expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Nine Years #7




Beberapa minggu terakhir ini sungguh luar biasa! Sakura kini bisa menjalani kehidupan bahagia yang selalu ia bayangkan ketika ia masih muda. Ia tahu seberapa dalam ia menyakiti Sasuke dan masih membutuhkan waktu bagi mereka berdua untuk terbiasa bersama dalam berbagai cara, tapi jika ada satu hal yang tidak ia keluhkan itu adalah seks.
Ketika pria itu menyentuhnya, seluruh tubuhnya terasa seperti terbakar dan ketika pria itu menciumnya, seperti tidak ada lagi yang ada di dunia ini selain mereka. Cara Sasuke memperhatikannya, memeluknya di malam hari tidak ada tandingannya jika dibandingkan dengan ketika ia bersama Sasori.
Dan saat itulah Sakura menyadari bahwa pernikahannya dengan Sasori terlalu terburu-buru. Ia waktu itu berumur dua puluh tiga tahun dan telah kehilangan semua harapan untuk jatuh cinta lagi. Ia menghabiskan tiga tahun bersama Sasori hanya untuk seks, bukan bercinta seperti yang ia harapkan, dan berakhir dengan perselingkuhan.
Tapi bersama Sasuke berbeda. Selalu begitu. Secara fisik, emosional, mental dan di tempat tidur. Beberapa minggu terakhir ini Sakura telah belajar bagaimana rasanya orgasme secara nyata dalam waktu yang lama. Dengan Sasori, ia sering harus memalsukan orgasmenya, tapi dengan Sasuke, pria itu tahu bagaimana memuaskan wanitanya.
Kamis malam, baik Sasuke maupun Sakura biasanya bekerja sampai larut malam, tapi Sasuke yang biasanya pulang paling terakhir, malam ini sebaliknya. Ketika Sakura berhenti di garasi besar Sasuke, ia terkejut melihat mobil kerja pria itu telah terparkir di jalan masuk.
Sakura keluar dari mobil dengan gembira karena ia tidak sabar untuk bertemu Sasuke. Ia sudah tak bertemu Sasuke sepanjang hari ini dan berkeinginan mengakhiri hari di pelukan pria itu setelah menghabiskan hari yang panjang di tempat kerja.
Dan di sinilah ada yang berbeda lagi. Ia bisa bekerja berjam-jam seharian tanpa memikirkan Sasori ketika ia masih bersama pria itu. Tapi bersama Sasuke, ia memikirkan pria itu sepanjang hari di mana pria itu rajin mengirim hadiah anonim dan menelepon selama beberapa menit untuk memberitahu betapa rindunya pria itu dan betapa dia tidak bisa sabar menunggunya pulang. Hal-hal semacam itu membuat Sakura merasa dicintai dan istimewa!
***
Menggunakan kunci cadangan dari rumah barunya, Sakura membuka pintu dan ia tak menemukan Sasuke dimanapun. Ia menelepon tapi tak ada jawaban, dan ini hanya mengingatkannya pada malam saat ia pulang dan menemukan Sasori di tempat tidur bersama wanita lain.
Bayangan itu langsung membuat Sakura marah dan takut untuk melangkah ke kamar dimana ia dan Sasuke tidur. Ketika ia berjalan menyusuri lorong, tak ada seorangpun di sana. Dan ia cukup lega dengan kenyataan itu.
Setelah mencari di seluruh lantai pertama, Sakura menghela nafas, ia memikirkan di mana lagi ia bisa mencari Sasuke. Mungkin di balkon, memandang dunia dari pandangan yang lebih baik atau di taman tempat pria itu menghabiskan hari Sabtunya atau di Jacuzzi.
Sakura mengecek ke balkon lebih dulu, tapi Sasuke tidak ada di sana dan ia tahu pasti bahwa Sasuke juga tidak ada di taman, dan ada satu tempat terakhir yang bisa jadi pria itu ada di sana, Jacuzzi.
Sangat benar, tebakan Sakura sangat benar. Sasuke ada di sana dengan sebotol sampanye di sebelahnya dan merokok. Sesuatu yang sangat seksi dilihat, jika kau ingin tahu.
Sakura tersenyum melihat otot-otot Sasuke yang menyembul dan seringai nakal di wajah pria itu. "Lihat dirimu... seksi dan tampan." goda Sakura.
Sasuke meletakkan cerutu di asbak lalu mengeluarkan asap dari mulutnya. "Aku sudah menunggumu." ucapnya.
"Benarkah?" tanya Sakura dengan alis terangkat, "Sudah berapa lama kau di rumah?"
"Aku baru saja pulang," jawab Sasuke, "Mungkin setengah jam yang lalu."
Sakura mengangguk ketika ia melepas high heels nya. "Sepertinya kau cukup nyaman disitu, Sasuke-kun."
Sasuke tersenyum. "Hn," Ia setuju, "Tapi sepertinya akan lebih baik jika kau menemaniku."
