"Apa kau yakin semua ini diperlukan, Pig?" Sakura melihat tas belanja di tangannya dan dilengan temannya itu, dan mendesah, "Maksudku, bukankah ini terlalu berlebihan?"
"Forehead," Ino memutar matanya, "Kau akan menikah. Bukankah pakaian dalam seharusnya sangat diperlukam?"
"Aku tidak akan menikah," Sakura mulai berjalan ke tempat mereka akan makan siang. "Kami hanya akan hidup bersama," ucapnya dengan tenang dan mengalihkan perhatiannya ke pelayan, "Selamat siang, meja untuk dua orang, tolong."
"Sebentar, Nona," Gadis itu tersenyum dan memeriksa meja kosong. "Ah, tolong ikuti aku."
Sakura berjalan pergi dan Ino segera mengikutinya. Begitu kedua gadis itu sampai di meja, Ino mengangkat alisnya dan menatap Sakura, "Forehead, kau adalah temanku paling pintar, dan kau pernah memberitahuku sesuatu."
Sakura mengalihkan pandangannya dari daftar menu dan menatap Ino, "Apa?"
"Ketika dua orang bersama selama 24/7," Ino mulai bermain dengan helai rambut pirangnya, "Tinggal di rumah yang sama, memakai cincin yang sama dan berencana untuk bersama selama sisa hidup mereka, apa artinya?"
"Hmm," Sakura mengusap sisi lehernya sambil berpikir, "Kedengarannya seperti hubungan pernikahan."
Ino terkikik dan tersenyum main-main pada Sakura.
"Apa?"
"Persis seperti itulah yang terjadi denganmu dan Sasuke," Ino menyeringai dan Sakura terbatuk.
"Apa?"
"Kau akan menikah!" Ino memutar matanya, "Ya ampun aku tidak pernah berpikir ini akan sangat sulit untuk kau pahami."
"Tidak," sela Sakura gugup. "Maksudku, dia tidak melamarku."
"Aw Forehead," Ino menggelengkan kepalanya, "Apa itu perlu?"
Sakura memucat dan telapak tangannya langsung berkeringat. Apakah ia benar-benar akan menikah? "A-Apa kau yakin?" tanyanya masih tidak percaya dan Ino mengangguk.
"Kaulah yang menyebut Hinata dan Naruto sudah menikah sekarang karena mereka tinggal bersama."
"Oh sial," Sakura menutup mulutnya dengan tangannya, "Aku akan menikah."
Mata Ino membelalak. "Jangan hiperventilasi, Forehead. Tenang, tenang."
"Oh sial, oh sial, oh sial," gumam Sakura pada dirinya sendiri sebelum menambahkan cukup keras pada Ino, "Aku selalu berpikir untuk menikah dengannya, aku tidak ingin hanya menjadi gadis yang tinggal bersamanya. A-Aku... oh sial, aku tidak tahu apa yang kuinginkan."
"Kau tahu bahwa kau menginginkan Sasuke?"
"Tentu saja," jawab Sakura tulus, "Lebih dari segalanya."
"Kalau begitu berhentilah panik, Forehead," Pelayan mereka tiba dan Ino menambahkan sebelum memesan, "Kau terlalu mempermasalahkannya, serius."
'Benar' pikir Sakura sebelum memutar matanya. Kenapa ia terlalu mempermasalahkannya? Tapi hubungan pernikahan adalah masalah besar! Ia menghela napas kesal, mengapa Ino harus melakukan ini padanya? Mencekokinya dengan pikiran hal-hal seperti itu ketika ia benar-benar baik-baik saja. Sekarang ia malah ingin menikah. Gereja, kue dan pesta. Semua hal yang dimiliki oleh pengantin wanita. Bagaimana jika Sasuke tidak ingin menikahinya?
"Forehead, Forehead," Ino menjentikkan jari di depan wajah Sakura, "Ponselmu berdering."
Sakura tersadar dari lamunannya dan dengan cepat mengambil ponselnya di dalam tasnya. Saat ia membaca nama 'Sasuke' di layar, ia merasakan jantungnya berdebar kencang dan suaranya tersendat di tenggorokannya.
"Angkat, ayo."
"Ya," desah Sakura, "Ya," gumamnya lagi dengan suara rendah dan menekan tombol hijau, "Halo?"
"Hei, Cherry," suara Sasuke terdengar ceria dan Sakura menggigit bibirnya. "Bagaimana berbelanjanya?"
"Menyenangkan," jawab Sakura lemah.
"Ada masalah, Saku?"
Sakura ijin pergi pada Ino dan segera berdiri, berjalan ke toilet wanita. "Aku sedang berpikir."
"Oke," Sasuke menunggu Sakura untuk melanjutkan, tapi gadis itu hanya diam. "Tentang?"
"Kita."
"Oh, tolong jangan bilang kau berubah pikiran."
Sasuke terdengar sangat khawatir hingga Sakura menepuk jidatnya karena telah membuat Sasuke khawatir tanpa alasan. "Tidak, bukan itu."
Sasuke menghela napas lega. "Oke, jadi apa masalahnya?"
Sakura duduk di bangku di dalam kamar mandi dan mendesah dalam-dalam.
"Saku, apa yang terjadi?"
Dalam hitungan detik, tanpa alasan sama sekali, Sakura mulai menangis. "Kau tidak ingin menikahiku? Itu sebabnya kau hanya memintaku untuk pindah?"
"Apa?" Sakura mendengar Sasuke tertawa pelan, "Cherry, kenapa kau berbicara begitu?"
"Karena," Sakura menangis terisak, "Ino memberitahuku bahwa apa yang kita miliki hampir seperti hubungan pernikahan, tapi ini bukan... apa... yang aku rencanakan… ketika aku ingin menikah… denganmu."
"Kau membayangkan kita menikah?" suara Sasuke terdengar berbeda dan Sakura merasa semakin gugup.
"Ya," jawab Sakura sederhana dan Sasuke beranjak diam-diam dari tempatnya selama beberapa menit.
"Dimana kau sekarang?"
Sakura memberitahu Sasuke tentang dirinya yang berada di toilet wanita dan sedang menangis karena pemuda itu tidak ingin menikahinya. Entah bagaimana, ia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Sasuke. Ia akan selalu mengatakan yang sebenarnya pada pemuda itu. Sasuke tidak banyak bicara, hanya menutup sambungan telepon dan melakukan apa yang perlu ia lakukan.
