Chapter 4 - Berbeda
"Aku serius, Saku. Tahun ini, segalanya akan berbeda."
Sasuke dan Sakura sedang berjalan tujuh blok dari tempat parkir ke asrama pada hari pertama mereka kembali ke kampus. Meskipun menjelang senja, panasnya Agustus masih membuat pakaian mereka menempel di tubuh mereka. Rambut Sakura menempel di lehernya. Untung saja, tidak ada koper untuk diseret tahun ini karena Sakura masih di kamar yang sama dan membuat Sasuke lega mengingat panas terik membakar pantatnya.
"Sasuke, kau sudah bajingan sejak masih menjadi zigot. Bagaimana kau berencana untuk tiba-tiba berubah?" Sakura mendengarkan dengan tidak percaya ketika Sasuke menjelaskan keinginannya untuk menjadi 'pria dengan satu wanita' tahun ini.
"Aku sudah di tahun keempat sekarang... Akan lulus dalam waktu kurang dari setahun. Apa kau tidak berpikir sudah waktunya aku berubah, meskipun sedikit?"
Sakura mengejek. "Aku sudah sangat mengenal perkembangan emosimu sejak kau masih suka melempar slushies di wajahku setiap hari... kau tahu itu."
Sasuke menghela napas. "Aku hanya memberitahumu, Saku. Tahun ini, segalanya akan berbeda."
Berhasil sampai ke asramanya, Sakura berjinjit dan mengecup bibir Sasuke. Menepuk pucuk kepala pemuda itu seperti anak manja, ia berbisik, "Kita hanya harus menunggu dan melihat."
Menggerutu pada kurangnya kepercayaan Sakura padanya, Sasuke akhirnya menyuruh gadis itu untuk menemuinya di Student Center untuk makan malam pukul 6 sore nanti dan kemudian ia melangkah pergi ke asramanya sendiri.
Ya, satu tahun lagi dimulai di kampus Universitas Sapporo.
Aku tahu bahwa aku telah menjadi teman yang mengerikan. Kita jarang berhubungan akhir-akhir ini dan untuk itu, aku minta maaf. Kuharap kau baik-baik saja. Aku tidak percaya kita berada di tahun ketiga kuliah kita. Sepertinya baru kemarin kita mengikuti acara kelulusan sekolah.
Sasuke memulai tahun terakhirnya sekarang. Kau akan sangat bangga padanya, Ino-pig. Dia melakukan semuanya dengan sangat baik dan benar-benar fokus untuk menjadi seorang ahli terapi fisik. Aku tahu! Ini mengejutkan bahkan bagiku sendiri, bahwa Sasuke yang playboy ternyata sangat baik, tapi aku yakinkan dirimu, ini sedang terjadi.
Bagaimanapun, aku berharap untuk mendengar balasan darimu segera. Tolong sampaikan salamku pada teman-teman yang lain juga!
Sakura.
***
Sebulan setelah kelas dimulai, Sakura masuk ke Student Center dengan terburu-buru, membuat rambut berayun di punggungnya. Matanya mencari Sasuke ke seluruh sudut ruangan dan ketika ia melihatnya, ia segera lari ke arah pemuda itu.
Sasuke menatap Sakura ketika gadis itu berhenti di depannya, sendoknya menggantung di bibirnya.
Sambil menarik napas, Sakura mulai mengoceh. "UKM-sedang-membuka-audisi-musikal-dan-aku-lolos-mendapat-peran-utama!"
Sasuke merengut pada Sakura. "Uhh... Saku? Aku tidak mengerti apa yang baru saja kau katakan. Kau seharusnya memberi spasi diantara kata-katanya. Lihat... seperti... ini." Ia mencontohkan, mata onyxnya berkilat jahil.
Sakura memelototi Sssuke yang menyeringai. "Kubilang, UKM sedang membuka audisi musikal dan aku, Haruno Sakura, lolos mendapat peran utama!" Ia mulai melompat-lompat memikirkan dirinya menjadi pemeran utama dalam musikal di kampus.
"Saku! Itu hebat! Apa judul musikalnya?"
"The Prince & I!"
Sasuke memandang Sakura. "Aku tidak tahu tentang apa itu... tapi kedengarannya samacam kisah gay."
Sakura memukul lengan Sasuke. "Ini musikal klasik, dasar babi tidak berbudaya." Suaranya nyaring. "Aku akan membeli makanan. Aku akan segera kembali."
Setelah Sakura berhasil kembali ke meja dengan makanannya, ia mulai mengoceh tentang musikal itu. Rentang perhatian Sasuke ketika membahas musikal hanya sedikit lebih lama dari saat membahas pernikahan artis Hollywood. Oleh karena itu, matanya mulai berkeliaran keseisi ruangan dan ia mulai mengamati semua mahasiswi baru di sekolah. Apakah hanya perasaannya ataukah memang mahasiswi baru semakin seksi?
"Sasuke!" Sakura menjentikkan jari ke depan wajah pemuda itu.