Sakura berjalan mengitari Jacuzzi dan mulai melepaskan pakaiannya dengan menggoda di hadapan Sasuke yang memperhatikan.
Sasuke menjilat bibirnya, sama sekali tak berusaha menyembunyikan minatnya pada apa yang Sakura lakukan. Ketika bra Sakura menyentuh lantai, saat itulah bibirnya menyunggingkan senyum.
"Ah," ucap Sasuke, "Aku harus memperingatkanmu, aku tidak memakai apapun di bawah sini."
"Terdengar menarik." Sakura berbisik menggoda.
Begitu Sakura masuk ke dalam air, ia merasakan tubuhnya mulai rileks di dada telanjang Sasuke. Ia bersandar di bahu Sasuke dan memiringkan kepalanya sehingga pria itu bisa mencium bibirnya.
"Aku tidak tahu kau merokok." Sakura menunjuk, "Terutama jenis cerutu."
Sasuke mengangguk, "Apa kau juga?"
Sakura menggelengkan kepalanya sambil tertawa, "Aku mencoba cerutu sekali dan aku kehilangan suaraku selama seminggu." jawabnya.
Sasuke tertawa ringan, "Hn, mungkin kau mencoba cerutu Jerman. Cerutu Kuba lebih baik." Ia memberitahu Sakura ketika ia mengambil cerutu dari asbak, "Cobalah."
Sakura mengambil cerutu dari Sasuke dan menghisap ujungnya lalu meniupkan asapnya. Sebuah suara kecil keluar dari bibirnya dan ia mengangguk. "Kurasa tidak seburuk itu."
"Sudah kubilang." Sasuke menyeringai ketika mencium pipi Sakura. "Bagaimana harimu?"
Sakura cemberut pada Sasuke. "Panjang dan melelahkan!"
"Ah," Sasuke memeluk tubuh mungil Sakura, "Kurasa kau harus ambil cuti dari pekerjaanmu dan pergi berlibur." ucapnya.
"Seandainya aku bisa, tapi aku tidak bisa." Sakura merengek.
"Kurasa kau dalam balutan bikini di pantai di beberapa pulau bersamaku terdengar sangat bagus." lanjut Sasuke meyakinkan ketika ia menggigit cuping telinga Sakura.
Sakura mengerang, "Aku tidak bisa!" ucapnya lagi, "Aku harus mewakili seseorang di pengadilan pada hari Senin, dan ditambah lagi aku ingin menyelesaikan perceraianku yang bahkan tidak ingin kupikirkan atau bicarakan sekarang."
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu." Sasuke menyerah, "Tapi aku bertaruh aku bisa membantu harimu sedikit menyenangkan." ucapnya sambil menuangkan segelas sampanye untuk Sakura.
Sakura menyesap minumannya lalu meletakkannya kembali di lantai. "Apa yang ada dalam pikiranmu?" tanyanya.
"Hn," Sasuke bergumam ketika tangannya bergerak ke kedua sisi kepala Sakura. Ia dengan lembut memijat kulit kepala Sakura menggoda dengan tangannya yang besar dan Sakura memejamkan matanya, menundukkan kepalanya, menikmatinya.
Sasuke tertawa kecil pada erangan Sakura. Jari-jarinya bekerja di pipi Sakura dan dengan pelan membelai setiap otot kepala wanita itu dengan tekanan lembut.
"Bagaimana rasanya?" tanya Sasuke, menggigit daun telinga Sakura dengan lembut.
"Kau luar biasa, Sasuke-kun." Sakura mengerang saat tangan Sasuke dengan lembut berjalan turun ke pundaknya.
Jempol Sasuke dengan lembut mengusap otot-otot leher Sakura dalam bentuk lingkaran dan ia bisa merasakan wanita itu lebih rileks. Ia menyibak rambut Sakura untuk memperlihatkan leher wanita itu dan memberi ciuman lembut di sana, lalu dengan pelan mulai memutar jari-jarinya bolak-balik di atas otot-otot pundak wanita itu. Mengirimkan desiran dan relaksasi ke punggung Sakura.
"Ini terasa sangat enak!" seru Sakura. Ia bisa mendengar otot-ototnya berbunyi dan rasanya hebat. Saat itulah ia menyadari betapa kaku dirinya.
Rengekan tak terkendali keluar dari bibir Sakura saat Sasuke mulai membelai payudara wanita itu, membangkitkan milik Sasuke dengan cara yang tak pernah terbayangkan. Sasuke luar biasa terangsang. Dan setiap kali Sakura merintih atau merengek-rengek, Sasuke merasakan panas di antara kedua kakinya tumbuh semakin kuat dan itu bahkan bukan disebabkan oleh air panas di dalam Jacuzzi. Pikirannya seperti kabut. Satu-satunya fokus pria itu adalah Sakura, tubuhnya, suaranya, perasaannya untuk wanita itu. Sasuke akan melakukan apa saja untuk membuat Sakura merasa lebih baik dan lebih rileks. Wanita itu layak mendapatkannya setelah hari yang panjang.
