Sabtu pagi, Sakura terbangun oleh suara hujan deras dibalik jendela. Ia meregangkan tubuhnya dan berguling di atas kasur besar itu, berharap lengan berotot memeluknya setelah hebatnya semalam, tapi justru sebaliknya.
Bagian sisinya di tempat tidur terasa agak dingin. Ia menguap malas dan cemberut. Setelah semalam, Sakura berharap bahwa Sasuke akan berada di tempat tidur di sebelahnya dan mereka bisa sementara waktu untuk menikmati kembalinya mereka satu sama lain.
Banyak hal yang tidak terucapkan semalam, dan meskipun ia senang Sasuke bisa melepas hal-hal tertentu, masih ada lubang-lubang kecil yang belum cukup sempurna, tapi mereka sepakat bahwa mulai sekarang mereka akan mengambil langkah demi langkah.
Setelah menunggu sebentar, berharap bahwa Sasuke akan muncul ke kamar, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari rasa malasnya dan bangkit dari tempat tidur. Ia menginjak lantai marmer yang dingin dan berjalan ke jendela tanpa busana. Ia menyibak tirai cukup lebar, menyaksikan burung berkicau di musim semi.
Ia tersenyum. Sudah lama sejak ia merasa sangat bebas. Rasanya seperti beberapa saat sejak ia kehilangan belahan jiwanya yang lain dan mendapatkannya kembali, ini perasaan terbaik di dunia.
Sakura memutuskan untuk mandi dan membereskan kamar dari kekacauan tadi malam. Saat ia berdiri di bawah shower, air hangat membasahi kulitnya dari kepala hingga kaki. Ia mengerang karena rasanya sangat nyaman, merasakan otot-ototnya mengendur dan rileks setelah kerja keras seminggu yang panjang.
Ia terkejut saat menemukan samponya masih berada di rak logam yang tergantung tepat di atas kepala shower. Setelah sekian lama, Sasuke ternyata masih menyimpannya. Ia bangkit dan meraihnya. Menyemprotkan ke telapak tangannya yang kecil dan mencuci rambutnya, memberikan pijatan pada kulit kepalanya.
Beberapa saat kemudian, ia merasa cukup bersih untuk keluar dari kamar mandi. Membungkus handuk di sekitar tubuhnya yang ramping, ia berjalan keluar dari kamar mandi ke kamar tidur dan berjalan ke lemari besar di sana.
Isi lemari itu masih serapi saat ia meninggalkannya. Seolah ia tak pernah pergi, dan ini mengejutkannya. Ia merasa tak enak karena melakukan ini pada Sasuke. Ia merasa bersalah karena membuat Sasuke bangun setiap pagi melihat lemari penuh dengan pakaian miliknya tapi ia tak ada di sana.
Dengan senyum sedih, ia mengambil kaos milik Sasuke yang terlalu besar di tubuhnya, ia mengenakannya setelah mengeringkan dirinya. Ia menarik laci pakaian dalamnya dan meraih celana hitam.
Saat ia membersihkan kamar dan mengganti seprai, aroma kopi kental mulai menggelitik lubang hidungnya. Ia mengganti seprai kotor di tempat tidur dengan yang bersih dan menumpuk yang kotor di keranjang pakaian kotor di kamar mandi.
Dan setelah semuanya beres, Sakura akhirnya berjalan keluar dari kamar dan berjalan menyusuri lorong untuk mencari tahu apa yang Sasuke lakukan. Alih-alih menemukan Sasuke, ia disambut oleh seekor anjing besar bersemangat, yang bahkan hampir tidak dikenalnya lagi.
Lucky berbaring di dadanya di lantai yang dingin dan memeluknya dengan sayang. Membuat Sakura tak bisa menahan kegembiraan yang ia rasakan.
"Halo sayang." ucap Sakura. Anjing itu seperti baru saja mendapat potongan rambut baru dilihat dari tekstur bulu di punggungnya. "Mama sangat merindukanmu!" ucapnya.
Lucky menggonggong pada Sakura sebelum menyembunyikan kepalanya di lekuk leher wanita itu.
"Aku tahu." ucap Sakura. "Aku pergi selama beberapa minggu dan aku bahkan tidak tahu bayi kecil yang aku adopsi beberapa bulan lalu ini sekarang sudah besar." ucapnya, hampir menangis. "Kau begitu besar sekarang. Apa yang papa berikan untukmu, hm?"
