Kini, Sasuke tidak terlalu terkejut ketika ia bangun di pagi hari dengan seorang bocah laki-laki tidur di sampingnya.
Yang membuatnya terkejut adalah kedatangan Mikoto di mansion tepat setelah sarapan.
"Kaasan, kupikir kau tidak akan datang." Sasuke mengerutkan kening.
"Ya sebelum aku mendengar gosip tentang drama yang kau lakukan di toko mainan kemarin." Mikoto menyipitkan mata pada Sasuke. "Apa kau tidak memiliki ide yang lebih baik daripada berkonfrontasi dengan seorang wanita hamil di depan umum?"
"Aku tidak melakukan apapun untuk memprovokasi dia!" Sasuke memprotes. "Dia duluan yang menyerangku!"
"Harusnya kau bisa lebih sedikit menduga apa yang akan dia lakukan." Mikoto menggelengkan kepalanya. "Kondisinya yang sedang hamil hanya memperburuk kepribadiannya yang tidak menyenangkan dan sedikit psikotik. Jujur, kenapa dulu kau mau berhubungan dengan gadis seperti itu..."
"Dia berdarah bangsawan, dari keluarga terhormat." Sasuke mengangkat bahu. "Waktu itu aku masih remaja. Menurutmu kenapa aku mau berkencan dengannya?"
"Sasuke!" Ibunya menegur. "Kau memang putra ayahmu." Ia menghela nafas.
"Jangan katakan hal itu." protes Sasuke.
"Lain kali, jika kau berada di tempat umum dan bertemu seseorang yang tidak lagi berbicara denganmu..." Mikoto memulai.
"Kami masih berbicara." Sasuke mendengus. "Hanya saja sekarang, pembicaraan kami-"
"Cukup." potong Mikoto. "Sekarang..."
Ayame memasuki ke ruangan.
"Maaf, Nichi-kun menanyakan Uchiha-san." ucap Ayame pada Sasuke.
"Baik, ayo temui bocah yang sepertinya menjadi penyebab semua masalah ini." Mikoto menunjuk ke arah pintu.
Mikoto mengikuti putranya menaiki tangga dan berhenti di ambang pintu kamar ketika Sasuke berjalan mendekati Nichi.
"Papa, kapan Mama pulang?" tanya Nichi, mendongak dari mainan keretanya. Ia sedikit terkejut melihat orang asing, tapi kemudian tersenyum. "Apa itu Mamamu?"
"Ya, itu ibuku." Sasuke membenarkan, melirik ibunya. "Dia seharusnya tidak disini, tapi dia memutuskan untuk mengejutkanku dan pulang lebih awal."
"Itu kejutan yang bagus." Nichi mengangguk. "Tidak seperti beberapa hal yang dilakukan Ino-basan. Apa Mamamu orang baik?"
"Dia baik padaku." Sasuke memandang ibunya dan menyeringai.
"Kau anak laki-laki yang tampan." Mikoto tersenyum pada Nichi, berjalan melintasi ruangan. "Senang bertemu denganmu. Sasuke banyak berbicara tentangmu."
Nichi tersenyum pada Sasuke. "Lihat? Sudah kubilang kau Papa yang baik."
"Apa Sasuke Papamu?" tanya Mikoto pada Nichi dan memandang miring ke arah Sasuke.
"Aku ingin dia menjadi Papaku. Dia berpikir dia tidak bisa menjadi Papa yang baik. Tapi dia merawatku dengan baik." Bocah itu memberitahu Mikoto. "Kau sangat cantik. Dan wangi."
Mikoto tersenyum heran. "Dan kau sangat tampan. Kau cocok di keluarga Uchiha."
"Lihat? Dia juga berpikir begitu." Nichi berbisik pada Sasuke.
"Ayame bilang kau mencariku, ada apa?" tanya Sasuke pada Nichi.
"Kapan Mama pulang?" tanya bocah itu.
"Aku belum tahu, aku akan menghubungi rumah sakit dan bertanya." Sasuke berjanji.
Nichi memeluk kaki Sasuke. "Terima kasih, Papa."
"Aku bukan Papamu." Sasuke mengulangi, sekali lagi.
"Kau akan menjadi Papaku." Nichi mengangguk.
Sasuke memutar matanya. "Sebentar, aku akan menghubungi rumah sakit."
"Sampai nanti, Nichi-kun." Mikoto tersenyum pada bocah itu dan mengikuti putranya.
"Ada apa denganmu, kau menjadi ayahnya?" tanya Mikoto menuntut begitu mereka keluar dari kamar Nichi.
"Itu idenya." Sasuke menggelengkan kepalanya. "Aku mencoba memberitahunya bahwa aku adalah saudaranya, tapi dia tidak mengerti. Lalu dia memutuskan bahwa dia ingin aku menjadi ayahnya, karena dia mempunyai gagasan bahwa seorang ayah selalu mengajari anak-anak mereka menaiki sepeda."
