Yamanaka Miyumi menggendong bocah laki-laki yang masih tampak mengantuk ke lantai bawah. Bocah itu langsung melebarkan matanya ketika melihat dua pria di ruang tamu.
"Hai Shikamaru-jisan! Hai, Mister! Apa kau membawakanku sepeda?" Nichi bergerak semangat di pelukan Miyumi.
"Tidak hari ini." Sasuke tersenyum. "Tapi aku mungkin akan membawamu untuk menaikinya nanti."
"Yay!" Bocah itu bersorak.
"Kau akan tinggal di rumahku selama beberapa hari sampai ibumu merasa lebih baik." Sasuke memberitahu.
Bocah itu mengerutkan kening dan melihat sekelilingnya untuk sesaat. "Kupikir aku akan tinggal bersama Miyumi-baasan dan Inoichi-jiisan."
"Semua rencana berubah." Sasuke memberitahu bocah itu. "Tapi kita akan bersenang-senang, kau mau?"
"Oke!" Nichi tersenyum lagi.
Miyumi menurunkan Nichi dan menyerahkan dua potong pakaian pada Sasuke. "Ini piyamanya."
Sasuke mengamati Nichi lebih dekat. Anak itu mengenakan kaos biru longgar, celana panjang longgar yang agak terlalu panjang, dan bertelanjang kaki, menggenggam boneka beruang yang tampak lusuh.
"Apa dia tidak memiliki pakaian yang lain?" Sasuke mengerutkan kening.
Shikamaru memandang dengan aneh. "Rumahnya terbakar pagi ini. Mereka kehilangan segalanya. Itulah sebabnya Sakura terluka. Dia membawa Nichi keluar dan mencoba masuk untuk menyelamatkan beberapa barang."
"Oh." Beberapa ekspresi melintasi wajah Sasuke. "Apa dia bisa menyelamatkan banyak barang?"
"Tidak juga." Miyumi menggelengkan kepalanya. "Dia berhasil menyelamatkan beberapa foto orang tuanya, beberapa hal kecil. Tapi semua pakaian dan mainan Nichi kecuali beruang ini hilang."
"Kita harus membeli beberapa barang baru." Sasuke berlutut di depan bocah itu. "Kau mau belanja?"
"Oke." Nichi mengangkat bahu. "Bisa kita pergi ke toko permen?"
"Tentu, tapi jika kau menjadi anak yang baik saat kita berbelanja." Sasuke mengangguk.
Nichi menyeringai lebar. "Aku akan sangat, sangat baik, Mister."
"Namaku Sasuke." Sasuke memberi tahu anak itu.
"Oke, Mister Sasuke." Nichi menjawab dengan patuh.
"Tidak, bukan Mister Sasuke. Tapi Sasuke-nii." Sasuke menggelengkan kepalanya.
Nichi mengerutkan kening. "Tapi-"
"Kau sudah berjanji menjadi anak baik, Nichi." Sasuke mengingatkan bocah itu. Dan Nichi hanya menatapnya dengan ragu. "Apa kau sudah siap?"
Nichi berbalik dan memeluk kaki Miyumi. "Sampai jumpa, Miyumi-baasan."
Miyumi mengangkat Nichi, mencium pipinya, dan menasehatinya untuk menjadi anak yang baik selama bersama Sasuke. Ia menyerahkan anak itu pada Shikamaru, yang melakukan hal yang sama. Shikamaru kemudian menyerahkan anak itu pada Sasuke, yang buru-buru memasukkan piyama Nichi ke kantong karton dan menggendong Nichi ke dalam pelukannya.
Sasuke melangkah keluar rumah bersama Nichi, mendudukkan bocah itu di kursi penumpang dan kantong karton di kursi belakang. Ia masuk ke sisi kemudi dan melesat keluar dari halaman Yamanaka menuju pusat kota.
***
Kehadiran mereka di toko menarik perhatian karyawan toko, yang semuanya segera menawarkan layanan mereka. Sasuke memesan satu paket pakaian untuk seusia Nichi yang terdiri dari berbagai macam model, termasuk pakaian yang cocok untuk musim dingin mendatang.
Sasuke kembali mengingatkan bahwa jika Nichi bertingkah baik, mereka akan pergi ke toko permen. Anak itu berdiri dengan tenang saat diukur dan mencoba berbagai pakaian.
Akhirnya, ketika salah satu karyawan mencobakan kemeja biru tua pada bocah itu, Sasuke melihat anak itu mengerutkan kening. "Apa kau tidak menyukainya?" tanya Sasuke.
Bocah itu mendongak tak menentu. "Aku akan mengotori ini ketika aku bermain dan Mama akan mengatakan 'Oh, Nichi-kun'."
Sasuke tersenyum. "Pakaian ini bukan untuk bermain. Ini dipakai ketika kau harus pergi ke suatu tempat. Kita akan membeli pakaian lain agar Mama tidak keberatan jika kau mengotorinya."
Salah satu karyawan membawakan beberapa contoh pakaian. "Ini beberapa pola yang kami miliki untuk piyama seusianya."
"Kau suka yang mana, Nichi?" tanya Sasuke. "Yang bola basket, anak anjing, kereta?"
"Apa mereka punya Thomas Engine Tank?" Nichi menatap Sasuke dengan sedih. "Pakaian Thomasku terbakar."
Sasuke menatap ke arah karyawan.