"Sangat menarik," jawab Sasuke, tidak memperhatikan.
"Kau tidak mendengarkan aku!"
"Itu benar-benar luar biasa, Saku."
"Sasuke!" Sakura meneriakkan nama pemuda itu, menyebabkan beberapa orang di dekatnya berbalik dan menatap ke arah mereka.
Mata Sasuke tersentak ke arah Sakura. "Shit, Sakura, apa?"
"Kau tidak mendengarkan aku!" Sakura menyilangkan lengannya dan cemberut.
Sasuke menaikkan tangannya ke atas meja dan meraih tangan Sakura. Sorot matanya berubah lembut dan ia meminta maaf karena ia tahu ekspresinya ini selalu membuat Sakura memaafkannya.
"Sayang, kau tahu aku akan ada di sana untuk mendukungmu. Aku akan berada di bangku pertama, melambaikan pom-pom atau omong kosong lainnya. Tapi kau tahu musikal membuatku ingin melemparkan diri ke dalam api..."
"Baik," desah Sakura. "Aku tidak akan membuatmu bosan dengan detailnya. Tapi kau akan ada di sana saat malam pembukaan, bukan?"
"Aku tidak akan melewatkannya, Saku. Kau tahu itu."
***
Latihan untuk The Prince & I sangat memonopoli waktu Sakura. Di antara tugas kuliah dan jadwal latihan gadis itu, Sasuke mendapati dirinya makan malam sendirian lebih dari yang ia harapkan. Sakura sering tidak kembali ke kamarnya sampai setelah jam 9 malam dan biasanya gadis itu akan sangat lelah. Namun, setidaknya beberapa kali seminggu, Sasuke akan menunggu Sakura di kamar gadis itu.
Sakura berjalan masuk ke kamarnya, tidak terkejut melihat Sasuke berbaring di tempat tidurnya.
"Hai, Sasuke."
Sasuke mendongak dari kegiatannya membaca edisi terbaru 'Cosmopolitan'. "Hei, Saku... Apa wanita benar-benar bermasturbasi untuk membantu diri mereka tidur?"
Sakura menghentikan langkahnya, "Hah?" Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Sasuke selalu mengajukan pertanyaan paling aneh, tidak pantas, dan selalu ketika ia tidak siap untuk berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Sasuke melemparkan majalah yang dibacanya pada Sakura. "Itu yang dikatakan yentas di Cosmo. Tapi... wanita tidak seperti itu, kan? Maksudku... itu kedengarannya seperti hal yang pria lakukan."
Sakura menjatuhkan tasnya di dekat meja dan menurunkan laptopnya. "Sasuke, untuk penjarah wanita sepertimu, kau benar-benar naif tentang seks kadang-kadang."
"Apa? Aku tahu jalan ke sekitar gua kecil wanita..."
Sakura menyela, berbalik dengan jari terangkat ke wajah Sasuke. "Jangan katakan itu! Kau tahu bagaimana perasaanku tentang penggunaan eufemisme untuk anatomi wanita."
"Kurasa..." ucap Sasuke, mengabaikan ekspresi tersinggung Sakura. "Kurasa aku tidak menyadari bahwa wanita akan melakukan itu hanya untuk membantu mereka tidur."
Berjalan ke lemarinya, Sakura menarik piyamanya. "Well, Sasuke... itu benar-benar membantu jika pikiranmu tidak berhenti berputar dan kau tidak bisa tidur. Orgasme membantu menguras semua pikiran dan merilekskan pikiran untuk bisa tertidur. Sebanyak seks yang pernah kau lakukan, kurasa kau paham itu."
Sasuke jatuh kembali ke ranjang Sakura. "Ya Tuhan, aku seharusnya tahu kau akan melakukannya juga... Sial, Sakura. Kenapa kita tidak pernah berhubungan seks? Aku mulai berpikir bahwa kau mungkin lebih unik daripada setengah populasi gadis yang kutiduri."
Wajah Sakura memerah karena pernyataan Sasuke. Sikap santai pemuda itu tentang seks tidak pernah berhenti membuatnya bingung. Ia memalingkan muka karena malu, "Kita... kita berteman baik. Dan aku lebih suka kau sebagai teman daripada tidak sama sekali, Sasuke."
Sasuke menoleh, menatap Sakura. "Kurasa kau benar... tapi shit, aku pikir ada beberapa hal yang aku tidak tahu tentangmu."
Sakura tersenyum manis. "Hal-hal itu? Kau tidak akan pernah tahu hal-hal itu tentangku." Ia merangkak ke tempat tidur di sebelah Sasuke, "Kurasa kau tidur di sini malam ini?"
"Fuck, ya. Saat aku ke kamarku, Shinji dan pacarnya akan bermain 'salami'. Dan aku harus keluar dari sana."
"Baiklah, ayo tidur. Aku tahu ini masih terlalu awal tapi aku punya kelas jam 7 pagi besok dan pita suaraku..."
