Sasuke hanya berguling-guling di atas kasurnya sampai matahari muncul, tak bisa berhenti memikirkan Sakura dan putranya. Ia akhirnya menyerah, mengirim pesan pada sekretarisnya bahwa ia tidak akan ke kantor, memakan sepotong roti panggang dengan teh seperti biasa, dan kemudian pergi ke tempat yang sama yang ia datangi pada hari sebelumnya.
Alih-alih menghentikan mobilnya di depan rumah Sakura, ia memilih memarkirkan mobilnya sedikit jauh, ia berjalan mengitari kebun di sekitar rumah Sakura dan muncul di bagian belakang rumah gadis itu.
Sakura dan putranya tampak telah bangun, berpakaian bersih, menyelesaikan sarapan, dan beres-beres setelahnya. Sasuke memelankan kakinya dan berjalan pelan ke balik pepohonan di pinggir kebun, menyaksikan Sakura dan bocah itu keluar rumah.
"Jangan bermain terlalu jauh. Lebah mungkin akan menculikmu." Sakura tersenyum sayang pada putranya.
"Tidak, Mama." Nichi menggelengkan kepala dan balas tersenyum.
Sasuke harus mengakui, saudara laki-lakinya itu adalah bocah yang tampan.
Sakura bekerja di kebun, memetik beberapa jenis sayuran, sementara putranya bermain di kotak pasir, membuat bukit dan menghancurkannya dengan peralatan dapur bekas, memasukkannya ke bagian belakang mainan truk plastik yang sudah pudar warnanya. Bocah itu bermain selama lebih dari satu jam, berseru riang ketika menggulingkan truknya atau menghancurkan tumpukan pasirnya, sementara Sakura bekerja dalam diam, mendongak beberapa kali untuk memeriksa putranya tetap di tempatnya.
Akhirnya, bocah itu berdiri. "Mama, aku akan ambil minum."
"Oke, Sayang." balas Sakura kembali.
Bocah itu masuk ke rumah dan kembali dengan dua gelas air. Ia mengambilkan satu untuk ibunya.
"Terima kasih, Sayang." Sakura berhenti sejenak dan meminum air itu sampai habis, menaruh gelas kosong di sebelah keranjang penuh sayuran.
Bocah itu berjalan pergi, ke arah pepohonan, tepat menuju dimana Sasuke bersembunyi. Sasuke mundur perlahan, berharap ia bisa lebih jauh dari rumah Sakura dan kembali ke mobilnya.
Namun bocah itu telah berdiri di depannya. "Mister, kenapa kau memperhatikan kami?"
Sasuke buru-buru menempelkan telunjuknya didepan bibirnya, berharap Nichi tidak berbicara keras agar Sakura tidak mendengarnya. "Aku penasaran tentangmu." bisiknya.
Begitu Sasuke mengucapkan kata-kata itu, ia menduga anak itu akan bertanya apa arti 'penasaran'. Tapi sebaliknya, Nichi memiringkan kepalanya dan bertanya, "Kenapa?"
Sasuke terdiam, tidak yakin atas jawabannya sendiri. "Sejak aku bertemu denganmu kemarin, aku ingin tahu lebih banyak tentangmu."
"Oh oke." Bocah itu mengangguk seolah ia mengerti, lalu mengangkat gelasnya. "Kau mau minum?"
"Terima kasih." Sasuke mengambil gelas itu dan meneguknya beberapa kali. "Apa ibumu tidak membolehkanmu minum milkshake?"
"Apa itu?" Bocah itu mengerutkan kening.
"Itu semacam minuman manis." Sasuke menjelaskan, sedikit mengernyit dan menyerahkan gelas itu kembali. "Terima kasih."
"Sama-sama. Kami kadang-kadang minum jus, saat kami punya beberapa buah, dan susu, dan kadang-kadang kami minum teh ketika kami mendapat tamu." Bocah itu meminum sisa air di gelas, membuat Sasuke meringis saat memikirkan kuman-kuman di sana. "Inoichi-jiisan pernah memberiku bubble tea. Minuman itu banyak gelembung dan membuat hidungku gatal."
Sasuke mengangguk dan hampir tertawa.
"Apa rumahmu di dekat sini?" tanya Nichi, seraya menyipitkan mata pada Sasuke.