"Uh," Sakura meraih salah satu tangan Sasuke dan mengarahkannya ke tempat ia ingin disentuh. Di mana ia sangat ingin disentuh.
Sasuke bisa merasakan dirinya semakin dalam kesulitan pada detik-detik ketika ia terus memijat payudara Sakura di antara jari-jarinya dan menyentuhnya dengan cara yang membuat wanita itu meminta lebih.
"Bagaimana perasaanmu saat ini?" tanya Sasuke.
Sakura mengerang. Siapa yang tahu berada di bak mandi air panas bisa sangat menyenangkan begini?
***
Butuh beberapa menit agar nafas mereka kembali normal setelah bercinta hebat di dalam Jacuzzi, ini pengalaman yang takkan pernah mereka lupakan.
Sakura menggigit bibir bawah Sasuke main-main, membuat pria itu mengerang pelan. Ia tersenyum di bibir Sasuke karena ia menyukai kemampuannya yang bisa membuat Sasuke yang sepenuhnya terangsang menjadi sentimental kapanpun ia mau.
Tangan Sakura menyelinap dari dada Sasuke ke leher pria itu dan memperdalam ciuman itu sekali lagi. Salah satu tangan Sasuke memeluk Sakura dengan aman dan tangannya yang lain membelai rambut basah wanita itu dengan lembut. Ciuman itu terus berlangsung, penuh cinta dan gairah.
Beberapa menit kemudian mereka terengah-engah lagi dan menarik diri untuk menatap satu sama lain.
"Aku mencintaimu." bisik Sakura.
Tapi sayangnya, ia tak pernah mendapat balasan atas pernyataannya karena ponselnya berbunyi dan benar-benar mengacaukan momen itu.
***
Jam menunjukkan pukul tujuh dan Sakura baru saja bangun. Semalam adalah malam yang panjang baginya dan Sasuke, tapi pagi ini, ia harus membayar konsekuensinya. Ia hampir terlambat untuk bekerja.
Ia mengguncang Sasuke dengan pelan di sebelahnya dan pria itu mengerang. Membuat Sakura tersenyum. Sasuke bisa menjadi seperti bayi kadang-kadang dan ia menebak itu sebabnya ia masih mencintai pria itu.
"Ayo Sasuke-kun, bangun." Sakura berbisik, "Kau akan terlambat untuk bekerja."
Sasuke mengerang lagi. "Hn, oke," Ia berhasil meyakinkan dirinya untuk duduk dan dengan cepat memberikan Sakura kecupan di bibir. "Apa yang akan kau kerjakan hari ini?" tanyanya.
"Aku harus berada di pengadilan jam sembilan." jawab Sakura ketika kakinya menyentuh lantai marmer yang dingin dan berjalan ke kamar mandi. "Hari ini bahkan belum dimulai; tapi aku ingin hari ini segera berakhir." gerutunya.
Mereka melangkah ke kamar mandi bersama dan kemudian mulai bersiap-siap untuk bekerja.
Sakura berdiri di depan cermin dengan setelan hitam sedang menata rambutnya ketika ia merasakan lengan Sasuke melingkar di perutnya dan mencium bagian belakang lehernya.
"Kau terlihat cantik pagi ini." ucap Sasuke.
Sakura tersenyum pada Sasuke dari cermin. "Terima kasih, Sasuke-kun." Ia menoleh ke belakang dan membiarkan pria itu mencium bibirnya.
Sakura selesai bersiap-siap dan dari sudut matanya ia bisa melihat Sasuke sibuk dengan dasinya. Sakura terkekeh pada dirinya sendiri.
Ini mengingatkan Sakura pada pertama kali mereka pergi ke pesta dansa sekolah di kelas sepuluh. Sasuke tidak bisa mengikat dasinya sendiri.
"Kemarilah," ucap Sakura.
"Tidak, aku bisa." sahut Sasuke.
Sakura memutar matanya ke arah Sasuke sebelum menarik leher pria itu. Sasuke menghela nafas atas kekalahannya saat ia berdiri di depan Sakura.
Bahkan tidak butuh satu menit bagi Sakura untuk selesai mengikat dasi. Ia seorang wanita; ia harus tahu caranya.
"Terima kasih."
Pada pukul tujuh empat puluh lima, mereka berdua melangkah keluar rumah, siap pergi bekerja.
Mereka berdiri berhadapan dan saling memberikan kecupan seperti yang biasa mereka lakukan sebelum berpisah.
"Semoga berhasil dengan kasusmu hari ini, Cherry." ucap Sasuke seraya membelai pipi Sakura, "Aku akan meneleponmu nanti."
Sakura mengangguk. "Oke," Ia berjinjit dan mencium pipi Sasuke. "Aku mencintaimu."
"Sampai jumpa nanti malam." jawab Sasuke.