"...membutuhkan banyak istirahat agar optimal. Ya, aku tahu, Saku..." ucap Sasuke melanjutkan kalimat Sakura.
Mematikan lampu, Sasuke memberikan ciuman di bibir Sakura. "Selamat malam, Saku."
"Selamat malam, Sasuke."
Sasuke terdiam selama beberapa menit, otaknya masih bekerja keras menganalisis artikel di majalah Cosmo yang tadi ia baca. "Uh... Saku?" tanya Sasuke dalam kegelapan.
"Ya?"
"Apa... uhh... malam ini salah satu dari malam-malam yang akan kau butuhkan untuk... uhh... melakukan apa yang dikatakan dalam majalah?"
Sakura langsung bisa melihat seringai di wajah Sasuke yang setara dengan nada jahil dalam suara pemuda itu.
"Selamat malam, Sasuke!" Hanya itu yang Sakura katakan, kemudian memunggungi Sasuke.
Sakura terkikik ketika ia mendengar Sasuke bergumam, "Sial, aku sedang mencoba," sebelum berguling ke samping. Sambil tersenyum, mereka berdua pun tertidur.
***
Ketika latihan untuk The Prince & I berlangsung, Sakura berteman dengan dua gadis yang bermain dengannya, Moegi dan Tayuya. Moegi adalah mahasiswa jurusan sastra tahun kedua dan Tayuya adalah mahasiswa jurusan musik tahun keempat. Moegi sedikit kekanak-kanakan tapi Tayuya, Sakura tahu, tepat sesuai tipe Sasuke. Berkepala merah dan ceria, memiliki tubuh yang ramping dan Sakura yakin Sasuke akan tertarik untuk berhubungan dengan gadis itu. Dan karena Sasuke berencana menjadi 'pria dengan satu wanita', Sakura berpikir ia akan menguji pemuda itu.
Ketika Sakura berjalan di lorong kampus bersama Tayuya di suatu hari, ia bertanya, "Kau sudah bertemu sahabatku Sasuke, kan?"
Tayuya mendesah sambil berpikir sejenak. "Pemuda tampan berotot dengan mata menawan yang biasanya tidak pernah jauh darimu?"
Sakura tertawa, mengakui pada dirinya sendiri bahwa deskripsi Tayuya tentang Sasuke tidak terlalu meleset. "Ya, dia."
"Ya Tuhan... sepertinya aku tidak bisa melupakannya. Kenapa?"
"Apa kau tertarik untuk berkencan dengannya?"
Tayuya berhenti berjalan, menoleh ke arah Sakura, dan memekik. "Apa kau serius?"
Sakura tersenyum. "Sasuke telah berbicara tentang keinginan untuk menemukan pacar sejati dan kau tampaknya bisa menjadi pacar yang baik. Jika kau tertarik, aku akan mengaturnya."
"Ya Tuhan, Sakura! Ya ya ya!"
Malam itu saat makan malam, Sakura meletakkan nampan makanannya di dekat Sasuke. "Kau punya kencan pada hari Jumat."
Sasuke menatap Sakura bingung. "Tidak, aku tidak punya. Aku akan bermain video game baru pada hari Jumat."
"Well, kau harus menundanya karena sekarang kau punya kencan."
Sasuke bersandar di kursinya, matanya menatap Sakura penasaran. "Apa yang kau lakukan, Sakura?"
"Kau begitu baik menjebakku dengan Toneri tahun lalu, jadi aku ingin membalas budi. Namanya Tayuya, dia lawan mainku di musikal, dan dia menganggapmu tampan."
"Ya, dia benar," Hanya itu yang dikatakan Sasuke.
"Jadi kau setuju?" tanya Sakura setelah beberapa saat.
"Tentu saja aku setuju."
Sakura tersenyum puas pada dirinya sendiri. "Tapi Sasuke, jadikan dia pacar, jangan mengebut dan memanggilnya dengan nama yang aneh."
Sasuke menyeringai. "Sepertinya aku akan melakukan itu."
"Kau memang harus melakukan itu. Ingat? Tahun lalu? Siapa namanya? Suzy? Sandy?"
Sasuke cemberut. Seolah mencoba mengatakan 'Aku tidak akan melakukan itu, lagi'. Memutar matanya, Sakura lanjut memakan makan malamnya.
Aku lupa memberitahumu di email terakhir kita bahwa Naruto pindah ke Universitas Hakodate sekarang. Dia dua tahun di bawahku karena ternyata dia mengambil cuti, tapi aku senang bisa melihatnya lagi. Dan, dia dan Shion sering bersama! Ngomong-ngomong, kelasku semester ini sangat payah. Aku tahu bahwa jurusan Akuntansi adalah keinginanku dan meskipun aku tidak menyesalinya, tapi aku muak dengan debet dan kredit! Tahun keempatku nanti mudah-mudahan akan diisi dengan kelas yang santai karena aku sudah mengerjakan hal-hal sulit di tahun ini.
