Chapter 2 - Rumah Baru
Sasuke bersiul saat ia memperlambat laju mobilnya.
"Apa kau yakin ini alamatnya?" tanya Sasuke pada Sakura, berbicara dengan gadis itu untuk pertama kalinya sejak mereka meninggalkan gedung pernikahan setengah jam sebelumnya.
Sakura melirik secarik kertas di pangkuannya dan kemudian kembali memandang ke rumah di hadapannya. "Ya, pasti ini."
"Shit..." adalah respon Sasuke ketika ia memarkir mobil di jalan masuk. Mereka berdua melepaskan sabuk pengaman dan keluar. "Jadi, di sini kita akan tinggal?"
Sasuke berdiri di jalan masuk, mengamati sekelilingnya. Rumah itu, sebuah bungalow bergaya Cape Cod, berdiri di atas dua hektar tanah berhutan di belakang jalan buntu. Di dekat halaman belakang, terdapat tiga garasi mobil. Sasuke bersiul lagi, tiba-tiba berpikir bahwa one night standnya ini ternyata memiliki manfaat lebih daripada yang ia perkirakan sebelumnya.
Sasuke menoleh ke arah Sakura, yang berdiri diam di sebelah mobil, "Jadi ayahmu memberi kita tempat ini? Wow fuck... bagaimana mungkin?"
Sakura mengangkat bahu. "Ini adalah salah satu dari sekian banyak properti sewaannya. Yang ini kebetulan kosong dan karena kita... sudah menikah... dia bersikeras agar kita menempati rumah ini."
"Jadi kita... tidak harus membayar uang sewa dan omong kosong lainnya?"
Sakura meringis. Mulut pemuda itu sangat kotor. Ia harus membahas cara bicara pemuda itu nanti begitu mereka lebih nyaman satu sama lain.
"Kita perlu membayar utilitas, tentu saja. Tapi tidak, kita tidak harus membayar sewa. Ayahku pemilik rumah ini dan mengatakan ini milik kita jika kita menginginkannya."
Onyx Sasuke berbinar. Ini luar biasa. Ia tidak benar-benar berpikir tentang di mana mereka akan tinggal, tapi ini... ini gila. "Jadi... bisakah kita melihat-lihat bagian dalamnya?"
Sakura tersenyum dan mengulurkan kunci ke arah Sasuke. Sasuke melangkah ke arah Sakura, mengambil kunci itu dari jari-jari Sakura, menyeringai pada gadis itu, dan melangkah menuju teras.
Memutar kunci pintu, Sasuke mendorong pintu terbuka dan melangkah masuk, langkah berat sepatunya bergema di lantai kayu yang dipoles sangat apik. Di sebelah kirinya ada tangga yang menuju ke lantai atas. Tepat di depannya, serambi yang terhubung dengan lorong yang memiliki pintu ke kanan dan kiri. Di sebelah kirinya ada pintu besar terbuka ke ruang tamu berkarpet mewah.
"Tempat ini fantastis," gumam Sasuke pada dirinya sendiri ketika ia berjalan ke ruang tamu dan kemudian ke dapur. Berjalan melewati dapur, ia melangkah ke lorong dan melangkah ke ruangan yang jelas merupakan kamar tidur utama. Ruangan itu lebih besar daripada apartemen lamanya yang kecil. Berjalan keluar dari kamar itu, ia menuju ke lantai atas dan ke kamar yang lebih kecil di bagian depan rumah.
Sakura berdiri diam ketika Sasuke berkeliling rumah. Ia akan berkeliling sendiri nanti. Saat ini, ia terpaku di tempatnya tepat di dalam serambi, terlalu takut untuk bergerak.
Sasuke menghilang ke lantai atas dan turun beberapa menit kemudian. Kakinya yang kuat melangkah menuruni tangga, "Aku akan memakai kamar di lantai atas. Kau bisa memakai kamar tidur utama karena ada kamar mandi di sana dan kau mungkin akan membutuhkannya."
Sakura memandang Sasuke dengan rasa ingin tahu. Mereka sudah menikah, bahkan jika ini terdengar lucu, ia mengira mereka akan berbagi kamar tidur utama. Sebenarnya, Sakura mengira Sasuke akan bersikeras agar mereka berbagi kamar dan ia sudah mulai mempersiapkan dirinya untuk perdebatan yang akan terjadi.