"Kami tidak memiliki Thomas Engine Tank, tapi jika kau mengunjungi toko kami yang satu lagi, kami menjual kereta Thomas mainan, dan beberapa kaosnya disana." Seorang karyawan pria memberi tahu mereka.
Nichi memandang Sasuke dengan penuh harap.
Sasuke mengangguk. "Ayo kita selesaikan di sini, kemudian kita akan membeli kaos Thomas baru disana."
"Yay!" Nichi melompat-lompat, mencemaskan para karyawan.
"Dia juga perlu pakaian dalam dan kaos kaki." Sasuke mengingatkan karyawan itu.
"Aku memakai celana anak laki-laki besar." Nichi berseru dengan bangga. "Juga di malam hari."
"Kau memakai apa?" Sasuke menaikkan alisnya.
"Aku memakai celana anak laki-laki besar." Nichi mengulangi. "Aku tidak memakai popok seperti Shikadai. Inojin juga memakainya di malam hari karena dia sering mengompol di tempat tidur, tapi aku tidak."
"Oh, terima kasih, Tuhan." Sasuke mengubur wajahnya di tangannya.
Mereka akhirnya selesai dengan berbagai macam pakaian baru untuk Nichi, Sasuke meminta karyawan toko untuk mengirimkan semua barang-barang mereka langsung ke Mansion Uchiha. Ia juga memesan kemeja dan denim untuk dipakai Nichi saat itu juga, memastikan bocah itu mengenakan pakaian yang lebih sesuai untuk seorang keturunan Uchiha muda yang berdarah bangsawan.
Meraih tangan Nichi, keduanya berjalan menuju toko mainan. Nichi tiba-tiba menarik lepas tangannya dari genggaman Sasuke dan berlari melesat ke toko lain.
"Jiraiya-jiisan!" Nichi berseru, nyengir.
"Nichi!" Sasuke berbicara dengan tajam, mengikuti bocah itu ke sebuah toko buku. "Jangan lari dariku seperti itu."
"Maafkan aku." Nichi tampak menyesal sesaat, lalu memeluk kaki penjaga toko itu. "Tapi aku dan Mama selalu pergi menemui Jiraiya-jiisan."
Sasuke mendongak, menemukan pria itu melempar tatapan permusuhan. "Kau memanfaatkan kepolosan gadis itu, dan sekarang kau telah mengambil anaknya." Suara Jiraiya mengejutkan Sasuke, ditambah sorot keganasan di matanya.
"Tidak seperti itu." Sasuke memprotes. "Aku hanya mengawasinya sampai ibunya membaik. Rumah mereka terbakar dan dia terluka."
Wajah Jiraiya menjadi semakin curiga. "Rumahnya terbakar?"
"Itu kecelakaan." Sasuke menegaskan, bertanya-tanya mengapa ia harus repot-repot membenarkan dirinya di depan pria ini.
"Dan ini juga hasil kecelakaan anak yang datang ke sini berpakaian mirip sepertimu." Pria paruh baya itu memiringkan kepalanya ke arah Nichi.
Sasuke mendengus. "Ayo, Nichi. Kita harus pergi ke toko mainan, ingat?"
"Kita harus pergi, Jiraiya-jiisan." Nichi memberitahu Jiraiya dengan ekspresi yang serius.
"Tidak apa-apa, Nichi-kun." Jiraiya menepuk kepala anak itu dengan sayang. "Kau dan ibumu bisa kembali kapan-kapan. Aku yakin ayahmu adalah pria yang sibuk." Ia melirik Sasuke.
"Aku bukan-" Sasuke secara otomatis memprotes, tapi dengan cepat terputus. Ia yakin lelaki tua itu tidak akan mau mendengarkan apapun.
Mereka meninggalkan toko buku itu, kemudian berjalan masuk ke toko mainan. Nichi berjalan perlahan, matanya berbinar, ia berjalan ke meja berisi kereta besar di bagian belakang toko, di mana anak-anak dari segala usia bisa mendorong kereta itu di trek.
"Yang mana Thomas?" tanya Sasuke, berlutut di samping Nichi. Bocah itu menunjuk ke kereta biru yang didorong oleh anak lelaki lain.
"Itu Thomas. Yang itu juga biru, tapi dia Edward. Dan yang merah adalah James dan yang hijau adalah Percy dan yang kotak itu Toby dan busnya adalah Bertie."
"Kau sangat tahu tentang mereka." Sasuke tersenyum pada Nichi.
"Mama meminjamkanku buku Thomas di perpustakaan dan kami membacanya di malam hari. Shikadai punya meja kereta api dan banyak kereta. Aku akan bermain dengan mereka ketika aku pergi ke rumah Shikamaru-jisan." Nichi memberitahu Sasuke. "Tapi dia selalu bermain dengan Thomas dan membuatku bermain dengan James atau Percy."
"Apa kau ingin punya kereta Thomas sendiri?" tanya Sasuke.
Nichi mengangguk begitu keras, sungguh mengherankan kepalanya tidak lepas.
Sasuke memanggil karyawan toko dengan isyarat tangannya. "Kami pesan meja kereta, dan semua kereta apinya."
Mata karyawan itu melebar. "Ada sembilan puluh tujuh kereta dalam seri lengkapnya."
"Apa aku bertanya?" Sasuke mengangkat bahu. "Apa kalian punya semuanya, atau apa kalian hanya bisa mengirimkan beberapa dari mereka pada kami?"
"Kami setidaknya punya satu dari setiap kereta. Aku akan membuat notanya, dan jika ada yang tidak ada, kami akan memberitahumu."