Katakan pada Sasuke bahwa kami semua disini menitip salam untuknya... dan pastikan celananya tetap tertutup!
Ino
***
Sakura merasa seperti matchmaker yang cerdas. Sasuke dan Tayuya mulai akrab pada kencan pertama mereka dan sudah berkencan lima kali sejak itu.
Suatu malam, tiga minggu sebelum penampilan pertama The Prince & I, Sakura menemukan Sasuke berada di kamarnya lagi.
"Jadi, apa Tayuya sekarang pacarmu, Sasuke?" tanya Sakura main-main, memperhatikan pemuda itu yang tampak mengirimkan pesan teks pada gadis yang ia maksud.
Sasuke mendongak dari ponselnya dan mengangkat bahu. "Kurasa begitu. Dia satu-satunya gadis yang aku kencani dan tiduri... jadi ya..."
Sakura tersenyum. "Bagus. Aku terkesan. Kau sudah mengenalnya selama tiga minggu. Ini pasti hubungan terpanjangmu sejak..." Sakura berpikir sejenak, "...sejak kau berkencan dengan Karin saat di sekolah!"
Sasuke bergidik. "Tolong jangan menyebut-nyebutnya. Memikirkan dia membuatku sangat ketakutan. Gadis itu aneh."
Tertawa, Sakura memeluk Sasuke. "Aku senang untukmu, Sasuke." Ia mendengus dan menambahkan, "Bayi laki-lakiku sudah tumbuh dewasa."
Sasuke hanya mengerang pada Sakura dan kembali fokus pada ponselnya.
***
Bisa dibilang bahwa The Prince & I, dengan Sakura sebagai pemeran utamanya adalah kesuksesan besar. Jika Sakura harus memuji dirinya sendiri, ia akan mengatakan bahwa penampilannya hampir sempurna. Bahkan, salah satu profesornya bertepuk tangan dengan meriah. Dan sesuai dengan janji, Sasuke berada di barisan depan, tersenyum lebar seperti orang idiot. Sahabatnya dan kekasihnya berada dalam panggung yang sama dan keduanya nyaris sempurna. Ia adalah pria yang paling beruntung pada malam itu.
Pertunjukan berlangsung selama tiga malam berturut-turut dan setiap pertunjukan adalah sesuatu yang sangat dibanggakan Sakura. Setelah malam terakhir, diadakan pesta malam penutupan. Sasuke dan Tayuya telah melangkah masuk ke ruang pesta sementara Sakura tetap di luar untuk menghubungi ibunya, menanyakan tentang bagaimana keadaan ibunya. Peringatan satu tahun kematian ayahnya sudah dekat dan ia bersama ibunya mengalami perasaan kehilangan lagi.
Ketika Sakura akhirnya melangkah masuk, ia menemukan Sasuke sedang duduk di kursi dengan Tayuya di pangkuannya. Sasuke berbisik pada Tayuya, ia tidak memperhatikan ketika Sakura tiba. Akhirnya, Tayuya mendongak dan memperhatikan Sakura yang duduk di sebelah mereka.
"Oh, hei, Sakura!"
"Hei, Tayuya... Hei Sasuke."
Sasuke mengangguk dan hendak berbicara ketika Tayuya membungkuk dan membisikkan sesuatu di telinganya. Wajah Sasuke menunjukkan keterkejutan dan kemudian menatap Sakura sebelum kembali menatap Tayuya. Tayuya perlahan turun dari pangkuan Sasuke dan berdiri untuk menyesuaikan pakaiannya. "Sakura, kami harus pergi." ucap Tayuya.
"Begitu cepat?" tanya Sakura, tampak terkejut oleh fakta bahwa ia benar-benar baru saja tiba dan mereka sudah akan pergi. Ia menatap mereka sejenak dan kemudian, menyadari bahwa ia memiliki ekspresi yang tidak menyenangkan di wajahnya, dengan cepat ia mengubah ekspresi terkejut menjadi senyuman. "Tidak apa-apa. Mungkin aku hanya disini selama beberapa menit juga. Aku sangat lelah."
Sasuke menatap Sakura dengan sorot minta maaf di matanya sebelum mencium pucuk kepala Sakura. "Sampai jumpa, Saku."
Sakura memperhatikan mereka saat mereka berjalan pergi. Ia menatap kakinya, merasa ditinggalkan. Aku tidak percaya dia meninggalkanku seperti ini. Meskipun ia tahu bahwa ini adalah reaksi yang berlebihan untuk dilakukan. Sasuke dan Tayuya berkencan dan mereka perlu menghabiskan waktu bersama... Bahkan, ia adalah orang yang mengatur kencan mereka.
Sakura berdiri, berjalan melewati kerumunan orang-orang sehingga ia bisa keluar dari sana. Tidur. Aku butuh tidur.
***
"Aku tidak percaya kau sudah berusia 21 tahun, Sasuke!" seru Sakura bersemangat. Ini adalah malam yang dingin di bulan Januari, ia dan Sasuke sedang belajar di kamarnya.