***
30 menit kemudian
"Forehead!" Nada suara Ino tampak panik, "Kau harus keluar dari kamar mandi!"
"Tidak," rengek Sakura, "Kau saja yang keluar dari sini."
"Ugh," Ino mengerang dan menggelengkan kepalanya, "Berhenti bertingkah seperti bocah berusia 5 tahun."
Sakura menelan ludah. Ino terdengar sangat kesal, membuka pintu dan membiarkan temannya itu masuk akan menjadi solusi terbaik. Jadi ia berjalan ke pintu, perlahan membukanya, "Masuklah."
Sakura segera berbalik dan berjalan ke wastafel, menumpukan telapak tangannya pada keramik yang dingin dan menunduk. Ia harus tetap tenang, ia perlu bernapas. Hidup bersama sudah menjadi langkah yang besar, Ino benar sekali, ia bertingkah seperti anak kecil. Apa masalahnya jika Sasuke dan dirinya tidak pernah menikah? Mereka saling mencintai; tentu mereka tetap akan baik-baik saja.
Perhatian Sakura terganggu pada kotak persegi hitam yang tiba-tiba ada di wastafel dan kemudian dua lengan kuat yang melingkari pinggangnya. Sakura melihat ke cermin dan tersentak ketika melihat Sasuke tersenyum padanya.
"Aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk melamarmu," ucap Sasuke dengan berbisik, "Kurasa inilah waktunya."
Sakura tersentak dan matanya membelalak. Apakah ini benar-benar terjadi? Kepalanya teras amulai berputar dan ia merasa sangat pusing. Ia berbalik untuk menghadap Sasuke dan kakinya terasa lemah seperti jelly.
Sakura mengusap matanya dengan punggung tangannya, wajahnya mulai lebih pucat daripada hantu. Mata Sasuke membelalak saat Sakura tiba-tiba memeluknya lebih kuat disaat kaki gadis itu terasa semakin lemah.
"Ah Cherry," Sasuke memeluk Sakura erat dan mendudukkan gadis itu di wastafel kamar mandi, "Jangan sampai kau pingsan sekarang," candanya dan Sakura terkikik pelan, menyandarkan kepalanya ke cermin dan bernapas dengan gugup.
Sasuke memercikkan air dingin ke wajah Sakura dan gadis itu perlahan mulai normal kembali, pipinya bahkan mulai memerah lagi. Sasuke menarik diri dan menyelipkan helai rambut ke belakang telinga Sakura, menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu dengan hati-hati, "Ini bukan reaksi yang aku tunggu," Ia terkekeh, "Serius."
Sakura membuka matanya dan tersenyum pada Sasuke, melingkarkan lengannya di leher Sasuke dan menarik pemuda itu mendekat.
Sasuke memeluk pinggang Sakura dan mencium leher gadis itu dengan lembut, "Apa kau sudah merasa lebih baik, Saku?"
Sakura mengangguk dan membelai rambut hitam Sasuke, "Apa kau benar-benar melamarku? Bukan karena aku kesal?"
"Tentu saja tidak, Saku," Sasuke menarik diri untuk menatap mata Sakura, "Aku sudah membeli cincin ini selama beberapa hari sebelumnya."
Sakura menggigit bibirnya dan Sasuke menyipitkan matanya sambil bercanda.
"Aku masih menunggu jawabanmu."
"Aku masih menunggumu untuk melamar dengan benar," canda Sakura dan Sasuke tertawa.
"Kau benar." Sasuke mengangkat tubuh mungil Sakura dari wastafel dan menurunkannya ke lantai. "Jika aku melepasmu, kau bisa berdiri sendiri?"
Sakura mengangguk, merasa terlalu emosional. Ia menyandarkan punggungnya di wastafel dan memberi isyarat dengan tangannya.
Sasuke menyeringai dan melangkah mundur. "Saku, maukah kau menikah denganku?"
Sakura merasa matanya berkaca-kaca tapi ia berusaha itu tidak mempengaruhinya. "Hanya begitu?" tanyanya, "Pernikahan hanya satu kali, Sasuke-kun."
Sasuke memutar matanya dan mengambil kotak cincin dari wastafel, berlutut di depan Sakura. Ia meraih salah satu tangan Sakura dan menciumnya dengan lembut. "Cherry, aku mencintaimu sudah sangat lama dan aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu lagi," Sasuke memulai dan Sakura menahan napas, "Aku berharap jika mungkin, mungkin saja, kau bisa memberiku kesempatan untuk bangun tidur di sampingmu setiap hari selama sisa hidupku..."
"Sasu—"
Sasuke menyela. "Kaulah hidupku, Sakura. Dan aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu," Ia membuka kotak itu dan cincin berlian di dalamnya berkilau, "Pertama kali saat aku menciummu, aku tahu aku benar-benar jatuh cinta padamu."
Sakura menutup mulutnya dengan tangannya untuk menahan tangis, tapi Sasuke menunduk sejenak, berpikir dan mengangkat tatapannya untuk menatap Sakura, "Aku merasa tidak lengkap sampai aku memilikimu untuk pertama kalinya," Ia berdiri dan melangkah lebih dekat pada Sakura, "Dan aku tidak keberatan kau mengambil duniaku dan membolak-baliknya lagi," Ia menghela napas dalam-dalam dan membelai pipi Sakura, "Rasanya lebih baik saat denganmu. Segalanya tampak lebih baik denganmu..."Ia tersenyum dan mengecup bibir Sakura, "Aku mencintaimu. Kumohon menikahlah denganku, Haruno Sakura."
Senyum Sasuke memudar saat Sakura membutuhkan waktu lebih dari satu menit untuk menjawabnya. Apakah gadis itu berubah pikiran tentang menikah dengannya? Sakura membuka mulutnya untuk berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Jantung Sasuke mulai berdebar kencang dan tangannya berkeringat, sama seperti tangan Sakura ketika gadis itu menyadari mereka akan tinggal bersama.
"Kau..." Sakura memulai tapi kemudian menggelengkan kepalanya dan memeluk leher Sasuke, "Apa kau ini nyata?"
Sasuke tampak bingung. "Kurasa begitu."