Yang Lucky lakukan hanyalah memberi pelukan lebih erat pada Sakura, mungkin karena wanita itu sudah pergi selama beberapa minggu tapi bagi anjing itu terasa seperti bertahun-tahun dan anjing itu tidak berencana membiarkannya pergi lagi.
"Aku cukup iri dengan pemandangan kecil ini." Suara Sasuke terdengar beberapa menit kemudian.
Sakura mengangkat kepalanya dan menatap Sasuke yang bertelanjang dada berdiri di depannya. "Kenapa begitu?" Ia bertanya dengan tertawa kecil.
"Apa tidak ada cinta untuk satu orang yang bangun pagi untuk memastikan sarapan sudah siap untukmu sebelum kau bangun?" ucap Sasuke.
Oh, itu cukup menjelaskan mengapa Sasuke tak berada di tempat tidur saat Sakura bangun.
"Tunggu giliranmu, sir." Sakura mengedipkan mata.
Dengan sedikit sulit, Sakura berhasil melepas Lucky darinya dan berdiri. Ia melompat pada Sasuke, melingkarkan lengannya di leher Sasuke dan kakinya di pinggang pria itu.
"Selamat pagi." Sakura berbisik sebelum mendekatkan bibirnya ke bibir Sasuke seraya mengusap pipi pria itu dengan jari-jarinya.
Sasuke menggerutu pelan, tapi ada senyum di wajahnya dan ekspresinya benar-benar damai dan bahagia.
"Sudah berapa lama kau bangun?" tanya Sasuke, jelas menangkap penampilan bersih Sakura.
"Setengah jam atau lebih." jawab Sakura, menyisir rambut Sasuke yang panjang dengan jari-jarinya. "Aku mandi dan membersihkan kekacauan yang kita buat di kamar tadi malam."
"Hm." Sasuke mengerang dengan anggukan. "Kalau begitu kau pasti lapar." ucapnya.
"Sangat." ucap Sakura setuju. "Apa yang kau buat untukku?"
"Sesuatu yang lezat." jawab Sasuke ketika ia berjalan beberapa kaki melintasi ruang tamu menuju dapur.
Sasuke mendudukkan Sakura di atas konter dapur sebelum mengambil piring untuk menghidangkan burrito buatannya, ia butuh begitu banyak pemikiran ekstra untuk membuatnya.
"Aromanya sangat harum." Sakura bergumam diantara kegiatannya menggigit buah-buahan sehat.
"Hm." Sasuke mengangguk. "Mau kopi?"
"Boleh." jawab Sakura.
Selama sarapan, mereka mengobrol, tertawa dan bercanda tentang segala hal. Sampai Sasuke menatap mata Sakura, menganalisis wajah dan ekspresi Sakura untuk menentukan bagaimana perasaan wanita itu. Ia sangat merindukan Sakura, tapi ada satu hal yang membuatnya bertanya-tanya, entah salah atau tidak, ia melihat warna ungu samar di wajah wanita itu.
Sorot mata Sasuke berubah penuh kekhawatiran setelah ia benar-benar melihat warna ungu samar di garis rahang Sakura.
"Apa?" tanya Sakura.
Sasuke mengangkat dagu Sakura ke atas dan menolehkannya ke samping untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik dari sisi kanan pipi wanita itu.
Sasuke mengusap memar itu dengan pelan dan Sakura meringis.
"Dimana kau mendapatkan ini?" tanya Sasuke.
Sakura tersenyum pada Sasuke untuk mengalihkan perhatian pria itu cukup lama agar melepaskan tangannya. "Tidak apa-apa." ucapnya.
Sasuke menggelengkan kepalanya. "Jangan bermain-main denganku, Sakura. Ada memar di wajahmu yang tidak ada di sana sebelum kau meninggalkanku selama sebulan. Aku ingin tahu apa yang terjadi dan dari mana kau mendapatkannya." ucap Sasuke serius.
"Bisakah kita melupakan ini?" ucap Sakura memohon. "Sudah kubilang ini tidak apa-apa."
"Kita tidak akan melupakan apa-apa dan beritahu padaku sekarang." jawab Sasuke.