***
Sakura tiba di pengadilan tepat waktu. Tiga menit setelah ia datang, hakim masuk dan duduk.
Hakim Okamoto memukul palu dan mengumumkan bahwa persidangan dimulai. Ia kemudian menghadap ke sisi Sakura dan menggerakkan tangannya.
"Haruno-san, tolong sebutkan kasus Anda." ucap Hakim Okamoto pada Sakura.
"Klien saya, Yuhi Kurenai mengajukan gugatan cerai dari Sarutobi Asuma atas dasar perbedaan yang tidak dapat didamaikan, dan tidak menuntut aset apapun selain dukungan anak dan hak asuh penuh atas ketiga anak mereka, Sarutobi Mirai, Sarutobi Natha dan Sarutobi Sizhuya dengan pengecualian jika anak-anak yang berkunjung sebulan sekali, dan perjanjian untuk terus membiayai layanan perawatan ibunya."
"Cukup baik," Hakim Okamoto mengangguk lalu menghadap ke sisi lawan mereka. "Dan Fujii-san, tolong sebutkan kasus Anda."
"Klien saya, Sarutobi Asuma mengajukan gugatan cerai dari Yuhi Kurenai juga atas dasar perbedaan yang tidak dapat didamaikan."
Petugas persidangan mengumpulkan petisi perceraian dari kedua belah pihak dan menyerahkannya kepada hakim.
"Apakah kedua belah pihak sepakat dalam persyaratan perceraian?" tanya Hakim Okamoto.
"Ya, Yang Mulia." Kedua pengacara itu menjawab.
"Jika kedua belah pihak sepakat, permohonan perceraian akan diajukan dan disetujui dalam empat minggu." ucap Hakim Okamoto seraya melihat bukti di depannya. "Sekarang lanjut kepada hak asuh anak-anak."
Hakim melihat ke arah Sakura dan memberinya waktu. "Haruno-san, tolong sebutkan mengapa klien Anda harus mendapatkan hak asuh penuh atas anak-anak."
Sakura mengangguk, "Klien saya layak mendapatkan hak asuh penuh atas anak-anak karena dia bukan hanya menjadi penjaga terbaik bagi anak-anak, tapi dia juga sangat yakin bahwa Sarutobi Asuma yang akan segera menjadi mantan suaminya adalah ayah yang tidak pantas."
"Aku keberatan dengan itu, Yang Mulia!" Fujii Hinoto berdiri.
"Tolong, biarkan Haruno-san menyelesaikan perkataannya." ucap Hakim Okamoto. Ia melihat kembali ke sisi Sakura dan ia tersenyum pada wanita itu. "Bisakah Anda memberi dukungan kuat atas pernyataan tentang Sarutobi Asuma sebagai ayah yang tidak pantas?"
"Ya, Yang Mulia," ucap Sakura seraya memberikan bukti. "Sarutobi-san adalah pebisnis yang sangat tinggi dan tidak mampu memberikan perhatian penuh dan kasih kepada anak-anak karena jadwalnya yang sangat sibuk. Juga, Sarutobi-san bekerja di luar negeri, sebagian besar waktunya di luar negeri dan juga terlibat dalam perdagangan perempuan ilegal berkali-kali dan klien saya tidak ingin anak-anaknya melihat situasi itu karena mereka masih di bawah umur dan juga Sarutobi-san memiliki temperamen untuk melakukan pelecehan."
Asuma menelan ludah dan menyenggol pengacaranya. "Kenapa kau tidak memberitahuku bahwa mereka bisa menggunakan ini untuk melawanku?" Ia berbisik marah. "Aku membayarmu dengan besar dan kau tidak mampu
melakukan apa yang kuminta."
Hinoto balas mendebat kembali di sela-sela giginya yang terkatup. "Aku tidak tahu kau berurusan dengan para pelacur."
Hakim menganalisis bukti di tangannya setelah mendengarkan setiap alasan Sakura.
"Apakah Anda menyangkal tuduhan itu terhadap klien Anda, Fujii-san?"
"Saya... klien saya... Yang Mulia-" Hinoto tergagap.
"Saya akan menganggap itu sebagai tidak." Hakim menyela setelah semua kegagapan dari Hinoto. "Persidangan dijeda dan akan kembali sesi dalam lima belas menit untuk menyelesaikan hak asuh anak dan tunjangan anak."
"Terima kasih, Yang Mulia."
Mereka berjalan keluar dari ruang sidang dan Kurenai memeluk Sakura dengan erat. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan tanpa Sakura. Ia tidak memiliki uang dan Sakura masih mau untuk mewakilinya di sini hari ini dan memenangkan kasus untuknya.
Wanita itu memiliki hati yang baik...
"Kau tidak tahu apa yang baru saja kau lakukan untukku." ucap Kurenai.