Sakura mencium leher Sasuke dan memeluk pemuda itu lebih erat, "Tentu saja aku akan menikah denganmu."
"Oh sial," Sasuke memeluk pinggang Sakura dan mengangkatnya dari lantai, "Kau membuatku takut sampai ingin mati, Saku."
Sakura terkikik dan menangkup wajah Sasuke dengan tangan kecilnya, menelusupkan jari-jarinya ke rambut hitam Sasuke dan menempelkan kening mereka, "Tidak alasan untuk merasa takut," Ia meyakinkan Sasuke, mengecup bibir, pipi dan kening pemuda itu, "Ah, kau baru saja menjadikanku gadis paling bahagia di dunia."
Sasuke tertawa. "Aku lega, Cherry," Ia mencium Sakura, menghisap lebih banyak di setiap bagian bibir gadis itu. Beberapa detik, tangannya mengelus kulit gadis itu, "Aku sangat mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu lebih dari apapun," jawab Sakura manis sambil mencium ujung hidung Sasuke, "Aku tidak percaya ini benar-benar terjadi."
"Benar," Sasuke tersenyum dan membelai rambut Sakura, "Tidak ada yang bisa memisahkan kita sekarang. Hanya kita berdua."
"Kau dan aku," Sakura memeluk Sasuke dan menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu, "Selamanya."
"Dan selamanya, dan selamanya," Sasuke terkekeh dan mencium rambut Sakura, "Ayo pergi. Ketika aku ke sini, sudah banyak orang di luar."
Sakura terkikik. "Maaf tentang itu," Ia meraih tangan Sasuke dan mereka mulai berjalan ke pintu kamar mandi, "Maaf telah membuatmu datang untuk menyelamatkanku."
"Dengan senang hati, eh," Sasuke menyeringai, "Aku menerima pekerjaan menjadi pahlawan super atau suami atau pengawal atau pacar selamanya."
"Ohh," Sakura terkikik keras dan mencium jari-jari Sasuke, "Kau akan sangat ahli dalam hal itu."
Mereka melangkah keluar dari toilet dan Ino menjerit, berlari ke pelukan Sakura dan memeluk temannya itu. "Ya ampun," serunya di telinga Sakura.
Sakura menelan ludah, "Pig, tolong, semua orang menatap kita."
"Semua orang memang sudah melihat sebelumnya," ucap Ino pada Sakura sambil memeluk temannya itu erat-erat hingga Sakura pikir ia akan mati. "Maksudku, aku menjelaskan pada mereka bahwa kita membutuhkan ruang."
"Kita?" Sakura mengangkat alisnya dan Ino tersenyum.
"Kita. Sasuke, kau dan aku. Aku akan menjadi bridesmaid, bukan?"
"A-Aku... aku tidak tahu. Aku belum memikirkannya."
"Apa?" Mulut Ino menganga dan Sasuke tertawa.
"Baiklah, bisakah kita pergi?"
"Tidak. Kita masih punya masalah di sini," Ino memandang Sakura, "Aku bukan bridesmaid? Aku sudah tinggal bersamamu selama 2 tahun terakhir!"
"Saku," Sasuke melihat sekeliling dan meletakkan satu tangannya di bahu Sakura, berbisik di telinga gadis itu, "Biarkan dia menjadi bridesmaid," Ia mendesah, "Orang-orang menatap kita... aku malu."
Sakura memutar matanya. "Oke, oke. Kau adalah bridesmaid."
"Katakan dengan benar."
"Astaga, Pig," Sakura menghela napas dan Sasuke tertawa keras. "Kau berhenti tertawa, Sasu."
"Maaf," Sasuke menggigit lidahnya agar tidak tertawa.
"Ino-pig, apa kau mau menjadi bridesmaid-ku?"
"Hmm..." gumam Ino berpura-pura berpikir. Sakura memutar matanya lagi dan memukul lengan Ino sambil bercanda. Sasuke hanya tertawa kecil dan mencium pipi Sakura. "Tentu saja, Forehead!"
"Luar biasa," ucap Sakura dan menatap ke arah Sasuke dan Ino, "Bisakah kita makan sekarang? Aku lapar."
***
Seminggu kemudian
Sasuke perlahan berdiri setelah mengabaikan untuk ketiga kalinya ketukan yang terdengar di pintu. Mereka berpesta sampai jam 4 pagi dengan Sai dan Ino dan mereka benar-benar mabuk. Alarm berbunyi dan Sasuke tahu ia harus bangun. Ia akan melakukan wawancara kerja, ia telah belajar bagaimana memotret saat di Irak dan ia sangat ahli dalam hal itu. Ia melamar pekerjaan sebagai fotografer dan ia harus menyiapkan portofolionya sebelum jam 10 pagi.
Sasuke mengusap matanya dan meregangkan tubuh. Ia memiringkan kepalanya ke samping dan menemukan catatan di sisi tempat tidur Sakura.
Aku ada kelas. Aku mencintaimu, sampai jumpa saat makan siang!
Semoga beruntung hari ini! XOXO
Sasuke tersenyum dan berdiri. Masih ada seseorang yang terus mengetuk pintu dan ia harus segera membukanya. Ia menguap, menatap jam wekernya di meja samping tempat tidur sebelum mengenakan kaos dan berjalan ke ruang tamu. Daisy sudah mencakar pintu, melompat-lompat dengan penuh semangat, tapi Sasuke mengabaikannya, membuka kunci pintu dan membukanya, "Ah, Ino."
"Hei Sasuke," Ino terdengar kesal.
Sasuke tersenyum sedikit, "Ada apa?"
"Aku punya kiriman khusus untuk Sakura," Ino mendesah, sedikit menghentakkan kakinya di lantai.
"Sakura ada kelas," Sasuke memberitahu dan menguap. "Tidak bisakah kau kembali lagi nanti? Aku ada wawancara kerja."
"Aku harus pergi bekerja juga, Sasuke," Ino mengingatkan. "Ini," Ia melangkah ke samping, memperlihatkan seorang bocah laki-laki berambut coklat mengenakan jeans gelap dan polo hijau. Bocah laki-laki itu menatap Sasuke dengan mata besar seperti anak anjing dan mendekap boneka beruang cokelat lebih dekat ke tubuhnya, tiba-tiba tampak takut pada Sasuke.
