expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

The New Uchiha #1


Uchiha Fugaku dan Uchiha Itachi mengalami kecelakaan hebat dalam perjalanan pulang dari pertemuan bisnis mereka. Itachi meninggal ditempat, sedangkan Fugaku masih bisa bertahan dan masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidupnya.
Namun, dua bulan kemudian Fugaku divonis mengidap kanker pankreas.
Kejadian demi kejadian yang dialami keluarga Uchiha, membuat mereka dirundung duka mendalam. Terutama dalam keluarga keturunan bangsawan seperti mereka ini, seharusnya mereka memiliki kecenderungan genetik untuk melawan penyakit. Namun takdir tetaplah takdir.
Fugaku tertawa miris ketika dokter memberitahunya tentang penyakitnya, ia mengatakan bahwa Tuhan memiliki selera humor yang jahat. Setahun telah terlewati, ia menolak dirawat di rumah sakit, hanya meminum obat yang 'akan membuatnya lebih nyaman', begitulah yang dokter utarakan dengan halus, karena yang sebenarnya obat itu hanyalah memperlambat takdirnya yang tak terelakkan.
Fugaku menghadapi kematiannya dengan lebih banyak berbuat hal yang bermanfaat. Ia melakukan pertemuan dengan pengacaranya untuk membereskan semua urusannya. Ia bahkan menyuruh seorang mortician untuk menjamin 'persiapan terakhirnya'.
Ketika Fugaku menghembuskan nafas terakhirnya, Uchiha Sasuke dan Uchiha Mikoto setia berada di sisinya, mereka tak mampu melakukan apapun selain menghubungi seseorang untuk memastikan semuanya. Setiap detailnya; peti mati, bunga, yang semuanya telah tertulis di atas kertas dan telah dibayar berminggu-minggu sebelumnya.
Sasuke dan Mikoto berdiri di tengah ruangan dengan rahang terkatup dan menggigit bibir karena Uchiha tidak menangis di depan orang lain dan menerima kata-kata simpati kosong dari orang-orang yang mungkin diam-diam bersorak melihat Fugaku telah meninggal.
Mereka duduk di barisan depan seraya berpegangan tangan ketika pendeta berpidato ke seisi ruangan tentang sosok Fugaku semasa hidupnya.
Fugaku dimakamkan di pemakaman keluarga, di dekat makam Itachi dan anak ketiganya yang belum pernah ia lihat karena Mikoto mengalami keguguran.
Setelah acara kebaktian selesai, Hyuga Hiashi menemui Sasuke dan sepakat bahwa mereka harus menunda pernikahan antara Sasuke dengan Hinata yang sudah lama diatur, untuk menghormati 'masa berkabung Fugaku'.
Sasuke merasa lega, bukan karena ia tak ingin menikah dengan kondisi ayahnya yang baru saja pergi, tapi karena ia benar-benar tak tertarik sama sekali dengan ide menikahi gadis yang masih di bangku kuliah.
***
Pada keesokan hari setelah pemakaman, Sasuke menerima telepon yang memintanya untuk datang ke kantor pengacara secepatnya untuk membahas mengenai warisan ayahnya. Kebetulan ia sedang tak melakukan apa-apa selain menyaksikan ibunya berkemas untuk tinggal di villa dekat pantai, ibunya itu ingin menenangkan diri disana daripada hanya terus berada di rumah dan mengingatkannya pada Fugaku dan Itachi, jadi Sasuke memutuskan untuk segera pergi ke kantor pengacara.
Ia diarahkan ke kantor utama. Ia berharap hanya akan diminta untuk memberikan tandatangan di sini, di sini, dan di sana, dan semuanya akan beres. Lagi pula, ayahnya sudah menghabiskan lebih dari satu minggu untuk memastikan bahwa dokumen itu tersusun dengan tepat tanpa harus ada perubahan lagi.
Namun hidup tak pernah sesederhana itu.
