Sakura sedang berada di kantornya sore itu ketika ia mendapat telepon yang tak nyaman dari kantor polisi.
Saat mengemudi ke kantor polisi dengan kecemasan memuncak, ia tidak bisa memikirkan skenario kasus yang lebih buruk. Ia tidak pernah mendapat telepon dari kantor polisi untuk datang menyelamatkan kekasihnya sendiri.
Sampai di sana, ada hal yang lebih mengejutkannya, ia menemukan mantan suaminya di kantor polisi dalam pemeriksaan dengan bungkus es di atas wajahnya yang memar.
Pada titik ini, Sakura sangat bingung. Bagaimana mungkin kekasih dan mantan suaminya berada di tempat yang sama dan pada saat yang sama?
"Apa yang sedang terjadi?" tanya Sakura ketika ia berjalan menuju Sasori, menyela percakapan pria itu dengan petugas.
"Ma'am, kita sedang di tengah-tengah interogasi." jawab petugas itu.
Sasori mengernyit saat ia melepaskan bungkusan es dari rahangnya. "Tidak apa-apa." ucapnya. "Bisa beri kami waktu sebentar?"
Petugas itu mengangguk. "Tentu. Kami akan menyelesaikan pernyataanmu nanti."
Petugas itu berjalan pergi, hanya tersisa Sakura dan Sasori. Ketegangan yang canggung di antara mereka seakan bisa diiris dengan pisau. Ini adalah pertama kalinya sejak perceraian mereka dalam satu atau dua minggu terakhir mereka bertemu satu sama lain.
"Kenapa kau di sini?" tanya Sakura, menyatakan keingintahuannya.
"Kau pikir kenapa?" Sasori menjawab dengan sinis.
Sakura mengangkat bahu. Yang ia tahu penyebabnya bisa apa saja. Mungkin saja Sasori masuk ke gaya hidup mucikari untuk mencari nafkah. Bukan tidak mungkin bagi seseorang dengan riwayat pecandu seks. "Maaf aku tidak tahu?"
"Oke, kekasihmu mengirim banyak orang untuk memukulku dan kemudian dia sendiri menyerangku dengan sangat brutal." Sasori menunjuk ke mata hitamnya dan tulang rusuknya yang memar. "Apa itu sesuatu yang membuatmu bersimpati?"
Sakura menghela nafas.
Ini pasti tidak serius.
"Kau bercanda, kan?" ucap Sakura.
Sasori menggelengkan kepalanya. "Oh, tidak. Aku tidak bercanda denganmu. Aku dipukuli hampir setengah mati oleh kekasihmu, dan percayalah bahwa aku akan mengajukan tuntutan hukum padanya dan memastikan dia membayar untuk ini."
Penjara.
Itu sama sekali tidak terdengar menyenangkan. Hukuman terburuk yang bisa dijatuhkan pada Sasuke adalah enam hingga delapan bulan penjara dengan catatan kriminal permanen selama sisa hidupnya.
Ya. Itu cukup buruk.
"Dengar, aku tidak akan membenarkan dia melakukan ini padamu, tapi tolong, aku mohon padamu untuk membatalkan tuntutan ini." ucap Sakura.
Sasori tertawa. Jujur, seberapa lucu wanita didepannya ini?
"Kau ingin aku membatalkan tuntutan?" Sasori mengulangi.
Sakura mengangguk. "Ya." jawabnya.
"Dan kenapa aku harus melakukan itu?" tanya Sasori.
"Kau berhutang budi padaku, penis kecil!" desis Sakura berbisik, takut menarik perhatian.
"Oh benarkah?" tanya Sasori.
"Ya. Jangan menjatuhkan dakwaan terhadapnya, aku punya cukup bukti untuk mengirimmu juga ke penjara karena kau dengan berani bermain tangan padaku. Mungkin kalian bisa menjadi teman satu sel, kau tahu, mungkin kau bisa menjadi karung tinjunya sampai dia keluar karena aku bisa meyakinkanmu, dia sangat protektif."
Sasori tidak bisa mempercayainya. Sakura bertindak seolah-olah dia tidak pernah mengikatnya ke tempat tidur dan menyiksanya dengan lilin atau menamparnya dan meninggalkannya dalam keadaan terikat di rumah. Mungkin dia juga lupa bahwa dia menghancurkan hidupnya dengan semua tagihan itu.