"Siapa dia?" tanya Sasuke dengan bingung ketika Ino memberikan ransel anak laki-laki itu padanya, "Ino, siapa dia?"
"Mikio," jawab Ino sebelum berbalik dan menghilang ke dalam lift. Sasuke menatap bocah laki-laki itu dengan tidak percaya dan bocah itu melangkah mundur.
Sasuke menatap ke koridor, mencoba memahami lelucon macam apa ini. Kenapa Ino meninggalkan Mikio di depan pintunya? Ia tidak tahu apa-apa tentang anak kecil. Ya ampun, ia membutuhkan Sakura.
"Er.. hai," ucap Sasuke saat Mikio terus mengamatinya dengan tatapan takut, "Ayo masuk ke dalam."
Sasuke dengan lembut mendorong bocah itu ke dalam ruang tamunya, menutup pintu di belakangnya dan meletakkan ransel bocah itu di lantai.
"Oke, duduklah," ucap Sasuke sambil menunjuk ke sofa. Bocah laki-laki itu mengambil langkah perlahan ke sofa tapi tidak duduk. "Ada masalah?"
Mikio meringis, "Aku tidak bisa naik sendiri."
Sasuke tidak bisa menahan senyum. Ia berjalan ke arah bocah laki-laki itu dan mengangkatnya ke atas sofa. Mikio segera mengayunkan kakinya ke depan dan ke belakang sementara matanya terus mengamati seisi ruang tamu.
"Jadi kau Mikio, kan?" Sasuke mencoba membuat percakapan, tapi bocah laki-laki itu hanya memeluk beruangnya lebih erat dan melihat ke bawah, mengabaikan pertanyaannya. "Oke, mungkin ini tidak akan membantu." Sasuke kemudian membungkuk di depan Mikio dan mengulurkan tangannya, "Aku Sasuke."
Mikio melihat tangan Sasuke dan kemudian ke wajah Sasuke sebelum menjabatnya, "Aku tahu siapa kau."
"Benarkah?"
"Ya," Mikio memberitahu dengan sopan, "Kaasan menceritakan semuanya tentangmu. Kau adalah kakak laki-lakiku yang pernah pergi ke Irak."
Sasuke menelan ludah. "Secara teori, aku bukan kakakmu. Aku um... pacar Sakura."
Mulut bocah kecil itu ternganga. "Neechan punya pacar?"
"Ya, aku," Sasuke terkekeh. "Tapi kakakmu sedang pergi, jadi dimana Kaas—" Ia mengusap lehernya dengan gugup sebelum melanjutkan dan berdehem, "Di mana ibumu?"
"Dia bilang padaku bahwa Sakura-nee akan menjagaku karena dia sibuk bersama Tousan," Mikio memberi tahu dan Sasuke mengangguk.
"Oke, masalahnya Sakura ada ujian hari ini dan aku ada wawancara kerja."
"Ayahku bekerja dengan mobil."
"Kedengarannya um..." Sasuke berdehem lagi "Menyenangkan." Ia memutar matanya. Ia sangat menyedihkan di sekitar anak-anak, ia tidak tahu apa-apa tentang mereka dan tidak tahu bagaimana harus bertindak juga.
"Saat aku besar nanti, aku ingin menjadi dokter anjing."
"Kedengarannya bagus," Sasuke mencoba terdengar meyakinkan tapi Mikio mengabaikannya.
"Aku punya kucing bernama Boots."
Ya Tuhan, Mikio persis seperti Sakura ketika dia masih kecil, sangat banyak bicara.
"Um... oke," Sasuke berdiri lagi, "Bisakah kau menunggu sebentar, Mikio?"
"Kau bisa memanggilku Miki," Bocah itu menambahkan dengan tenang, "Kaasan, Tousan dan Sakura-nee kadang memanggilku Miki."
"Oke Miki," Sasuke mengoreksi sebelum melihat sekeliling dan mengusap rambutnya, "Aku harus menelepon. Bisakah kau menunggu sebentar?" Ia menunjuk ke Daisy, "Kau akan menjadi seorang dokter, kenapa kau tidak coba memeriksa apakah Daisy baik-baik saja?"
Mikio menyeringai. "Boleh?"
"Tentu, silakan."
Mikio mengangguk pelan dan melompat dari sofa dan duduk di samping Daisy. Sasuke menggelengkan kepalanya dan berjalan ke kamarnya dengan cepat, mencari ponselnya di dalam celananya semalam. Ia menghubungi nomor Sakura segera setelah ia menemukannya.
"Pagi, Sasuke-kun," jawab Sakura dari seberang sana dan Sasuke tersenyum.
"Cherry, kita punya masalah."
"Ada apa? Kau baik-baik saja?" tanya Sakura khawatir dan Sasuke mengangguk meskipun gadis itu tidak bisa melihatnya.
"Aku baik-baik saja. Aku baru saja bangun dan kau tahu aku ada wawancara kerja hari ini, kan?"
"Tentu," Sasuke bisa membayangkan Sakura tersenyum. "Mereka akan menyukaimu. Kau tidak perlu gugup sama sekali."
"Bukan itu," Sasuke menghela napas dan mengusap wajahnya, "Mikio ada di sini."
"A-Apa? Apa yang dia lakukan di sana? Kaasan juga di sana?"
Sasuke tidak ingin terdengar kecewa. "Dia tidak ada di sini. Hanya aku dan Mikio."
"Oh. Maaf aku lupa mereka akan berkunjung minggu ini."
"Bukan itu masalahnya sekarang, tapi apa yang harus aku lakukan dengan Mikio? Aku harus pergi ke wawancara kerja."
"Aku akan berbicara dengan dosenku dan bernegoisasi apakah aku bisa mengerjakan ujian di lain hari."
"Tidak, tidak," Sasuke menggelengkan kepalanya dan menghela napas, "Aku bisa menyelesaikan ini. Fokus saja pada ujianmu. Aku akan menjaganya."
"Kau yakin?" Sakura terdengar putus asa tapi Sasuke mengangguk.
"Ya, semoga ujianmu berhasil."
"Oke. Sampai jumpa saat makan siang!"
"Ya, sampai jumpa, Cherry."