"Uchiha-san, aku yakin kau menyadari, bahwa ada protokol dan prosedur yang harus diikuti dalam penyelesaian sebuah warisan, terutama yang sebesar milik ayahmu." Pria berpenampilan rapi dengan rambut cokelat mulai berbicara. "Salah satunya adalah memastikan bahwa siapapun yang memiliki hak terhadap warisan diberitahukan dengan benar."
Sasuke mengangguk. "Ayahku telah melunasi seluruh hutangnya sebelum kematiannya, dan tidak membebankan biaya atas semua penanganan ini untuk memastikan bahwa warisan ini dapat diselesaikan secepat mungkin."
Pengacara itu mengangguk setuju. "Ya, ya, ayahmu bebas hutang pada saat kematiannya, jadi kami berasumsi bahwa warisan ini bisa segera diselesaikan. Namun, ada masalah, tentang pewaris lain."
"Apa maksudmu, pewaris lain?" Alis Sasuke berkerut kebingungan.
Pria berambut cokelat itu menarik pangkal dasinya dengan tidak nyaman. "Kami cukup terkejut mengetahui bahwa kau memiliki saudara lain selain Itachi."
Sasuke memutar matanya. "Ya. Saudara laki-lakiku yang meninggal sebelum lahir. Ini bukan sesuatu yang orangtuaku suka bicarakan."
Pria itu menatap Sasuke dari balik kacamatanya. "Tidak. Ayahmu memiliki putra keempat yang masih hidup. Itu tertulis disurat yang ayahmu buat."
"Itu tidak mungkin." Sasuke menggeram. "Ibuku tidak pernah bisa memiliki anak lagi setelah mengalami keguguran."
Pria berambut cokelat itu menarik map dan mendorongnya ke arah Sasuke. "Ini surat yang ditulis ayahmu sendiri. Disana dia menuliskan bahwa ayahmu memiliki seorang putra yang lahir 10 Desember 2013."
"Apa? Siapa? Kenapa dia tak pernah memberitahuku?" tanya Sasuke.
"Ayahmu hanya memberi kami tanggal, bukan nama." Pria itu menarik map lagi. "Aku telah mengambil daftar anak laki-laki yang lahir pada tanggal itu menurut dokumen Kelahiran. Mereka diurutkan berdasarkan abjad dengan nama ibu. Mungkin kau mengenali seseorang dari kenalan ayahmu atau kakakmu."
Sasuke mengambil daftar yang disodorkan pria itu, dalam hati menghitung mundur sembilan bulan sebelum melihatnya.
Maret.
Sebuah pikiran yang memuakkan muncul di kepalanya, diiringi oleh perasaan tenggelam di perutnya. Sasuke segera membalik ke tengah daftar dan menemukan nama yang tidak ia harapkan.
Haruno Sakura.
***
Sasuke berjalan melewati pintu sebuah perusahaan besar. Dengan hanya mengangguk samar pada karyawan disana, ia berjalan langsung ke salah satu lift yang akan membawanya ke lantai paling atas gedung.
Setelah melangkah keluar lift, ia berjalan menyusuri koridor panjang yang menghubungkan dengan ruangan pemimpin perusahaan itu. Sekali lagi, ia hanya merespon dengan anggukan pada beberapa karyawan yang menyapanya. Ia memang cukup sering datang kesana.
Ruangan yang ia tuju telah berada di depan mata, tanpa mengetuk pintu, ia langsung mengayunkan pintu itu terbuka, memperlihatkan ruangan yang rapi dan luas, tapi tentu saja tidak seluas di perusahaannya.
"Sasuke, datang lebih awal seperti biasanya!" sambut Hozuki Suigetsu menepuk bahu Sasuke. "Minum?"
Sasuke mengangguk, dan Suigetsu menuangkan anggur di sebuah gelas kristal.
"Jadi, ada hal penting apa hingga membuatmu bersedia membuang beberapa yen untuk meyakinkanku agar mengosongkan jadwalku untukmu?" Suigetsu bersandar di kursi kulitnya, memberi isyarat pada Sasuke untuk duduk di hadapannya.