"Beberapa ayah memang mengajarkan anak-anak mereka menaiki sepeda." Mikoto setuju. Ia melipat tangannya. "Mungkin kalian berdua baik untuk satu sama lain. Dia membutuhkan panutan seorang laki-laki dewasa, dan kau membutuhkan seseorang untuk menunjukkan padamu apa itu cinta."
"Aku tahu semua tentang cinta." Sasuke memutar matanya. "Aku pernah berkencan dengan Karin, ingat?"
"Itu bukan cinta." jawab Mikoto dengan sedih. "Cinta adalah ketika kau menghargai kebahagiaan orang lain lebih daripada kebahagiaanmu sendiri."
"Terserah." Sasuke mendengus, Ia meraih gagang telepon di samping perapian.
Ia menghubungi rumah sakit, berbicara kurang lebih 5 menit sebelum ia mendapatkan informasi tentang Sakura.
"Dia dijadwalkan pulang sekitar satu jam lagi." Suara wanita dari seberang sana memberitahu Sasuke. "Kau mungkin bisa membawakannya pakaian. Yang dia miliki di sini hanyalah piyama yang dikenakannya sejak masuk ke sini."
"Baik." Sasuke mengangguk, dan mengakhiri sambungan telepon.
Sasuke menoleh ke ibunya. "Dia tidak punya pakaian lain. Mereka kehilangan segalanya dalam kebakaran itu dan aku tidak tahu ukuran apa yang biasa dia kenakan."
"Bawa dia kembali ke sini dulu." Mikoto menyarankan. "Kita akan mencarikan sesuatu yang bisa dia kenakan untuk sementara dan kemudian dia bisa berbelanja setelah makan siang."
Sasuke mengangguk, lalu naik ke lantai atas untuk memberitahu Nichi.
"Kita bisa menjemput Mama sebentar lagi."
"Yay!" teriak bocah itu. "Apa Mama akan tinggal di sini bersama kita?"
"Untuk sekarang." Sasuke mengangguk. "Sampai kau dan Mama menemukan tempat tinggal baru."
"Tapi kita tinggal di sini." Nichi mengerutkan kening.
Sasuke menghela napas. "Ayo, lebih baik kita berganti pakaian."
Sasuke mencuci muka dan tangan bocah itu, dan memakaikan salah satu pakaian barunya.
Setelah Nichi bertanya apakah sudah waktunya untuk pergi keenam kalinya dalam sepuluh menit, Sasuke menyerah dan berangkat lebih awal.
Mereka tiba di rumah sakit dan langsung melangkah ke kamar Sakura. Gadis itu duduk di tempat tidur dengan balutan piyamanya. Nichi memanjat ke samping Sakura dan kemudian ke pangkuan ibunya itu, mengoceh dengan bersemangat tentang betapa Sakura akan menikmati tinggal di mansion Uchiha. Sedangkan Sasuke berdiri dengan canggung di sana.
Akhirnya seorang perawat datang dan menjelaskan apa saja yang harus dilakukan Sakura setelah keluar dari rumah sakit. Sakura tak diperbolehkan banyak bergerak selama seminggu atau lebih, tidak ada aktivitas berat sampai paru-parunya diperiksa ulang oleh dokter.
"Di mana pakaian Mama?" Nichi menoleh ke arah Sasuke.
"Maaf, Sakura." ucap Sasuke. "Aku tidak tahu ukuran tubuhmu, jadi kupikir kita bisa berbelanja sore ini."
Sakura mengangguk mengerti.
"Kenapa kita tidak pergi sekarang?" tanya Nichi. "Kita bisa membeli pakaian Mama, juga keripik ikan."
"Kau sudah terlalu banyak makan keripik ikan." tegur Sasuke.
"Itu enak." Nichi memberitahu ibunya dengan sungguh-sungguh.
Sakura tersenyum pada anaknya. "Aku akan mencobanya lain waktu."
"Hari ini." Nichi menoleh ke arah Sasuke.
"Tidak sekarang, Nichi." Sasuke menggelengkan kepalanya. "Aku mempunyai tamu yang akan datang untuk makan siang."
"Apa kita mengadakan pesta di rumah untuk Mama?" Nichi memiringkan kepalanya.
"Tidak, aku akan makan siang dengan Hinata." Sasuke membuang muka.
"Apa dia bibi yang bertemu kita di toko keripik ikan?" Nichi mengerutkan kening.
"Ya." Sasuke membenarkan.
"Tidak!" Nichi berteriak. "Aku tidak ingin dia di sana. Jangan menikahinya. Aku ingin kau..."