Sasuke mengangguk setuju, dan karyawan itu menghilang ke ruang belakang. "Nichi, apa kau ingin melihat kaosnya?" tanya Sasuke.
Bocah itu dengan patuh berjalan dan mengamati tiga desain kaos, sebelum dengan malu-malu memberitahu Sasuke, "Aku suka yang paling bagus."
"Kau tidak ingin punya semuanya?" Sasuke mengerutkan kening.
"Mama selalu mengijinkanku memilih satu. Atau terkadang dia mengatakan 'tidak hari ini'." jawab Nichi dengan sikap seriusnya.
Sasuke berlutut di depan Nichi. "Ketika kau bersamaku, kau bisa membeli apapun yang kau mau. Jika kau ingin ketiga kaos itu, kau boleh memilikinya. Apa kau mau?"
Nichi mengangguk ragu. Sasuke mengangkat dua ukuran berbeda untuk menimbang yang mana yang Nichi butuhkan, dan kemudian mengambil masing-masing satu dari setiap desain dalam ukuran itu.
"Apa kau juga ingin memilih beberapa bukunya?" Sasuke membawa bocah itu ke rak buku.
"Berapa buku yang boleh aku pilih?" tanya Nichi dengan mata berbinar.
"Sebanyak yang kau inginkan." Sasuke mengangkat bahu.
Nichi memilih empat buku.
"Apa itu saja yang kau inginkan?" tanya Sasuke.
"Cukup untuk hari ini." Nichi mengangguk memberitahu Sasuke.
Sasuke membayar pembeliannya, meminta agar barang-barang itu dikirim ke Mansion Uchiha.
"Boleh aku memakai ini sekarang?" tanya Nichi, seraya memegang salah satu kaos.
Sasuke membawa Nichi ke toilet pria, dan membantu bocah itu memakai kaos di balik kemejanya.
"Sekarang apa?" Sasuke memakaikan kemeja Nichi tanpa mengancingnya dan merapikan rambut bocah itu.
"Aku tidak punya camilan setelah tidur siang." Nichi memberitahu Sasuke.
"Dan kurasa kau lapar." Sasuke menegakkan tubuhnya dan menatap bocah lelaki itu, yang mengangguk penuh semangat. "Apa yang biasanya Mama berikan untuk camilanmu?"
Sasuke meraih tangan bocah itu dan membawanya keluar dari toko mainan.
"Cokelat!" jawab Nichi dengan antusias.
"Benarkah?" Sasuke mengangkat alis ke arah Nichi.
"Itu pun jika kami punya cokelat." Nichi menghela napas. "Tapi kebanyakan roti panggang buah atau keju."
"Aku akan membuat kesepakatan denganmu." Sasuke menawarkan. "Kita akan pergi makan lebih dulu. Kalau kau mau memakan makananmu, kita akan membeli permen."
Nichi mengangguk dan melompat-lompat semangat. Sasuke mengangkat tangannya untuk menunjukkan bahwa ia belum selesai dengan kalimatnya. "Dan jika kau menghabiskan semua makan malammu, kau boleh mendapatkan lebih banyak permen setelah makan malam."
Nichi melingkarkan lengannya di sekitar kaki Sasuke. Sasuke berpikir bahwa merawat anak-anak tidaklah sesulit yang dirasakan Yamanaka Miyumi dan Nara Shikamaru.
"Tapi," Sasuke melanjutkan, setelah melepas lengan bocah itu. "Kau harus berjanji tidak akan lari seperti yang kau lakukan di toko buku tadi."
"Aku janji." jawab Nichi dengan sungguh-sungguh. "Tapi aku dan Mama selalu pergi menemui Jiraiya-jiisan."
"Aku tidak tahu itu." Sasuke mengangkat bahu. "Jadi kau harus memberitahuku dulu. Oke?"
"Oke." Nichi mengangguk.
Sasuke meraih tangan Nichi dan membawa bocah itu menuju salah satu resto, di mana ia memesan susu cokelat untuk Nichi dan teh untuk dirinya sendiri. Pelayan resto itu memberitahu bahwa mereka baru saja mengeluarkan muffin keping cokelat dari oven, dan Sasuke memutuskan untuk memesan dua.
Nichi menelan muffinnya dan meminum susunya seolah ia belum makan dalam seminggu. Sasuke membuat catatan mental agar seseorang mengajarkan anak itu tentang sopan santun di meja makan.
"Apa ada hal lain lagi yang kau inginkan?" Sasuke memotong muffinnya dan memberikannya pada Nichi, yang sedang menatap piring Sasuke. "Atau kau ingin langsung membeli permen dan kemudian ke rumahku untuk bermain dengan keretamu?"
"Bisakah kita membeli hadiah untuk Mama?" tanya Nichi dengan malu-malu.
"Akan kupastikan kita membelikannya pakaian baru ketika dia keluar dari rumah sakit." Sasuke berjanji. "Aku belum tahu ukuran apa yang biasa dia pakai. Apa kau ingin membeli bunga dan mengirimnya ke rumah sakit?"
Nichi mengerutkan kening. "Mama tidak suka memotong bunga dan membawanya ke rumah. Itu membuat bunganya mati."
Sasuke mengangguk. "Aku mengerti. Bagaimana jika kita memberinya bunga bersama potnya? Kemudian di musim semi dia bisa memindahkannya, menanamnya di luar dan bunga itu bisa terus tumbuh."
"Oke!" Nichi setuju.