"Ingat Haruno Sakura?" tanya Sasuke dengan tenang, menyesap minumannya.
"Si rambut pink itu?" Suigetsu mengerutkan kening. "Ada apa dengannya?"
"Dia memiliki anak, hampir berusia empat tahun. Aku ingin kau mencari tahu tentang dia dan anak itu." Sikap Sasuke tampak tenang tapi matanya menyipit.
Suigetsu mengangkat alis ke arah Sasuke. "Apa itu anakmu?"
Sasuke mengangkat bahu. "Menurut surat wasiat ayahku, dia saudara tiriku."
Mata Suigetsu melebar. "Kau bercanda. Ayahmu dan Si rambut pink?"
"Dia tinggal di apartemen milik keluargaku di Kyoto selama tiga setengah bulan sebagai jaminan dari ayahnya sendiri karena memiliki hutang pada perusahaan ayahku. Aku yakin kau bisa menebak apa yang terjadi padanya selama dia tinggal disana." jawab Sasuke.
"Sial, aku lupa tentang itu." Suigetsu mengumpat. "Kau berpikir bahwa ayahmu..."
"Tepat." mata Sasuke melirik Suigetsu, kepalanya masih tertunduk.
Suigetsu mengangkat bahu. "Aku akan mencari tahu semuanya. Kau tahu aku yang terbaik dalam hal ini."
***
Sasuke menerima pesan teks dari Suigetsu tiga hari kemudian.
'Undang aku untuk makan malam.'
Sasuke segera mengetikkan balasan, mengajak Suigetsu untuk bertemu di sebuah restoran mewah di Tokyo hari itu juga. Ia kemudian menyuruh salah satu anak buahnya untuk pergi ke restoran itu membuat reservasi meja.
Suigetsu tiba tepat waktu, memesan wine dan steak paling mahal di daftar menu, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan makan gratis disana. Ia mengeluarkan sebuah map dan menyerahkannya pada Sasuke.
"Haruno Sakura tidak kembali untuk menyelesaikan tahun terakhir sekolahnya. Jelas, kita sekarang tahu alasannya. Ayahnya ditangkap karena kasus penggelapan uang, dia dibebaskan di musim panas saat itu, tapi seminggu kemudian meninggal karena mengalami kecelakaan. Penyelidikan resmi memutuskannya sebagai kecelakaan tunggal, meskipun ada banyak bukti bahwa dia bunuh diri karena depresi berat akibat perusahaannya perlahan bangkrut. Sedangkan ibunya telah meninggal saat Sakura berusia 12 tahun."
Suigetsu terdiam sejenak, menyesap anggurnya dan memandang Sasuke.
"Dia tidak punya keluarga lagi selain seorang bibi yang pikun tinggal di Hokkaido. Dan bocah itu, lahir kurang lebih lima bulan kemudian setelah Haruno Kizashi meninggal. Dia memiliki banyak hutang. Beberapa apartemen dan kafe mereka telah disita. Sakura menjual rumah besarnya kepada Shikamaru dan istrinya, dan kemudian membangun rumah kecil sederhana. Dia menjalankan perusahaan majalah ayahnya yang ada di Tokyo seorang sendiri, tapi setelah bocah itu lahir," Suigetsu berhenti, menatap Sasuke. "Haruno Nichi, dia menjualnya ke perusahaan investasi." Suigetsu meneguk anggurnya lagi, menatap Sasuke secara signifikan.
"Perusahaan investasi?" Sasuke mengangkat alisnya.
Suigetsu mengangguk. "Jika kau telusuri cukup jauh kebelakang melalui perusahaan induk dan perusahaan cabang, Uchiha Industries lah yang membelinya."
"Benarkah?" Sasuke meneguk anggurnya sendiri. "Apa Itachi juga tahu tentang bocah itu?"