Sakura memutar matanya ke arah Sasuke dengan keras kepala. Ia menyesal menghapus make up-nya tadi.
"Apa kau ingin aku kehilangan akal sehatku?" tanya Sakura.
Sasuke mengerutkan kening dengan alis terangkat. "Tidak." jawabnya, seraya bertanya-tanya bagaimana bisa mereka beralih dari membicarakan memar di wajah Sakura menjadi topik kehilangan akal sehat.
"Kalau begitu cium aku." ucap Sakura.
"Apa-"
Sayangnya ucapan Sasuke dipotong dengan ciuman dari Sakura. Ciuman yang begitu menggairahkan, membuatnya kehilangan akal sehat.
Tapi Sasuke segera menyadari bahwa itu hanya untuk membuatnya lupa akan topik utama. Ia segera menarik diri dari Sakura. "Apa yang terjadi pada wajahmu?" tanyanya lagi.
Sakura menggelengkan kepalanya dengan senyum di bibirnya. "Kita tidak akan membahas wajahku." ucapnya.
Sasuke terus dihadiahi kecupan yang menghentikannya untuk berkata-kata. "Ya kita akan membahasnya. Kau tidak bisa hanya-"
"Aku tidak melakukan apa-apa." gumam Sakura.
"Sakura." Sasuke memperingatkan.
"Bawa aku ke tempat tidur." ucap Sakura dengan suara serak.
***
Sakura bangun beberapa jam kemudian dari tidurnya yang nyenyak. Ia berdeham ketika ia mencoba mengingat kejadian beberapa jam terakhir. Yang bisa diingatnya hanyalah kelelahan dan pingsan di dada Sasuke setelah bercinta.
Ia mencoba menggerakkan tangannya dan mengusap hidungnya, tapi karena beberapa alasan ia merasa tidak memiliki kemampuan untuk menggerakkan lengannya. Ia benar-benar terkejut dan hampir melompat; tapi ia tidak bisa karena kedua tangannya diikat dengan dasi ke tempat tidur.
"Ugh, kau bercanda?" Sakura mengerang pada dirinya sendiri.
Ini hampir seperti déjà vu dari apa yang telah ia lakukan sebelumnya pada Sasori dan mengetahui betapa mengerikannya itu. Tapi untungnya ia ada di tempat tidur Sasuke saat ini. Ia bertanya-tanya ke mana pria itu pergi dan mengapa ia diikat ke tempat tidur, telanjang selama berjam-jam jika pria itu tidak ada di sini.
"Sial, Sasuke-kun!" Sakura berteriak cukup keras untuk memastikan Sasuke mendengarnya di manapun pria itu berada di sekitar rumah. Yeah, semoga saja pria itu memang ada di rumah.
Hanya butuh sekitar tiga puluh detik Sasuke telah muncul di pintu dengan senyum puas bermain di bibirnya. Dan Sakura hanya tercengang karena ia tidak menemukan sesuatu yang lucu tentang dirinya yang diikat ke tempat tidur itu.
"Aku bersumpah ketika kau membuka ikatanku dari tempat tidur ini aku akan membunuhmu." ucap Sakura dengan serius.
Sasuke terkekeh. "Uh. Kau yakin itu cara yang bagus untuk membujukku melepaskanmu?" goda Sasuke.
Sakura menghela nafas frustrasi. Baik. Baiklah, mungkin tidak. "Bisakah kau membuka ikatannya?" tanya Sakura.
"Ya." ucap sasuke. "Segera setelah kau memberitahuku apa yang terjadi pada wajahmu." ucapnya berjanji.
Sakura tahu tidak mungkin ia akan mengabaikan ini dan ia tidak punya pilihan selain mengatakan pada Sasuke dengan jujur. Sungguh, ia mulai merasa kesal. Ia tidak suka perasaan tidak berdaya seperti ini.
"Aku tidak sengaja menubruk meja kantorku." ucap Sakura.
Tapi...
"Itu bohong." Sasuke mengejek. "Kau sangat, sangat tidak pandai berbohong padaku."
Siapa yang Sakura coba bodohi?
Sasuke duduk di tepi tempat tidur dan dengan pelan mencium pipi Sakura. "Lihat aku." perintah Sasuke.
Sakura cemberut. "Ya?"