"Ya, benar," Sakura tersenyum, bangga pada dirinya sendiri. "Kau seorang wanita, aku seorang wanita, anggap itu bagianku untuk memahami apa yang sedang kau alami." ucapnya, "Dan mudah-mudahan pria berikutnya yang akhirnya kau temui nanti, dia akan memperlakukanmu seperti seharusnya kau diperlakukan. Seperti seorang putri."
"Apa kau sudah menikah?" tanya Kurenai dengan rasa ingin tahu.
Sakura ingin mengatakan ya. Ia belum bercerai, ia baru berpisah dengan Sasori. Dan berbicara tentang Sasori, ponselnya seolah akan meledak dengan pesan teks pria itu. Tapi ia memilih untuk mengabaikan pesan teks, voicemail dan panggilan telepon dari pria itu.
"Aku sudah menikah," jawab Sakura, "Tapi sekarang aku bahagia dengan seorang pria yang luar biasa."
Saat itu ponselnya bergetar di tangannya dan ia melihat ke layar ponselnya. Itu Sasuke. Sasuke menelepon tepat seperti yang pria itu janjikan.
"Maaf, aku harus menerima telepon." ucap Sakura pada Kurenai.
Sakura menjawab telepon ketika ia berada beberapa meter dari Kurenai.
"Hei, cantik." Suara Sasuke terdengar ketika Sakura mengangkat teleponnya, "Bagaimana kabarnya?"
Sakura tersenyum, "Sangat bagus." jawabnya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Sasuke.
"Kami sedang istirahat lima belas menit sekarang, tapi sejauh ini cukup bagus." jawab Sakura, "Sepertinya kau adalah jimat keberuntunganku."
Sasuke terkekeh di telepon. "Sakura, aku akan memberitahumu sesuatu."
"Apa?" Sakura tersipu malu.
"Bagaimana kalau kau pulang lebih awal malam ini, mungkin sekitar jam tujuh tiga puluh..." ucap Sasuke, "Kau dan aku, kencan, makan malam dengan cahaya lilin, aku yang akan memasak. Bagaimana?"
"Kedengarannya sangat menarik." jawab Sakura sambil tersenyum lebar.
"Hn, baiklah." ucap Sasuke puas, "Akhirnya aku bisa berkencan dengan wanita cantik."
Sakura menggelengkan kepalanya dengan luar biasa. Ia tidak bisa percaya betapa menakjubkannya Sasuke. "Sampai jumpa nanti malam." ucap Sakura.
"Oke," balas Sasuke, "Sampai jumpa nanti malam."
***
Lima belas menit berlalu dan pengadilan kembali melanjutkan sidang seperti yang dikatakan hakim. Hakim membuat keputusan terakhir tentang hak asuh anak-anak dan Kurenai menang dengan tunjangan anak empat ratus dolar untuk setiap anaknya.
Persidangan diberhentikan lagi tidak lama setelah hakim memberikan kata-kata terakhirnya kapan surat cerai akan selesai dan Sakura tidak bisa lebih bahagia tentang harinya ini.
Ia melakukan satu hal baik dan itulah yang membuat pekerjaan ini sangat menakjubkan. Menciptakan senyum di wajah kliennya, itu yang terpenting baginya.
Ia memeluk Kurenai sekali lagi setelah mendapat ucapan 'terima kasih' yang tak ada habisnya. Ia kemudian kembali ke gedung kantornya di mana ia biasanya bekerja ketika ia tidak sedang di pengadilan.
Ia menyelesaikan beberapa makalah yang telah ia mulai beberapa hari yang lalu. Memverifikasi dan mengirim beberapa email yang perlu dikirim dan bertemu dengan beberapa klien lain.
Sampai tak terasa shiftnya berakhir. Ia akan pulang ke rumah, dan ia tidak bisa lebih bahagia lagi.
Harinya sangat cerah sekarang...
***
Mobil Sakura berhenti di tempat parkir sekitar pukul tujuh empat puluh. Ia terpesona ketika ia pulang dan melihat Sasuke duduk santai menunggunya.
Menyambutnya... dengan hangat.
Seperti ini yang selalu Sakura bayangkan untuk mengakhiri harinya setelah seharian bekerja. Dengan Sasori ia tidak punya waktu karena ia harus terus bekerja untuk membayar tagihan sejak Sasori dipecat dari pekerjaan lamanya dan tidak dapat mendukung semua keuangan mereka sampai pria itu mendapatkan pekerjaan lain sebagai waiter.
Tapi dengan Sasuke, ia memiliki kesempatan untuk beristirahat. Pulang dan bersantai.
Rumah...
Inilah yang layak ia sebut sebagai rumah.
Rumah...
Yeah, ini baru disebut rumah karena saat harinya berakhir, ia bisa pulang ke sini dan makan malam romantis seperti malam ini. Mendapatkan pijatan dari Sasuke, mengobrol tentang segalanya. Dan saling berpelukan sampai matahari terbit keesokan paginya.
Seharusnya seperti itulah rasanya rumah. Memang seharusnya begitu.