Setelah selesai dengan makanan mereka, mereka pergi ke sebuah kedai besar yang menjual berbagai jenis bunga, Akasuna Florist, yang letaknya tak jauh dari resto tempat mereka makan. Mereka berjalan melewati dua rak tanaman di mana kau boleh memotongnya sendiri di deretan tanaman pot.
"Aku suka yang itu." Nichi menunjuk pada bunga aster.
"Oke, tapi mana yang menurutmu disukai Mama?" tanya Sasuke, mencoba mengarahkan anak itu menuju pilihan yang bagus.
"Yang itu." jawab Nichi dengan keras kepala, meraih satu pot bunga aster.
"Bukankah anggrek itu cantik?" Sasuke mengambil bunga aster dari jangkauan bocah itu.
"Tidak." Nichi melipat tangan kecilnya. "Mama suka yang ini."
Pemilik toko menghampiri mereka, dan Sasuke mengumpati dirinya sendiri karena tidak menyadari nama toko itu menunjukkan siapa pemiliknya.
Akasuna Sasori.
Jika Sasuke tak salah, lelaki berambut merah itu adalah teman satu kelas Sakura dulu di sekolah.
"Ada yang bisa kubantu, Uchiha?" Sasori menatap Sasuke dengan tenang.
"Aku ingin bunga itu untuk Mama. Dia ada di rumah sakit." sahut Nichi, memutus tatapan Sasori ke arah Sasuke.
"Aster sangat cantik, dan juga sangat berguna. Setidaknya ada tujuh belas obat yang menggunakan akar aster sebagai bahannya." Sasori berlutut di depan Nichi, lalu menatap Sasuke.
"Ya, aku sangat tahu itu." Sasuke memutar matanya. "Tapi kurasa dia mungkin menyukai sesuatu yang tidak begitu... biasa."
"Istrimu mungkin menyukai sesuatu yang sederhana." Sasori berdiri, meraih pot bunga aster.
"Dia bukan istri-" jawab Sasuke otomatis, tapi berhenti saat menyadari bagaimana anehnya itu terdengar. Ia menghela napas, menatap Nichi. "Baiklah, jika kau benar-benar berpikir bahwa Mama akan menyukainya..."
Nichi menyeringai pada Sasuke dengan penuh kemenangan.
Sasuke membayar tanaman itu dan meminta agar dikirim ke rumah sakit atas nama Sakura.
Sasori melotot kaget mendengarnya, tapi kemudian mengangguk dan menuliskan instruksi Sasuke.
Sasuke dan Nichi meninggalkan kedai bunga dan berjalan ke toko sebelahnya. Mata Nichi melebar dan ia berjalan mengelilingi toko dengan khidmat, melihat setiap toples permen.
"Apa kesukaanmu?" tanya Sasuke.
"Marshmallow." jawab Nichi semangat. "Dan aku suka Lollipop dan Jelly Beans, dan Candy Bar, dan banyak lagi." ucapnya antusias, matanya melebar.
"Aku juga suka Marshmallow," Sasuke tersenyum, mengambil beberapa paket Marshmallow. "Apa kau pernah makan Botan Rice Candy?" Ia menambahkan beberapa kotak itu ke keranjangnya ketika Nichi menggelengkan kepalanya. "Aku yakin kau akan menyukainya juga." Ia mengambil sekotak Candy Bar, serta Jelly Beans dan Lollipop.
"Apa mereka punya cokelat dengan selai kacang?" Nichi melihat sekeliling.
"Apa itu?" Sasuke mengerutkan kening.
"Itu cokelat." Nichi menjelaskan. "Ada selai kacang di tengahnya. Inoichi-jiisan kadang-kadang memberiku itu."
"Itu terdengar seperti Reeses." Sasuke mengangguk, menambahkan satu paket Reeses Peanut ke keranjang mereka.
Setelah mereka selesai, Sasuke meminta sebagian besar dikirim langsung ke Mansion Uchiha. Dan membawa beberapa kotak marshmallow sendiri.
"Apa kau pernah ke toko basket?" tanya Sasuke ketika mereka meninggalkan toko permen.
Nichi menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu ada toko untuk basket."
Mata Sasuke melebar. "Apa kau pernah melihat pertandingan basket?"
"Hanya ketika Sai-jisan dan yang lain memainkannya di halaman rumah Shikamaru-jisan." Nichi mengangkat bahu. "Kata Shikamaru-jisan ketika aku bertambah besar, dia akan membawaku untuk melihat Lakers bermain."
"Tidak perlu menunggumu besar." Sasuke memberitahu Nichi. "Aku bahkan tidak ingat pertandingan basket pertama yang kulihat, aku masih sangat kecil."
Sasuke membawa Nichi ke toko Perlengkapan Basket dan menghabiskan dua jam berikutnya untuk menjelaskan tentang permainan, peralatan, aturan, dan posisi terbaik di dalam basket.
Nichi menyerap semua informasi itu seperti spons, dan keluar toko dengan membawa sekantong kaos Michael Jordan, dan juga mendapat janji dari Sasuke yang akan berbicara dengan Sakura tentang rencana membelikannya sepeda yang cocok untuk seusianya.
Sasuke tidak menyadari sudah berapa lama mereka berada di toko, dan sedikit terkejut karena gelap menyambut mereka ketika keluar toko.
Sasuke membawa Nichi ke sebuah restoran. Bocah itu mengambil menu dan melihatnya. Ia meletakkannya di atas meja dan menunjuk. "Boleh aku memesan sup dan sandwich keju? Sup ayam, bukan sup ikan."