"Cukup!" Sasuke menegur bocah itu.
Nichi memandang Sasuke terkejut, beringsut mendekat ke ibunya.
"Aku benar-benar siap untuk keluar dari sini." Sakura memberitahu Nichi. "Ayo makan siang bersama, sementara Sasuke makan siang dengan temannya. Kau juga bisa menunjukkan mainan barumu padaku."
"Ayo, Mama!" Nichi tertawa, melompat dari tempat tidur dan menarik-narik tangan ibunya.
Satu-satunya barang yang dibawa Sakura adalah pot aster yang diberikan Sasuke dan Nichi padanya, dan rangkaian bunga dari Nara dan Yamanaka. Sasuke membawa bunga-bunga itu sementara Nichi memegang tangan Sakura. Ketiganya berjalan bersama keluar dari rumah sakit.
***
Mereka sampai di mansion disambut dengan suara-suara, yang menurut Sasuke aneh, karena sebelum ia pergi ke rumah sakit, ibunya mengatakan padanya bahwa dia akan ke kamarnya.
Ketika sampai di ambang pintu, Sasuke menyadari bahwa ibunya berada di ruang tamu, berbicara dengan Hinata.
Ia terkejut sesaat, dan tiba-tiba berhenti di ambang pintu. Akibatnya, Sakura dan Nichi menabraknya dari belakang beberapa detik kemudian, membuat Sasuke terhuyung ke depan dan tanah pot aster mengotori pakaiannya.
"Papa, kau seharusnya tidak berhenti tiba-tiba!" Nichi terkikik.
Sasuke memaksakan untuk tersenyum, mengusap pakaiannya yang sedikit kotor terkena air dan tanah dari pot aster yang dipegangnya.
Mereka semua masuk ke ruang tamu. Sakura mengulurkan tangannya pada Hinata. "Kau pasti Hinata. Senang bertemu denganmu."
Mata Hinata melebar saat ia menjabat tangan Sakura. "Senang bertemu denganmu juga." jawabnya dengan ragu.
"Ini Haruno Sakura, ibu Nichi." Mikoto memperkenalkan. "Baiklah, aku akan... mengantar Sakura dan putranya ke atas dan meninggalkan Sasuke disini." Mikoto tersenyum manis. "Nichi-kun, mau mennjukkan Mama dimana kamarnya?"
Nichi berdiri, menyipitkan matanya pada Hinata. "Tidak. Aku akan disini bersama Papa."
"Nichi." Sakura memperingatkan dengan tegas.
Bocah laki-laki itu mendengus dan melipat tangannya, tapi kemudian mengikuti ibunya dan Mikoto.
Sasuke menepuk pakaiannya yang sedikit basah. "Aku akan ke kamar mandi dulu, dan aku akan segera kembali." Ia memberitahu Hinata.
Hinata mengangguk dengan sopan. "Aku minta maaf jika aku datang lebih awal."
"Tidak perlu minta maaf." jawab Sasuke dari balik bahunya ketika ia berjalan menjauh.
Beberapa menit kemudian, seorang bocah lelaki kecil kembali ke ruang tamu. Ia berjalan dan berdiri di depan Hinata.
"Aku tidak menyukaimu." Nichi memberitahu Hinata, melipat tangannya. "Aku ingin kau pergi supaya Papaku bisa menikah dengan Mamaku."
"Maafkan aku." jawab Hinata ragu. "Ayahku dan kakekmu sudah memutuskan sejak lama bahwa Papamu dan aku harus menikah, jauh sebelum kau lahir. Mungkin sejak aku masih kecil."
Nichi mengerutkan kening pada Hinata. "Anak kecil tidak boleh menikah."
"Tidak, memang tidak boleh." Hinata setuju. "Tapi kita diberitahu bahwa ketika kita cukup umur, kita akan menikah."
"Papaku tidak membutuhkanmu lagi." Nichi melanjutkan. "Dia punya aku dan Mama sekarang."
"Tidak ada yang mengira ini akan terjadi." Hinata menggelengkan kepalanya. "Tapi ini tidak mengubah fakta bahwa dia masih harus menikahiku. Aku tidak akan mencoba untuk mengambil Papamu. Aku akan membiarkan dia menghabiskan waktu bersamamu dan Mamamu. Dan mungkin kau bisa datang menginap bersama kami. Terutama ketika kami punya bayi. Kau pasti ingin menjadi kakak laki-laki, bukan?"
"Aku ingin Mama dan Papaku punya bayi." Nichi gerutu. "Bukan denganmu."
"Aku tidak tahu apakah itu akan terjadi." Hinata mengangkat bahu. "Tapi meskipun begitu, kau masih bisa menjadi kakak bagi bayiku juga."
"Apa kau dan Papaku akan membelikanku sepeda?" tanya Nichi.
