Sakura berada di sebuah ruangan, ruangan yang mungkin hampir bisa membuatmu sesak napas. Ia terhalang oleh tirai gelap, satu-satunya hal yang memisahkannya dari orang asing, ia akan mengakui dosanya disana pada sebuah kotak persegi kecil.
Meskipun gelap, aroma ruangan itu suci dan murni. Suasana tenang dan damai membuat Sakura lebih tenang dan tidak terlalu cemas.
Ia mengambil napas dalam-dalam dan menghela nafas. Sudah begitu lama sejak ia berada di gereja. Ia berada di jalan yang gelap akhir-akhir ini dan ia salah. Rasa bersalah dan amarah yang bersamaan dengan perasaan pengkhianatan yang menumpuk membuatnya tidak melakukan hal dengan benar. Ia harus melepaskan semua dari dadanya. Memaafkan dan terus melangkah maju.
Mereka berkata: jika kau tak bisa memaafkan dirimu sendiri, kau tidak akan pernah bisa dimaafkan, apalagi memaafkan orang lain.
Sedikit malu pada dirinya sendiri, Sakura menundukkan kepalanya dan membiarkan air matanya jatuh.
"Maafkan aku, karena aku telah berdosa." Sakura berbicara dengan berlinang air mata.
Tiba-tiba seorang lelaki tua berdeham kemudian ia dengan tenang menyarankan, "Akui dosa-dosamu dan kedamaian akan selamanya ada dalam hidupmu."
***
Sakura duduk dan mencurahkan isi hatinya. Semua yang ia rasakan, ia mengaku berdosa. Segala sesuatu yang mengganggunya, ia membiarkan mereka keluar dan pada akhirnya ia merasa lega dan murni lagi.
"Tuhan yang maha kuasa dan penuh kasih akan memberimu pengampunan dan pembebasan atas segala dosamu, pertobatan sejati, perubahan hidup, dan rahmat dan penghiburan atas nama bapa, anak, dan Roh Kudus." Pastor tua itu berkata dengan tenang. "Tuhan memberkati dan memaafkanmu, nak."
Sakura mengangguk dan ia menghapus air matanya. "Terima kasih."
Ia membuka pintu dan melangkah keluar dari ruang pengakuan dosa. Ia mengambil waktu sejenak untuk melihat salib yang tergantung tinggi di atas langit-langit sebelum keluar dari gereja.
Prosesnya aneh untuk orang seperti dirinya. Ia bukan seorang yang religius dalam cara apapun, tapi ia merasa seolah-olah ia membutuhkan ini.
Ia mendapatkan apa yang ia inginkan dan sekarang ia hanya perlu melanjutkan.
***
Sakura pergi ke rumah yang pernah dimilikinya lagi. Mobilnya berhenti di jalan masuk, ia melepas kacamata hitamnya dan mengambil tasnya dan beberapa belanjaan di jok belakang. Ia mengambil tumpukan surat dan membungkuk untuk mengambil kunci cadangan yang ia tinggalkan di bawah karpet mobil.
Ia membuka kunci pintu dan sama sekali tak merasakan apa-apa saat berjalan masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa sakit, tak ada kesedihan, tak ada rasa untuk terus menyakiti Sasori lagi.
Ia meletakkan tumpukan surat bersamaan dengan tasnya di atas meja kaca di ruang tamu kemudian meletakkan bahan makanan di meja dapur, dan ia berjalan ke atas ke lantai dua.
Ia melangkah ke dalam kamar dan Tuhan... baunya! Baunya sangat mengerikan di sana, hampir seperti dasar kanal yang kotor.
Sakura berlari keluar kamar secepat mungkin, ke dapur berharap menemukan masker. Ia membutuhkannya jika ia ingin kembali ke sana.
Ia meyakinkan kembali dirinya dan berjalan kembali menaiki tangga, membuka pintu dengan susah payah dan menemukan Sasori terbaring di sana dengan mata lebar, terengah-engah dan menatap langit-langit.
"Kau bau...," ucap Sakura.
Tempat tidur itu tentu saja. Ia bahkan tidak mau mendeskripsikan seberapa buruk baunya. Ia membuka kunci dan melepas borgol Sasori.