"Aku khawatir padamu." ucap Sasuke memberitahu Sakura. "Aku bersyukur mendapatkanmu kembali dan aku sangat bahagia. Tapi aku merasa ada banyak yang aku tidak tahu tentang apa yang terjadi ketika kau pergi, yang tidak kau katakan padaku tadi malam." Ia berkata jujur. "Aku tidak ingin memaksamu semalam karena aku baru saja memilikimu kembali dan aku berterima kasih pada Tuhan untuk itu."
Sakura benci ketika Sasuke menjadi sangat sensitif dengannya. Ia benci menunjukkan kerentanannya, dan untuk beberapa alasan yang bisa ia lakukan hanyalah memalingkan matanya ketika Sasuke berbicara seperti itu padanya.
Sakura menelan ludah dengan air mata menggenang di matanya. "Ya. Terima kasih pada Tuhan." Ia mengulangi dengan pelan.
"Ada memar di wajahmu dan aku tidak bisa untuk tidak bertanya-tanya bagaimana kau mendapatkannya. Semalam aku berjanji padamu aku akan selalu menjadi orang yang bisa kau andalkan untuk merawat dan melindungimu. Aku tidak meminta sesuatu yang sulit. Aku hanya memintamu untuk memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi."
"Baiklah." Sakura mengangkat bahu. "Lepaskan aku dulu supaya aku bisa memakai sesuatu, aku berjanji akan memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi." ucapnya.
"Hm, oke." Sasuke setuju. Ia meraih dan melepaskan dasi di pergelangan tangan Sakura sebelum menariknya dari tiang tempat tidur.
Pergelangan tangan Sakura memerah karena ikatan itu dan Sasuke sedikit merasa bersalah. Ia dengan lembut mengusap pergelangan tangan Sakura dengan telapak tangannya sebelum membawa tangan wanita itu ke bibirnya.
"Apa ini sakit?" tanya Sasuke. Ia tidak bermaksud menyakiti Sakura, tapi ini satu-satunya cara yang ia pikir akan efektif.
"Tidak." jawab Sakura.
Tiba-tiba ruangan itu begitu sunyi, Sakura duduk di tepi tempat tidur dan mengambil baju yang sebelumnya ia kenakan. Ia memakainya kembali sebelum menghadap ke arah Sasuke lagi.
"Maafkan aku." Sasuke berbisik.
Sakura mengerutkan kening. "Aku tidak marah padamu." ucapnya.
"Tapi tetap saja." Sasuke bergumam sendiri.
"Berhenti melakukan itu." ucap Sakura.
"Apa?"
"Ini." Sakura menunjuk Sasuke. "Apa yang kau lakukan sekarang. Merasa bersalah ketika kau tidak melakukan kesalahan."
"Mungkin-"
"Mungkin tidak ada." Sakura menggelengkan kepalanya. Ia menangkup wajah Sasuke di tangannya dan mengusap bibir pria itu dengan lembut. "Mungkin tidak ada." Ia mengulangi.
"Baiklah." ucap Sasuke. "Jadi, apa yang terjadi?"
Sakura menghela napas dalam-dalam, bergeser mendekat dan memeluk Sasuke. Sasuke mengecup kening Sakura karena ia merasa ini akan menjadi pembicaraan yang panjang.
"Aku pergi malam itu, aku marah padamu... marah pada diriku sendiri." Sakura memulai. "Marah padamu karena aku tidak bisa mengerti kenapa kau tidak bisa percaya padaku seperti aku mempercayaimu."
Tapi ini bukan sepenuhnya tentang kepercayaan. Sasuke tahu Sakura akan mengambil resiko apapun untuknya dan ia juga akan melakukan hal yang sama.
"Marah pada diriku sendiri karena aku tidak tahu kenapa aku sepertinya selalu mengacaukan hal-hal diantara kau dan aku. Sembilan tahun yang lalu, dan sekarang, berulang-ulang."
"Maaf jika kau merasa seperti itu." Sasuke mencium pelipis Sakura dan mengaitkan jari-jari mereka.
"Aku sedang mengemudi. Aku tidak yakin ke mana aku akan pergi, dan tanpa kusadari aku berakhir di rumah lamaku... rumah Sasori." ucap Sakura.