"Jadi, kapan kita akan pindah ke sini?"
"Barang-barangku dan beberapa perabotan akan diantar ke sini menggunakan truk satu jam lagi," jelas Sakura.
Sasuke mengembalikan kunci rumah itu pada Sakura. "Sepertinya aku harus mulai mengepak barang-barangku. Aku akan meminjam truk Naruto, temanku, dan aku akan kembali nanti malam dengan barang-barangku."
Sakura mengangguk dan memperhatikan Sasuke membuka pintu dan melangkah keluar. Ia mengikuti pemuda itu ke teras.
"Sasuke?" tanya Sakura pada pemuda yang sedang memunggunginya itu.
Sasuke berbalik dan menatap Sakura.
"Bisakah kita... bisakah kita berbicara malam ini? Maksudku, berdiskusi. Aku tidak tahu apa-apa tentangmu..."
Sasuke mengangguk. "Ya, kita mungkin perlu membereskan omong kosong di antara kita sebelum aku mengenalkanmu pada ibuku. Fuck, dia ingin memenggal kepalaku saat aku tidak memberitahunya tentang kekacauan ini. Tapi ketika aku memberitahunya tentang bayi kita, dia akhirnya menutup mulutnya. Dia jadi lembut jika tentang bayi..."
Sakura mengangguk sedikit dan hampir tersenyum pada Sasuke. "Hebat... um, hubungi aku sebelum kau kembali ke sini dan aku akan memesan makanan. Lalu kita bisa makan dan mengobrol saat makan malam."
"Tentu," ucap Sasuke, lalu berjalan masuk ke mobilnya dan mulai menjalankan mobil itu keluar dari halaman.
Sakura mengawasi mobil Sasuke hingga menghilang di belokan sebelum melangkah kembali ke dalam rumah dan menutup pintu. Bersandar pada pegangan tangga, Sakura menyembunyikan kepalanya di tangannya. "Aku tidak percaya hidupku telah sampai di titik ini," ucapnya keras.
Sakura akhirnya mengumpulkan tenaga untuk bergerak, karena merasa sangat lemah sepanjang hari ini. Ia berkeliling di sekitar rumah barunya dan tidak bisa untuk tidak menyukai desain rumah itu. Ukuran rumah itu bukan apa-apa jika dibanding dengan kediaman Haruno yang mirip dengan museum, tapi rumah itu memiliki bagian yang mengesankan, rak buku kayu yang diukir, dan karya seni yang masif. Rumah itu terasa benar-benar rumah baginya.
Sakura menyentuhkan ujung jarinya di sepanjang dinding yang halus dan dingin saat ia berjalan dari ruang ke ruang. Ia membuat catatan mental untuk bertanya pada Sasuke nanti apakah ruang di sebelah kamar tidur utama akan difungsikan sebagai kamar bayi. Ketika pikiran itu terlintas dalam benaknya, ia hampir merasa pusing lagi. Sangatlah aneh berpikir untuk bertanya pada suaminya tentang hal-hal yang berkaitan dengan bayi. Ya Tuhan, situasi ini sangat kacau.
Sakura tiba-tiba mendengar truk yang bergerak di luar. Ia dengan cepat membuka pintu dan melangkah ke luar untuk menyambut mereka. Mereka bekerja dengan cepat, mengeluarkan semua barang dan perabotan pribadinya untuk ruang tamu, kamar tidur, dan ruang makan. Ia senang melihat rumahnya menjadi begitu welcoming. Besok, ia akan pergi membeli tirai, piring, alat pemanggang dan barang-barang kebutuhan lainnya dan menghias rumah itu lebih lanjut. Senin, ia harus memulai kelas di Kokugakuin University, salah satu kampus di Shibuya, tempat di mana ia baru saja pindah karena tinggal di Toshima jelas tidak memungkinkan lagi. Dadanya terasa nyeri ketika berpikir untuk meninggalkan kehidupan kampus dan program seninya di sana. Hanya empat bulan lagi upacara kelulusannya, ia hanya perlu menyelesaikan beberapa hal. Tapi ini untuk yang terbaik, bahkan jika ini adalah langkah yang menyakitkan. Namun pada kenyataannya, bukankah hidupnya akhir-akhir ini memang menyakitkan?