"Jangan mencoba sesuatu yang lucu." Sakura memperingatkan Sasori saat pria itu turun dari tempat tidur.
Sasori nyaris tak mengatakan apapun atau melakukan apapun ketika dia bebas. Pria itu bahkan tak bisa menatap dirinya sendiri tanpa merasa seperti sampah. Ia begitu kotor dan bau sehingga ia benar-benar berterima kasih pada Sakura yang melepaskan ikatannya karena bisa saja wanita itu memilih untuk tidak melakukannya.
Perut Sasori berbunyi dalam kehampaan. Tenggorokannya kering, ia merasa ringan seolah akan pingsan dalam waktu dekat.
Tiba-tiba Sakura merasa tidak enak. Rasanya menyedihkan harus sampai pada titik ini, tapi semuanya telah terjadi, dan kau tidak dapat mengubah masa lalu atau tindakan seseorang. Dengan simpatik, Sakura membukakan pintu kamar mandi untuk Sasori dan mengangguk pada pria itu.
"Masuklah." Sakura berbisik. "Bersihkan dirimu dan aku akan membuatkanmu sesuatu untuk dimakan."
Tidak ada lagi kepercayaan diantara mereka, hanya ada pengertian dan simpati. Mereka berdua tahu betapa mereka telah saling menyakiti dan itu tidak membuat mereka lebih baik.
Mungkin karena mereka berdua benar-benar kacau dan melakukan hal-hal yang tidak begitu mereka banggakan. Jadi Sasori hanya mengangguk ke arah Sakura ketika ia menutup pintu kamar mandi di belakangnya.
***
Sekitar satu jam kemudian ketika Sasori akhirnya turun ke lantai bawah. Perutnya menggerutu karena aroma sosis yang dimasak di dapur.
Meja sudah ditata di ruang makan ketika Sasori masuk. Beberapa lilin, piring dengan taplak meja dan sepasang peralatan makan lengkap dengan gelas anggur.
"Duduklah." ucap Sakura.
Sasori menarik kursi dari bawah meja dan duduk ketika Sakura meletakkan sebotol anggur merah di atas meja sebelum mulai meletakkan makan malam.
Sakura menyajikan sepotong roti hangat dan salad sebagai hidangan pembuka. Ia membuka botol anggur dan menuangkannya ke gelas untuk Sasori sebelum duduk di depan pria itu.
"Kau tak makan? "Sasori bertanya dengan pelan.
Sakura menggelengkan kepalanya. "Tidak." jawabnya. "Aku baik-baik saja."
Sakura memperhatikan Sasori makan dan senang bahwa pria itu menikmati makanannya. Ini satu-satunya cara yang ia tahu untuk menebus kesalahannya karena mengikat pria itu di tempat tidur, menyiksanya dan tidak pernah memikirkan untuk segera membukanya.
"Kita perlu bicara." ucap Sakura akhirnya.
Sasori menatap Sakura dengan malu. "Tentu." jawabnya.
Sakura menghela nafas. "Aku sudah melakukan dan memikirkan banyak hal selama tiga minggu terakhir." Ia memulai. "Aku tahu bahwa aku tidak bisa menebus hal-hal yang telah kulakukan padamu atau hal-hal yang telah kau lakukan padaku dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya." ucapnya. "Aku merenungkan banyak hal dan aku menyesal bahwa ini pernah terjadi diantara kita." Ia melanjutkan.
Sasori mengangguk penuh pengertian. "M-Maafkan aku." ucapnya.
"Aku juga." balas Sakura.
Sakura bangkit dari kursinya dan mengambil tas serta surat-surat dari meja kaca di ruang tamu yang luas. Ia kembali dan duduk di kursi di depan Sasori. Pria itu menatapnya bingung.
"Sayangnya apa yang kita miliki itu tidak bisa diselamatkan." Sakura memulai lagi. "Ada terlalu banyak bekas luka dan hubungan tanpa kepercayaan, aku tidak mengerti betapa berharganya kesempatan ini." ucapnya. "Aku tidak meminta banyak, aku tidak meminta apa-apa sama sekali."