Mata Sasuke melebar ketika ia menyadari bahwa Nichi sedang menunjuk ke bagian menu tanpa gambar. "Kau bisa membaca itu?"
Nichi mengerutkan kening pada Sasuke dan mengangguk.
"Tapi kau belum genap empat tahun! Kapan kau belajar membaca?" Sasuke memprotes.
"Aku tidak tahu." Nichi mengangkat bahu. "Aku dan Mama selalu membaca cerita."
Pelayan menghampiri dan Sasuke memandang Nichi. "Apa hanya itu yang kau inginkan? Hanya sup dan sandwich keju?"
"Aku akan memakan semua makananku jadi aku bisa makan permen." Nichi menyeringai ke arah Sasuke.
Sasuke tertawa, menggelengkan kepalanya melihat bagaimana anak keturunan Uchiha bertingkah.
Sasuke memesan keripik ikan untuk dirinya sendiri, dan ketika makanan datang, ia meyakinkan Nichi untuk mencoba makanannya, meyakinkan bocah itu bahwa ikan ini tidak terasa seperti sup ikan sungai yang berlendir.
Sasuke akhirnya makan malam dengan sup ayam dan sandwich keju milik Nichi, sementara Nichi makan lebih dari setengah keripik ikan milik Sasuke.
Sasuke memutuskan bahwa Nichi sudah cukup pantas untuk mendapatkan permennya, karena bocah itu telah makan lebih dari setengah porsi dewasa miliknya.
Nichi dengan sengaja memencet marshmallow beberapa kali di tangannya sebelum cekikikan, dan memasukkannya ke dalam mulutnya. "Miyumi-baasan selalu memarahiku jika aku memainkan marshmallow seperti ini."
Sasuke mengangguk pelan.
"Apa kau sedang sedih?" tanya Nichi saat melihat Sasuke menatap keluar jendela, wajah bocah itu kusut karena khawatir.
"Tidak juga." Sasuke berusaha tersenyum pada Nichi. "Aku hanya sedang berpikir tentang hal-hal buruk yang terjadi dulu."
"Hal-hal buruk juga terjadi pada Mama." Nichi mengaku sedih.
Sasuke mengerutkan kening. "Kenapa kau berbicara begitu?"
"Aku kadang-kadang mendengar Mama berbicara pada Miyumi-baasan atau Ino-basan atau Shikamaru-jisan." Nichi menatap Sasuke. "Mereka selalu berhenti bicara ketika mereka melihatku, tapi sesuatu yang buruk pasti terjadi dan membuat Mama sedih."
"Banyak hal buruk telah terjadi." ucap Sasuke, dan sekali lagi, berusaha tersenyum. "Tapi semuanya sudah berakhir sekarang, dan hal-hal baik akan terjadi. Seperti aku yang bisa menghabiskan waktu bersamamu."
"Mama bilang buku-buku tua selalu mengatakan kalau semua itu terjadi karena suatu hal tidak akan datang untuk menetap." Nichi menatap Sasuke dengan tatapan mata lebar milik Sakura.
"Kedengarannya seperti sesuatu yang selalu dikatakan Mama." ucap Sasuke menggelengkan kepalanya, ia tak terkejut jika Sakura berkata begitu mengingat gadis itu memang suka membaca buku saat di sekolah. Ia kemudian menaruh beberapa lembar uang di atas meja, dan meraih tangan Nichi, berjalan menuju parkiran mobil.
Mereka sampai di Mansion Uchiha 15 menit kemudian. Saat memasuki mansion, Nichi menunjuk ke lukisan di atas perapian. "Apa itu keluargamu?" Bocah itu memiringkan kepalanya.
"Ya," Sasuke mengangguk, menggendong Nichi. "Ini ayahku, dan ini ibuku, dan ini kakakku, dan ini aku ketika di tahun pertama sekolah."
"Dimana mereka?" Nichi menguap dan meletakkan kepalanya di bahu Sasuke.
"Ibuku tinggal di rumah kami di dekat pantai. Ayah dan kakakku meninggal."
"Kau punya rumah lain?" Nichi mengerutkan kening.
"Kami punya banyak rumah." Sasuke mengangguk. "Aku bahkan tidak tahu di mana saja."
"Apa Papamu orang baik?" Nichi melanjutkan.
"Tidak juga." Sasuke mendengus.
"Itu menyeramkan." Nichi mengeratkan lengannya di leher Sasuke. "Saat aku punya Papa nanti, aku ingin dia bersikap baik."
Sasuke membawa Nichi ke lantai atas, ke kamar tidur yang paling dekat dengan kamarnya sendiri, ia telah meminta para asisten rumahnya untuk mengaturnya sebagai kamar anak-anak.
Meja kereta sudah diatur di satu sisi ruangan, dan berbagai jenis permen yang mereka beli ada di meja di ujung tempat tidur. Semua pakaian telah tertata rapi di lemari. Dan boneka beruang cokelat milik Nichi juga berada di tempat tidur.
"Brown!" Nichi berlari dan menyambar boneka itu dari tempat tidur, lalu berjalan ke meja tempat permen-permennya menunggu.
"Yang mana cokelat dan selai kacang?" tanya Nichi pada Sasuke.
Sasuke membuka bungkus Reeses untuk Nichi. Ia juga membuka Jelly Beans, kemudian Candy Bar, dan Marshmallow, yang membuat Nichi bersorak, melompat turun dan duduk di karpet.