Sasuke menutup telepon dan duduk di tepi tempat tidurnya. Ia menyembunyikan wajahnya di tangannya dan menghela napas dalam-dalam. "Aku sangat kacau," gumamnya sebelum menutup matanya rapat-rapat.
Tiba-tiba Sasuke mendengar Mikio berteriak ke dalam kamarnya dan meraih tangannya, menariknya ke koridor dan ke ruang tamu lagi, "Daisy, Daisy."
Mereka berlari lebih cepat ke ruang tamu dan Sasuke membungkuk di samping anjing yang menggeliat. Ia menyentuh kepala Daisy dan Mikio berlari ke pelukannya, menangis.
"Miki, tidak apa-apa," Sasuke mencoba menghibur tapi bocah laki-laki itu menangis lebih keras. "Dia masih hidup," Ia mengusap punggung Mikio perlahan dan bocah itu berbalik untuk melihat Daisy.
"Sungguh?" tanya Mikio dengan suara lemah dan Sasuke mengangguk.
"Daisy baik-baik saja. Dia memang bersuara dan bertingkah seperti dia sedang sekarat sesekali, tapi dia baik-baik saja."
"Apa dia sudah tua?" Mikio memandang Sasuke dengan mata prihatin.
Sasuke tersenyum, "Ya, cukup tua."
"Oh." Mikio duduk di samping Daisy dan anjing itu menyandarkan kepalanya di pangkuannya.
Sasuke juga duduk bersama mereka, "Daisy sudah berusia 11 tahun."
"Umurku hampir 4 tahun," ucap Mikio dengan bangga menunjukkan empat jarinya dan Sasuke menyeringai.
"Aku hampir 22 tahun."
"Berapa?" tanya Mikio penasaran dan Sasuke meraih tangannya. Bocah laki-laki itu mengangkat ibu jari dan jari telunjuknya.
"Oke," Sasuke memutar matanya, "Jadi aku punya dua jarimu dan sepuluh jariku," Ia menunjukkan kedua tangannya yang besar, "Jumlahnya jadi 12."
Mikio mengangguk meskipun ia tidak mengerti apa-apa.
"Jadi kita tambahkan 10 jari lagi," Sasuke menunjukkan tangannya lagi, "Dan itu menunjukkan umurku."
"Oh" Mikio mengerutkan kening, "Apa itu banyak?"
"Lebih banyak dari Sakura."
"Wow," Mikio tampak kaget dan Sasuke tertawa. Mikio membelai telinga Daisy. "Kupikir aku membunuhnya tadi," Mikio menyimpulkan sambil menatap Sasuke lagi.
"Kenapa?"
"Karena aku memberinya permen," jawab Mikio berbisik, "Ino-nee memberikannya padaku tapi dia bilang itu rahasia."
"Oh," Sasuke terkekeh sedikit tapi menjadi serius lagi ketika ia melihat ekspresi khawatir Mikio. "Kenapa kau tetap memberinya permen?"
"Aku tidak punya obat," jawab Mikio seolah itu adalah hal yang sudah jelas dan Sasuke memutar matanya.
"Jangan khawatir, Daisy baik-baik saja," Sasuke bediri dan Mikio menatapnya, "Dengar, aku harus pergi ke suatu tempat, apa kau mau ikut?"
Mikio mengangguk. "Apa aku akan bertemu Sakura-nee? Aku merindukannya."
"Kau akan bertemu nanti," Sasuke meyakinkan bocah itu, "Aku hanya perlu mandi sebentar, bisakah kau menunggu?"
"Apa kau punya SpongeBob?" tawar Mikio dan Sasuke mengangguk pelan. Mikio tersenyum manis, "Aku bisa menunggu."
***
"Oke, aku siap," Sasuke melangkah keluar dari kamarnya mengenakan kemeja hitam, jeans gelap dan sepasang Adidas Trimm Trab abu-abu dan krem. Rambutnya sekali lagi dirapikan dengan sedikit gel.
Mikio memandang Sasuke seolah-olah Sasuke adalah orang terkenal, "Boleh aku memiliki rambut seperti punyamu?"
Sasuke tampak bingung, "Ada apa dengan rambutmu?"
"Ini tidak sekeren punyamu," jawab Mikio sederhana dan melompat dari sofa, "Boleh?"
Sasuke mengangkat bahu. "Kau diperbolehkan menggunakan gel?"
"A-Aku rasa," Mikio tersenyum pada Sasuke dengan tatapan lucu seperti anak anjing dan meskipun Mikio diadopsi, bocah itu tidak bisa lebih mirip dengan Sakura.
"Ah, oke, kalau begitu jangan beri tahu ibumu."
"Oke," Mikio bertepuk tangan penuh semangat dan mengangkat lengan kecilnya ke atas.
Sasuke mengamati bocah laki-laki itu dengan mata menyipit, "Apa?"
"Angkat aku."
Sasuke mengusap lehernya dengan gugup sebelum menggendong bocah itu, "Seperti ini?"
Mikio mengangguk dan menyandarkan kepalanya di bahu Sasuke. Sasuke tersenyum, ia mulai percaya bahwa ia benar-benar bisa menangani seorang anak kecil, setidaknya jika berperilaku baik seperti Mikio.
"Baiklah. Ayo tata rambutmu."
Setelah merapikan rambut Mikio seperti rambutnya, Sasuke akhirnya bisa meninggalkan rumahnya. Ia memilih naik taksi karena ia tidak yakin apakah Mikio boleh duduk di kursi belakang mobilnya tanpa kursi khusus anak kecil.
Mereka tiba di studio foto dua puluh menit sebelum giliran wawancara Sasuke. Ia berbicara dengan resepsionis dan resepsionis itu setuju untuk menjaga Mikio selama ia melakukan wawancara.
"Putramu benar-benar imut," ucap gadis resepsionis itu pada Sasuke dengan genit dan Mikio mengangkat alisnya ke arah gadis itu.
"Dia adalah pacar kakak perempuanku!"
"Oh," Gadis itu terdengar kecewa dan Sasuke tersenyum. Sakura akan sangat senang mengetahui bahwa adik laki-lakinya tidak membiarkan gadis-gadis lain menggodanya. Mikio terus mengetuk-ngetukkan jari kelingkingnya pada portofolio Sasuke sambil menggumamkan sebuah lagu.
"Uchiha Sasuke?"