Sasori menelan ludah. Ia mengerti apa artinya ini dan ia juga merasa sangat lelah. "Kau memintaku untuk membiarkanmu pergi." ucapnya.
Sakura mengangguk. "Maafkan aku." Ia berbisik. "Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku memaafkanmu." Air mata mulai terbentuk di pelupuk matanya saat ia berbicara. "Dan aku berharap pada waktunya nanti kau akan bisa memaafkanku juga." ucapnya.
Sakura meraih ke dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop putih. Tidak ada yang tertulis di sana, tetapi Sasori sudah bisa menebak apa yang ada di dalamnya.
Lagipula Sakura adalah seorang pengacara. Wanita itu dengan mudah bisa mengurusnya.
"Apa ini?" Sasori masih bertanya.
Sakura meraih tasnya lagi dan mencari cincin pernikahannya dengan air mata berlinang. Ia meletakkan kotak merah kecil itu di sebelah amplop.
"Aku mulai menjalin hubungan ini tanpa membawa apa-apa dan aku akan pergi tanpa membawa apa-apa juga." ucap Sakura. "Aku tidak ingin apapun darimu. Aku tidak ingin uangmu, karena aku tahu, kau mungkin akan membutuhkannya untuk membayar semua tagihan."
Man, that's just EVIL!
Sasori memejamkan mata. Ia tidak memiliki pekerjaan demi Tuhan!
"Rumah ini tidak lagi atas namaku, jadi aku juga tidak menginginkannya. Aku tidak menginginkan apapun." ucap Sakura selesai.
Sakura mendorong kotak cincin dan amplop di depannya. Sasori mengambil amplop dan membukanya. Ia mengeluarkan kertas-kertas yang terlipat rapi dan di atasnya ia membaca DIVORCE dalam huruf kapital dan huruf tebal.
Sasori berkedip dan air mata mengalir dari matanya. Ini benar-benar berakhir.
Sakura adalah wanita baik yang gagal ia pertahankan dan itu menyakitkan. Itu menyakitkan karena ia tahu jauh sebelum kertas-kertas ini ada di tangannya.
Sakura mendorong pena tinta hitam ke hadapan Sasori dengan air mata berlinang juga. "Tolong."
Dan Sasori akhirnya menandatanganinya. Ia menandatanganinya dengan banyak penyesalan. Ia tidak pernah bermaksud membuat mereka berakhir seperti ini, tapi itulah masalahnya. Diikat di sana di kamar tentu banyak mengajarinya dan ia juga siap untuk move on sekarang.
"Kuharap dia membuatmu bahagia." ucap Sasori. "Kuharap dia memberimu segalanya yang aku tidak bisa."
Sakura tahu siapa yang Sasori bicarakan dengan sangat baik. Ia hanya mengangguk pada Sasori dan bangkit dari kursinya. Ia membereskan barang-barangnya dan seperti yang ia katakan, ia pergi tanpa membawa apa-apa. Hanya kebanggaan dan martabatnya sendiri. Ia telah melakukan hal yang benar.
"Selamat tinggal, Sasori."
Bab ini dalam hidupnya sudah ia anggap tertutup untuk selamanya. Sekarang, beralih ke yang berikutnya.
***
Sakura mengemudi kembali ke motel tempat ia menginap beberapa minggu ini, ia mengemudi dengan air mata bahagia di matanya. Ia tidak berpikir akan berhasil keluar dari masalah ini begitu mudah. Ia bahkan tidak yakin bahwa mimpi buruk ini akan berakhir.
Sekarang ia hanya perlu lebih banyak waktu untuk merenungkan apa yang masih bisa ia miliki dengan Sasuke. Ia sangat sibuk menyelesaikan surat-surat perceraian itu. Masuk dan keluar pengadilan tanpa henti, sampai ia lupa hal yang paling penting baginya.
Ia berhenti di dekat bilik telepon di ujung jalan menuju motel dan menelepon seseorang.
Ia tetap diam dan hanya bernapas ketika telepon berdering.
"Halo..."