Sasuke memiringkan kepalanya. "Ini akan menjadi hal besar andai aku tidak minum selama bertahun-tahun, Saku. Tapi sial, aku sudah minum entah sejak aku usia berapa, jadi 21 hanya sebuah angka."
Sakura menatap tajam. "Tetap saja, ini menyenangkan. Dan aku akan membawamu besok malam untuk merayakan ini!"
"Benarkah? Seperti ke bar?"
Sakura mengangguk dengan bersemangat. "Ya. Bar di luar kampus memungkinkan orang di bawah usia 21 tahun diperbolehkan masuk. Jadi aku benar-benar bisa mengajakmu keluar untuk bersenang-senang."
Sasuke tampak gelisah.
"Apa?" Ketika Sakura melihat wajah Sasuke, ia menyadari bahwa pemuda itu mungkin sudah punya rencana dengan Tayuya. "Oh, Sasuke... aku lupa. Aku yakin Tayuya sudah merencanakan sesuatu... Kita bisa pergi malam berikutnya."
Wajah Sasuke menunjukkan kelegaan. "Terima kasih, Saku. Dia sedang merencanakan sesuatu yang sangat besar dan aku tidak ingin membuatnya kesal."
Sakura berjuang untuk menyembunyikan kekecewaannya agar tidak muncul di matanya. Mereka menghabiskan setiap ulang tahun bersama sejak mereka mulai bersahabat di tahun pertamanya. "Ya, aku harap kau bersenang-senang."
Sakura memfokuskan kembali pada buku di depannya, mencoba mengidentifikasi emosi yang menetap di perutnya. Semakin lama ia memikirkannya, semakin buruk perasaannya. Kebencian. Kata itu terlintas di otak Sakura dan ia mencoba untuk menebaknya. Ya, ia benar-benar membenci Tayuya sekarang dan, tampaknya, semakin besar rasa benci itu sepanjang waktu.
Sakura tersadar kembali dari pikirannya oleh suara Sasuke yang menutup bukunya. Pemuda itu melihat jam tangannya, "Kurasa lebih baik aku kembali ke kamarku. Aku harus pergi ke gym besok pagi."
Berdiri, Sakura meregangkan tubuhnya dan berjalan dengan Sasuke ke pintu.
"Selamat malam. Dan jika aku tidak bertemu denganmu besok, selamat ulang tahun." Sakura tersenyum, meskipun ada kesedihan di hatinya bahwa mereka tidak akan menghabiskan ulang tahun bersama.
"Terima kasih, Sayang. Dan aku minta maaf karena kita tidak bisa merayakannya besok." Sasuke menundukkan kepalanya untuk mencium bibir Sakura seperti yang telah dilakukannya ratusan kali sejak hubungan persahabatan mereka menjadi begitu kuat. Sakura mendongak untuk menerima ciuman itu, seperti yang selalu dilakukannya. Tapi ketika bibirnya bertemu bibir Sasuke, semuanya terasa berbeda. Untuk pertama kalinya, ia memperhatikan betapa lembut dan kuat bibir Sasuke dan bagaimana ciuman itu, meskipun itu hanya sebuah kecupan, memunculkan rasa panas di belakang matanya yang perlahan-lahan seakan menenggelamkan tubuhnya, berputar-putar di rongga dadanya, sebelum menumpuk di perutnya.
Dan lama setelah Sasuke pergi, bibirnya masih terasa terbakar karena sentuhan pemuda itu. Terkesima dengan reaksi tubuhnya, ia memilih untuk tidur, tidur dengan gelisah.
***
Ketika kaki Sakura melangkah lebar-lebar melintasi kampus secepat mungkin karena cuaca dingin di suatu hari di akhir Februari, ponselnya berdering. Menghentikan langkahnya, ia merogoh saku jaketnya dan menjawab telepon itu.
"Haruno-san?" tanya suara tak dikenal dari ujung telepon.
"Ya?" tanya Sakura dengan rasa ingin tahu.
"Ini dari UGD rumah sakit Universitas Sapporo. Kami baru saja membawa seorang korban kecelakaan dan dia mengindikasikan bahwa kau adalah kontak daruratnya."
Jantung Sakura mulai berdebar kencang. "Ko... korban kecelakaan?"
"Ya... Uchiha Sasuke mengalami kecelakaan mobil. Lukanya kecil tapi dia memintamu datang ke rumah sakit."
Sakura berteriak, "Aku akan segera ke sana!" Ia berlari secepat yang ia bisa ke mobilnya.
Rumah sakit itu berada di tepi kampus dan hanya perlu beberapa menit untuk mencapainya, tapi ketika ia menyetir, ia tidak bisa mengeluarkan bayangan tubuh Sasuke yang hancur dari kepalanya. Ia membayangkan Sasuke berdarah... ia membayangkan Sasuke tidak sadar... ia membayangkan Sasuke dengan luka di kepalanya, terkapar di tengah jalan.