"Ah giliranku," Sasuke berdiri dan menatap Mikio, "Kau harus bersikap baik, oke? Aku akan segera kembali dan kita bisa pergi menjemput Sakura."
"Oke," Mikio tersenyum dan berdiri, berlari memeluk kaki Sasuke. Mikio memberi isyarat dengan tangannya ke arah Sasuke yang segera membungkuk sejajar dengan Mikio, lalu bocah itu mencium pipinya, "Semoga berhasil."
Sasuke tersenyum tulus, "Terima kasih."
Tiga puluh menit kemudian, Sasuke melangkah keluar ruangan dengan senyum lebar di wajahnya, "Diterima, Miki."
Mikio melompat-lompat dengan penuh semangat.
"Kita akan merayakannya. Bagaimana dengan es krim?"
"Aku suka es krim!"
Mereka berjalan keluar gedung dan Mikio dengan cepat menyelipkan tangan kecilnya ke tangan Sasuke yang besar. Sasuke melihat tangan mereka yang bergandengan dan tersenyum. "Kau tahu, Miki?"
Mikio mendongak. Sasukd tampak begitu tinggi saat mereka berjalan berdampingan. "Apa?"
Sasuke mengenakan kacamata hitam aviator Ray Ban-nya dan mereka berjalan di trotoar, "Kau sebenarnya bocah yang cukup baik."
Mikio tersenyum bangga, "Terima kasih!"
Mereka berhenti untuk membeli es krim dan bocah laki-laki itu mulai merogoh saku jeansnya ketika Sasuke mengulurkan es krim stroberi padanya. "Apa yang kau lakukan?"
"Mencari uang."
Sasuke tampak bingung. "Untuk apa?"
"Untuk membayar es krim," ucap Mikio dengan polos. "Jika kau mencari pekerjaan, itu karena kau tidak punya uang, bukan?"
Sasuke tertawa dan meraih bocah laki-laki itu dalam pelukannya, "Aku punya uang," ucapnya seolah itu adalah rahasia, "Aku sebenarnya punya banyak uang."
"Benarkah?"
"Ya," jawab Sasuke. "Aku punya pengacara," Ia memandang Mikio ketika mereka mulai berjalan lagi, bocah laki-laki itu memakan es krimnya dan memandang Sasuke dengan rasa ingin tahu, "Apa kau tahu apa itu pengacara?"
Mikio dengan cepat menggelengkan kepalanya.
Sasuke tersenyum, "Tidak apa-apa, kau akan belajar suatu hari nanti di sekolah. Jadi, ibuku memberiku sejumlah uang sebelum dia meninggal dan temanku yang seorang pengacara menginvestasikannya, jadi itu artinya aku punya lebih banyak uang daripada sebelumnya."
"Lalu kenapa kau masih mencari pekerjaan?" tanya Mikio sebelum menawarkan satu sendok penuh es krim ke Sasuke.
Sasuke menggelengkan kepalanya dan melanjutkan, "Aku suka bekerja," ucapnya tulus, "Aku suka memotret."
"Bisakah kau memotretku suatu hari nanti?"
Sasuke mengangguk. "Tentu."
"Keren!" Mikio tersenyum dan melanjutkan makan es krim stroberinya dalam diam. "Kita akan pergi ke sekolah Sakura-nee?"
"Ya" jawab Sasuke. "Apa kau ingin berjalan sendiri?"
Mikio menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku suka digendong."
Sasuke menahan tawa dan mengangguk. "Baiklah."
Mereka naik taksi dan setelah beberapa menit mereka tiba di kampus Sakura. Mereka duduk di bangku di seberang pintu depan dan menunggu gadis itu. Mikio terus bertanya pada Sasuke tentang kehidupan pemuda itu, apa yang Sasuks sukai, dan apakah Sasuke pandai dalam olahraga. Sasuke juga dipaksa berjanji untuk mengajari bocah itu bermain basket dan berenang ketika ia sudah dewasa.
"Aku dulu bermain dengan ayahku setiap hari," ucap Sasuke pada Mikio, "Dia adalah pelatihku."
"Ayahku tidak suka olahraga," ucap Mikio dengan sedih dan sejenak Sasuke berharap Mikio benar-benar adik laki-lakinya dan bocah itu bisa memiliki Fugaku sebagai ayahnya. Ia mendesah. Ia merindukan ayahnya begitu besar. Ia berharap segalanya berbeda dan ia tetap bisa berhubungan dengan Fugaku. Ia tidak bisa untuk tidak berpikir jika ia dan Sakura memiliki bayi suatu hari nanti, anak mereka hanya akan tumbuh bersamanya dan Sakura sebagai sebuah keluarga kecil.
Sasuke tersentak dari pikirannya saat melihat Sakura keluar dari pintu gedung besar kampus. Rambut merah mudanya yang mencolok diikat kuncir kuda dan kulitnya bersinar di bawah sinar matahari. Sasuke menyeringai ketika Sakura melihatnya, meniupkan senyum di wajah Sakura yang sempurna. Tidak peduli berapa kali Sasuke melihat Sakura, kecantikan gadis itu akan selalu membuatnya takjub.
Mikio berlari ke arah Sakura dan kakak perempuannya itu memeluknya, mengangkatnya dan mencium keningnya, "Apa kau bersikap baik?"
Sakura mendudukkan Mikio di bangku lagi, "Tentu!" jawab Mikio manis dan Sakura tersenyum padanya.
"Bagus, tutup matamu sekarang."
Mikio dengan cepat menutupi kedua matanya dengan telapak tangannya dan Sasuke tertawa pelan. Sasuke melepas kacamata hitamnya saat Sakura melingkarkan lengannya di lehernya dan menempelkan bibir gadis itu di bibirnya, "Aku merindukanmu."
"Aku juga merindukanmu, Cherry." jawab Sasuke sebelum menghisap bibir bawah Sakura, meminta izin untuk masuk ke dalam kehangatan gadis itu. Sakura membuka mulutnya dan memiringkan kepalanya sedikit ke samping, membiarkan lidah Sasuke menyelinap masuk dan bergerak dengan lidahnya sendiri. Ia memeluk Sasuke lebih erat dan pemuda itu melingkarkan satu lengan di pinggangnya, memperdalam ciuman itu. Sakura tersenyum dan membelai rambut belakang Sasuke, "Aku sangat mencintaimu."