Sasuke menggelengkan kepalanya. "Tidak. Rumahku di kota."
"Aku ingin ke kota bertemu Thomas." Nichi menarik kaosnya keluar, menunjukkan gambar kereta dengan wajah tersenyum di kaosnya. "Dan Percy. Dia berwarna hijau. Aku mendapatkan ini dari Ino-basan."
"Nichi-kun!" panggil Sakura.
Bocah itu menatap Sasuke.
"Pergilah." Sasuke menginstruksikan. "Tapi jangan bilang aku ada di sini. Ibumu mungkin akan marah."
Bocah itu mengangguk, mundur beberapa langkah sebelum berbalik dan melompat-lompat ke arah ibunya. "Aku di sini, Mama!"
"Kau pergi kemana saja?" tanya Sakura seraya memandang pepohonan, terlihat lebih ingin tahu daripada rasa khawatir.
"Tadi aku sekilas melihat sesuatu yang melompat di sana." Nichi melingkarkan lengan kecilnya di sekitar kaki ibunya dan meletakkan kepalanya di paha ibunya.
"Kau tahu kau tidak seharusnya pergi sendirian." Sakura menasehati.
"Tapi aku masih bisa melihatmu dari sana." Bocah laki-laki itu menatap ibunya dan tersenyum. "Aku sayang Mama."
"Aku menyayangimu juga." Sakura memberi putranya senyuman geli dan mengacak-acak rambut hitamnya. "Tapi kenapa kau baru bilang menyayangiku sekarang? Apa kau sedang merayuku agar mendapatkan kue?"
Senyuman bocah itu melebar.
Sakura tertawa. "Baiklah, aku juga harus membawa ini ke dalam rumah. Ayo." Ia mengambil keranjang sayurannya di satu tangan dan meraih tangan putranya dengan tangannya yang bebas, menggandengnya masuk ke dalam rumah.
Bocah itu menengok ke belakang ke arah Sasuke dan menyeringai.
Sasuke menahan bibirnya agar tidak tertawa terbahak-bahak.
Saudara laki-lakinya itu memiliki khas Uchiha yang sangat kuat.
Sasuke mengambil kesempatan untuk pergi saat Sakura masuk ke rumah, ia berjalan kembali ke jalanan menuju mobilnya dan kembali ke Mansion.
Ia segera mengetik pesan teks untuk Sakura lagi.
'Sakura, aku akan segera memberikan uang untukmu dan Nichi. Terimalah, uang itu akan memungkinkanmu dan Nichi hidup terjamin selama sisa hidupmu jika dikelola dengan baik.'
Ia membaca ulang pesan teks itu sebelum menekan tombol send.
Satu jam kemudian, ponsel Sasuke berdering, di layar muncul notifikasi sebuah pesan masuk. Ia segera membukanya.
'Sasuke, terima kasih atas kebaikanmu, tapi sekali lagi, aku menolaknya. Nichi dan aku tidak menginginkan uang dari Uchiha.'
Sasuke mengumpat pelan. Ia segera mengetikkan balasan lagi.
'Jangan keras kepala! Kau dan anakmu bisa membeli beberapa pakaian baru dan membeli bahan makanan yang cukup sehingga dia tidak harus makan sup ikan jika dia tidak menginginkannya. Suatu hari dia juga akan membutuhkan perlengkapan sekolah. Ambil saja uang sialan itu.'
Beberapa menit kemudian, balasan yang diterima Sasuke sangat pendek dan langsung pada intinya.
'Kami bisa mengatur semuanya sendiri. Kami punya persediaan uang.'
Sasuke kemudian menghubungi ibunya, yang mendesah kesal karena acara perawatan kecantikannya terganggu.
"Sakura tidak mau mengambil uangnya, Kaasan!" Sasuke mengamuk. "Mereka hidup seperti petani abad pertengahan, dan dia tidak mau mengambil uang sialan itu!"
"Sedikit sombong." komentar Mikoto. "Apa kau yakin bocah itu adalah Uchiha yang tidak sah?"
"Kaasan, aku sedang tidak ingin bercanda!" ucap Sasuke jengkel. "Dia tidak mau mengambil uang itu, padahal dia membutuhkannya!"
"Kenapa ini penting bagimu, Sasuke-kun?" tanya ibunya. "Apa kau mencoba memberinya uang karena kau ingin melihatnya dan anaknya hidup terjamin, atau karena kau merasa bersalah tentang apa yang terjadi padanya, atau ada hal lain?"