Tapi setelah melihat sisi gelap Sakura, Sasori sekarang tahu apa yang mampu dilakukan mantan istrinya itu dan ia tahu lebih baik daripada siapapun bahwa Sakura bukan hanya mengancam.
"Kau penyihir."
"Dia memiliki tangan kanan yang luar biasa. Kau harus memeriksakan rahangmu."
***
Dua jam di kantor polisi dan Sakura tidak sabar untuk pulang. Meskipun Sasuke sudah bebas tuntutan, ia masih sangat kesal pada pria itu. Sasuke tidak punya hak, sama sekali tidak punya hak untuk berurusan dengan Sasori.
Bagaimana mereka bisa saling kenal?
Sebenarnya, Sakura bahkan tidak ingin tahu.
Geng, pengeroyokan, itu bukan gaya Sasuke dan itu membuat Sakura lebih kesal lagi.
"Bisa kau memperlambat mobilnya?" tanya Sasuke.
"Jangan bicara padaku." Sakura bergumam. Ia sangat marah karena Sasuke melakukan sesuatu yang menurutnya sangat bodoh.
Ketika Sasuke mencoba memegang tangan Sakura, wanita itu menolak untuk disentuh.
Sasuke meminta maaf lebih dari seribu kali selama perjalanan mobil mereka. Selebihnya, ia tidak bicara banyak karena sebenarnya ia merasa senang telah berhasil menghancurkan Sasori sekalipun itu berarti ia akan masuk penjara untuk sementara waktu. Ia tidak menyesal tentang hal itu karena jika ia tidak melakukannya, ia mungkin tidak akan merasa puas seumur hidupnya.
Sasuke meminta maaf pada Sakura karena ia tidak ingin menjadi brengsek dimata wanita itu, tapi ia juga mengancam Sasori untuk tidak meletakkan tangannya sembarangan pada wanita, siapapun itu.
Itu benar-benar tidak sopan dan ia tidak main-main jika menyangkut dengan kekerasan dalam rumah tangga.
***
Menepi di jalan masuk rumah, Sakura keluar dari mobil tanpa mengatakan apapun pada Sasuke. Sasuke mengikuti Sakura, pakaiannya penuh dengan noda darah, ia menutup pintu mobil dan mencoba mengejar ketertinggalannya dengan Sakura.
"Bicara padaku, Sakura," Sasuke meraih lengan Sakura. "Kau tidak bisa mengabaikanku selamanya."
Itu sangat benar karena mereka memang hidup bersama.
"Kau masuk kantor polisi hari ini, Sasuke," Sakura mengingatkannya. "Karena memukuli mantan suamiku, apa kau menyalahkanku karena aku merasa kesal?"
"Sudah kubilang, aku minta maaf karena membuatmu kesal tapi aku tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa aku menikmati ini."
Sakura memutar matanya. Itu masalahnya; Sasuke tampak begitu ceroboh.
"Bagaimana jika dia tidak menarik kembali tuntutannya terhadapmu, huh?" tanya Sakura.
"Aku tidak peduli." ucap Sasuke.
"Itu masalahnya!" teriak Sakura. "Kau tidak peduli tapi aku peduli! Aku secara spesifik memintamu untuk melupakannya, aku percaya kau tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh tapi kau mengecewakanku sekarang."
Sakura terdengar sangat kecewa.
"Sial, Sakura, dengarkan aku!" Sasuke berbicara melalui giginya yang terkatup. "Aku minta maaf, tapi aku tidak melakukannya karena aku merasa harus melakukannya; aku melakukannya karena aku menginginkannya!"
"Apa?" tanya Sakura, menggelengkan kepalanya.