"Aku juga," Sasuke mengecup bibir Sakura, "Sangat," Ia mengecup lagi dan mencium ujung hidung gadis itu, "Bagaimana ujianmu?"
"Luar biasa," jawab Sakura puas dan menatap Mikio, "Sudah tidak apa-apa untuk membuka matamu, Mikio."
Mikio perlahan membuka matanya lagi dan menatap dua orang dewasa itu, "Apa kalian berciuman?"
"Ya," Sasuke tertawa dan Sakura memukul dadanya sambil bercanda.
"Eww," Mikio mengerutkan hidungnya dan Sasuke sedikit menggelitik sisi tubuhnya.
"Saat kau dewasa, kau tidak akan berkata 'Eww' tentang itu."
Bocah laki-laki itu terkikik dan Sakura mencium pipi Sasuke. "Bagaimana dengan wawancara kerjamu?"
Sasuke menyeringai, "Katakan padanya, Miki."
Mikio berdiri dan meninju udara, "Diterima!"
Sakura terkikik, "Apa yang telah kau ajarkan padanya?"
"Tidak ada," jawab Sasuke polos.
Sakura mengamati adik laki-lakinya, "Apa itu gel di rambutnya?"
Mikio tersentak dan memandang Sasuke. Sasuke meringis sebelum menjawab, "Mungkin."
"Ya Tuhan," Sakura menggelengkan kepalanya, "Kaasan meneleponku," Ia memberitahu Mikio, "Dia bilang dia akan menjemputmu setelah makan malam."
"Tidak," rengek Mikio, "Aku ingin tetap bersama Sasuke-nii," Sakura mengerutkan kening dan Mikio menambahkan dengan cepat, "Dan Sakura-nee."
"Ah" Sakura mengangguk, cekikikan. "Itu lebih baik."
Sasuke mencium pipi Sakura dan berbisik di telinga gadis itu, "Mungkin lebih baik jika aku tidak ada di rumah saat Kaasan datang."
"Tidak, Sasu," Sakura mencium dagu Sasuke, "Kita perlu memberitahunya tentang pernikahan kita."
"Kau akan menikah?" tanya Mikio dengan senang dan Sakura mengangguk.
"Ini rahasia."
"Ya ampun," gumam Mikio, "Terlalu banyak rahasia, aku tidak tahu apakah aku bisa menyimpan semuanya."
Sakura terkikik dan berdiri, "Aku lapar. Haruskah kita makan?"
"Ya," ucap Sasuke dan Mikio bersamaan. Sasuke berdiri dan ketika ia hendak melingkarkan tangannya di bahu Sakura, Mikio berlari di tengah-tengah mereka dan memegang tangan kakak perempuannya. Sakura menatap adik laki-lakinya dan kemudian pada Sasuke. Sasuke mengangkat bahu dan terus berjalan.
Ketiganya berjalan dalam diam di trotoar dan saat hampir sampai di belokan, sebelum mereka bisa berbelok ke kiri, Mikio juga meraih tangan Sasuke dan mendesah puas.
***
Sasuke tidak bisa mendeskripsikan dengan kata-kata untuk menggambarkan apa yang ia rasakan saat ini. Ia tidak pernah merasa serentan ini sebelumnya, mungkin hanya ketika ia berusia 17 tahun dan ia memiliki tahun terbaik namun terburuk dalam hidupnya. Yang terbaik karena Sakura bersamanya, keintiman mereka, persahabatan mereka, dan cinta mereka yang semakin tumbuh membesar setiap hari. Tahun terburuk karena saat itulah ia juga kehilangan keluarga dan teman-temannya. Ia harus pindah ke kota lain, pergi ke sekolah lain yang ia tidak kenal. Tinggal di rumah dengan aturan berbeda, berhenti bermain basket. Tapi tidak ada yang membuat hatinya sakit seburuk saat ia tidak bisa melihat Sakura setiap hari, merasakan gadis itu bangun di sebelahnya, menciumnya...
Dan sekarang, empat tahun kemudian... 1460 hari setelah melihat Sakura untuk terakhir kalinya, Haruno Mebuki ada di depannya. Sasuke tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bagaimana harus bereaksi. Otaknya menyuruhnya untuk melarikan diri, jantungnya berdegup di dalam dirinya tapi tubuhnya sepertinya tidak bereaksi. Ia mencoba berjalan, berbicara dan melakukan sesuatu, tapi kakinya terasa seperti menempel di lantai dan kata-katanya tersangkut di tenggorokannya. Sasuke hanya ingin meringkuk seperti bola dan menangis sepenuh hati. Ia secara resmi merasa seperti anak berusia 2 tahun lagi.
Meski ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa Mebuki adalah wanita yang sama yang mengusirnya dari rumah ketika ia masih remaja, ia tidak bisa mengabaikan emosi di mata Mebuki dan pucat di wajah wanita itu.
"Sasuke," ucap Mebuki dengan suara lemah saat Sasuke akhirnya bergeser ke samping untuk membiarkan Mebuki dan seorang pria gemuk masuk ke dalam rumahnya.
Sasuke berbalik untuk menatap Sakura dengan cepat dan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka gadis itu tampak lebih kuat dari Sasuke. Sakura menggenggam tangan Sasuke dan berbisik 'Kau dan aku selamanya, ingat?' di telinga Sasuke sebelum mendapat anggukan lembut dari pemuda itu.
"Kaasan, aku lega kau berhasil sampai ke sini," ucap Sakura lembut, mencium pipi ibunya dan kemudian memeluk pria di samping ibunya dengan cepat, "Ini Sasuke, Tousan. Yang aku ceritakan padamu."
Jiro mengangguk dan tersenyum dengan tulus. "Senang bertemu denganmu, Sasuke," Ia mengulurkan tangannya yang dengan cepat diterima Sasuke, "Aku sudah mendengar banyak tentangmu."
"Senang bertemu denganmu juga," Sasuke setengah tersenyum. "Mikio membicarakanmu sepanjang sore ini."
Mebuki terus menatap Sasuke, mulutnya sedikit terbuka, membuat Sasuke merasa sangat tidak nyaman. Jiro dan Sakura berani bersumpah ketegangan di ruangan itu begitu kental hingga orang mungkin hampir bisa memotongnya dengan pisau.