"Selamat Datang di rumah." Sasuke menyambut Sakura dengan sebuah ciuman.
Sakura tersenyum manis pada Sasuke. Pria itu adalah rumahnya dan itulah yang ia butuhkan pada akhir hari.
"Terima kasih." jawab Sakura, dan ia menarik napas dalam-dalam. Ia bisa mencium makanan di meja dapur dari tempat ia berdiri sekarang dan itu membuat perutnya menggerutu. "Apa kau benar-benar memasak apa yang kupikirkan?" tanya Sakura sambil tersenyum.
Sasuke balas tersenyum. "Aku tidak tahu, mau melihat?"
Sasuke ingat, ia pernah pulang ke rumah ketika Sakura pertama kali tinggal bersamanya dan wanita itu sudah menyiapkan semua makanan favoritnya. Ia menghargainya... ia menghargainya dan ia belum mendapat kesempatan untuk membalas budi.
Tapi ia pikir malam ini akan sempurna...
Ia membimbing Sakura ke meja makan dan menarikkan kursi untuk wanita itu.
Sakura tersenyum pada Sasuke. "Terima kasih."
Makan malam yang disajikan adalah hidangan salad yang sangat lezat. Sasuke tahu bahwa Sakura tidak suka makan daging, jadi ia menyiapkan tofu yang sangat lezat dengan parmesan terong.
Tentu saja itu tidak akan disebut makan malam romantis jika anggur merah dan musik yang mengalun lembut bukan bagian dari itu.
Mereka makan dan tertawa bersama. Mereka berbicara tentang hal-hal random yang membuat mereka saling tersenyum.
Mereka berdua bersyukur satu sama lain dan mereka tak percaya bahwa mereka serius saling melakukan hal ini.
Setelah makan malam, Sasuke memutuskan bahwa Sakura tidak perlu khawatir tentang piring kotor. Ia bisa meletakkannya di mesin cuci piring besok pagi.
Mereka duduk di sofa besar dan makan berbagai cokelat seraya meminum anggur di sebelah perapian.
Mereka menyaksikan pemandangan indah di luar jendela dan tidak ada yang lebih sempurna dari ini.
Sasuke menarik Sakura ke atas tubuhnya hingga wanita itu berada di pangkuannya, lalu menyandarkan kepala Sakura di pundaknya dan dengan lembut ia mengusap bagian belakang leher wanita itu.
"Terima kasih telah membuat malam ini indah." bisik Sakura.
Sasuke tersenyum dan mencium rambut Sakura. "Kau layak mendapatkannya." ucapnya.
Ada sesuatu yang juga ingin Sasuke katakan pada Sakura saat makan malam, tapi dengan semua hal yang mereka bicarakan, ia hampir lupa.
"Aku berbicara dengan Shikamaru hari ini." ucap Sasuke.
"Hm," keluh Sakura, "Bagaimana kabarnya?" tanyanya.
Sakura merindukan pemalas itu dan memikirkan kembali semua kesenangan yang dulu mereka lakukan bersama, itu membuatnya benar-benar ingin pergi ke Osaka untuk pernikahan Ino dan Sai dan meluruskan semuanya. Setelah sembilan tahun, orang-orang disana masih berarti baginya dan ia merasa seolah ia berutang maaf pada mereka semua.
"Kau tahu, Shikamaru...," Sasuke terkekeh, "Dia masih seperti dirinya yang dulu."
"Kedengarannya menakutkan..." canda Sakura.
Sasuke tertawa dan ia merasakan Sakura menggigit lehernya dengan lembut.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Sakura dengan rasa ingin tahu.
"Tidak ada yang penting," jawab Sasuke, "Tapi aku harus terbang ke Osaka pada minggu depan untuk latihan pernikahan Ino dan Sai."
Sakura menarik diri dan menatap mata Sasuke, cemberut. "Tidak bisakah kau memberitahuku sebelum makan malam?" tanyanya dengan alis terangkat.
Sasuke terkekeh dan menggelengkan kepalanya saat ia mengecup bibir Sakura yang masih cemberut. "Jika aku melakukannya, kita mungkin tidak akan makan malam." ucapnya.
Sakura mengangguk. Ya itu benar. "Jadi, berapa lama kau akan pergi?" tanyanya.
"Maksimal dua minggu?" ucap Sasuke. "Kau bisa bertahan dua minggu tanpa aku, hn?" godanya.
Sakura tidak tahu pasti. Ia tersenyum ringan pada Sasuke dan mengangkat bahu sebelum berbaring kembali di pundak pria itu.
Tangan telanjang Sasuke mengangkat baju Sakura dan mengusap punggung telanjang wanita itu. Membuat Sakura merasa damai dan santai.
***
Mereka kini berbaring di kasur. Mereka belum tidur; mereka hanya terus berpelukan seraya menunggu rasa kantuk menghampiri.