"Ini yang terakhir untuk malam ini." ucap Sasuke, menyerahkan Botan Rice Candy pada Nichi. Ia memanggil asisten rumahnya dan tak butuh waktu lama mereka muncul.
"Bawa ini ke dapur dan bersihkan." Ia menginstruksikan asisten rumahnya itu. "Ini Nichi. Dia akan tinggal di sini selama beberapa hari. Nichi, ini Aiko dan Ayame. Mereka sudah bekerja untuk keluargaku sejak lama."
"Hai, Nichi-kun, aku Aiko dan ini Ayame, jika kau butuh sesuatu, katakan saja pada kami."
Nichi memandang Aiko dan Ayame yang tersenyum ramah padanya, kemudian kembali menatap Sasuke. "Kau punya dua asisten? Apa kau tidak bisa mengurus rumah sendiri? Mama suka mengerjakan tugas rumah sendiri."
Sasuke memutar matanya. "Aku tidak bisa. Aku sibuk bekerja di kantor. Lagipula rumah ini besar, aku tidak bisa mengatur waktu antara bekerja di kantor dan membereskan rumah."
"Oh, oke." Nichi mengangguk dengan serius.
Setelah Aiko dan Ayame pergi, Sasuke menyiapkan sepasang piyama untuk Nichi. Ia membantu bocah itu melepas kemeja dan celananya. Nichi kemudian mulai mengenakan piyamanya, tanpa melepas kaos Thomas Tank Engine-nya.
"Nichi, lepaskan kaosnya. Ini waktunya tidur."
"Tidaaaaaak!" Bocah itu merengek, melipat tangannya di dada. "Aku tidak ingin ini terbakar!"
Sasuke mendesah. "Rumah ini tidak akan terbakar."
Nichi terlihat tidak yakin.
"Baiklah. Kau boleh tidur memakai kaos itu." Sasuke mendengus, membantu bocah itu memakai piyamanya. Kemudian mereka membaca buku Thomas, dengan Nichi yang hampir berhasil membaca sebanyak Sasuke.
Akhirnya, Sasuke menggendong bocah itu ke tengah tempat tidur. Nichi melingkarkan lengannya di leher Sasuke, memeluknya dan mencium pipinya. "Selamat malam, Mister Sasuke."
Tercengang sebentar, Sasuke memeluk Nichi kembali, mencium kening bocah itu. "Selamat malam, Nichi."
Sasuke mematikan lampu dan menutup pintunya. Ia pergi ke kamarnya sendiri, duduk di depan perapian dan mulai membaca sebuah buku.
Lima belas menit kemudian, ia mendengar suara cekikikan yang datang dari ujung lorong. Ia bangkit dan berjalan pelan ke kamar Nichi, membuka pintu diam-diam. Nichi sedang melompat-lompat di atas tempat tidur, tertawa, sedangkan Aiko dan Ayame tampak kesulitan untuk menenangkan bocah itu.
"Nichi!" Sasuke memanggil dengan tajam. Ia kemudian menatap Aiko dan Ayame bergantian, "Apa yang terjadi?"
"Nichi-kun tidak mau tidur." jawab Ayame dengan sopan.
"Seharusnya ini waktu istirahat kalian." Sasuke bergumam. "Kembalilah ke kamar kalian, biar Nichi aku yang mengurusnya."
"Baik, Uchiha-san." Ayame dan Aiko segera melangkah keluar dari kamar Nichi.
"Aku tidak mengantuk sama sekali." ucap Nichi pada Sasuke. "Bisakah kita naik sepeda milikmu sekarang?"
"Tidak, kita tidak bisa naik sepeda sekarang. Sekarang jam sembilan lebih. Kau harus tidur." Sasuke mendengus.
Ia menunggu Nichi kembali ke bawah selimut dan meringkuk dengan bonekanya. Ia berbalik dan mulai pergi, tapi suara Nichi menghentikannya.
"Apa itu Uchiha?"
Sasuke berbalik kembali ke arah bocah itu. "Apa?"
"Ayame-basan memanggilmu Uchiha. Apa itu Uchiha?" Bocah itu mengulangi.
"Itu nama keluarga kami. Namaku Uchiha Sasuke." Sasuke duduk di tepi tempat tidur. "Kau juga seorang Uchiha."
"Tapi namaku Haruno Nichi." Bocah itu mengerutkan kening.
"Tapi kau juga seorang Uchiha." Sasuke memberitahu Nichi. "Kau adik laki-lakiku."
"Bagaimana bisa?" Wajah kecil itu mengerut dalam kebingungan. "Aku masih kecil dan kau sudah besar. Kau punya Mama dan Papa di foto dan aku hanya punya Mama."
"Bagaimana kalau aku memberitahumu bahwa ayahku adalah ayahmu?" tanya Sasuke.
Nichi tampak tercengang dan menggelengkan kepalanya. "Mama bilang aku tidak punya Papa. Dan aku tidak ingin Papa yang kejam."
Sasuke mendesah. "Pernah kau mendengar tentang adopsi?"
Nichi menggelengkan kepalanya.
"Adopsi adalah ketika kau ingin orang lain menjadi keluargamu. Kurasa seperti yang dilakukan ibumu dengan Miyumi-baasan. Dia bukan benar-benar keluargamu, tapi dia dan ibumu memutuskan untuk menjadi sebuah keluarga." Sasuke berhenti ketika Nichi mengangguk, mencoba menilai pemahaman bocah itu. "Aku ingin kau menjadi saudaraku. Apa kau mau menjadi saudaraku?"