Ia tidak mengatakan sepatah katapun. Ia hanya membiarkan air mata mengalir deras di pipinya saat mendengar suara pria itu.
"Halo..." Sasuke mengulangi lagi. "Sakura..."
Sakura merosot ke lantai.
"Sakura, kalau itu kau... aku merindukanmu dan aku ingin kau tahu bahwa kau bisa pulang kapan saja kau mau. Aku merindukanmu, Lucky merindukanmu."
Sakura meletakkan tangannya di mulutnya untuk meredam tangisannya dan napasnya yang tidak teratur.
Lucky. Ia sangat merindukan anjing itu! Ia seharusnya membuat segalanya sempurna... Dan ia melakukan itu hanya sebentar.
"Pulanglah. Tolong."
Dan begitulah. Sakura menutup telepon dan mengumpulkan kekuatannya kembali untuk sampai ke mobilnya.
"Aku juga merindukanmu, Sasuke-kun."
***
Setelah cuti yang tidak direncanakan selama sebulan, Sakura akhirnya kembali bekerja. Bosnya bukan orang yang cukup menyenangkan dan ia tahu ia akan mendapat kunjungan dari bosnya hari ini.
Jam delapan pagi Sakura baru saja masuk ke kantornya. Ia mengambil secangkir kopi yang dibuatkan oleh asistennya Tenten segera setelah ia berjalan melewati pintu. Ia merindukan Tenten. Asistennya itu menjaga semuanya tetap bersih dan rapi di sini dan Sakura mengenal gadis itu sudah selama lebih dari satu setengah tahun sekarang. Tenten adalah karyawan yang hebat.
"Kau akhirnya kembali." ucap Tenten sambil mengikuti Sakura ke ruangannya.
Sakura menghela nafas ketika ia duduk di balik mejanya. Ia mengusap keyboard komputernya dan mengetukkan jari ke meja. "Sudah lama." jawabnya.
"Ya." Tenten mengangguk. "Apa semua baik-baik saja?"
Sakura tersenyum pada gadis berusia dua puluh empat tahun itu dan menyisir rambutnya dengan jari. "Tidak pernah lebih baik." ucapnya.
"Umm," Tenten berkata dengan canggung. "Banyak yang harus kita lakukan." ucapnya.
"Urgh," Sakura mengerang. "Jangan ingatkan aku."
Sakura yakin ia memiliki banyak email untuk dibalas dan kasus lama untuk dibuka. Ia perlu mulai berkonsentrasi untuk bekerja lagi, tapi ia tidak tahu bagaimana melakukannya ketika satu hal dalam hidupnya yang paling ia inginkan masih belum benar. Ia sangat merindukan Sasuke dan memikirkannya benar-benar membuatnya menjadi pucat dan tiba-tiba depresi.
"Apa kau yakin kau baik-baik saja?" tanya Tenten lagi.
Sakura tersentak dan mengangguk. "Aku baik-baik saja." jawabnya. "Ini akan menjadi hari yang sangat panjang. Banyak yang harus dilakukan." ucapnya.
"Selamat datang kembali." Tenten mengedipkan mata.
***
Sakura meminum kopi keduanya, ia duduk di belakang komputernya memeriksa beberapa file penting yang telah dikerjakannya sebelum ia cuti. Ia tidak membiarkan pikirannya istirahat sejenak, karena itu akan membuatnya kembali berpikir tentang Sasuke dan butuh waktu lama untuk mengembalikan pikirannya kembali fokus ke pekerjaannya.
Sakura berhenti menekan keyboard dan bersandar di kursinya sambil menyesap kopinya. Tiba-tiba, Ino muncul di benaknya. Jika ia tak salah, pernikahan Ino hanya kurang beberapa minggu lagi. Ia benar-benar ingin pergi ke Osaka tapi ia tidak tahu apa yang nantinya akan terjadi.
Ia mengakses internet dan menemukan dirinya mencari hadiah yang tepat untuk diberikan pada seorang pengantin wanita. Begitu banyak hal yang muncul dan ia tahu Ino akan menghargai apapun yang diberikan, bagi Ino semua yang penting adalah kenangan.