"Aku bisa menangani banyak hal sendiri, Sakura." Sasuke memulai. "Aku bisa menangani banyak hal, tapi semua itu ada batasnya dan ketika ini menyangkut tentangmu, segala hal berubah menjadi lebih pribadi. Bajingan itu bermain tangan padamu dan itu menggangguku, dan aku harus melakukan sesuatu tentang hal itu." ucapnya. "Dan aku tahu kau memintaku untuk melupakannya, jadi aku minta maaf jika aku membuatmu kesal dan mengecewakanmu, tapi itu adalah sesuatu yang harus aku lakukan untuk memuaskan bagian pikiranku sendiri, untuk memastikan orang ini mendapatkan pelajarannya. Aku terlalu protektif, ini sudah menjadi masalah sebelumnya, aku minta maaf aku tidak bisa mengubah itu karena itulah satu-satunya cara yang kutahu bagaimana menunjukkan padamu bahwa aku peduli."
Sasuke menarik Sakura ke dadanya dan melingkarkan lengannya di pinggang kecil wanita itu ketika tangan lainnya membelai pipi wanita itu. "Bahkan jika itu berarti aku akan dipenjara. Untukmu, aku akan melakukan apa saja karena tidak ada yang bisa menghalangiku ketika itu menyangkut tentang dirimu."
Sekarang setelah Sasuke menjelaskannya, Sakura bisa melihat darimana akar masalahnya. Ia senang Sasuke sangat peduli padanya, tapi itu masih belum benar.
"Aku mengerti," Sakura menahan kembali air matanya. "Aku mengerti bahwa kau terlalu protektif dan menginginkan yang terbaik untukku, tapi kau tidak harus mengorbankan dirimu masuk penjara untukku. Aku tahu siapa dirimu. Kau tak perlu masuk penjara hanya untuk membuktikan padaku bahwa kau peduli." ucapnya.
"Baik." Sasuke tersenyum. "Itu tidak akan terjadi lagi." Ia mencium lembut bibir Sakura seraya terus membelai rambut wanita itu. "Dan aku minta maaf."
Sakura mengerang. Bagaimana ia bisa marah terlalu lama pada seseorang yang begitu sempurna ini?
Sasuke mengecup bibir Sakura berulang kali sebelum menggendongnya ala bridal style.
"Kita harus berkemas untuk akhir pekan ini." Sakura bergumam di antara ciuman mereka ketika mereka bergerak menyusuri lorong menuju kamar tidur.
"Aku tahu," Sasuke menggigit bibir bawah Sakura. "Tapi kita masih punya banyak waktu dan aku butuh mandi." Itu benar. Sasuke tampak acak-acakan. Dan Sakura benar-benar butuh berada dipelukan pria itu.
Setelah hari yang panjang, terus terang Sakura membutuhkan Sasuke lebih dari apapun, ia tak bisa membayangkan dirinya menangis sendiri di kamar karena Sasuke bisa saja berada di penjara.
***
Sayang sekali, Naruto tak bisa hadir di akhir pekan, di pernikahan Ino dan Sai. Meskipun Naruto benar-benar berharap untuk bisa pergi ke pesta pernikahan dan bersenang-senang, namun istrinya diperkirakan akan melahirkan dalam minggu ini dan ia tidak bisa pergi meninggalkan istrinya.
Sakura dan Sasuke kini telah menaiki taksi keluar dari bandara, ini benar-benar mulai membuat Sakura gugup. Ia takut tapi ia menyadari bahwa ia tidak bisa mundur dari ini sekarang. Akhir pekan ini pasti akan terasa panjang.
Sudah begitu lama, Sakura hanya bisa membayangkan seperti apa penampilan Ino sekarang dan ia tak yakin apakah ia siap menghadapi semua orang yang ia tinggalkan sembilan tahun lalu. Belajar dari pengalaman, ia sudah tahu betapa sulitnya bagi Sasuke dan mereka masih berusaha untuk memperbaiki keadaan. Meskipun Ino sensitif dan emosional, tapi Ino adalah sahabatnya dan Sakura tahu pasti bahwa ia nanti harus menjawab banyak pertanyaan yang bahkan mungkin ia sendiri tidak tahu jawabannya.
"Apa kau baik baik saja?" tanya Sasuke dengan cemas ketika tangan Sakura mulai gemetar.
Sakura mengangguk ragu di pundak Sasuke. Sasuke mengenal Sakura lebih baik daripada siapapun dan wanita itu selalu menjadi pembohong yang gagal didepan Sasuke.
"Tidak." jawab Sakura akhirnya.