"Tidak." Nichi menggelengkan kepalanya. "Aku ingin kau menjadi Papaku dan mengajariku menaiki sepeda."
Sasuke mengusap wajahnya. "Mamamu mungkin tidak ingin aku menjadi Papamu."
"Aku akan berbicara dengan Mama tentang hal itu." jawab Nichi seolah semuanya sesederhana itu.
"Ada yang lebih dari sekedar mengajari menaiki sepeda untuk menjadi seorang Papa." Sasuke memberitahu bocah itu. "Aku mungkin tidak akan bisa menjadi Papa yang sangat baik."
"Aku akan mengajarimu." Nichi mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk tangan Sasuke.
Sasuke menahan bibirnya untuk tidak tertawa. "Kita akan membicarakan semua itu ketika Mamamu membaik. Sekarang tidurlah."
"Apa Mama mendapat bayi lagi?" tanya Nichi.
"Tidak." Sasuke menatap bocah itu, bingung. "Kenapa kau berpikir begitu?"
"Karena Temari-basan pergi ke rumah sakit dan dia pulang ke rumah membawa Shikadai." Nichi menjelaskan.
"Ada banyak alasan bagi orang untuk pergi ke rumah sakit." Sasuke memberitahunya. "Mamamu ada di sana karena api mengenai tubuhnya dan dia menghirup asap terlalu banyak. Itu membuatnya sakit. Itu menimbulkan batuk dan dada akan terasa sakit."
"Apa kau juga pernah menghirup asap terlalu banyak?" Nichi memiringkan kepalanya.
"Ya." Sasuke mengangguk.
"Rumahmu juga terbakar?" Bocah itu melanjutkan.
"Bukan, itu bukan rumahku. Lebih baik sekarang kau tidur."
Nichi berbaring, Sasuke kembali meninggalkan kamar dan menutup pintu.
Setengah jam kemudian, ia mendengar pembicaraan dari kamar Nichi. Ia berjalan kembali ke kamar bocah itu dan menemukan Nichi keluar dari tempat tidur lagi, kali ini bermain dengan kereta.
"...kau bawa mobil-mobil pengangkut ke laut. James, kau kembali ke stasiun." Nichi memutar kereta merah satu arah.
"Nichi!" ucap Sasuke tegas. "Aku menyuruhmu untuk tidur!"
"Tapi aku tidak mengantuk." Nichi memprotes.
"Aku tidak bertanya apa kau mengantuk, aku mengatakan padamu untuk pergi tidur!" Sasuke membentak. "Kita sudah membaca cerita pengantar tidurmu! Apa Mamamu memberimu obat tidur atau sesuatu yang lain?"
Bibir Nichi mulai bergetar dan matanya dipenuhi air mata. "Aku ingin Mama." Ia meratap.
"Berhenti menangis." Sasuke menggerutu. "Mama ada di rumah sakit. Dia akan pulang beberapa hari lagi."
Nichi mulai menangis dengan serius, isak tangisnya mengeras dengan air mata mengalir di wajahnya. "Aku ingin pulang dan aku ingin Mama."
Sasuke mendesah, berjalan mendekat untuk duduk di samping bocah itu. Ia mencoba menarik Nichi ke pangkuannya, tapi bocah itu mendorongnya.
"Tidak! Aku ingin pulang dan aku ingin Mama!"
"Nichi, kau tidak bisa pulang. Rumahmu terbakar. Dan Mama sedang sakit. Kau akan kembali ke Mama setelah dia membaik." Sasuke mencoba menenangkan.
"Aku tidak ingin rumahku terbakar!" Bocah itu menangis. "Dan aku ingin Mama sekarang!"
Sasuke mencoba menghibur bocah itu, tapi Nichi terus mendorongnya, dan menangis lebih keras ketika Sasuke memerintahkannya untuk berhenti menangis.
Akhirnya ia menghela napas, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ia meminta Aiko untuk menemani Nichi selama beberapa menit sementara ia berjalan mengambil ponselnya. Ia tidak akan menghubungi siapapun yang bernama Yamanaka atau Nara. Ia juga tak akan menghubungi teman-temannya, tak satu pun dari teman-temannya memiliki anak.
Ia akhirnya memutuskan untuk menghubungi ibunya melalui videocall. Berharap ibunya secara singkat akan menjelaskan situasinya padanya.
"Uchiha Sasuke, kau telah kehilangan akal sehatmu." ucap ibunya dari seberang sana. "Pertama, kau memutuskan untuk mengambil hak asuh seorang anak yang tidak kau kenal ketika kau bahkan belum pernah memiliki hewan peliharaan selama hidupmu, dan kedua, kau menghubungiku, mengharapkanku untuk membantumu menghadapi seorang anak dari suamiku bersama wanita lain saat dia masih terikat denganku!"
"Kaasan," Sasuke mendesah. "Aku minta maaf. Aku tidak memikirkan itu. Tapi apa yang harus kulakukan terhadap Nichi sekarang? Dia tak mau berhenti menangis."