"Jika itu yang kau inginkan, dan Papamu mengijinkan." ucap Hinata.
Nichi mempertimbangkan sejenak. "Aku tidak akan memanggilmu Mama." ucapnya pada Hinata, masih agak kesal.
"Kau tidak harus memanggilku begitu." Hinata meyakinkannya. "Kau bisa memanggilku bibi."
"Seperti aku memanggil Ino-basan?" Nichi tersenyum lebar.
"Ya." Hinata balas tersenyum.
"Apa kau mau membacakan cerita untukku?" tanya Nichi.
"Jika kau ingin, aku akan membacakannya." jawab Hinata.
"Apa kau suka bermain dengan kereta?" Nichi melanjutkan.
"Aku tidak tahu." Hinata menatap Nichi serius. "Aku belum pernah memiliki kereta mainan. Tapi kau bisa mengajariku."
"Baik." Nichi mengangguk. "Tapi aku masih tidak ingin kau menikah dengan Papaku."
"Aku tahu." Hinata memberitahu Nichi. "Tapi aku harus melakukannya."
"Jika kau tidak mau, kau bisa memberitahu Papaku." Nichi menyarankan. "Dia akan memberitahu ayahmu, dan kemudian kau tidak akan menikah."
"Aku berharap sesederhana itu." Hinata tersenyum pada Nichi dengan sedih.
"Papaku akan membantumu." Nichi bersikeras. "Dia tidak takut apapun..."
"Nichi!" Sakura menegur. "Kau tahu, kau seharusnya ikut denganku."
"Aku sedang berbicara dengan Hinata-basan." jawab Nichi. "Dia tidak ingin menikah dengan Papa, jadi aku memberitahunya..."
"Nichi!" Kali ini Sasuke lah yang menegur.
"Aku akan ikut Mama sekarang." Nichi menundukkan kepalanya.
Bocah itu dengan patuh menyeberangi ruangan dan meraih tangan ibunya. Tapi ia berhenti di pintu.
"Katakan pada Papa." Nichi berbisik pada Hinata.
Hinata tersenyum dan melambai pada Nichi ketika bocah itu dibawa pergi ibunya.
"Maaf, tentang semua ini." Sasuke memulai. "Hinata..." Ia mendesah lelah. "Pertama, aku akan berbicara dengan ayahmu. Aku ingin kau menyelesaikan kuliahmu."
Hinata mengangguk, masih memperhatikan Sasuke dengan tatapan tenang seperti yang biasa ia kenakan, tapi ada sedikit kelegaan di matanya.
"Aku perlu bicara denganmu tentang Nichi." Sasuke berjalan dan bersandar pada sisi jendela. "Dia bukan anakku. Sungguh. Ceritanya panjang. Tapi aku bersumpah aku mengatakan yang sebenarnya padamu."
"Aku percaya padamu, Sasuke." jawab Hinata dengan lembut.
"Baik." Sasuke mengangguk. "Selain itu, aku ingin kau mengerti bahwa Nichi akan menjadi bagian dari hidupku. Itu artinya ibunya kadang-kadang akan datang ke sini, tapi tidak terjadi apa-apa di antara kami."
Hinata mengangguk lagi. "Bukan hakku untuk memprotes apapun jika ada apa-apa diantara kalian."
Sasuke memandang Hinata dengan aneh. "Tentu saja itu hakmu. Kau akan menjadi istriku."
"Aku mengerti bahwa laki-laki kadang perlu mencari kepuasan di luar pernikahan." Hinata memerah dan menatap lantai.
Sasuke duduk di sofa di depan Hinata. "Mereka benar-benar mencuci otakmu? Apa itu sebabnya kau selalu bertindak seolah-olah kau hampir tidak berani untuk menjadi diri sendiri ketika kau di depanku, bukankah kau pintar?"
"Ibu selalu mengatakan bahwa pria lebih suka istri mereka kurang pintar." Hinata bergumam, masih belum berani memenuhi pandangan Sasuke.
Sasuke mendesah. "Pria lain boleh saja seperti itu, tapi aku menyukai percakapan yang cerdas. Aku akan sangat bangga memiliki istri yang pintar."
Hinata tersenyum malu-malu pada Sasuke.
"Aku tidak ingin kau takut padaku." Sasuke melanjutkan. "Aku belum pernah memukul seorang wanita, dan aku tidak berniat untuk memulainya sekarang."
Hinata menelan ludah dan mengangguk.
"Aku ingin kau bisa berbicara bebas denganku." Sasuke memberitahu Hinata.
Gadis itu mengangguk lagi.
"Jika tak masalah denganmu, aku akan meminta pada ayahmu untuk menunda pernikahan sampai kau lulus kuliah. Aku tidak ingin kau mengorbankan pendidikanmu karena sesuatu yang terjadi di luar sekolah." Sasuke menawarkan.