Para pengantar barang-barang Sakura pergi setelah dua jam berlalu, meninggalkan Sakura dengan perabotan dan kotak-kotak yang perlu dibongkar. Ia sedang berada di kamar tidur utama, menata pakaiannya di dalam lemari ketika ponselnya berdering. "Halo?"
"Aku akan kembali ke sana dalam beberapa menit." Suara Sasuke terdengar keras di ujung telepon.
"Oke... kau ingin makan apa? Aku akan memesan sesuatu."
"Apa kau suka pizza?"
"Tentu saja!" ucap Sakura, kesal.
"Hei, shit, aku kan tidak tahu. Ngomong-ngomong, pesan saja pizza. Aku ingin pizza dengan jamur dan pepperoni."
"Oke. Aku akan memesannya. Sampai jumpa nanti."
Sakura menutup teleponnya dan membuat catatan mental lain; Sasuke menyebalkan ketika pemuda itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Ia kemudian menghubungi nomor tempat pizza terdekat dan memesannya. Perutnya terasa jungkir balik karena mengetahui bahwa Sasuke akan segera tiba dan ia harus menghabiskan malam bersama pemuda itu di rumahnya—rumah mereka. Hanya berdua.
Sebuah truk asing, diikuti oleh mobil Sasuke, berhenti di jalan masuk tepat ketika Sakura sedang berjalan ke garasi membawa kotak kosong. Sasuke keluar dari mobilnya dan seorang pemuda berambut kuning keluar dari truk. Sakura berdiri di dekat rumah, tidak mengatakan apa-apa, sampai ia melihat pemuda berambut kuning itu menatapnya dengan heran. Akhirnya ia mendekati pemuda itu dan memperkenalkan dirinya. "Hai, aku Haruno... er... Uchiha Sakura. Aku istri... Sasuke."
Naruto tertawa, ketidaknyamanan Sakura terlihat jelas, dan tawa Naruto langsung membuat Sakura lebih tenang. Naruto mengulurkan tangannya, "Aku Uzumaki Naruto, sahabat Sasuke-teme dan satu-satunya orang di planet ini yang tidak punya waktu untuk omong kosong si Teme."
Sasuke berjalan mendekat, alisnya berkerut. "Bisakah kita memasukkan ini ke dalam? Hari sudah gelap dan aku benar-benar kelaparan."
Sakura kembali ke dalam rumah dan dua pemuda itu mulai membawa barang-barang Sasuke ke dalam. Naruto melihat sekeliling rumah dan berteriak ke pintu ke arah Sasuke yang masih berada di luar rumah, "Ini rumah yang bagus, Teme! Sangat keren."
"Sudah kubilang," balas Sasuke berteriak. "Apa kau sudah melihat garasi? Kita bisa mengerjakan salah satu project kita di sana."
Sakura, yang mendengarkan dari ruang tamu, bertanya-tanya jenis 'project' apa yang mereka miliki. Ada begitu banyak yang tidak ia ketahui. Lebih tepatnya, tidak ada satupun yang benar-benar ia ketahui selain nama dan fakta bahwa pemuda itu begitu tampan. Untuk waktu yang tak terhitung jumlahnya sampai hari ini, ia bertanya-tanya apa yang telah terjadi dalam hidupnya ini.
Pengantar pizza tiba tepat ketika Sasuke dan Naruto menyelesaikan pekerjaan mereka. Sakura melangkah ke luar, segera membayar pengantar itu dan akan berjalan kembali menuju rumah ketika ia mendengar Sasuke berbicara pada Naruto.
"Aku sebenarnya tidak ingin kau langsung pulang tapi 'gadis mungil' dan aku harus berdiskusi. Aku tidak tahu apa-apa tentang dia selain fakta bahwa dia subur dan cantik."
Wajah Sakura memerah. Ia melangkah cepat masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian, Naruto masuk ke dalam rumah dan menjabat tangan Sakura lagi. "Senang bertemu denganmu, Sakura-chan. Aku yakin kita akan sering bertemu sekarang."
Sakura balas mengucapkan salam perpisahan pada Naruto dan setelah pemuda itu pergi, Sasuke masuk ke dalam rumah, menutup pintu.
"Naruto orang yang sangat baik," komentar Sakura.
Sasuke duduk di meja ruang makan, dalam hati bertanya-tanya bagaimana meja makan besar itu bisa masuk melewati pintu sialan itu, dan mengangguk pada Sakura. "Ya. Aku sudah mengenalnya sejak masih di taman kanak-kanak. Kami sudah melewati banyak hal bersama."