"Jadi kupikir..." Sakura mulai berbicara ketika ia membuat pola lingkaran di dada Sasuke dengan jarinya. "Kau akan pergi setidaknya dua minggu dan aku akan kesepian."
Kesepian...
Itu pemikiran yang menyedihkan meskipun itu baru dua minggu.
Sasuke tidak sepenuhnya mendengarkan Sakura tapi ia tersentak tak lama setelah beberapa kata terakhir wanita itu.
"...jadi aku tidak perlu tidur sendirian."
Apa katanya?
"Apa yang kau bicarakan?"
Sakura menatap Sasuke dan menggigit bibirnya. "Aku tidak tahu kau begitu membenci anjing, Sasuke-kun. Maafkan aku."
"Anjing?" Sasuke mengerutkan kening, "Aku tidak membenci anjing."
"Lalu kenapa kau marah?" tanya Sakura. "Aku hanya bertanya apakah aku bisa memiliki anjing sementara kau pergi." jelasnya, "Kau pikir apa yang kubicarakan?"
Sasuke mengerjap dan menggaruk kepalanya. "Maafkan aku Saku, aku tidak mendengarkan dengan baik tadi." ucapnya. Ia menangkup pipi Sakura dan mencium bibir wanita itu. "Kita bisa memiliki seekor anjing." ucapnya setuju.
"YAY!" seru Sakura dengan penuh semangat. "Dia bisa menjadi bayi kecil kita."
Sasuke menggelengkan kepalanya. "Terkadang kau membuatku bertanya-tanya tentang dirimu."
Sakura terkikik dan membenamkan wajahnya di leher Sasuke.
"Anjing seperti apa yang kau inginkan?" tanya Sasuke. Ia berdoa pada Tuhan, semoga Sakura tidak akan mengatakan anjing besar yang menakutkan atau Chihuahua anjing kecil yang menyebalkan.
"Aku belum tahu." jawab Sakura.
"Oke, apapun yang kau pilih, pastikan itu bukan Chihuahua?" ucap Sasuke.
Sakura menatap Sasuke dan cemberut lagi. "Apa yang salah dengan Chihuahua?" tanyanya.
"Apa kau tak melihat betapa kecilnya anjing itu?" Sasuke mengerutkan kening, "Dan selain itu, mereka sangat nakal."
Sakura memukul dada Sasuke sebagai balasan. "Mereka tidak nakal!"
"Aduh, itu benar!" Sasuke nyaris berteriak.
Sakura terkikik, "Baiklah, kita bisa mencari jenis lain, seperti Doberman atau German Shepherd." ucapnya. "Aku benar-benar belum tahu."
"Hn, kita bisa mendapatkannya nanti setelah aku pulang dari Osaka." ucap Sasuke. "Hanya saja, pastikan bukan Chihuahua!" Ia menambahkan lagi.
Sakura menggigit cuping telinga Sasuke kali ini sedikit keras dan pria itu berteriak. "Aduh, apa yang kau lakukan?" gerutunya.
"Aku rasa aku menyukainya." jawab Sakura.
Sasuke menatap Sakura dan mengangkat alisnya.
Sakura balas memandang Sasuke. Ia tahu ia akan dalam masalah dengan cara pria itu menatapnya.
"Kau menggodaku..."
***
Hari ini hari Rabu malam dan Sakura bergegas pulang untuk menemui Sasuke sebelum pria itu pergi. Ia masih tidak suka gagasan bahwa Sasuke akan pergi selama dua minggu tapi ia mengerti bahwa Sasuke adalah teman pria terbaik bagi Sai dan perlu hadir untuk hal-hal tertentu.
Sasuke beberapa kali bertanya padanya apakah ia ingin pergi ke Osaka bersama pria itu dan ia menolak. Ia tahu betapa susahnya merencanakan pernikahan dan ia tidak ingin pergi ke sana dan membuat Ino tertekan. Selain itu, ia tidak merasa siap secara mental atau emosional untuk menghadapi sahabatnya itu.
Ia tidak tahu bagaimana Ino terlihat sekarang.
Orang-orang bisa berubah... mungkin Ino sudah bukan gadis yang sama yang ia kenal di sekolah dulu karena ia pun dapat mengakui bahwa dirinya kini berbeda dengan dirinya saat berusia tujuh belas tahun di sekolah, karena ia sekarang sudah berusia dua puluh enam tahun.
Sakura sampai di rumah dan mendapati Sasuke duduk di sofa menunggunya. Ia cemberut pada pria itu... sedih bahwa pria itu benar-benar akan meninggalkannya selama dua minggu.
"Kau siap pergi?" tanya Sakura.
Sasuke mengangkat alisnya. "Tidak ada ciuman, tidak ada pelukan? Apa yang terjadi?" tanyanya.
Sakura memutar matanya, "Tidak ada." jawabnya.
Sasuke berjalan ke arah Sakura dan menarik wanita itu ke arahnya. "Aku akan mendapatkan ciuman atau tidak?" tanyanya.