Pada saat mobilnya telah terparkir di UGD, ia segera berlari ke dalam gedung, sudah sangat panik.
"Uchiha Sasuke! Aku mendapat telepon tentang Uchiha Sasuke!" Sakura berteriak pada wanita di belakang meja pendaftaran. Seorang perawat berjalan keluar meja dan meraih lengan Sakura, membimbingnya kembali melalui pintu UGD. Mereka berjalan melewati selusin pintu sebelum akhirnya berhenti di depan salah satunya. Wanita itu memeriksa ulang clipboard yang dipegangnya dan kemudian mendorong pintu, memberi isyarat agar Sakura masuk.
Ketika Sakura melangkah masuk, ia menarik napas dan langsung mulai menangis. "Sasuke?" Suaranya lemah dan terisak.
Sasuke berbaring di tempat tidur, kemejanya sedikit berdarah, dan luka besar di sepanjang rahangnya. Lengannya dipenuhi dengan goresan merah.
Sasuke mendongak dan tersenyum sebelum meringis karena rasa sakit di wajahnya. "Hei, Sayang..." Suaranya serak.
Sakura melangkah maju, air mata mengalir di pipinya. Sasuke mengulurkan tangan ke arah gadis itu.
"Jangan menangis, Saku. Aku baik-baik saja. Hanya kelihatannya lebih buruk dari itu, sungguh."
Sakura menggenggam tangan Sasuke di tangannya, meremasnya. Sasuke menarik Sakura mendekat, meringis ketika tubuh gadis itu melakukan kontak dengan tubuhnya.
"Apa yang terjadi, Sasuke?" tanya Sakura berbisik.
"Aku menabrak pembatas jalan saat menghindari seorang bajingan yang tidak memperhatikan jalanan."
Wajah Sakura berubah ngeri. Air mata mengalir di pipinya ketika ia menatap mata Sasuke, mencoba menentukan berapa banyak rasa sakit yang pemuda itu alami. Ia ingin merangkak naik ke tempat tidur dan melingkarkan lengannya di leher Sasuke dalam upaya meyakinkan dirinya sendiri bahwa pemuda itu baik-baik saja. "Apa kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja, Sayang. Tidak ada yang parah. Aku tidak ingin menyuruh mereka meneleponmu tapi mobilku rusak dan aku tidak bisa kembali ke asrama tanpanya. Sekarang kau di sini, jadi aku bisa keluar dari sini bersamamu."
Sakura meletakkan kepalanya dengan hati-hati di dada Sasuke, telinganya dekat dengan jantung pemuda itu hanya untuk memastikan bahwa pemuda itu benar-benar baik-baik saja. Kau bisa saja mati.
"Saku?"
Sakura nendongak menatap Sasuke.
"Kau benar-benar panik?"
Sakura mengangguk. Aku bisa kehilanganmu.
"Aku baik-baik saja, Sayang. Sungguh." Sasuke menempelkan bibirnya pada bibir Sakura untuk meyakinkan gadis itu, tapi percikan yang dirasakan Sakura terakhir kali saat Sasuke menciumnya kini langsung mengamuk melalui darahnya lagi. Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku merasa seperti ini?
Sakura mengusap air mata dari pipinya ketika perawat masuk ke dalam ruangan. "Uchiha-san, kau boleh pulang sekarang. Ini adalah resep untuk obat penghilang rasa sakit. Tindak lanjuti dengan doktermu untuk memastikan luka sembuh dengan baik dan pastikan untuk menutupinya dengan plastik ketika kau mandi sehingga tidak membasahi jahitan."
Sasuke hanya mengangguk. Sakura mengambil kertas instruksi itu dan memasukkannya ke dalam tasnya, tahu bahwa ia harus memastikan Sasuke mengikuti perintah di kertas itu.
Begitu Sasuke diperbolehkan pulang, Sakura membantu pemuda itu ke posisi berdiri.
"Shit," gerutu Sasuke ketika rasa sakit di tubuhnya akibat kecelakaan itu mengalir melalui nadinya.
Sakura melingkarkan lengannya di pinggang Sasuke dan pemuda itu bersandar padanya. Perlahan-lahan, mereka berjalan ke mobil Sakura dan dengan gigi terkatup menahan sakit, Sasuke naik dan memasang sabuk pengaman di tubuhnya.
Begitu mereka kembali ke asrama, ia parkir di pinggir jalan untuk membawa Sasuke ke kamarnya dan kemudian pergi untuk memarkir mobilnya dengan benar. Berhasil kembali hampir 20 menit kemudian ke kamarnya, ia menemukan pemuda itu sudah bertelanjang dada dan berada di bawah selimut, mendengkur. Obat penghilang rasa sakit itu pasti sudah bekerja. Ia menatap Sasuke, matanya mengamati bahu berotot Sasuke yang terbuka, dan sebuah desiran mengalir di sekujur tubuhnya. Pemuda itu menakjubkan... Untuk sesaat, ia membiarkan matanya merekam bentuk tubuh Sasuke sebelum akhirnya ia memalingkan muka. Apa yang salah denganku?