"Terima kasih." Hinata tersenyum lega. "Ibu telah berbicara tentang kemungkinan menikah sekitar Hari Paskah. Aku khawatir tentang kemungkinan mengalami morning sickness saat kuliah."
"Aku tidak akan melakukan itu padamu." ucap Sasuke pada Hinata. "Seandainya kita jadi menikah saat kau masih kuliah, kita tidak akan segera merencanakan tentang kehamilan."
Kerutan sesaat melintasi wajah Hinata. "Kupikir kau ingin mempunyai bayi secepatnya. Oh." Ia sedikit memerah. "Kau telah mempunyai Nichi, jadi..."
"Tidak, bukan itu." Sasuke menggelengkan kepalanya. "Kau masih sangat muda. Kita punya banyak waktu untuk merencanakan memiliki anak."
"Baiklah." Hinata mengangguk.
"Uchiha-san." Salah satu asistennya memanggil dari pintu. "Makan siang telah siap."
Sasuke berdiri dan mengangguk pada Hinata. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan siang lebih dulu?"
Sasuke membimbing Hinata ke ruang makan. Hinata menoleh pada Sasuke dengan heran. "Bukankah ibumu, Sakura, dan Nichi akan bergabung dengan kita?"
"Tidak." Sasuke menggelengkan kepalanya. "Ibuku baru saja kembali dari villa keluarga. Sakura baru saja keluar dari rumah sakit pagi ini. Dia masih sedikit tidak terbiasa dengan perubahan cuaca dan selain itu, dia dan Nichi butuh waktu bersama."
"Kuharap dia segera merasa lebih baik." gumam Hinata dengan sopan.
"Rumahnya terbakar. Karena itulah dia dan Nichi tinggal di sini sekarang. Mereka akan pindah begitu kami bisa menemukan tempat yang cocok untuk mereka." Sasuke memberitahu Hinata.
"Oh." Hinata mengangguk. "Untung saja mereka tidak terluka parah."
"Ya." Sasuke mengangguk sebagai balasan. "Hinata, ceritakan padaku sesuatu tentang dirimu. Kurasa selama ini kita tidak pernah benar-benar saling mengobrol."
"Aku tidak yakin apa yang harus kukatakan." Hinata mengerutkan kening.
"Apa yang suka kau kerjakan?" tanya Sasuke. "Kau suka Olahraga? Apa warna kesukaanmu?"
Hinata melipat tangannya di pangkuannya. "Aku suka membaca, dan aku suka musik. Setelah aku memiliki anak, aku ingin menghabiskan waktu bersama mereka, membesarkan mereka dengan cara yang tepat, tentu saja, tapi aku tidak akan mengabaikan waktu dengan suamiku. Aku tidak terlalu suka olahraga, tapi aku menyadari pentingnya hal itu. Warna favoritku adalah ungu, warna lambang keluarga Hyuga, keluarga bangsawan, tentu saja. Kau pasti tahu akan hal itu."
Sasuke menghela napas. "Jika tidak ada warna keluarga dan warna lambang bangsawan, dan kau diharuskan memilih warna yang kau suka, warna apa yang akan kau pilih?"
Hinata berpikir sejenak. "Kuning, karena cerah dan... bahagia. Aku tahu itu tidak masuk akal, tapi itu hanya..."
"Tidak," Sasuke tersenyum. "Aku mengerti apa yang kau maksud, dan aku setuju. Kupikir kuning adalah warna cerah dan bahagia. Apa yang biasanya kau lakukan di kampus?"
"Aku tidak banyak bersosialisasi di kampus." Hinata menunduk malu-malu.
"Tak masalah." komentar Sasuke.
Hinata mendongak dan tersenyum.
Setelah itu, obrolan ringan menjadi sedikit lebih mudah mengalir, mereka kebanyakan berbicara tentang orang yang mereka kenal dan keluarga mereka.
Setelah makan siang selesai, Sasuke membawa Hinata untuk berjalan-jalan ke ruang belajar Uchiha. Sasuke sibuk menulis email pada ayah Hinata tentang rencana menunda pernikahan mereka, sementara gadis itu terlihat tertarik dengan buku-buku di ruang belajar itu. Kemudian mereka kembali ke ruang tamu, mengobrol sedikit sebelum akhirnya Hinata berpamitan pulang.
Setelah mengantar Hinata ke pintu depan dan memastikan gadis itu memasuki mobil, Sasuke diam-diam berjalan menaiki tangga ke kamar Nichi. Bocah itu dan Sakura sedang duduk di karpet di meja kereta api. Sakura sedang makan, sementara Nichi berbicara dengan penuh semangat tentang keretanya. Sasuke berdiri di ambang pintu dan memperhatikan sebentar sebelum Nichi menyadari keberadaannya.