Sakura mengeluarkan tisu. "Kita belum punya piring, jadi kita hanya bisa memakai ini sekarang."
"Tidak masalah. Aku sudah lapar, aku tidak peduli jika aku makan dari lantai." Sasuke membuka kotak pizza dan mengambil sepotong.
Sakura duduk di seberang Sasuke, memperhatikan pemuda itu.
Sasuke menaikkan alisnya ke arah Sakura dan bertanya dengan mulut penuh pizza, "Kau tidak makan?"
Menarik diri dari lamunannya, Sakura mengambil sepotong pizza miliknya. Ia benar-benar tidak terlalu lapar tapi ia tahu ia perlu makan untuk... bayi mereka. Setiap kali kata itu masuk ke otaknya, ia merasakan rasa terbakar di dadanya yang tidak bisa ia identifikasi. Gagasan bahwa ada manusia kecil yang tumbuh di dalam dirinya benar-benar membingungkan.
Setelah potongan pizza kedua, Sasuke akhirnya merasa cukup puas untuk mulai berbicara dengan gadis yang duduk dengan tenang di seberang meja darinya.
Sasuke melipat tangan di belakang kepalanya, menggerakkan buku-buku jarinya hingga menghasilkan bunyi 'krek', membuat Sakura meringis, "Jadi, apa yang ingin kau ketahui tentangku?"
Sakura duduk tegak di kursinya. "Apapun yang ingin kau katakan padaku."
Sasuke berpikir sejenak. "Um... Aku tinggal di Shibuya sepanjang hidupku. Aku punya ibu dan saudara laki-laki berusia 28 tahun. Di suatu tempat di dunia ini ada ayah brengsekku, tapi aku tidak bisa memberitahumu di mana dia."
Sakura menunggu Sasuke berbicara lagi. Ia membutuhkan informasi lebih dari itu. Akhirnya, ia memberikan isyarat dengan tangannya agar Sasuke terus berbicara dan pemuda itu melanjutkan.
"Uh... aku bekerja di sebuah bengkel mobil yang berspesialisasi dalam perbaikan kendaraan antik. Aku kuliah di Kokugakuin untuk menyelesaikan gelar bisnisku. Kemudian aku bisa membeli sebuah tempat dan memperluas tempat bisnis."
Jadi dia punya ambisi. Itu satu hal yang baik. Pikir Sakura.
"Sekarang giliranmu," ucap Sasuke, menyambar sepotong pizza lagi dan menggigitnya.
"Aku kuliah di Tokyo College of Music di Toshima tapi kemudian pindah ke sini, ke Kokugakuin. Aku jurusan musik dan akan lulus tahun ini. Aku berharap... um, aku berharap untuk bernyanyi di Broadway tapi sekarang..." Sakura menatap ke bawah. Menyadari bahwa sekarang bukan saatnya untuk lebih menghancurkan impian yang sudah hancur, ia perlu menenangkan diri. "Kau telah bertemu ayahku jadi kau pasti menyadari apa yang sedang kuhadapi dalam hal ini. Ibuku meninggal ketika aku masih sangat kecil, jadi kami hanya berdua saja." Ekspresi sedih muncul di wajah Sakura, yang mana bisa Sasuke pahami.
"Jadi, kau suka musik?"
Wajah Sakura bersinar. "Aku sangat menyukainya. Bernyanyi adalah hobiku."
Sasuke bersandar di kursinya, meregangkan kaki berototnya. "Aku juga. Aku bisa bermain gitar dan bernyanyi. Naruto-dobe dan aku sebenarnya punya sebuah band. Kami bermain di klub, pesta lokal dan sebagainya."
"Itu... itu benar-benar hebat!" ucap Sakura antusias, mengetahui bahwa mereka berdua memiliki hobi yang sama, terutama hobi yang sangat penting bagi Sakura.
Sasuke menganggukkan kepalanya, tersenyum.
"Jadi... kau ada pacar?" tanya Sakura, meskipun terasa aneh dan canggung untuk bertanya pada suaminya sendiri apakah pemuda itu memiliki kekasih.
Sasuke mendengus. "Aku bukan tipe orang yang suka memiliki hubungan." Menyadari bahwa ia mengatakan hal itu pada istrinya, ia berhenti dan meringis.