"Tidak ada tanda-tanda untuk itu, sejauh yang kutahu. Aku tidak dapat menemukan catatan bahwa Itachi pernah bertemu anak itu." Suigetsu mengangkat bahu.
Makanan mereka tiba. Suigetsu menggigit steak-nya dan mendesah nikmat.
"Dia bekerja di rumah tak lama setelah bocah itu lahir, sebagai penulis lepas. Menjual artikel kepada beberapa perusahaan majalah. Cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Dia mempunyai tabungan kecil tapi dia harus menariknya beberapa kali, dan menutup rekeningnya. Dia tak pernah menikah, tak ada hubungan serius. Hanya dia dan bocah itu." lanjut Suigetsu setelah menelan steak-nya.
Sasuke mendorong piringnya ke satu sisi, membuka map yang tadi disodorkan oleh Suigetsu. Foto Haruno Nichi berada di paling atas. Dia memiliki hidung dan dagu Uchiha. Rambut dan matanya berwarna hitam, bulat seperti Sakura, tapi gelap seperti milik Sasuke. Bocah itu sangat Uchiha sekali.
Dan bocah itu adalah saudara laki-lakinya.
***
Sasuke bangun keesokan paginya dan pergi mengunjungi Mikoto di salah satu villa keluarga mereka.
"Oh, Sasuke-kun." Ibunya menuruni tangga, mencium pipi anaknya. "Aku sangat senang kau memutuskan untuk bergabung denganku untuk liburan disini. Apa kau ingat villa ini sebelumnya? Terakhir kau kesini kau masih kecil. Rumah ini indah, dan pemandangannya luar biasa. Rumah ini pemberian dari adik nenekmu." Ia menggiring anaknya ke balkon, di mana ada asisten rumah tangga yang membawakan mimosas dan croissant. "Nah, karena kau di sini sekarang. Aku yakin masalah penyelesaian warisan ayahmu sudah selesai."
"Itu yang ingin kubicarakan denganmu." Sasuke menghela napas, merobek croissant-nya. "Urusan warisan belum selesai. Ada komplikasi kecil."
"Apa itu, Sasuke-kun?" Mikoto menyesap minumannya.
Sasuke menghela nafas. "Pihak pengacara yakin bahwa Tousan mungkin memiliki anak lagi."
Mikoto menatap Sasuke lama sebelum ia mengangkat alis dan bertanya. "Hanya satu?" Ia mengangkat gelasnya dan menghabiskan sisa minumannya, mengisi gelasnya lagi dengan champagne.
"Apa maksudmu hanya satu?" tanya Sasuke.
Mikoto menggelengkan kepalanya. "Ayahmu bukan orang tanpa dosa, Sasuke. Kupikir kau sudah tahu maksudku sekarang."
"Dia berselingkuh?" Sasuke tampak sedikit terkejut.
"Hampir sepanjang waktu selama kami menikah." Mikoto membenarkan.
"Aku tidak percaya kau tak pernah memberitahuku!" Sasuke menghabiskan minumannya sendiri.
"Kenapa aku harus memberitahumu?" Mikoto mengangkat bahu. "Itu tidak akan mengubah apapun, kecuali mungkin merusak hubungan antara kau dan ayahmu lebih jauh."
Keheningan menyelimuti cukup lama sebelum salah satu dari mereka berbicara lagi.
"Siapa dia?" tanya Mikoto. "Hozuki Mai? Aku selalu berpikir bahwa mereka telah menikah bertahun-tahun, dan kemudian muncul si kecil Suigetsu."
Sasuke tanpa sadar telah memotong croissant-nya menjadi potongan-potongan yang terlalu kecil untuk dimakan. "Tidak." Ia menggelengkan kepalanya. "Apa kau ingat bahwa Haruno pernah menyerahkan anaknya sendiri sebagai jaminan hutang mereka? Entah apa saja yang telah dilakukan Tousan padanya."