"Papa!" Bocah lelaki itu berlari, meraih tangan Sasuke, dan membawanya masuk ke kamar. "Apa Hinata-basan pulang?"
Sasuke mengangguk, "Ya, dia baru saja pulang."
"Oke." Nichi mengangguk. "Dia tidak ingin menikah denganmu. Aku tidak ingin kau menikah dengannya. Apa kau ingin menikah dengannya?"
"Aku wajib menikahinya. Tidak penting apakah aku mau atau tidak." jawab Sasuke.
"Dia menyuruhku memanggilnya Hinata-basan." ucap Nichi. "Dia bilang dia tidak akan membawamu pergi, tapi aku masih ingin kau menikah dengan Mama dan bukan Hinata-basan."
"Nichi," Sasuke menghela napas. "Aku tidak bisa menikahi ibumu."
"Kau bilang aku boleh meminta apapun yang kuinginkan ketika aku bersamamu." Nichi melipat tangannya dengan keras kepala.
"Menikahi seseorang tidak sama dengan halnya membelikanmu mainan atau permen." Sasuke membantah.
"Sudah waktunya tidur siang, ayo." Sakura memberitahu putranya.
"Kita harus berbelanja membeli pakaianmu, Mama." jawab Nichi dengan menantang.
"Setelah kau selesai tidur siang." ucap Sakura.
"Aku tidak ingin tidur siang." Nichi merengek.
"Kalau begitu kau tidak akan ikut berbelanja." Sakura mengangkat bahu.
"Baik, tapi aku ingin kau dan Papa tetap disini denganku." Nichi melompat ke tengah tempat tidur.
Sasuke duduk di satu sisi tempat tidur. "Nichi, hanya karena aku tidak menikahi ibumu, bukan berarti aku tidak menyayangimu." Ia menghela napas.
"Nichi, jika kau bersikap seperti ini, kau tidak akan menjadi anak yang baik." Sakura memberitahu anaknya dari sisi lain tempat tidur. "Kau tidak berdebat dengan orang lain seperti ini sebelum kau tinggal bersama Sasuke."
"Kita tidak punya Papa sebelumnya." Bocah itu menggerutu. "Aku hanya ingin memiliki Papa."
"Kau masih bisa memilikiku, Nichi." Sasuke meyakinkan. "Hanya karena ibumu dan aku tidak tinggal bersama, bukan berarti kita tidak bisa tetap menjadi keluarga."
"Tapi aku ingin keluarga!" Nichi menangis. "Papa, dan Mama, dan aku. Bersama. Dan bukan Hinata-basan. Dia bisa menjadi teman kita, tapi bukan istri Papa."
"Kami di sini sekarang." Sakura menenangkan, meringkuk di sebelah putranya.
Mereka bertiga berbaring di sana sampai Nichi tertidur. Sasuke bangkit dengan hati-hati, agar tidak mengganggu anak itu, dan Sakura turut bangkit sesudahnya.
Seolah dengan persetujuan bersama, mereka berdua melangkah pelan keluar kamar.
"Dia agak kewalahan menghadapi segalanya." Sakura mengamati.
"Aku tidak bermaksud membuatnya..."
"Kau sudah berusaha, Sasuke." Sakura mengangkat bahu. "Kau belum pernah bersama anak-anak sebelumnya, tapi kau berusaha dengan yang satu ini. Kau mungkin tidak melakukan semuanya dengan benar, tapi ini lebih baik daripada tidak mencoba sama sekali."
Sasuke mengangguk. "Apa semuanya memuaskan dengan kamarmu?"
"Aku benar-benar menghargai semua yang telah kau lakukan untuk kami." Sakura memberitahu Sasuke, mereka berhenti di pintu kamar Sakura.
"Baiklah kalau begitu, beritahu aku nanti jika kalian siap pergi berbelanja." Sasuke mundur selangkah. "Aku sudah menyuruh Aiko untuk mengambilkan pakaian ibuku untuk kau pakai sementara."
"Tentu. Terima kasih." Sakura mengangguk dan tersenyum.
Sasuke berbalik dan berjalan ke lantai bawah, tidak benar-benar yakin apa yang harus dilakukan dengan dirinya sendiri bersama ibu Nichi di sana. Ia menyadari bahwa hidupnya sekarang bukan hanya sekadar tentang pekerjaan.
Sasuke melangkah ke ruang kerjanya untuk mengecek email yang ia kirimkan pada Hyuga Hiashi apakah telah mendapat balasan. Ia duduk di mejanya dan membuka satu email yang belum dibaca.