Untuk sekali ini Sasuke tidak panik ketika mendengar nama Sasori. Ia menduga bahwa sebagian darinya sekarang tahu bahwa antara ia dan Sakura telah resmi.
"Aku tidak berpikir jernih. Aku kesal dan yang ingin kulakukan hanyalah tidur di suatu tempat malam itu dan aku berniat kembali padamu keesokan paginya." Sakura memberitahu Sasuke. "Sepanjang minggu Sasori sudah memenuhi teleponku, tapi aku memilih untuk mengabaikan panggilannya karena aku tidak ingin hal itu membuat masalah diantara aku dan kau." ungkapnya. "Sesampainya aku disana, dia seolah sedang menungguku karena ketika aku berjalan masuk ke rumah malam itu, dia ada di sana dan aku tidak mengatakan sepatah kata padanya. Aku berjalan melewatinya seolah dia tidak terlihat atau semacamnya."
"Lalu?" Sasuke bertanya dengan cemas.
"Lalu dia mengikutiku ke lantai atas, ke kamar dimana aku berencana untuk tidur."
Oh tidak!
"Mengikutimu?" ucap Sasuke mengulangi. Ia hanya ingin memastikan bahwa ia mendengarnya dengan benar.
"Ya." jawab Sakura. "Dia mengikutiku dan mulai berbicara, mengatakan padaku bahwa aku tidak mengerti bagaimana perasaannya karena dia berusaha menyelamatkan pernikahan kami sementara aku hanya di luar sana melakukan hal-hal lain seolah tidak ada masalah." ucapnya. "Dan jujur, aku tidak peduli. Aku sudah merasa selesai dengan dia... hatiku selesai dengannya saat kau kembali ke dalam hidupku malam itu dan menciumku."
Ini tentu terasa luar biasa untuk didengar.
"Aku bosan mendengar semua omong kosongnya dan langsung mengatakan padanya bahwa aku sudah tidur denganmu dengan sangat detail karena aku hanya ingin membuatnya merasakan sakit yang kurasakan ketika aku memergokinya dengan wanita itu." Nada suara Sakura terdengar pahit dan emosional. "Dan kurasa, sama seperti pria manapun yang mendengar istri mereka bercerita tentang betapa menakjubkan rasanya bercinta dengan pria lain, dia membentakku. Dia membentakku dan hal itu terjadi, aku hanya tidak menyangka dia akan melakukannya. Benar-benar melakukannya."
Apa...
"Apa yang dia lakukan?" tanya Sasuke serius.
"Dia membentakku dan kemudian meninjuku." ucap Sakura. "Aku hampir takut kehilangan gigiku."
Oh, Sasori akan membayarnya dua kali lipat.
Yang mengejutkan Sakura, Sasuke tampak bersikap tenang. Tapi ia tidak tahu pikiran apa yang sedang diproses otak Sasuke atau seberapa besar amarah yang pria itu pendam.
"Tolong katakan padaku bahwa kau sudah menghubungi polisi, Sakura." ucap Sasuke.
Sakura menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak melakukannya." jawabnya. "Aku tidak bisa."
Sasuke mengernyit bingung. Kenapa Sakura membiarkan pria ini dan tidak menempatkan pantatnya di balik jeruji besi? Mengapa?
"Kenapa tidak?" tanya Sasuke.
"Karena aku ingin berurusan dengannya sendirian." jawab Sakura.
Oh tidak... tidak.
"Aku tidak ingin membawa polisi ke sana karena ini adalah urusan pribadi." Sakura menjelaskan. "Aku meninggalkan rumah tak lama setelah itu. Aku kemudian meneleponmu dan memberitahumu bahwa aku berada di sebuah hotel dan aku membutuhkan ruang."
Air mata mengalir di pipi Sakura akhirnya. Sasuke hanya bisa mendengar hatinya hancur untuk wanita ini.
"Waktu itu kupikir aku akan kehilanganmu selamanya." Sakura menangis histeris.
Sasuke memeluk Sakura lebih erat, menggoyang-goyangkannya pelan dan mengatakan pada Sakura bahwa ia ada di sini dan tidak berencana pergi ke mana pun. Bagaimanapun, Sakura adalah segalanya.