Sakura dengan cepat berganti piyama dan kemudian duduk di tepi tempat tidurnya, menatap tangannya, ketika ia mencoba untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman di perutnya. Di suatu titik antara awal tahun dan sekarang, ia menyadari, perasaannya terhadap Sasuke telah berubah. Setelah bertahun-tahun melihat Sasuke sebagai sahabat karibnya, ia sekarang memandang Sasuke sebagai sahabat yang sangat menarik, cerdas, tampan, lucu, dan seksi. Ia dengan hati-hati menyelinap ke bawah selimut agar ia tidak menggoyang tubuh Sasuke yang sakit dan kemudian berbalik menghadap pemuda itu dalam kegelapan. Ini tidak bisa terjadi, pikirnya. Aku tidak percaya aku merasa seperti ini tentang Sasuke. Ia mendengarkan napas Sasuke, ia meringkuk sedikit lebih dekat pada pemuda itu, panas dari kulit pemuda itu menghangatkan tubuhnya. Jantungnya berdetak kencang ketika ia memikirkan fakta bahwa Sasuke bisa saja terbunuh hari ini. Air mata mengalir kembali ketika ia mencoba membayangkan hidup tanpa Sasuke. Dan saat itulah semuanya menjadi jelas baginya; Aku memiliki perasaan kekanak-kanakan yang bodoh pada sahabatku sendiri...
***
Air mata Tayuya yang jatuh mulai terasa membebani Sasuke. Wanita yang menangis, kecuali Sakura, sebenarnya tidak diperbolehkan dalam hidupnya.
"Tapi, Sasuke... kenapa?" Tayuya memohon, berlutut di depan Sasuke di kursi.
"Tayuya," Sasuke memulai, "Aku benar-benar menikmati kencan denganmu tapi kita akan lulus dan kau akan kembali ke Sendai. Aku tidak ingin melakukan hubungan jarak jauh."
"Tapi ini baru bulan April!" Tayuya memprotes.
"Sekarang atau nanti, sama saja, Tayuya."
Tayuya mengangkat tangannya ke atas paha Sasuke. Sasuke memejamkan matanya, tahu bahwa akan terjadi sesuatu jika gadis itu menggerakkan tangannya sedikit ke kiri. Namun sayangnya, Tayuya menarik tangannya dan berdiri.
Tayuya melotot pada Sasuke, "Terserah... apapun itu. Seharusnya aku tahu bahwa aku berkencan dengan seseorang yang tidak lebih dari sekedar seorang playboy."
Jika itu sebuah penghinaan, Sasuke tidak akan tersinggung. Sebagai gantinya, ia hanya memperhatikan Tayuya bergegas keluar dari kamar asramanya, mengakhiri hubungan mereka dengan bantingan pintu yang keras.
***
Pada awal Juni, Sakura duduk di kerumunan besar penonton di luar ruangan wisuda. Di suatu tempat di lautan mahasiswa yang memakai toga, Sasuke sedang duduk, mungkin mengetuk-ngetukkan kakinya dengan cemas dan melihat jam tangannya. Ia sama sekali tidak ingin mengikuti acara itu, tapi setelah ia menolak dua kali, Sakura menghubungi ibunya. Ibunya langsung meneleponnya setelah itu, yang mengatakan apakah ia benar-benar ingin merobek hati ibunya dengan tidak memberi kesempatan ibunya untuk melihat kelulusan anaknya dari perguruan tinggi. Dengan sangat enggan, Sasuke akhirnya memakai baju toganya dan pergi ke wisuda.
Dua minggu sebelum kelulusan, Sasuke telah ditawari pekerjaan sebagai Asisten Terapi Fisik di klinik Kedokteran Olahraga Universitas Sapporo. Ia benar-benar tertegun karena ia bisa tinggal di Sapporo, yang ia cintai, dan melakukan pekerjaan yang telah ia usahakan selama beberapa tahun.
Setelah acara wisuda selesai, ia mengajak orang tuanya, kakaknya, dan Sakura keluar untuk makan malam dan kemudian menunjukkan pada mereka apartemen barunya. Dengan tinta kelulusan yang belum kering, ia akan memulai pekerjaannya Senin pagi.
Sasuke berada di kamar asrama Sakura pagi hari setelah lulus, siap mengantar gadis itu ke mobil untuk perjalanan kembali ke Hakodate. Mereka tidak berbicara ketika mereka berjalan menuju parkiran. Tekanan di dada Sakura nyaris mencekik memikirkan gagasan untuk kembali ke Hakodate tanpa Sasuke. Biasanya, mereka berurusan dengan kelas musim panas tapi kali ini, Sasuke tidak akan pulang sama sekali. Gagasan tentang musim panas tanpa Sasuke, bagi Sakura, adalah prospek yang tidak menyenangkan. Tapi 'Haruno kuat' sehingga ia tahu ia akan bertahan. Namun bahkan dengan segenap kekuatan batinnya, ia tidak mampu mengabaikan terus-menerus kalimat 'Aku akan merindukan Sasuke' yang sepertinya membuat pikirannya teralihkan.