Uchiha Sasuke,
Aku mengerti maksudmu bahwa istri yang berpendidikan dan pandai berbicara akan menjadi aset bagi bisnismu, tapi aku masih percaya bahwa pendidikan untuk ibu rumah tangga sedikit tidak diperlukan. Namun, jika itu yang kau inginkan, aku dan istriku akan mendaftarkan Hinata kembali untuk melanjutkan kuliahnya. Mungkin kita bisa bertemu setelah liburan Natal, untuk mengatur ulang tanggal pernikahan. Tampaknya agak berlebihan jika menunda pernikahan hingga Hinata lulus kuliah. Sudahkah kau mempertimbangkan kemungkinan menikah di Hari Paskah? Aku yakin tidak akan menjadi masalah bagi Hinata untuk cuti sebentar. Ini akan memberimu cukup kesempatan untuk melahirkan ahli waris pada akhir tahun depan. Aku dan istriku ingin mengundangmu untuk makan malam sebelum Hinata kembali ke Osaka. Aku akan memberitahumu dalam satu atau dua hari lagi setelah kami menentukan hari untuk makan malam bersama.
Semoga kau sehat dan sejahtera,
Hyuga Hiashi
Sasuke menggelengkan kepalanya membaca email itu, tak mengherankan bahwa Hinata dikondisikan sedemikian rupa sehingga tidak memiliki aspirasi dalam hidup selain menjadi istri yang sempurna.
Sasuke menghela napas, ia pergi ke perpustakaan untuk mencari buku, tapi tidak menemukan sesuatu yang menarik minatnya.
Akhirnya langkahnya membawanya ke taman belakang rumahnya, berjalan tanpa tujuan, sampai ia mendapati Sakura duduk di tepi kolam.
"Oh maaf, Sasuke." ucap Sakura sedikit terkejut. "Aku tidak tau kau kemari."
"Tidak, tidak apa-apa." Sasuke menggelengkan kepalanya. "Buat dirimu senang dengan apapun atau di manapun yang kau mau selama di sini."
"Kau baik sekali." jawab Sakura, memiringkan kepalanya untuk menatap Sasuke. "Kau tidak seperti di sekolah. Kau banyak berubah."
"Kita semua punya kesempatan untuk berubah." Sasuke menghela napas.
"Ya." Sakura setuju. "Semoga kau berhasil mencari solusi dengan apapun yang ada dalam pikiranmu."
Sakura berbalik untuk melihat ke kolam lagi.
Sasuke tak bertanya mengapa Sakura bisa menduga bahwa ada sesuatu di pikirannya, atau apa yang begitu menarik di air hingga gadis itu betah memandangi kolam. Ia berjalan kembali ke rumah, dan duduk di kamarnya, memandang ke luar jendela, sampai tak terasa 40 menit berlalu dan Ayame datang memberitahunya bahwa Sakura dan Nichi sudah siap pergi berbelanja.
Sasuke segera mencuci wajahnya dan berganti pakaian sebelum turun ke lantai bawah untuk menemui mereka.
Nichi mengerutkan kening ketika melihat Sasuke. "Papa, apa kau tidak tidur siang? Kau terlihat kusut?"
Sasuke tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja."
"Mungkin kau harus makan marshmallow." Nichi menyarankan. "Itu bisa membuatmu merasa lebih baik."
"Mungkin nanti." Sasuke mengangguk.
Kemudian mereka bersama-sama melangkah keluar rumah dan melesat ke mall di pusat kota menggunakan salah satu mobil milik Sasuke.
***
Setelah membelikan Sakura ponsel, yang mana gadis itu awalnya menolak, tapi berkat Sasuke yang kekeuh memaksa, akhirnya Sakura setuju. Kini mereka berjalan menuju toko-toko pakaian.
"Madame Belle atau Suncity?" tanya Sasuke. "Aku punya akun di kedua butik itu."
"Apa kau keberatan jika aku pergi ke tempat lain?" tanya Sakura.
"Apapun yang kau inginkan." Sasuke mengangkat bahu.
Sakura mengajak ke sebuah toko dua pintu bernama Flafaworks.
"Sakura, kau tak perlu berbelanja di sini." Sasuke mengerutkan kening. "Kita akan membeli pakaian baru."
"Aku suka barang-barang ini." Sakura tersenyum menuju ke jumper bergaris merah muda dan ungu.
Toko itu menjual pakaian bekas, yang membuat Sasuke jengkel. Meskipun pakaian disana tampak bagus dan layak pakai, tetap saja itu pakaian bekas. Sakura berkeliling di sana, memilih celana jeans dan jumper dan atasan dengan pola berani dan banyak warna.
"Kau harus membeli setidaknya beberapa gaun." Sasuke bersikeras.
"Kenapa?" tanya Sakura.
"Karena kau mungkin harus pergi makan malam atau pesta yang menyenangkan, dan kau perlu sesuatu untuk dikenakan."