"Aku disini." ucap Sasuke menenangkan. "Aku tidak akan pernah pergi ke manapun. Tidak pernah." Ia berjanji.
Sasuke memiringkan kepala Sakura dan menghapus air mata wanita itu dengan ibu jarinya sebelum mencium bibirnya. "Aku tidak pergi kemana-mana." Ia mengulangi lagi.
Itu cukup meyakinkan bagi Sakura. Ia juga tidak berencana pergi ke mana pun.
"Aku menjadi orang yang berbeda setelah itu dan itu membuatku takut." Sakura memulai lagi ketika ia sudah cukup tenang. "Dia meninjuku dan sesuatu dalam diriku terasa terganti dengan sisi yang berbeda. Aku dipenuhi dengan kegelapan." ucapnya lagi.
Saat ini, Sasuke merasa tersesat dalam percakapan mereka.
"Aku punya kejahatan di dalam diriku, Sasuke-kun." Sakura berkata dengan gigi terkatup. "Aku menjadi monster dan monster itu membuatku takut. Itu membuatku mempertanyakan apakah aku benar-benar pantas memilikimu dalam hidupku karena kau hanya tahu sebagian dari diriku. Sedangkan bagian diriku yang lain? Itu bagian yang tidak pernah aku inginkan dan aku tidak bisa membiarkanmu melihatnya, bagian itu ingin kukubur jauh di dalam diriku karena aku takut jika itu diperlihatkan padamu, kau... kau akan benar-benar membenciku." ucapnya.
Sasuke menggelengkan kepalanya. "Tidak." ucapnya. "Jangan katakan itu."
"Tapi itu yang sebenarnya!" Sakura menangis.
"Baik." ucap Sasuke. "Mungkin kau memang memiliki kejahatan di dalam dirimu. Kita semua memilikinya. Tapi seperti yang kau katakan, itu hanya sebagian dari dirimu. Itu hanya sebagian." ucapnya dengan meyakinkan.
"Aku tidak tahu." Sakura mengusap wajahnya yang berlinangan air mata dan mendengus. "Aku hanya tidak ingin menyakitimu lagi. Aku sudah melakukannya berkali-kali." ucapnya. "Kau tidak pantas menerima semua omong kosong ini."
"Suka atau tidak suka," Sasuke memulai dengan senyum lembut. "Semua omong kosong itu milikku dan aku bisa mengatasinya." Ia memberitahu Sakura.
"Sasuke-kun, kau terlalu baik padaku." ucap Sakura. "Aku tidak pantas untukmu."
"Aku senang karena aku juga tidak pantas untukmu." Sasuke berbisik.
Ini pasti mimpi yang menakutkan...
Sakura harus mencubit dirinya sendiri untuk memastikan bahwa pria sempurna ini benar-benar miliknya, dan meskipun pria ini tahu betapa ia bisa menjadi orang yang mengerikan, pria ini tetap ingin berada di sini.
"Jadi, bagaimana semuanya berakhir?" tanya Sasuke, berusaha menarik Sakura dari keheningannya.
"Aku tak perlu bercerita tentang apa yang kulakukan padanya?" tanya Sakura.
"Aku tidak peduli apa yang kau lakukan." ucap Sasuke. "Bajingan itu pantas mendapatkannya."
Sakura mendesah, "Ternyata selama ini hubungan yang kami berdua jalani, semua didasarkan pada kebohongan." Ia menyimpulkan keseluruhan kejadiannya.
"Bagaimana bisa?" tanya Sasuke dengan alis terangkat.
"Kami berdua saling berbohong sepanjang hubungan kami." jawab Sakura. "Aku berbohong tentang masa kecilku, berbohong tentang banyak hal dan aku merasa bersalah, tapi itu jauh sebelum aku mengetahui bahwa aku menikahi seorang pecandu seks."
"Pecandu seks?" tanya Sasuke.
"Ya." Sakura terkekeh. "Waktu itu aku memergokinya di rumah..."
"Ya?"
"Aku pikir itu hanya sekali, tapi dia bilang dia sudah melakukannya sekitar lima puluh lebih dan mungkin akan terus bertambah." ucap Sakura.
Ew.
"Wow."
Satu kata untuk menyimpulkan itu semua. Wow.
"Dan kemudian pembicaraan terakhir kami cukup baik. Dia mau menandatangani surat cerai dan sekarang dia hanya sejarah dalam bukuku."