Ibunya mengejutkan Sasuke dengan terkekeh keras. "Seorang Uchiha Fugaku, menjadi ayah dari seorang anak dari keluarga Haruno yang terlibat banyak masalah? Itu terlalu ironis untuk dideskripsikan." Mikoto menggelengkan kepalanya sebelum menyadari bahwa Sasuke hanya diam menatap meja.
"Sasuke-kun, Sayang, jangan cemberut seperti itu. Kau memiliki kerutan yang mengerikan." Mikoto berdecak. "Aku yakin tidak ada seorang pun yang akan mengetahui ini. Lagipula meskipun ada yang mengetahuinya, mereka tak punya bukti. Kau hanya harus pergi menemui gadis itu untuk mengajukan penyelesaian, dan setelah pihak pengacara merasa puas bahwa bocah itu mendapatkan warisan, ini semua akan terselesaikan. Aku yakin gadis itu juga tidak akan keberatan jika kau merahasiakan kondisi ini. Hal ini tentu tidak akan baik untuk kesempatannya menikah jika publik tahu bahwa dia memiliki anak dengan pria yang sudah menikah."
Sasuke mengangguk, mengangkat kepalanya ke arah ibunya. "Kau benar."
***
Malam itu, setelah menyalin nomor telepon milik Sakura yang tertera di map pemberian Suigetsu, Sasuke segera mengirimi gadis itu pesan teks, menanyakan apakah ia bisa bertemu dengan gadis itu untuk membicarakan masalah penting. Sakura membalas keesokan paginya bahwa ia sedikit sibuk selama beberapa hari ke depan, tapi jika Sasuke tak keberatan berbicara selagi ia melakukan beberapa pekerjaan, lelaki itu boleh mampir kapan saja.
Sasuke berputar-putar di jalanan selama dua jam sebelum akhirnya menemukan sebuah pemukiman di ujung jalan dari alamat yang diberikan Suigetsu padanya. Ia mendekati sebuah rumah, memeriksa alamat itu dua kali ketika ia mencapai teras sebuah rumah kecil yang terletak di dekat jalan. Semak bunga tumbuh di kedua sisi pintu depan, disana terdapat beberapa tanaman lobak, dan ada kebun sayur di samping rumah itu.
Ia mengetuk pintu, dan pintu terbuka semenit kemudian oleh Haruno Sakura.
"Sasuke." Sakura menyapa Sasuke, tampak penasaran.
"Sakura." Sasuke mengangguk.
"Masuklah," Sakura mengundang Sasuke. "Aku sedang bekerja di dapur."
Sasuke mengikuti Sakura melewati ruang tamu yang bahkan lebih kecil dari kamarnya, menuju dapur yang ukurannya hampir sama. Seorang bocah laki-laki duduk di meja, mewarnai beberapa buku berisi gambar-gambar bergaris warna hitam.
"Hai." Bocah itu menatap Sasuke dengan mata menyipit.
Sasuke berhenti dan menatap bocah itu sejenak. Foto yang diberikan Suigetsu jelas-jelas memiliki kemiripan yang akurat dan cukup baru.
Namun, di foto itu tidak menangkap cemberut khas Uchiha yang kini ada di wajah bocah itu. Sasuke tidak yakin apakah dirinya harus geli atau terganggu dengan fakta ini.
"Hai." Sasuke membalas bocah itu, berharap dirinya terlihat ramah.
Bocah itu hanya menatap Sasuke sejenak kemudian kembali sibuk mewarnai.
"Dia anakku, Nichi. Biasanya dia sedikit pemalu. Kami jarang mendapat tamu." Sakura berjalan ke sebuah kompor, di mana panci besar mengepul. "Seperti yang kukatakan, aku sedikit sibuk selama beberapa hari ke depan. Aku harus memastikan sayuran kebun awet sebelum mereka membusuk. Kami mendapat panen yang sangat bagus tahun ini. Cukup untuk kebutuhan kami sampai melewati musim dingin." Ia mengambil kacang polong dari panci besar dan memasukkannya ke toples yang ia siapkan.