Sayang sekali mereka kehilangan sembilan tahun yang mungkin bisa mereka miliki, tapi Sakura pergi.
Air mata menggenang di mata hijaunya, dan saat mengalir jatuh di pipinya, terdengar ketukan di pintu. Ia segera menyeka air mata dari pipinya dan menelan ludah. "Masuk." jawabnya.
Tenten memasuki ruangan dengan kertas di tangan kirinya dan ia berjalan menuju meja Sakura. "Aku membawakan kertas yang kau minta tentang kasus Yamamoto." ucapnya, matanya tak sengaja melihat ke cangkir Sakura di atas meja. Cangkir itu hampir kosong dan itu bukan sesuatu yang aneh, tapi ia tak bisa untuk tidak merasa ada yang salah dengan Sakura hari ini. "Dan Mr. Tiberio menelepon, dia terdengar tidak senang, dan dia akan berkunjung hari ini."
Sakura memutar matanya. "Oke." ucapnya.
"Dan aku akan membuatkanmu kopi lagi, karena sepertinya kau sudah menghabiskan secangkir kopi itu." ucap Tenten menunjuk cangkir di meja Sakura.
Sakura menatap cangkir di sebelahnya dan mengerutkan kening. Ia bahkan tidak menyadari itu. "Terima kasih, Tenten." balasnya.
***
Sakura duduk di dekat komputernya melakukan beberapa panggilan kantor ketika pintunya terbuka.
"Kau mau makan siang dan istirahat?" tanya Tenten dengan penuh harapan, "Cuaca agak dingin, tapi pemandangan cukup bagus diluar."
Sakura cemberut pada Tenten. "Aku masih harus menyelesaikan beberapa hal. Kau duluan saja."
"Kau yakin?" tanya Tenten.
Sakura mengangguk dan tersenyum. "Ya." jawabnya.
"Baiklah."
***
Hari itu sepertinya cukup sibuk bagi Sakura. Kliennya tidak benar-benar senang dengannya yang mengambil cuti, tapi mereka bersyukur Sakura kembali, dan terus terang Sakura merasa begitu juga. Ia membutuhkan ini untuk menyibukkan diri.
Tak terasa hari berubah sore; Bos Sakura telah datang untuk berkunjung, dia adalah orang Italia.
"Kau mengambil cuti." ucap Mr. Tiberio. "Kau tidak bisa begitu saja melakukannya."
Sakura mengatupkan giginya dan memutar matanya ketika Mr. Tiberio tak melihatnya. "Saya tahu." Ia mengakui. "Dan saya minta maaf. Itu sangat mendadak dan tidak direncanakan sebelumnya. Saya berjanji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi, Sir."
"Aku bisa memecatmu." ucap Mr. Tiberio. "Tapi kau beruntung aku menyukaimu."
"Terima kasih." Sakura tersenyum. "Saya akan bekerja lembur, atau apapun. Saya akan menebusnya." Ia berjanji.
"Bagus." ucap Mr. Tiberio. "Jadi, bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali. Kami merindukanmu di pusat kota."
"Kabar saya baik." jawab Sakura. "Saya juga merindukan mereka. Tapi tidak terlalu banyak."
"Kau jahat sekali." ucap Mr. Tiberio bercanda dan Sakura tersenyum. "Aku sedang berencana untuk mengirim beberapa orang ke sini bekerja bersamamu."
"Oh itu bagus." komentar Sakura. "Disini akan semakin ramai. Saya yakin ada ruang yang cukup untuk beberapa orang lagi."
"Oke. Baiklah, aku harus pergi." Mr. Tiberio berdiri dari kursinya. "Aku ada rapat jam delapan dengan klien dan lalu lintas di sini sungguh gila."
"Jangan sampai terlambat, Sir." Sakura tersenyum.
"Senang bertemu denganmu, Ms. Haruno."
"Anda juga, Sir." Sakura melambaikan tangannya ketika ia menyaksikan Mr. Tiberio meninggalkan kantornya.
***
Sakura menghabiskan tiga puluh menit berikutnya di kantor hanya menatap ke jendela seraya berputar-putar di kursinya. Ia berpikir tanpa menyadari bahwa yang ia pikirkan adalah hal yang sama lagi.