"Mikio sudah makan dan tidur siang," Sakura memberitahu ibunya, "Dan Sasuke membelikannya beberapa pakaian."
"Apa yang terjadi dengan pakaian lamanya?" tanya Jiro dan Mebuki akhirnya berhasil mengalihkan perhatiannya pada Sakura.
"Terkena es krim," jawab Sakura dan Jiro tersenyum.
"Jika dia terus makan seperti itu, dia akan berubah menjadi seperti aku."
Sakura terkikik dan Sasuke tersenyum. "Dia anak yang sangat baik. Aku sangat senang akhirnya bisa bertemu dengannya. Sakura sering membicarakannya."
"Terima kasih," jawab Jiro dengan manis dan Sakura melanjutkan.
"Tousan, bisakah kau pergi membangunkan Mikio? Dia ada di kamar sebelah sana, di ujung terakhir koridor," Sakura berdehem, "Kami perlu berbicara dengan Kaasan secara pribadi."
"Tentu," Jiro memandang Mebuki dan tersenyum pada wanita itu sebelum berjalan keluar dari ruang tamu yang besar. Sasuke dan Sakura berjalan bergandengan tangan ke sofa dan gadis itu memberi isyarat pada ibunya untuk duduk juga.
"Apartemen yang bagus," komentar Mebuki setelah beberapa detik dalam diam.
"Terima kasih," jawab Sasuke tanpa memandang Mebuki, "Ini dari..." Ia berhenti sebentar, "Ibuku."
Mebuki mengangguk mengerti. "Dia punya selera yang bagus."
"Kaasan," Sakura memulai dan melirik Sasuke dengan sudut matanya. Sasuke mengangguk, meskipun ia tidak yakin apakah mereka harus membicarakan pernikahan itu sekarang. Sakura tersenyum, "Kau tahu bahwa kami berdua sekarang sudah dewasa dan kami bisa melakukan apapun yang kami inginkan dengan hidup kami."
"Aku tahu."
"Sasuke dan aku saling mencintai," ucap Sakura cepat. "Kami akan menikah."
"Kami akan mengerti jika kau tidak ingin datang ke pernikahan kami," Sasuke menemukan suaranya lagi, "Kau tidak harus menerimaku menikahi putrimu."
Mebuki menghela napas pelan dan matanya berkaca-kaca, "Sasuke, aku..." Ia menyisir rambutnya dengan tangan dan menghela napas, "Aku minta maaf atas semua yang terjadi di masa lalu."
"Itu masa lalu." Sasuke mengingatkan Mebuki dengan suara dingin. "Tidak masalah lagi."
Sasuke tidak bisa berbohong sama sekali. Sakura sangat mengenalnya. Sebanyak Sasuke mencoba untuk melepaskan semua tentang masa lalu mereka, hal itu masih sangat menyakiti pemuda itu. Sama seperti Sakura, ia merindukan ibu dan ayahnya. Sasuje merindukan keluarga yang mereka miliki. Saat-saat menyenangkan jauh lebih banyak daripada saat-saat buruk dan itu akan membuatnya benar-benar bernostalgia.
"Tidak, Sasuke," ucap Mebuki dengan tegas, "Aku salah empat tahun lalu. Seharusnya aku menerima kalian berdua. Kalian saling mencintai, kau membuat Sakura bahagia," pungkasnya dengan suara sedih, "Sungguh menyakitkan melihat putriku menderita karena jauh darimu. Sangat menyakitkan berada jauh darimu."
Sasuke menunduk dan sekali lagi ia merasa rentan seperti bayi. Sakura dengan cepat menghapus air mata yang mengancam untuk jatuh di pipinya dan ia mencium bahu Sasuke, "Sudah waktunya untuk melepaskannya, Sasuke-kun. Itu semua sudah berlalu."
"Sasuke," Mebuki berdiri dan membungkuk di depan Sasuke. Dengan cara yang sama seperti ketika ia perlu menjelaskan sesuatu ketika Sasuke masih kecil. "Kau adalah bayiku," ucapnya, "Kau akan selalu menjadi anakku dan aku minta maaf karena menjadi ibu yang buruk dan tidak bisa mengerti dirimu," Ia meraih tangan Sasuke yang bebas dan mengangkat dagu Sasuke untuk menatap matanya, "Maaf karena menjadi ibu yang buruk."
Sasuke mengamati wajah Mebuki saat air mata mengalir di pipinya sekarang. Mata Mebuki penuh dengan penyesalan dan Sasuke tahu bahwa Mebuki bersungguh-sungguh dengan semua hal yang dikatakannya. Ia memandang Sakura dan tahu betapa pentingnya berdamai dengan keluarga bagi gadis itu. Pikirannya bergerak ke masa depan dan ke anak-anaknya sendiri, yang tumbuh tanpa keluarga. Bukan itu yang ia inginkan untuk anak mereka.
Sasuke melepas genggaman tangan Sakura untuk mengusap air mata di pipi Mebuki dengan ibu jarinya, "Semuanya sudah berlalu," Ia mengingatkan Mebuki lagi. "Ayo kita akhiri bab ini, oke... Kaasan?"
Mebuki tersenyum lebar dan ia berdiri, memeluk tubuh Sasuke yang tinggi. Sasuke balas memeluk juga, membiarkan beberapa air mata jatuh di rambut ibunya. Ia mendengar tawa manis Sakura dan ia menjauh dari ibunya, untuk membawa gadis impiannya itu ke dalam pelukan posesifnya juga.
"Kalian akan sangat bahagia bersama," Mebuki tersenyum dan mencium pipi mereka.
"Jadi, kau akan datang?" tanya Sakura penuh harap dan Mebuki mengangguk.
"Tentu saja. Jiro dan aku tidak akan melewatkan pernikahan kalian untuk apa pun di dunia ini," Mebuki tersenyum bangga dan membelai pipi Sasuke dan Sakura, "Tidak setiap hari bisa menikahkan dua anakmu pada saat yang sama."
Sasuke terkekeh dan Sakura terkikik. Mikio berlari ke ruang tamu dan melompat ke atas sofa, "Aku juga ingin pelukan."
Mikio mengangkat lengan kecilnya dan Sasuke memeluknya juga, "Ah, generasi baru."
***
To be Continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)