"Kau menanam dan mengawetkan makananmu sendiri?" tanya Sasuke, memperhatikan Sakura yang memutar tutup toples, mendorong toples ke samping, dan mengambil toples berikutnya.
"Tentu saja." Sakura menunjuk ke toples tomat yang dijajarkan di meja. "Nichi dan aku telah tinggal di sini cukup lama. Cukup masuk akal bagi kami untuk berkebun. Jadi kami tidak harus membeli. Mungkin hanya daging. Tapi ada sungai di ujung jalan yang penuh dengan ikan. Yang bisa diolah menjadi sup enak, kau tahu."
"Itu tidak enak." sahut Nichi cemberut.
"Tapi itu sangat sehat untukmu." Sakura memberi anaknya tatapan yang menunjukkan bahwa mereka telah sepakat tentang ini sebelumnya, dan kemudian beralih kembali ke sayurannya. "Sasuke, kau repot-repot mencari nomor telepon dan alamat rumahku kemudian datang ke sini pasti bukan untuk berbicara tentang sayuran dan sup." Ia memandang Sasuke sekilas.
Sasuke menghela nafas. "Aku datang untuk menyelesaikan urusan anakmu."
Sakura melirik pada anaknya yang sibuk mewarnai dan tampak mengabaikan dua orang dewasa didepannya. "Apa yang kau bicarakan, Sasuke?" tanya Sakura dengan waspada.
"Warisan untuk Nichi, dari ayahnya." ucap Sasuke tenang.
Sakura sedang meraih toples lainnya dan hampir saja menjatuhkannya. "Aku tidak tahu siapa ayah Nichi, dan aku benar-benar tidak ingin tahu." jawabnya, nada suaranya pahit.
"Ayahku adalah ayah Nichi." Sasuke sedikit mengerutkan keningnya.
"Ayahmu adalah salah satu dari setidaknya enam orang yang datang ke apartemen itu. Salah satu dari mereka bisa jadi ayah Nichi." Ada sedikit gemetar pada suara Sakura.
Sasuke menggertakkan giginya, tidak terlalu terkejut dengan apa yang disampaikan Sakura, tapi tetap saja itu bukan sesuatu yang ingin ia dengar. "Menurut surat yang ayahku tulis, dia adalah ayah Nichi." Sasuke memberitahu Sakura dengan muram.
"Sudah kukatakan aku tidak mau tahu." Sakura membentak Sasuke.
Sasuke terkejut, karena selama mereka berada di satu sekolah, ia belum pernah melihat atau bahkan mendengar tentang seorang Haruno Sakura marah akan sesuatu. Sakura memang tak pernah sekelas dengannya, tapi ia cukup tahu tentang gadis itu mengingat keluarga Haruno mempunyai bisnis yang lumayan besar dan terkenal, tentu saja sebelum terlibat masalah.
Sakura menghela nafas. "Aku mendengar tentang ayahmu meninggal minggu lalu. Aku berharap bisa menyampaikan rasa berduka padamu, tapi aku benar-benar tidak bisa."
"Kau selalu jujur." Suara Sasuke terdengar seperti mendengus sekaligus tertawa.
Sakura melirik putranya, memastikan Nichi masih sibuk mewarnai, lalu menatap Sasuke. "Pihak pengacara pasti mengatakan bahwa Nichi pantas mendapat warisan. Tapi kami tidak menginginkan apapun."
"Sakura," Sasuke menghela nafas. "Kau pantas menerimanya, untuk apa yang kau alami. Ini akan memastikan bahwa dia terjamin, bahwa kau akan punya banyak persediaan makanan dan tidak harus berkebun untuk bertahan hidup seperti yang kau jelaskan tadi."
"Uang tidak akan mengubah apa yang terjadi di apartemen itu." ucap Sakura.
"Untuk apa yang terjadi, aku minta maaf." ucap Sasuke. "Sejujurnya aku tidak tahu."
"Apa yang bisa kau lakukan jika kau tahu?" tanya Sakura.
"Tapi..." Sasuke memulai lagi.