***
Begitu Sakura kembali ke Hakodate, ia menghabiskan banyak waktu bersama ibunya. Dan yang mengejutkan, musim panas ini membuatnya menemui banyak teman lamanya di SMA, terutama karena kesepian. Ia lebih sering berada di rumah Ino, menyalakan kembali persahabatan yang telah merenggang karena jarak dan waktu. Namun, pikirannya entah mengapa melayang pada pria bermata onyx di Sapporo lebih sering, dan ia akhirnya berbisik, 'Aku merindukan Sasuke' pada dirinya sendiri. Ia begitu terbiasa berada di dekat Sasuke hingga ketidakhadiran pemuda itu terang-terangan membuatnya gelisah. Ia senang ketika ia menerima dan mendapat email atau SMS dari Sasuke, dan pada kesempatan langka ketika Sasuke benar-benar akan menelepon meskipun ia tahu pemuda itu benci menelepon, ia akan meninggalkan segalanya untuk berbicara dengan pemuda itu.
Tiga hari sebelum Sakura kembali ke Sapporo untuk memulai tahun keempatnya, ia merasa lebih baik daripada yang ia rasakan selama musim panas. Ia merindukan sahabatnya. Ia membutuhkan sahabatnya. Dan ia berharap sepanjang musim panas bahwa rasa tertariknya pada Sasuke akan berkurang, tapi dengan setiap pesan dan setiap panggilan telepon dari pemuda itu, detak jantungnya akan meningkat, menggetarkan denyut nadinya.
Sekarang ia sedang duduk di kamarnya, membaca buku tepat saat ponselnya berdering, ia melihat layar ponselnya dan dengan cepat menjawab saat menyadari bahwa itu telepon dari Sasuke.
"Hei, Sayang. Bagaimana di Hakodate?" Sasuke terdengar bahagia dan puas di ujung sana.
"Hakodate tetap... Hakodate, Sasuke. Tidak banyak yang bisa terjadi di kota ini."
Sasuke terkekeh di telepon.
"Bagaimana pekerjaanmu?"
"Luar biasa, Saku. Aku bekerja berjam-jam tapi sejauh ini, luar biasa. Tidak ada perasaan yang lebih baik daripada menyadari bahwa aku dapat membantu seseorang menjadi lebih baik dan mungkin memberi mereka pandangan baru."
Sakura tersenyum. "Sikap positif sangat cocok untukmu, Uchiha Sasuke."
Sakura tahu Sasuke tersipu di ujung telepon karena dianggap 'lembut seperti wanita' dengan cara apapun yang membuat pemuda itu defensif. Tapi bukannya memprotes, ia mendengar Sasuke meneguk minuman sebelum berbicara. "Ngomong-ngomong, aku merindukanmu, Saku. Aku sedikit kesepian tanpamu."
"Aku juga merindukanmu. Hakodate terasa tidak sama tanpa dirimu di sini." Sakura memejamkan matanya saat ia berbicara, berharap dirinya tidak terdengar cengeng atau, oh Tuhan, terdengar seperti mabuk cinta.
"Kau akan kembali ke Sapporo dalam beberapa hari. Telepon aku saat kau tiba di sini dan aku akan segera melesat ke kampus dan menjemputmu untuk makan malam."
"Kedengarannya ide yang bagus, Sasuke."
Sasuke terdiam sejenak di ujung sana. "Jadi... Saku. Aku meneleponmu karena aku ingin memberitahumu, aku berkenalan dengan seorang gadis dan dia luar biasa. Dia seperti tipe yang selalu aku inginkan menjadi seorang pacar... luar biasa."
"Itu... itu bagus, Sasuke! Apa pekerjaannya?" Sakura berusaha terdengar tertarik dan senang. Dia adalah teman baikmu.
"Dia sama sepertiku di rumah sakit. Dia lulus sebelum aku."
Sakura mencoba merangkai komentar positif. "Umm, setidaknya kau memiliki topik yang sama untuk dibicarakan dengannya... pekerjaanmu, maksudku."
"Tentu saja," Sasuke menyetujui. "Kami akan berkencan besok malam. Aku akan memberitahumu bagaimana hasilnya."
Sakura mendengarkan dengan mata tertutup rapat, menguatkan dirinya melawan perasaan tidak nyaman di perutnya. Tapi sebagai sahabat, ia berharap Sasuke berhasil, bahkan ketika dadanya mengencang.
Mengakhiri percakapan dengan terdengar ceria dan senang, "Sampai jumpa!" Sakura menutup telepon.
Menatap dinding kamarnya, Sakura merasakan hal yang berusaha ia hindari untuk tahun ajaran mendatang mengalir di tubuhnya. Tiba-tiba, kembali ke Sapporo terasa kurang menarik.
***
To be continued