Tempat ini membawa begitu banyak kenangan yang luar biasa. Ini adalah rumahnya, ia dibesarkan di kota ini, ia menciptakan kenangan paling berharga di sini, dan yang terpenting ia bertemu pria impiannya di sini. Setelah sembilan tahun, tidak ada yang benar-benar dapat menyalahkannya karena sedikit emosional.
"Apa yang aku janjikan padamu saat kita berada di pesawat?" tanya Sasuke.
Sakura menggigit bibirnya. "Kau berjanji akan mendukungku sepanjang akhir pekan ini."
Dan Sakura menghargai dukungan yang Sasuke berikan, tapi apapun yang terjadi antara ia dan Ino akhir pekan ini, tidak ada yang bisa Sasuke lakukan untuk menghentikannya. Itu yang Sakura takutkan.
"Benar," Sasuke mengangguk. "Dan apa aku menepati janjiku?" tanyanya.
"Kau selalu melakukannya." ucap Sakura.
"Baik," Sasuke dengan lembut mengecup bibir Sakura. "Aku selalu disampingmu."
Mengetahui hal itu, Sakura merasa sedikit nyaman.
***
Mereka seharusnya langsung pergi ke villa sewaan untuk pernikahan. Semua keluarga dekat akan berada di sana selama seminggu untuk melakukan sisa persiapan dari perencanaan pernikahan pada hari Sabtu.
Itu adalah rencana sejak awal, tapi Sasuke bisa mengerti bahwa Sakura membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dirinya, dan sejujurnya, Sasuke merasa sedikit jetlag.
Taksi berhenti di kondominium Sasuke di Osaka. Meskipun sudah lama, tempat itu masih cukup baik. Ketika ia pindah ke Tokyo, ia menyerahkannya pada Shikamaru untuk mengawasinya.
Tempat itu bukan tempat yang mewah. Tapi terlihat nyaman dan cukup rapi.
Bagian terbaiknya adalah ketika mereka sampai di kamar tidur. Sakura hampir terasa seperti bisa bernafas lagi ketika ia melompat ke atas kasur king-size dan membenamkan wajahnya di bantal.
Sasuke bergabung dengan Sakura, memeluk dan membelai rambut wanita itu.
"Kau ingin sesuatu untuk dimakan?" tanya Sasuke ketika ia mengusap perut Sakura yang rata dari balik kain bajunya.
Sasuke hanya berpikir mungkin saja Sakura menginginkan sesuatu. Wanita itu sangat cemas tentang perjalanan ini sehingga dia benar-benar tidak makan apapun sejak mereka naik ke pesawat.
Sakura menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tak menginginkan apapun saat ini. Ia hanya ingin beristirahat dan memiliki waktu sebanyak mungkin karena sekarang ia kembali ke kota asalnya, ia akan bertemu dengan teman-teman lamanya, dan itu tidak akan bisa dihindari.
Sasuke mencium leher Sakura seraya terus mengusap perut wanita itu.
"Jam berapa kau memberitahu ibumu kau akan sampai di sini?" tanya Sakura.
"Tidak untuk tiga atau empat jam lagi." Sasuke bergumam di leher Sakura.
Sakura mengangguk sambil menghela nafas lelah. "Baiklah." ucapnya sambil menarik selimut ke atas kaki mereka.
Sakura berpikir bahwa mungkin jika ia cukup istirahat, sepanjang minggu ini akan sedikit berkurang rasa lelahnya. "Peluk aku erat-erat dan jangan lepaskan, Sasuke-kun."
Sasuke dengan senang hati melakukan itu, mereka segera tertidur karena kelelahan akibat penerbangan mereka.
***
"Sakura, cepatlah!" Sasuke memanggil dari kamar tidur.
Mereka ketiduran dan ponsel Sasuke tidak berhenti berdering sejak saat itu. Semua panggilan berasal dari ibu Sasuke, yang ingin memastikan bahwa Sasuke sudah sampai di kota dan akan datang ke villa untuk makan malam sebelum pesta bridal shower Ino dimulai.