Mikoto melunak, menggelengkan kepalanya. "Sasuke-kun, dia berumur sekitar tiga tahun. Dia berada di tempat yang asing baginya, dengan seseorang yang dia hampir tidak kenal, jauh dari semua orang dan semua yang dia kenal. Anak itu ketakutan." Sasuke mengangguk, cukup merasa dikritik. "Bawa dia ke keluarga Yamanaka atau orang lain yang dia kenal. Dia masih akan marah, tapi akan lebih baik jika dia setidaknya berada di lingkungan yang akrab atau dengan orang-orang yang akrab dengannya. Kau mungkin bisa menenangkannya disana dan membawanya pulang kembali, atau kau mungkin harus membiarkannya menghabiskan malam di sana dan menjemputnya keesokan paginya."
"Bagaimana dengan dia yang tidak mau tidur?" tanya Sasuke. "Bisakah aku memberikan obat tidur untuk anak kecil?"
"Kau tidak boleh melakukannya." Mikoto mengerutkan kening. "Apa yang kau berikan padanya untuk makan malam?"
"Dia makan hampir setengah keripik ikan porsiku." jawab Sasuke, tidak mengerti mengapa ibunya bertanya tentang hal itu. "Lalu dia memakan permen."
Mikoto memutar matanya. "Berapa banyak permen?"
"Sangat banyak, sebenarnya." Sasuke mengakui.
"Antara berada di tempat yang asing dan terlalu banyak makanan manis, tak heran anak itu tidak akan tidur." Mikoto melipat tangannya. "Dia mungkin kelelahan tapi tidak bisa tidur karena terlalu banyak permen. Itu juga akan membuatnya rewel. Bawa dia ke keluarga Yamanaka dan beri dia susu hangat. Dia mungkin akan langsung tidur."
"Terima kasih, Kaasan." Sasuke mengucapkan selamat malam dan mengakhiri sambungan videocall.
Ia pergi ke kamar Nichi, di mana anak itu masih menangis. Ia harus meminta bantuan, tapi ia akan terkutuk jika ia pergi ke keluarga Yamanaka. Ia menyuruh Aiko untuk menemani Nichi, dan melangkah cepat ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Ia kembali dan menarik Nichi ke dalam pelukannya, bocah itu tetap berusaha mendorongnya. "Bagaimana jika aku membawamu menemui Mama?"
Nichi berhenti melawan dan mengangguk pelan. "Aku ingin bertemu Mama."
Sasuke membawa Nichi ke lantai bawah dan melangkah keluar menuju mobilnya, mereka berdua melesat menuju rumah sakit dimana Sakura dirawat.
Sesampainya di rumah sakit, Sasuke berjalan ke meja resepsionis dan menanyakan nomor kamar Sakura.
"Tiga belas." ucap wanita itu memberitahunya. "Tapi jam berkunjung sudah berakhir pukul delapan."
"Terima kasih." Sasuke mengangguk dan menuju lift.
"Sir, kau tidak boleh naik ke sana." Wanita itu bergegas keluar dari balik meja resepsionis.
"Anak ini," Sasuke memiringkan kepalanya ke arah Nichi. "Perlu bertemu Mamanya."
"Dia bisa mengunjunginya di pagi hari." Wanita itu mengusulkan. "Jam berkunjung sudah berakhir untuk malam ini."
Sasuke meyakinkan wanita itu. "Tapi dia harus menemui ibunya."
Nichi menangis lebih keras.
"Sir, jika kau tidak pergi, aku akan memanggil polisi." wanita itu melipat tangannya.
"Baik, panggil mereka." Sasuke mengangkat bahu. "Apa kau ingin menghubungi Nara Shikamaru?" Ia menggendong Nichi dan menekan tombol lift. "Ketika dia tiba di sini, suruh dia ke kamar tiga belas."
Sasuke melangkah ke lift dan menahan napas sampai pintu tertutup. Rupanya wanita itu tidak melakukan apapun untuk mencoba menghentikannya, karena lift itu bergetar dan mulai bergemuruh naik ke atas.
Mereka akhirnya menemukan kamar Sakura, dan Sasuke segera membuka pintunya. Gadis itu berbaring di tempat tidur, hampir hanya diterangi oleh cahaya yang masuk dari koridor.
"Mama!" Nichi berseru.
Sakura perlahan duduk tegak di tempat tidur. "Nichi-kun?"
Sasuke membawa bocah itu ke samping tempat tidur. Sakura mengulurkan lengannya yang yamg masih dibalut, Sasuke menempatkan Nichi di tepi tempat tidur di samping Sakura. Bocah itu melingkarkan lengannya di leher Sakura dan meringkuk di dekat ibunya itu.
"Aku sayang Mama. Aku ingin bertemu Mama."
"Aku juga menyayangimu, Nichi-kun." Sakura merapikan rambut anaknya. "Di mana Miyumi-baasan?"
"Dia ada di rumahnya." Nichi bergumam di leher Sakura. "Aku tinggal di rumah Mister Sasuke. Dia membelikanku baju Thomas baru dan meja kereta seperti milik Shikadai dan banyak permen. Dan aku suka keripik ikan. Rasanya tidak seperti sup ikan."
"Itu bagus, Sayang." Sakura berbaring di tempat tidur, memeluk Nichi di sampingnya. "Aku harap kau mengucapkan terima kasih pada Mister Sasuke atas semuanya." Ia memberi Sasuke tatapan yang membuat lelaki itu sangat tidak nyaman.
Nichi menguap. "Terima kasih, Mister." Ia membenamkan diri ke selimut, kepalanya berbaring di bahu ibunya dan matanya mulai terpejam. Dalam beberapa menit, Nichi tertidur di pelukan Sakura.
"Kau pikir kau menang, bukan?" tanya Sakura pada Sasuke.
***
To be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)