"Sasuke, cukup." potong Sakura, tubuhnya menegang. "Nichi dan aku baik-baik saja. Aku tidak ingin uang atau apapun dari Uchiha. Kami hanya ingin dibiarkan hidup berdua. Kau sudah melakukan tugasmu, jadi sekarang kau bisa kembali ke kantor pengacara, sampaikan ini pada mereka. Jika aku harus menandatangani sesuatu, aku akan lakukan. Tapi tolong lupakan ini."
"Sakura, tolong." Sasuke memohon pada Sakura. "Terima saja. Lakukan ini untuk anakmu. Pastikan dia terjamin."
Sakura menatap Sasuke seolah-olah lelaki itu tak mengerti. "Dia sudah terjamin."
"Sakura..." Sasuke mengurut batang hidungnya dan mendesah.
"Sasuke, aku tidak ingin berdebat denganmu." Sakura melewati Sasuke untuk meraih toples lain. "Jika kami harus melakukan sesuatu untuk memuaskan pihak pengacara, beri saja Nichi 5 bungkus permen." Ia berbalik dan menatap Sasuke. "Sekarang, aku harus menyelesaikan ini supaya aku bisa menyiapkan makan siang untuk Nichi. Apa ada hal lain yang perlu kita diskusikan?"
"Tidak." Sasuke mendengus. "Tolong pikirkan tentang ini, Sakura."
"Tidak ada yang perlu dipikirkan." Sakura meletakkan toples ke samping, menyeka tangannya dengan handuk dan mulai menggiring Sasuke ke pintu depan. "Nichi, Mister Sasuke akan pergi sekarang. Aku akan mengantarnya ke pintu."
Bocah laki-laki itu berhenti sejenak dari kesibukannya mewarnai dan mendongak. "Sampai jumpa, Mister." Nichi berkata dengan sungguh-sungguh.
"Sampai jumpa, Nichi." Sasuke melemparkan senyum kecil.
Mereka berjalan ke pintu depan, dan Sasuke berbalik untuk menghadap Sakura lagi. "Sakura..." Ia memulai lagi.
"Jawabannya tetap tidak, Sasuke." Sakura menggelengkan kepalanya.
"Aku akan menghubungimu lagi." Sasuke melangkah melewati pintu.
"Aku yakin kau akan melakukannya." Sakura menghela napas dan menutup pintu rumahnya.
***
Sasuke mengemudikan mobilnya menjauh, benar-benar kesal dan tercengang oleh keputusan Sakura. Demi Tuhan, gadis itu dan anaknya hidup kekurangan. Mengapa Sakura yang menyebalkan tidak menerimanya saja?
Ia kembali ke Mansion Uchiha, bertekad untuk melupakan Sakura dan bocah haramnya serta kesalahan ayahnya. Ia berjalan cepat masuk ke dalam rumah, menyuruh asistennya untuk membawa makan siangnya ke ruang makan dengan sebotol anggur.
Ia makan tanpa menikmati makanannya, mengunyah dengan jengkel, kemudian meneguk cepat minumannya. Ia akhirnya cukup tenang dan memutuskan untuk pergi ke kantor, mengejutkan para stafnya yang berpikir bahwa ia akan cuti setidaknya sampai akhir minggu atas kematian ayahnya.
Sasuke menyeringai nakal pada sekretarisnya, ia hanya perlu mengalihkan pikirannya untuk sementara waktu. Gadis itu menahan napas dan melempar tatapan berbinar yang mengingatkan Sasuke pada mata Sakura saat di sekolah.
Sasuke melangkah cepat masuk ke ruangannya, menutup pintu dengan sedikit keras. Ia mengumpati dirinya sendiri dan merasa konyol, Janny kelahiran Australia sangat jelas berbanding terbalik dengan Sakura secara fisik dan mengapa di bumi ini ia bahkan harus membandingkan sekretarisnya itu dengan si rambut pink?