Kerutan muncul di kening Sasuke.
"Terserahlah, Kaasan." Sasuke mendengus dan memutus sambungan telepon. Ia naik ke lantai atas, berganti pakaian, lalu kembali ke garasi, mengemudikan mobilnya menuju bank.
Ia meminta berbicara dengan seorang manajer yang khusus menangani situasi unik seperti ini. Seorang staf mengantarnya ke sebuah ruangan, di mana ia terkejut menemukan siapa yang berada di belakang meja, ia melirik papan nama di meja.
Nara Temari.
"Oke." Sasuke bergumam pelan.
"Apa ada masalah yang bisa kubantu?" tanya Temari, mengerutkan kening.
Sasuke menghela napas. "Aku mempunyai... anggota keluarga jauh, yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Aku ingin mentransfer dana ke rekeningnya."
Kerutan di kening Temari memudar. "Itu bukan masalah. Staf di depan bisa..."
"Ini masalah." Sasuke menyela, dalam hati mengumpati dirinya sendiri karena ketidaksopanannya. "Dia tidak ingin menerima uang dari keluarga Uchiha. Ada... sebuah situasi... yang menyebabkan ketidaknyamanan ini."
"Oh." Temari mengangguk.
"Bagaimana aku bisa membuat orang itu mau mengambil uangnya?" tanya Sasuke.
"Jika orang itu memiliki rekening, kita bisa mentransfer dana langsung ke rekeningnya." Temari tampak berkonsentrasi dengan berbicara pelan dan jelas. "Kita juga bisa membuatkan rekening dengan namanya jika dia tidak memilikinya. Tapi kau tidak bisa membuat orang itu mengambil uangnya."
"Maaf?" Sasuke mengerutkan kening.
"Orang itu bisa membiarkan uang itu tersimpan di bank dan tidak menggunakannya. Tidak ada cara yang bisa memaksa mereka untuk mengambil uang dari rekening jika mereka tidak menginginkannya." Temari menjelaskan lebih lanjut.
"Orang ini butuh bantuanku dan terlalu keras kepala untuk menerimanya." Sasuke mengusap rambutnya dengan jengkel. "Bagaimana aku bisa membantu jika mereka tidak mengijinkanku?"
"Jika... orang itu punya hutang, mungkin kau bisa membayarkan hutangnya secara pribadi." Temari menyarankan. "Jika kau tahu mungkin... apa yang dibutuhkan orang itu, kau juga bisa memberikannya untuk mereka."
Sasuke mengangguk, ide-ide sudah berputar di dalam kepalanya.
"Tapi aku sarankan bahwa mungkin sebaiknya, kau perbaiki hubunganmu dengan orang itu." Temari melempar senyum. "Kalian akan merasa lebih baik dan mungkin mereka juga akan menerima pemberianmu."
"Terima kasih." Sasuke mendorong kursinya ke belakang hingga berderit dan berjalan keluar dari ruangan.
***
Sasuke kembali ke rumah, ia meninjau lagi laporan yang telah diberikan Suigetsu padanya tentang Sakura dan anaknya. Sayangnya, Sakura telah bebas dari hutang. Gadis itu juga rupanya tidak membuat rekening apapun.
Sasuke menghubungi toko daging yang biasa dipesan oleh Uchiha, memesan beberapa daging untuk dikirimkan selama dua minggu terus menerus ke rumah Sakura, dan meminta agar merahasiakan pengirimnya. Ia berencana akan mengirim lebih banyak, tapi ia lupa untuk memperhitungkan penyimpanan makanan di rumah Sakura.
Dua jam kemudian, penjual daging menghubunginya kembali dan mengatakan bahwa Sakura menolak menerima daging itu.
"Kau akan menerimanya." ucap Sasuke dengan keras, meskipun hanya ada dirinya sendiri di ruangan itu.
Saat itu hampir jam empat sore, Sasuke kembali mengemudikan mobilnya ke pemukiman di pinggiran kota Tokyo. Ia berjalan kembali mengitari kebun menuju belakang rumah Sakura, memelankan langkah kakinya agar tidak terdengar.