Sakura mengerang pada Sasuke dan mengecup bibir pria itu. Tapi ciuman itu semakin dalam dan ia takut jika ia terus mencium Sasuke, pria itu akhirnya ketinggalan pesawat malam ini.
"Uh," keluh Sakura, "Sasuke-kun... kau akan terlambat." Ia menarik diri dan menatap mata hitam Sasuke. Mata itu selalu memberinya kehangatan.
"Oke, ada yang salah?" ucap Sasuke.
Sakura menghela nafas. "Tidak ada yang salah. Aku hanya tidak ingin merasa sedih tentang kepergianmu." ucapnya jujur.
"Kau yakin?" tanya Sasuke.
Sakura mengangguk. "Apa aku terlihat membohongimu?"
Sasuke mencondongkan tubuh dan mengecup bibir Sakura dengan menggoda. "Aku tidak tahu, hn?"
"Tidak." jawab Sakura. "Jadi, apa kau siap untuk pergi?"
"Yeah."
***
Mereka tiba di bandara tepat pada waktu untuk penerbangan Sasuke. Meskipun Sakura tahu ini hanya untuk dua minggu, ia merasa sedih. Beberapa bulan terakhir, ia sudah terbiasa dengan adanya Sasuke... dan berada jauh dari Sasuke terasa seperti kehilangan setengah jiwanya selama dua minggu.
Sasuke mengambil koper kecilnya di kursi belakang lalu melangkah ke trotoar. Sakura keluar dari mobil dan memeluk pria itu.
"Selamat bersenang-senang," ucap Sakura seraya berulang kali mengecup bibir Sasuke. "Hanya saja jangan terlalu bersenang-senang berlebihan." Ia menambahkan.
Sasuke tertawa, "Aku akan mencoba mengingatnya." ucapnya.
"Aku mencintaimu."
Sebelum Sakura bisa mendapatkan balasan, waktu telah berlalu dan sudah waktunya bagi Sasuke untuk check-in.
Sakura memperhatikan Sasuke yang berjalan pergi dan mencoba untuk meyakinkan dirinya. Hanya dua minggu.
***
Sakura mengemudikan mobilnya kembali menuju rumah. Ia merasa kosong dan kesepian. Ponselnya tak berhenti berdengung dan setiap kali nomor yang sama muncul di layar, ia memutar matanya.
Sasori... Sasori... Sasori...
Ia tidak peduli.
Kesal, ia akhirnya mengangkat telepon setelah sekian puluh panggilan tak terjawab.
Ia hanya tidak ingin berhubungan dengan Sasori lagi. Sejak ia pergi terakhir kali, ia belum mencoba menghubungi Sasori karena dalam pikirannya ia tahu ia sudah selesai.
Tapi kali ini ia menjawab panggilan Sasori hanya agar pria itu bisa berhenti mengganggunya.
Ia berencana akan sendirian di rumah besar Sasuke namun ketika Sasori menawarkan untuk berbicara dengannya, ia tidak tahu mengapa ia menyetujuinya, tapi ia hanya melakukannya berharap itu akan membereskan segalanya dan Sasori akhirnya bisa berhenti terus meneleponnya.
Hal itu membuatnya kesal ketika teleponnya mulai berdengung tepat di tengah-tengah ia dan Sasuke sedang memiliki waktu pribadi bersama. Itu benar-benar menghilangkan moodnya dan ia tahu jika ia memberitahu Sasuke bahwa Sasori lah yang menelepon, mungkin Sasuke sudah melemparkan ponselnya ke dinding atau menjawabnya hanya untuk mengumpati Sasori.
Alih-alih mengemudi langsung pulang, Sakura memutar jalan ke mana ia akan bertemu Sasori di sebuah kedai kopi umum. Ia tidak ingin berada di dekat Sasori tanpa ada orang lain di sekeliling mereka. Sasori hanya akan membuatnya jijik, dan setelah hampir dua bulan, ia tidak tahu bagaimana pria itu.
Ketika Sakura akhirnya sampai di kedai kopi, ia tidak repot-repot menyapa Sasori. Ia tidak ingin pria itu memesankannya kopi... ia di sini hanya untuk sebuah percakapan orang dewasa.
Berada di sini bersama Sasori membuat Sakura merasa seolah-olah ia mengecewakan Sasuke... atau mengkhianati pria itu.
Ia tahu seperti apa rasanya sebuah pengkhianatan dan ia tidak ingin Sasuke merasakan hal itu.
Rasanya sangat mengerikan.
"Bagaimana kabarmu?" Sasori berusaha bersikap ramah.
Setelah kejadian brutal diantara mereka terakhir kali, Sasori tahu hubungan mereka tak baik dan ia bisa menilai dari suasana hati Sakura.
Sakura mengerutkan bibir dan memutar matanya. "Kau bilang ingin bicara, jadi ayo bicara."
***
To be continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)