Sasuke sangat siap, tapi tidak dengan Sakura. Sakura telah mengganti pakaiannya lima kali dalam setengah jam terakhir dan masing-masing terlihat bagus bagi Sasuke, tapi Sakura terobsesi untuk terlihat sempurna dimata semua orang setelah sembilan tahun berlalu.
Sakura akhirnya memilih gaun hitam dan sepasang high heels bertali. Rambutnya ditarik ke belakang menjadi sebuah sanggul yang sedikit diberantakan; riasannya dibuat sesempurna yang ia bisa dengan lipstik beraroma ceri berwarna berani.
Sakura melangkah mendekati Sasuke saat ia memakai beberapa aksesoris perhiasan di tangannya. "Apa ini terlihat bagus?" tanyanya lagi.
Sasuke memutar matanya. Demi Tuhan... untuk yang kesejuta kali, ya!
"Bisakah kita pergi sekarang?"
***
Kira-kira perjalanan menempuh tiga puluh menit untuk sampai di villa.
Rumah itu besar dengan tempat parkir luas dan rumput hijau segar - sangat indah!
Sejujurnya, Sakura tidak mengharapkan apapun dari Ino. Mungkin beberapa hal tidak pernah berubah.
Ketika mereka berhenti di tempat parkir, Sakura bisa mengetahui bahwa banyak perencanaan yang masih berjalan karena terdapat banyak mobil pengantar di tempat parkir.
Detak jantung Sakura hampir tidak bisa diajak kompromi, ini menakutkan. Ia berkeringat dan ia tidak bisa lari dari ini.
Sebentar lagi, ia akan masuk ke rumah itu dan ia jujur tidak tahu apa yang harus diharapkan. Ia sangat gugup.
Sasuke mengerti dan ia memberi Sakura waktu untuk menyiapkan diri, menarik napas dalam-dalam dan menyiapkan hal yang tidak terduga karena Sasuke tahu seberapa besar hal ini.
Ini tidak seperti Sakura pergi selama sembilan bulan. Ini sembilan tahun yang kita bicarakan. Hampir satu dekade.
Sasuke meraih tangan Sakura yang gemetar dan meremasnya pelan. "Kau siap?"
Sakura mengangguk. "Ya." jawabnya.
Tidak. Itu kebohongan besar.
"Ayo, kita lakukan ini sebelum aku berubah pikiran." Sakura menambahkan dengan berani.
Berjalan masuk ke dalam rumah, Sakura merasakan semua jenis emosi. Ia merasa harus buang air kecil, tapi ia tahu ia tak perlu melakukannya. Insting pertamanya adalah berlari keluar, naik taksi, dan mendapatkan jadwal pesawat pertama yang tersedia untuk kembali ke Tokyo.
Tapi ia tidak bisa melakukan itu karena Sasuke tepat di sampingnya. Lengan pria itu melilit di sekitar pinggangnya saat pria itu membimbingnya memasuki rumah yang ramai.
"Kau akan baik-baik saja. Aku di sini." Sasuke berbisik di telinga Sakura dan mencium pipi wanita itu.
Hal itu cukup menghibur Sakura sampai matanya melakukan kontak dengan seorang wanita berambut pirang, bermata biru dan seluruh dunianya terasa terbalik dan jatuh menimpa dirinya dalam sekejap.
Senyum cerah yang ada di wajah wanita pirang itu tepat sebelum mata mereka bertemu berubah ngeri, mata birunya melebar karena terkejut dan meneteskan air mata.
Dan itu meyakinkan Sakura bahwa itu adalah dia. Dia tidak lagi berusia tujuh belas tahun.
Dia adalah Yamanaka Ino, wanita berusia dua puluh enam tahun yang akan menikah dalam beberapa hari lagi.
Dan dia tampak seperti baru saja melihat hantu.
Sakura tak mengira ada orang yang menyadari bahwa dirinya ada di sana pada awalnya, tapi ketika piring terlepas dari tangan Ino dan jatuh, hal itu menarik perhatian banyak orang. Dan dalam beberapa menit, semua mata tertuju padanya.
Well shit!
Sakura tidak tahu apa yang akan ia katakan pada semua wajah familiar yang menatapnya tanpa suara. Ia sama sekali tidak punya ide.
"Oh, persetan denganku."
***
To be continued.
To be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)