Sakura menggelengkan kepalanya. "Aku tidak yakin aku akan diundang ke hal seperti itu." Ia mengangkat bahu.
"Bagaimana jika Nichi yang mendapat undangannya?" Sasuke memaksa. "Kau mungkin harus pergi bersamanya dan tampil berbeda."
"Aku tidak terlalu mengkhawatirkan tentang apa yang orang lain katakan." Sakura memberitahu Sasuke, ia berjalan ke rak pakaian. Yang pertama yang ia pilih adalah dress selutut warna kuning terang.
"Aku akan membuat kesepakatan denganmu." Sasuke menawarkan. "Biarkan aku memilihkan satu gaun untukmu."
"Baiklah." Sakura setuju.
Sasuke mengamati rak pakaian sampai ia menemukan gaun panjang biru polos. Dengan potongan sederhana, tali tipis dan bentuk leher berenda kecil. "Yang ini." Ia mengulurkannya pada Sakura.
"Aku akan mencobanya sekarang." Sakura melihat tumpukan pakaian yang telah ia kumpulkan.
Sasuke menoleh ke arah Nichi, yang berputar-putar bosan di kursi tempat ia disuruh menunggu. "Aku akan mengajaknya jalan-jalan. Berapa lama kira-kira kau akan selesai?"
"Sepuluh atau lima belas menit, mungkin." Sakura menyipit ke tumpukan pakaian yang ia pilih. "Tapi ada ruang mainan di belakang. Kau bisa membawanya ke sana."
"Kenapa kau tidak mengatakan itu sejam yang lalu." Sasuke menggerutu.
Sasuke dan Nichi pergi ke ruang mainan, di mana mereka menemukan satu set katak mainan. Nichi terkikik gembira saat katak itu bisa melompat ketika ia mencoba menangkapnya.
"Aku butuh ini, Papa!" Nichi berseru.
"Baiklah." Sasuke mengangguk sambil tersenyum.
Setelahnya, karyawan toko itu membungkus paket mainan Nichi dan kemudian barang Sakura. Sasuke menandatangani slip tagihan, dan meminta agar semuanya dikirim ke Mansion Uchiha.
Mereka bertiga berbalik ke arah pintu, mendiskusikan ke mana tujuan mereka selanjutnya. Pintu terbuka, dan Hyuga Hinata masuk.
"Oh, halo." Hinata tergagap, sedikit memerah.
"Senang bertemu denganmu lagi." Sakura tersenyum.
"Ayahmu mengirimiku email bahwa kau akan kembali ke Osaka." ucap Sasuke.
"Ya, sekarang aku sedang mencari beberapa barang yang kubutuhkan untuk kubawa kesana." Hinata mengangguk. "Aku ke sini sebelumnya dan melihat sebuah kaos. Aku tidak membelinya saat itu, tapi kurasa sekarang aku memang menginginkannya."
"Aku menyukai kaos vintage di sini." komentar Sakura.
Hinata sedikit tersenyum. "Aku mencari yang Snow White dan Seven Dwarfs."
Sakura mengangguk, "Aku melihatnya tadi."
Kedua wanita muda itu pergi bersama mencari kaos yang di maksud, sementara Sasuke dan Nichi kembali ke ruang mainan.
Mereka bermain saling serang menggunakan ular mainan ketika Sakura dan Hinata menghampiri mereka.
"Kami sudah menemukan kaos yang dicari Hinata." Sakura memberitahu mereka, sementara Hinata mengangkat kantong kaos yang di maksud.
"Papa, aku lapar. Bisakah kita makan keripik ikan?" tanya Nichi.
"Keripik ikan juga favoritku." Hinata memberitahu bocah itu.
"Ayo, kita makan bersama, Hinata-basan." undang Nichi.
Sasuke menatap bocah itu sesaat. "Ya, Hinata, apa kau mau bergabung dengan kami?"
Hinata memandang mereka dengan ragu-ragu sejenak, sampai Sakura menimpali.
"Ya, ikutlah dengan kami."
"Baiklah, dengan senang hati." Hinata mengangguk dan tersenyum.
Mereka kembali ke restoran yang sama, lagi-lagi duduk di dekat akuarium. Sakura dan Hinata, keduanya sepertinya menyukai hal yang sama, segera menemukan selusin topik untuk dibicarakan yang tidak diketahui oleh Sasuke. Sedangkan Nichi sekali lagi sibuk dengan ikan di akuarium.
Sasuke duduk dan melihat sekeliling ruangan, bertanya-tanya berapa lama gosip akan sampai ke telinga ibunya bahwa ia makan malam dengan Hinata dan Sakura, dan dua gadis itu bertingkah seperti teman lama yang baru saja bertemu.
***
To be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)