"Aku lega." ucap Sasuke.
"Aku juga." Sakura bernapas lega. Rasanya menyenangkan melepaskan semua itu dari dadanya. Ia akhirnya merasa bebas.
Mereka mengakhiri percakapan itu dengan ciuman dan ikatan tak terputus yang mereka miliki, mereka tahu apapun yang akan terjadi selanjutnya, mereka bisa menanganinya bersama.
***
Setelah makan malam, keadaan sangat sunyi. Hujan di luar tak kunjung reda, Sakura pun tak ingin melangkah keluar rumah karena alasan apapun. Sebagai gantinya, sisa hari ia habiskan di sofa di ruang tamu dengan ditemani perapian dan koleksi film-film horor.
"Aku punya pertanyaan." Sasuke menyela di tengah-tengah menonton film.
Sakura mengangkat kepalanya dari dada Sasuke untuk menatap pria itu. "Apa?" tanyanya.
"Pernikahan Ino dan Sai dua minggu lagi, dan aku akan sangat senang jika kau mau pergi ke Osaka bersamaku." ucap Sasuke. "Kurasa sudah saatnya kau dan Ino saling bertemu dan menyelesaikan banyak hal, itu akan terjadi cepat atau lambat dan aku lebih suka cepat."
"Hari itu adalah hari besarnya. Aku tidak bisa merusaknya." ucap Sakura. Ino adalah topik sensitif baginya sekarang dan ia lebih suka untuk tidak membicarakannya sampai ia benar-benar harus melakukannya.
"Dengar," Sasuke memulai, "Aku tahu kau berpikir mungkin Ino tidak menginginkanmu di sana; bahwa kau akan menghancurkan segalanya. Tapi aku benar-benar berpikir jika kau tidak ada di sana ketika dia harus berjalan menyusuri lorong, dia akan berhenti dan itu akan merusak segalanya karena dia akan ingat bahwa kalian pernah berjanji satu sama lain kau akan berada di sana untuknya ketika momen itu terjadi." jelasnya.
Sakura diam-diam setuju. Ia tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya. Hanya saja ia telah melewati begitu banyak masalah emosional belakangan ini, ia merasa jika ia mengalami satu masalah lagi, ia akan kehilangan semua akal sehatnya.
"Jadi, kau mau ikut denganku ke Osaka?" tanya Sasuke.
Sakura menghela nafas. Ia tidak bisa menjawabnya sekarang. Ia harus tidur sebentar.
"Aku akan memberimu jawaban besok." jawab Sakura.
***
Sisa malam itu Sasuke tak bisa tidur. Namun ia menikmati menyaksikan Sakura yang tidur nyenyak. Ia memutar ulang percakapan mereka sebelumnya tentang apa yang terjadi antara Sakura dan Sasori di kepalanya berulang kali.
Bajingan itu memukul Sakura dan berselingkuh begitu banyak. Ia hanya ingin bertatap muka dengan Sasori selama beberapa menit dan memberinya pelajaran. Sasuke hanya menginginkan itu.
Setelah satu jam penuh terus-menerus mengulangi kata-kata Sakura di kepalanya, ia merasa tidak tahan lagi. Ia diam-diam dan dengan hati-hati menyelinap keluar dari tempat tidur dan meraih ponselnya, berjalan keluar dari kamar.
Ia naik ke lantai atas ke ruang olahraga dan menghubungi sebuah nomor. Ia tahu Sakura tidak akan menyukai hal ini, tapi ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan untuk memuaskan dirinya sendiri.
"Hidan? Ya, ini aku Sasuke. Semuanya baik-baik saja. Aku harap semuanya baik-baik saja dengan bisnis kita. Tentu, kau harus menyimpan pemasukannya. Kau ingat saat kau mengatakan bahwa kau berhutang budi padaku? Ya, aku sedikit butuh bantuan darimu. Akasuna Sasori. Temukan semua yang kau bisa tentang dia sesegera mungkin. Dia dan aku punya... beberapa hal untuk dibahas. Hn, terima kasih."
Panggilan telepon berlangsung sekitar satu menit dan Sasuke tidak sabar menunggu untuk mendapatkan Sasori di tangannya.
***
To be continued.
To be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)