Sakura tertawa untuk pertama kalinya sepanjang hari itu, "Um, aku juga bukan," ucapnya malu-malu, tiba-tiba memikirkan seluruh masalah keperawanannya.
Mereka kemudian diam untuk waktu yang lama. Sakura benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Ia berharap dirinya tidak begitu gugup seperti ini.
Sasuke menatap Sakura dengan seksama, menyaksikan mata gadis itu memandang ke sekitar ruangan dan fokus pada apapun selain dirinya. "Boleh aku bertanya padamu?"
"Tentu... apapun itu."
"Kenapa... kenapa kau tidak melakukan aborsi saja? Maksudku, dengan melakukannya maka rahasia kecilmu yang kotor tidak akan pernah ditemukan dan..."
"...kita tidak akan berada dalam kekacauan ini sekarang?" Sakura menyelesaikan kalimat Sasuke.
"Tepat sekali," ucap Sasuke pelan.
Sakura memandangi remahan pizza yang menempel di tisu. "Aku mendukung hak seorang wanita untuk memilih, tapi aku hanya tidak bisa... tidak bisa melakukannya sendiri. Dan ayahku dengan keras menentangnya, tentu saja. Aku telah mendengar sepanjang hidupku tentang bagaimana keluarga Haruno adalah 'pendukung moral' di kota Shibuya. Gagasan putrinya bergabung ke Planned Parenthood kupikir bahkan lebih mengerikan daripada gagasan kehamilanku yang tidak direncanakan. Aku tahu jika aku melakukan aborsi akan menjadi lebih mudah bagi situasi kita berdua," Sakura mendongak dengan mata berkaca-kaca dan bertemu tatap dengan onyx Sasuke yang gelisah. "Aku... aku minta maaf tentang ini."
"Jangan minta maaf. Ini sudah terjadi. Percaya atau tidak, aku memahaminya. Maksudku, kurasa aku memang harus memahaminya."
Mereka duduk diam selama beberapa menit, tidak yakin harus berkata apa selanjutnya.
Akhirnya, Sasuke angkat berbicara, "Bagaimana kita akan melewati ini? Maksudku, fuck, ini benar-benar gila. Seandainya ayahmu tidak memberiku uang..." Ia membiarkan kata-katanya tenggelam.
Sakura menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu, Sasuke. Ini sama sulitnya untukku. Tapi aku akan mencoba. Aku tidak akan memberimu aturan atau membebanimu atau apa pun..."
Sasuke menyela. "Ya, itu melegakan. Maksudku, aku tidak akan diperintah apa yang harus dilakukan atau kapan harus pulang atau apapun itu. Sudah cukup aku memiliki seorang ibu."
Sakura mengerutkan kening pada nada bicara Sasuke, tidak yakin bagaimana harus bersikap. "Tapi, kita harus belajar untuk berkompromi tentang hal-hal tertentu. Kita memang harus menemukan cara untuk nyaman satu sama lain. Dan semoga bisa membangun persahabatan demi... bayi kita."
Sudah saatnya mereka membicarakan masalah bayi, seluruh alasan pernikahan mereka terjadi.
"Jadi kau..." ucap Sasuke, menatap langit-langit ketika ia mencoba mengingat malam pesta, "...enam minggu?"
Sakura menundukkan kepalanya sebagai tanggapan.
"Aku ingin menemanimu saat mengunjungi dokter. Aku ingin terlibat."
"Itu... itu ide yang bagus. Aku akan memberimu jadwal pertemuannya jadi kau bisa mengatur jadwalmu dan menyesuaikannya."
"Oke." Sasuke berdiri dari kursinya. Matanya bergerak memperhatikan wajah Sakura dan bergulir ke bibir gadis itu. Sakura benar-benar seksi.
Sakura memandang lantai, tidak nyaman dengan cara Sasuke memandangnya. Tatapan itu mengingatkannya pada malam pesta.
Sasuke berdeham, membuat Sakura menatap pemuda itu lagi.
"Aku akan mandi. Lalu aku akan menyambung TV dan hal-hal lainnya juga."
"Oke. Kurasa aku akan ke kamar. Aku benar-benar lelah."
"Tentu... kau pasti lelah. Aku libur bekerja besok jadi aku akan ada di rumah."