Sasuke memperhatikan bahwa saat ini Sakura tengah mencabut wortel dan putranya berlarian dengan menunggangi tongkat kayu yang ujungnya diberi kepala boneka.
"Bukankah kudamu butuh istirahat?" tanya Sakura.
"Ini kuda terbang, Mama." seru Nichi menjelaskan. "Mereka tidak butuh istirahat."
"Aku yakin mereka butuh istirahat." balas Sakura, tak mendongak dari pekerjaannya.
Nichi berlarian di sekitar halaman kecil beberapa saat sebelum berlari ke tepi kebun. "Apa kau kembali, Mister?" bisiknya ke pepohonan.
Sasuke mengumpat pelan, muncul dari balik pepohonan. "Kau melihatku?" tanyanya.
"Tidak juga." Nichi mengerutkan kening. "Aku hanya menebak-nebak."
Sasuke mendesah. "Kembalilah ke ibumu. Aku tidak akan menyakiti siapapun."
"Apa kau Papaku?" Bocah itu bertanya dengan lirih.
"Apa?" Sasuke tergagap. "Tidak. Kenapa kau menanyakan itu?"
"Karena aku tidak punya Papa. Shikamaru-jisan adalah Papa Shikadai. Sedangkan Sai-jisan adalah Papa Inojin." Bocah itu memberitahu Sasuke.
Sasuke memandang ke arah Sakura, yang tampak tak menyadari bahwa putranya tidak lagi mengitari halaman. "Apa kau tahu apa yang terjadi pada ayahmu?"
Bocah itu menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Mama bilang aku tidak punya Papa. Hanya aku dan dia. Aku punya kakek tapi dia mati. Aku ingin punya Papa. Papa bisa mengajariku cara menaiki sepeda."
"Apa kau ingin bisa menaiki sepeda?" tanya Sasuke.
Bocah laki-laki itu mengangguk bersemangat. "Aku ingin sepeda. Tapi kami tidak punya sepeda sendiri. Mama bilang aku tidak boleh punya sepeda karena aku masih kecil."
"Bagaimana jika aku membujuk ibumu untuk membelikanmu sepeda? Apa kau suka itu?" tanya Sasuke.
Mata dan mulut Nichi membulat, dan ia mengangguk begitu keras sehingga membuat leher Sasuke sakit melihatnya.
"Yay!" seru Nichi.
"Nichi!" panggil Sakura.
"Cepat kembali pada ibumu." Sasuke dengan cepat menyembunyikan dirinya lagi di balik pepohonan.
"Mama!" Nichi berlari kembali ke ibunya. "Ada orang baik hati yang akan memberiku sepeda!"
"Kau berimajinasi." Sakura mencium pipi anaknya. "Sudahlah, saatnya masuk dan makan malam."
Sasuke menunggu sampai Sakura masuk ke dalam rumah. Ia mengambil kayu bakar yang tadi ia bawa dan menumpuknya dengan rapi di samping tiga potongan kayu yang berada di bagian belakang rumah Sakura.
Sasuke menyeringai pada dirinya sendiri saat ia berjalan kembali ke jalanan dan bergegas menuju mobilnya.
***
Haruno Sakura dan putranya memenuhi mimpi Sasuke lagi.
Ia kembali bangun pagi-pagi, sarapan dengan cepat, dan kembali mengemudikan mobilnya ke jalan di dekat rumah Sakura lagi. Ia berjalan mengitari kebun, yang sekarang tak asing lagi baginya, mengintai dari balik pepohonan di belakang rumah kecil Sakura.
Kayu bakar masih tertumpuk di bagian belakang rumah, yang Sasuke anggap sebagai pertanda baik.
Sudah hampir empat puluh lima menit sebelum Sakura dan Nichi keluar rumah.
Sakura tampak termenung sejenak ketika ia melihat tumpukan kayu bakar. Nichi berlari menuju kayu bakar, melihat tumpukan itu, dan kemudian mundur, mendongak ke atas pada ibunya. "Apa ada sepedaku di sana?" tanyanya dengan penuh semangat.
Sakura mengerutkan kening. "Nichi-kun, aku lupa sesuatu. Ayo kita masuk sebentar."
Sasuke menunggu, menduga bahwa Sakura masuk ke dalam rumah untuk mengiriminya pesan teks.
Sepuluh menit kemudian, bunyi gemerisik terdengar di belakang Sasuke.