Ia melirik arlojinya, sekitar pukul tujuh tiga puluh malam. Biasanya, ia akan bersiap-siap untuk pulang, tapi tidak malam ini. Malam ini ia ingin tinggal di sini dan menyelesaikan beberapa hal lagi. Ia tidak punya sesuatu atau siapapun untuk menjadi alasan pulang.
"Tenten?" panggil Sakura.
Beberapa detik kemudian, Tenten memasuki ruangannya dengan ekspresi bertanya-tanya di wajahnya. "Ya?"
Sakura mengeluarkan tasnya dari laci mejanya dan mengambil buku cek dari sana. Sudah lebih dari sebulan sejak ia membayar gaji Tenten dan meskipun ia belum lama berada di kantor, gadis itu pasti punya tagihan yang harus dibayar.
Sakura menandatangani cek bulanan Tenten dan mengijinkan gadis itu pulang lebih awal dari yang direncanakan. "Kau bisa pulang jika semua sudah selesai di sini." ucapnya.
Tenten mengangkat alisnya. "Apa kau yakin?" tanyanya.
Sakura mengangguk. "Ya. Aku yakin." jawabnya. "Aku masih punya beberapa hal untuk diselesaikan, jadi kupikir aku akan tinggal dan menyelesaikannya. Aku akan baik-baik saja." ucapnya.
Tenten tersenyum pada Sakura ketika ia mengambil cek di meja. "Jangan begadang." Ia berkomentar. "Aku tahu kau baru saja kembali tapi beri kesempatan untuk dirimu beristirahat."
"Tentu." Sakura berjanji. "Selamat malam, Tenten."
***
Rasanya kosong di dalam gedung itu. Hanya ada Sakura sendiri, duduk di kantornya di belakang mejanya seperti biasa, menyesap secangkir kopi lagi. Ia merasa lelah tapi cukup keras kepala dan berusaha meyakinkan dirinya sendiri kalau ia tidak apa-apa.
Ponselnya tergeletak di meja di sebelah keyboardnya, Sakura sudah meliriknya lebih dari seratus kali selama lima menit terakhir, berdebat tentang apakah ia harus mengambilnya dan melakukan apa yang sudah lama ia pikirkan.
Akhirnya, ia menemukan nyali untuk mengambil ponselnya dari meja dan menyalakan layarnya. Menggeserkan jari-jarinya ke layar dengan pelan, ia mengklik aplikasi telepon dan menggulir ke bawah kontaknya sampai ia menemukan nomor yang ia ingin hubungi.
Sasuke.
Ia mengumpulkan keberanian untuk menekan tombol panggil. Jantungnya berdegup kencang ketika telepon mulai berdering di telinganya.
Berdering sekali... dua kali... tiga kali.
Dan berakhir mengecewakan, ia disambungkan ke voicemail. Menjalankan jari-jarinya di rambutnya, ia menghela nafas ketika ia mendengarkan mesin penjawab berbunyi.
'Ini Sasuke. Kau telah tersambung dengan nomor yang benar tapi jika kau mendengar ini, itu berarti aku sedang sibuk saat ini. Jadi, jika kau meninggalkan nama dan pesanmu, aku pasti akan membalas teleponmu.'
Menelan ludah, Sakura memejamkan mata selama beberapa detik saat bunyi bip berbunyi.
"Um, ini aku. Sakura."
Jeda...
"Aku tahu ini sudah lama. Aku mencoba menghubungimu, tapi mungkin kau sedang sibuk. Hubungi aku ketika kau mendengar ini. Kita bisa bicara atau apapun. Aku tidak tahu. Hubungi aku."
Telepon secara otomatis berakhir setelah ia meninggalkan pesan, ia duduk diam dengan ekspresi yang tidak terbaca di wajahnya. Ini sama sekali bukan apa yang ia rencanakan untuk dikatakan ketika ia melakukan panggilan telepon itu. Ia bahkan tidak menyadari apa yang ia katakan tadi.
***
To be continued.
To be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)