Sakura melangkah keluar dari ruang makan. Tapi kemudian berbalik ke arah Sasuke, "Baiklah, um... selamat malam, Sasuke."
Sasuke mengamati Sakura sejenak. Sorot mata pemuda itu, yang selalu tampak tajam dan penuh dengan analisis yang tak terdefinisikan, membuat Sakura merasa tak nyaman. "Selamat malam juga, Sakura."
Sasuke menyaksikan Sakura berjalan pergi, memperhatikan lekuk pantat gadis itu. Satu kekhawatiran yang mengerikan muncul di benak Sasuke; bagaimana ia akan bercinta sekarang? Apa ia harus menyimpan seorang wanita di luar sana karena pernikahan mereka ini murni 'keharusan' atau apakah Sakura berencana membiarkannya mendapatkan seks di tempat tidur gadis itu?
"Sakura, tunggu," kata itu keluar dari mulut Sasuke bahkan sebelum ia sendiri menyadari bahwa ia telah berbicara.
Sakura berbalik, kelelahan tergambar di wajah cantiknya.
"Kita punya satu hal lagi yang perlu dibicarakan..."
Sakura berdiri dan menunggu.
"Dengar, kita perlu memutuskan apa yang akan kita lakukan tentang berkencan dan... seks."
Mata Sakura melebar. "Apa?" Pipinya perlahan memerah.
"Jangan anggap aku seperti pria mesum. Tapi pernikahan ini, hanya pernikahan di selembar kertas saja. Aku selalu menjadi... pria yang aktif. Aku tidak berencana untuk hidup tanpa seks sekarang."
Sakura membuka mulutnya untuk berbicara dan kemudian menutupnya lagi. Apa yang harus ia katakan?
Sasuke melangkah ke arah Sakura, tubuh pemuda itu yang mengesankan membuat Sakura sedikit melangkah ke belakang.
"Dengar, jika kau tidak berencana untuk menghangatkan tempat tidurku secara teratur, aku akan membuat rencana alternatif." ucap Sasuke dan ia menyaksikan kemarahan muncul di wajah Sakura. "Jangan salah paham dulu," lanjutnya, "Tidak ada yang lebih menyenangkan bagiku daripada memanjakan tubuhmu yang indah itu lagi... dan lagi."
Sasuke berdiri sangat dekat dengan Sakura sekarang, begitu dekat hingga Sakura bisa merasakan kehangatan yang berasal dari tubuh Sasuke.
Menunduk lebih dekat pada Sakura, Sasuke mendekatkan bibirnya ke telinga Sakura saat tangannya bergerak ke atas dan menangkup payudara gadis itu dibalik kemeja tipisnya. "Jika kau ingin bercinta, kau tahu di mana aku berada."
Sakura menepis tangan Sasuke menjauh, mengabaikan percikan api yang mengalir langsung dari tempat tangan Sasuke melakukan kontak menuju seluruh tubuhnya. "Hentikan tindakanmu, brengsek! Beraninya kau... kau... babi!" Sakura tergagap.
Sasuke terkekeh, suaranya terdengar menggoda. "Oh, jangan berperan seperti ratu es denganku sekarang. Sudah sedikit terlambat untuk itu, mengingat anakku yang ada di perutmu."
Mata Sakura menyala-nyala. Ia tergoda, begitu tergoda, untuk menendang pantat Sasuke menjauh. Tapi mengingat pemuda itu lebih berat darinya dengan tubuh berotot, tak banyak yang bisa Sakura lakukan selain melotot. "Aku sama sekali tidak akan berpartisipasi di tempat tidurmu," ucapnya.
"Oke, itu pilihanmu untuk hidup seperti biarawati. Tapi aku akan terus menjalani hidupku seperti yang kulakukan sebelum kau membuka kakimu untukku di pesta itu."
Sakura menginjak kaki Sasuke. "Selamat malam, brengsek!" Ia berbalik, melangkah cepat menuju kamarnya. Ia mendengar suara Sasuke memanggilnya.
"Jika kau berubah pikiran, beritahu aku!"
Masuk ke kamar, Sakura membanting pintu begitu keras hingga dindingnya bergetar.
Sementara di ruang tamu, Sasuke tertawa kecil. Menggoda Sakura sangat menyenangkan. Ia menyeringai pada dirinya sendiri. Tapi bercinta dengan gadis itu lagi akan jauh lebih menyenangkan.
***
To be continued
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)