"Sial!" Sasuke mendesis.
Ia mendapati dirinya tak bisa bergerak. Nara Shikamaru dan Awadachi Utakata memegang kuat di kedua lengannya dan menyeretnya keluar dari balik pepohonan menuju ke belakang rumah Sakura.
"Sakura, kita mendapatkannya!" teriak Utakata.
Sakura membuka pintu belakang, melihat keluar, dengan anaknya mengintip di sekitar kakinya.
"Hei, Mister!" Nichi menyambut Sasuke dengan senyum lebar. "Hei, Shikamaru-jisan dan Utakata-jisan."
"Nichi-kun, masuk ke kamarmu dan biarkan aku berbicara dengan mereka." Sakura menginstruksikan, menatap Sasuke.
"Oke." Bocah itu menghilang ke dalam rumah.
Shikamaru melangkah di antara Sasuke dan Sakura, sementara Utakata terus memegang lengan Sasuke dengan kekuatan berlebihan.
"Aku akan melepasmu dan mengizinkanmu berbicara." Utakata hampir menggeram di depan wajah Sasuke. "Jangan membuatku menyesal telah memberimu hak istimewa itu. Dan jika kau membuat gerakan yang mengancam, kau akan kupastikan menginap di rumah sakit sebelum mengirimmu ke penjara." Utakata melepas lengan Sasuke dengan kasar. "Sakura memberitahu kami bahwa kau telah mengusiknya, mengawasinya dan Nichi. Kau mau memberitahu kami alasannya?"
"Aku tidak bermaksud menyakiti mereka." ucap Sasuke. "Aku mencoba untuk membantunya dan dia tidak membiarkanku! Aku mencoba memberikan uang haknya, dan dia tidak mau mengambilnya. Aku mencoba memberi mereka makanan, dan dia bahkan tidak mau mengambilnya juga!"
"Aku sudah memberitahumu, Sasuke, bahwa aku tidak menginginkan apapun darimu." Sakura berkata dengan lembut. "Aku menghargai tawaranmu, tapi kami baik-baik saja."
Sakura melirik ke balik bahunya, jelas telah menangkap gerakan di jendela di belakangnya dari sudut matanya. "Nichi, itu bukan kamarmu!"
Wajah kecil di jendela menghilang. Sasuke terkekeh kecil.
"Ada apa denganmu, Uchiha?" tanya Shikamaru. "Apa kau pernah bertemu Sakura lagi sejak lulus sekolah?"
"Aku baru tahu tentang bocah itu minggu lalu." Sasuke mendengus.
"Kenapa itu penting bagimu?" Utakata menuntut. "Sejak kapan kau menjadi orang yang suka mengurusi kehidupan single parent dan anak yatim?"
"Serius?" suara Sasuke terangkat bersamaan dengan alisnya. "Apa kalian tak pernah memperhatikan baik-baik anak itu? Bagaimana mungkin dua polisi yang begitu hebat ini tak menyadarinya?"
Sasuke memperhatikan roda-roda seakan berputar di belakang kedua mata mereka. Utakata yang pertama menyadarinya. Atau setidaknya mencapai kesimpulan yang salah lebih dulu. Dan bereaksi lebih dulu.
"Bajingan sialan!" Utakata bergerak dengan kecepatan luar biasa, meninju wajah Sasuke sebelum orang lain bisa bereaksi.
"Tidak!" Sakura memekik.
Utakata telah menyeret Sasuke dari tanah, menenggelamkan tinju ke bagian tengah tubuh si Uchiha itu.
Shikamaru mengambil dua langkah ke arah keduanya, meskipun dari raut wajahnya sulit untuk ditebak apakah ia bermaksud untuk melerai keduanya atau menambah kekacauan.
"Bukan dia!" teriak Sakura, menyerbu ke tengah keributan. Ia menarik lengan Utakata yang memegang kerah kemeja Sasuke. "Lepaskan dia!"
"Sakura..." Shikamaru memulai.
"Bukan Sasuke! Dia tak pernah menyentuhku!" Sakura berteriak.
Utakata menjatuhkan tinju yang telah diangkatnya kembali untuk mempersiapkan pukulannya, tapi masih tetap mencengkeram kemeja Sasuke. "Apa?" tanyanya, menatap bolak-balik antara Sakura dan Sasuke.