Sasuke menyibukkan dirinya dalam tumpukan proposal dari perusahaan baru yang mencari investor, dan agak terkejut ketika Janny tiba-tiba mengetuk pintu ruangannya beberapa jam kemudian.
Gadis itu memberitahu Sasuke bahwa sebagian besar staf sudah pulang satu jam yang lalu. Sasuke mengucapkan terima kasih dan meyakinkan gadis itu bahwa ia baik-baik saja sendiri di kantor, dan menyuruh gadis itu lebih baik untuk pulang juga. Tapi gadis itu mengatakan pada Sasuke bahwa ia tahu hal yang lebih baik, mengatakan bahwa Sasuke membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan pikirannya, dan perlahan mulai membuka kancing blouse-nya.
Sasuke sejenak bertanya-tanya gadis mana yang mau memakai lingerie renda hitam untuk bekerja, tapi ia memutuskan untuk tak mempermasalahkannya, dan membiarkan dirinya di manjakan dalam simpati gadis itu.
***
Sasuke pulang ke rumah beberapa jam kemudian, mandi air hangat, menikmati beberapa tegukan anggur untuk makan malam, dan pergi tidur.
Tidur nyenyak yang diharapkannya tak tercapai, karena serpihan-serpihan gambar aneh berkeliaran di mimpinya.
Ia melihat dirinya sendiri tiba di sekolah untuk tahun pertamanya, tapi ia mengenakan seragam bekas yang compang-camping, sementara teman-temannya berpakaian lebih baik daripada dirinya.
Ia melihat Sakura berlari kecil melewati koridor dengan senyum di wajahnya.
Ia melihat ayahnya, berjalan ke ruang baca.
Ia melihat Sakura dan putranya, berpelukan bersama di atas karpet tipis di depan perapian, selimut tersampir di sekeliling mereka untuk menghalau angin dingin.
Ia melihat pertengkaran antara dirinya dan Nara Shikamaru di tahun keduanya.
Ia melihat seorang bocah laki-laki yang mewarnai di atas meja sedang menatapnya dengan cemberut khas Uchiha.
Ia melihat ayahnya di meja ruang kerja, tampak seperti raja dari seisi mansion.
Ia melihat Sakura di apartemen itu, kurus, pucat, dan dengan tatapan ketakutan di matanya.
Ia melihat dirinya sendiri menutupi telinganya untuk menghalangi jeritan yang berasal dari dalam apartemen itu.
Ia melihat ayahnya di ruang kerja, di seberang meja, mengatakan kepadanya bahwa 'Seorang Uchiha selalu lebih unggul dari keluarga lainnya'.
Ia melihat Nichi sedang memakan sup ikan, mengatakan pada ibunya 'Ini tidak enak'.
Ia melihat wajah Sakura di balik olahan sayuran yang mengepul, tampak kemerahan karena terkena uap panas, dengan cahaya matahari mengenai kulitnya, tapi dengan rasa takut dan ketidakpercayaan terukir di matanya yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Ia melihat ayahnya, menggelengkan kepala dan berbalik dengan gestur ketidaksetujuan, seperti yang sering ia alami di masa kecilnya.
Ia melihat keluarga Nara dan Yamanaka, berdiri tegak, melempar tatapan benci ke arahnya.
Ia melihat dirinya menjadi bocah kecil yang memakan sup berbau busuk, dengan ibunya sendiri berpakaian compang-camping yang mengatakan padanya 'Tapi itu sehat untukmu, Sayang'.
Sasuke terbangun tiba-tiba, terkejut. Ia duduk di tepi tempat tidur, melihat sekeliling ruangan, dan menyadari bahwa tak peduli seberapa banyak ia mencoba untuk menyingkirkan semua itu dari pikirannya, situasi dengan Sakura tidak akan menghilang begitu saja.
***
To be continued.

1 komentar:

  1. Hayyy kak,, aku baru pertama kalinya baca cerita di blog kakak,,
    Makasi
    Aku mulai

    BalasHapus

Berkomentarlah dengan sopan :)