelesaikan ini," ucapnya, "Dan filmnya menjadi lebih menarik sekarang" Ia tersenyum dan suaminya mencium tangannya, "Kau benar."
Dalam beberapa menit, Sasuke berhenti mengetuk dan berteriak, lalu pergi ke kamarnya, menutup pintunya juga.
Fugaku mengerang, "Uh, dasar remaja."
***
To be continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)