"Uchiha Itachi? Atau... Uchiha Fugaku?" ucap Shikamaru pelan.
Sakura mengangguk, menggigit bibirnya. Sasuke membuang muka, menggelengkan kepalanya. "Ayahku." jawab Sasuke pelan.
"Sayang sekali dia sudah mati." Utakata bergumam. "Aku berpikir untuk menggali kuburannya dan membunuhnya lagi." Ia melepaskan Sasuke dengan sedikit dorongan.
Sakura membuka pintu belakang dan mengambil handuk tangan. Ia menyeka darah dari wajah Sasuke. "Shikamaru, tolong ambilkan es."
Shikamaru masuk ke dalam rumah, kembali dengan beberapa potong es yang dibungkus handuk tangan. Ia menyerahkannya pada Sasuke, yang menekannya ke area antara hidung dan bibir atasnya yang memar.
"Sakura, apa kau ingin kami membawanya pergi?" tanya Shikamaru.
Sakura menatap dari Shikamaru ke Sasuke, ke Utakata, dan kembali ke Sasuke. "Tidak." Ia akhirnya menjawab. "Biarkan aku berbicara dengannya dulu."
"Apa kau ingin kami disini?" tawar Shikamaru. Ia menatap Sasuke seolah menantangnya untuk berargumen.
"Tidak. Sasuke akan bersikap baik."
"Jika dia tidak bersikap baik, beritahu kami, dan kami akan dengan senang hati mengurusnya." jawab Utakata, menatap Sasuke dengan curiga.
"Terima kasih sudah datang." Sakura memandang Shikamaru dan Utakata.
"Hubungi kami jika kau membutuhkan kami untuk kembali." Shikamaru mengulangi dan memandang aneh pada Sasuke.
Sakura mengangguk, kedua lelaki itu kemudian berjalan menjauhi rumah dan hilang dari pandangan.
"Ayo." Sakura membuka pintu, mengundang Sasuke masuk.
Sasuke mengikuti Sakura ke dapur, duduk di kursi ketika gadis itu memberikan isyarat dengan tangannya ke arah meja.
Nichi berlari masuk dari ruangan lain. "Mister, apa kau membawakanku sepeda?"
"Tidak hari ini." Sasuke memberitahu bocah itu. "Ibumu dan aku harus membicarakannya dulu."
Wajah kecilnya muram, dan Nichi mengalihkan perhatiannya pada ibunya. "Aku mohon, Mama?"
"Aku tidak berpikir kau sudah cukup besar untuk mempunyai sepeda." Sakura menggelengkan kepalanya.
"Mister akan membantuku menaiki sepeda." Bocah itu kembali menatap ke arah Sasuke. "Benar, kan? Beritahu Mama kau akan mengajariku."
"Ibumu dan aku akan membicarakannya dulu." ulang Sasuke. "Itu berarti kau harus bermain di kamarmu dan biarkan kami bicara sekarang."
"Oke!" Bocah itu berteriak, sudah setengah jalan berlari ke seberang ruangan.
"Aku benar-benar terkejut melihat bagaimana dia terbiasa denganmu." Sakura menyerahkan sebuah obat dan kemudian menaruh teh di atas meja sebelum mengambil tempat duduk di depan Sasuke. "Dia biasanya tidak cepat akrab dengan orang asing, dan kau tidak benar-benar tampak seperti orang yang menyukai anak-anak."
"Aku juga tidak, biasanya." Sasuke mengaku. "Tapi aku menyukainya. Kau sudah melakukan pekerjaan yang bagus, membesarkannya sejauh ini."
"Lalu kenapa kau begitu bertekad untuk ikut campur dalam kehidupan kami?" tanya Sakura.
"Aku tidak bermaksud ikut campur." Sasuke menghela nafas dan mengusap rambutnya. "Dia seorang Uchiha. Dia tidak seharusnya hidup seperti-"
"Seorang gelandangan?" potong Sakura. "Mereka tidak punya rumah, hidup di bawah jembatan dan di pinggiran toko."
Sasuke memutar matanya. "Aku akan mengatakan tidak seharusnya hidup seperti seorang petani abad pertengahan. Kalian berdua harus punya cukup uang sehingga kau tidak perlu khawatir tentang makanan atau pakaian hangat untuk musim dingin."
"Kami tidak khawatir tentang pakaian." Sakura meyakinkan Sasuke. "Inojin, anak Sai dan Ino, hampir setahun lebih tua dari Nichi, jadi mereka bisa memberikan semua pakaian Inojin yang masih cukup bagus. Untung saja, kedua bocah itu menyukai banyak hal yang sama..."
"Itulah yang kubicarakan." Sasuke menunjuk dengan tangannya. "Dia tidak seharusnya memakai pakaian bekas orang lain. Kau seharusnya bisa membelikannya apapun yang dia inginkan, dan tidak perlu khawatir tentang biayanya."
"Tapi sia-sia saja menghabiskan banyak uang untuk membeli pakaian karena anak laki-laki sangat cepat pertumbuhannya." ucap Sakura.
"Kenapa kau sangat menentang membiarkan aku membantumu?" Sasuke melipat tangannya.
Sakura menatap meja selama satu menit sebelum ia mengangkat tatapannya ke arah Sasuke. Pada saat itu, Sasuke mengerti apa yang mereka maksud dengan mata adalah jendela jiwa.
Ia bisa melihat ke dalam jiwa Sakura, dan melihat betapa gadis itu terluka.
"Karena ketika aku tidak tahu siapa ayahnya, dia hanya milikku. Aku tidak perlu memikirkan bagaimana aku mendapatkannya." Sakura menjawab dengan pelan. "Tapi sekarang aku tahu dia milik Uchiha juga, dan ketika aku menutup mataku, aku melihat wajah ayahmu dan apartemen itu."
"Maafkan aku." Sasuke meraih tangan Sakura. "Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya... aku mencoba membantu."
"Aku tahu." Sakura mengangguk. "Dan aku tahu tidak ada alasan bagiku untuk terus menolak bantuanmu ketika kami benar-benar bisa memanfaatkannya, tapi aku belum siap menerimanya."
"Aku mengerti." Sasuke setuju. "Tapi... jika kau duduk dan hanya memikirkan ini, kau akan membuat dirimu gila. Percayalah padaku, aku tahu itu."
"Aku tahu." Sakura meremas tangan Sasuke. "Kita semua pasti memiliki masalah yang harus kita hadapi dalam hidup ini. Shikamaru hampir menjadi gila karena rasa bersalah tidak bisa mencegah ayahku untuk menjadikanku jaminan hutang perusahaan." Ia menatap Sasuke. "Aku juga tidak ingin kau berpikir aku akan memperlakukan Nichi dengan buruk atau menjadi ibu yang buruk setelah aku melewati banyak hal. Aku menyayanginya dan tidak ada yang akan mengubah itu. Aku hanya butuh waktu."
"Aku tahu kau akan berhasil melewati semuanya." Sasuke meyakinkan Sakura. "Kurasa kau adalah orang terkuat yang pernah kukenal."
"Terima kasih, Sasuke." Sakura tersenyum sedih. "Tapi bagaimana setelah masalah ini selesai? Ketika aku memutuskan untuk menerima bantuan darimu, apa kau hanya akan memberikannya dan menghilang?"
Sasuke berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak akan menghilang. Aku akan ada kapan saja kau atau Nichi membutuhkanku. Tapi kalau kau tak keberatan, aku ingin mengenal Nichi lebih jauh."
"Dia bukan mainan, Sasuke." Sakura mengingatkan. "Dia punya perasaan, jadi tolong jangan memulai hubungan dengannya jika kau nantinya akan kehilangan minat padanya ketika sesuatu yang baru datang."
"Aku tidak akan seperti itu." Sasuke berjanji.
"Dan kau tidak bisa menjanjikannya sepeda atau apapun tanpa berbicara denganku dulu." Sakura mengerutkan keningnya.
"Aku tidak memikirkan itu sebelumnya." Sasuke mengangguk. "Tapi boleh aku membawa sepeda milikku kapan-kapan dan membiarkan dia menaikinya?"
"Kurasa itu akan baik-baik saja, asalkan kau sangat berhati-hati dengannya. Tapi sebaiknya jangan dulu. Beri aku sedikit waktu untuk memikirkan semuanya lebih dulu."
Sasuke membuka mulutnya untuk menjawab, tapi terpotong oleh suara kecil yang berteriak, "Yay!" di balik pintu.
"Nichi!" seru ibunya.
***
To be continued.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)