Chapter 7 - If I Was The One
"Sasu-kun, maaf aku tidak terdengar bersemangat. Kau pasti berharap bahwa aku akan sedikit terkejut."
Sasuke duduk di sofa, mendesah mendengar suara ibunya di telepon. "Kaasan, tapi setidaknya kau bisa terdengar sedikit bahagia untukku..."
"Oh, Sasu," Uchiha Mikoto menghela napas di ujung telepon, "Aku hanya akan lebih bahagia jika aku mengenalnya lebih baik, kurasa. Aku hanya tidak tahu banyak tentang dia. Aku bahkan tidak tahu apakah dia layak untuk anakku..."
"Serius, Kaasan?"
"Ya, aku serius! Ini adalah langkah yang sangat serius dalam hidupmu dan kurasa... kurasa aku ingin memiliki hubungan dekat dengan gadis yang akan menjadi istrimu. Kau tahu, seperti hubungan yang aku miliki dengan Sakura-chan," Kau bisa menikah dengan Sakura-chan, Sasu, pikir Mikoto sedih.
Sasuke mengerang. Ia tahu percakapan ini akan sulit. Ia mungkin seharusnya memberitahu ibunya sebelum ia melamar. Dan sekarang, dua hari setelah akhir pekan, Miyuki sedang bekerja memakai cincin pertunangan barunya dan sudah memulai perencanaan pernikahan.
"Kaasan... Keluarga Miyuki ingin mengadakan pesta pertunangan kami. Jadi, jika kau datang, kau akan menghabiskan waktu bersamanya dan seluruh keluarganya. Jika itu masih tidak membuatmu bahagia, aku tidak tahu apa yang akan terjadi."
Mikoto bisa merasakan bahwa putranya marah, jadi ia menghentikan jalan pikirannya, menarik napas, dan mulai bicara lagi. "Sasu-kun, berjanjilah saja padaku bahwa akan ada seorang rabbi di pesta pernikahanmu."
Sasuke duduk di sofa, kesal dengan desakan ibunya. "Kaasan, dia bukan orang Yahudi."
"Tapi kau Yahudi," Mikoto mengingatkan putranya, "Dan ini juga pernikahanmu." tegasnya. "Dan karena kalian berasal dari dua agama, kau seharusnya memiliki pesta pernikahan yang mewakili keduanya. Dia bisa meminta pendetanya atau apapun semacam itu, dan seorang rabbi juga harus ada di sana." Mikoto ngotot.
Sasuke menghela napas. Ibunya benar, ia tahu. Dan ia membenci itu.
"Baiklah... aku akan berbicara dengan Miyuki tentang hal itu."
Mikoto tersenyum di ujung telepon. "Terima kasih, Nak, itu saja yang aku minta... Jadi bagaimana pendapat Sakura-chan tentang ini semua?"
Sasuke mengangkat bahu. "Dia terlihat bahagia untukku ketika aku menunjukkan cincinnya. Aku harus meneleponnya. Aku belum benar-benar berbicara dengannya beberapa hari ini."
"Baiklah, saat kau bicara dengannya, sampaikan salam sayangku padanya."
"Tentu, Kaasan. Sampai jumpa!"
Sasuke meletakkan ponselnya dan berbaring di sofa. Ibunya akan mempersulit seluruh pernikahan ini, ia tahu. Tapi ia harus mengakui bahwa masuk akal bahwa seorang rabbi harus ada di pernikahannya. Tidak, ia bukan orang Yahudi yang religius. Ia sebenarnya adalah seorang Yahudi yang sangat mengerikan... tapi warisan agamanya adalah Yahudi dan ia selalu bangga dengan fakta itu. Jadi ya, Kaasan, pikir Sasuke. Kau menang... Aku akan berbicara dengan Miyuki tentang hal itu.
***
Seminggu setelah Thanksgiving, Sssuke berdiri di sebuah ruang jamuan restoran yang pengap, menatap kue pertunangan berwarna pink paling aneh yang pernah dilihatnya. Ia melamar Miyuki baru satu bulan yang lalu, tapi obsesi Miyuki dengan segala hal pernikahan perlahan-lahan memenuhi apartemen mereka. Berapa banyak majalah pengantin yang benar-benar dibutuhkan seorang wanita? Semua gaun tampak sama; putih, panjang, berenda, manik-manik. Apa masalahnya?
Dan kemudian ibu Miyuki merencanakan pesta pertunangan segera setelah ia mendengar bahwa putrinya akan menikahi 'terapis fisik paling tampan yang pernah ia kenal'. Ibu Miyuki, selalu memandang kagum pada Sasuke, yang membuat Sasuke sedikit gugup.
Jadi sekarang di sinilah Sasuke berada, akan bertemu keluarga besar Miyuki sehingga semua orang bisa berdiri dan bersulang merayakan fakta bahwa mereka akan menikah. Semua ini sangat tidak nyaman.
Ketika para tamu mulai masuk ke dalam ruangan, mata Sasuke menyapu kerumunan itu dan melihat wajah yang sudah dikenalnya. Keluarga Miyuki sangat besar, jadi banyak tamu yang diundang. Sementara daftar yang diundang Sasuke sangat kecil, hanya orangtuanya, kakaknya, beberapa teman kuliah, beberapa rekan kerjanya, dan Sakura. Dan dengan mengundang Sakura, Gaara juga harus diundang...
Sasuke menganga ketika Sakura melangkah masuk. Rambut panjangnya tergerai, dibentuk bergelombang dan jatuh di punggungnya. Gadis itu mengenakan gaun biru pendek dan sepatu hak bertali hingga pergelangan kaki. Sakura terlihat luar biasa. Sasuke baru melangkahkan satu kaki untuk menghampiri Sakura ketika seseorang menepuk pundaknya. Menoleh, ia melihat calon ayah mertuanya, memeluknya dan kemudian berkata, "Ada beberapa orang yang ingin kukenalkan. Ikutlah denganku." Dengan satu lirikan cepat ke arah Sakura, Sasuke akhirnya melangkah pergi.
Hampir satu jam setelah Sasuke diperkenalkan pada begitu banyak bibi, paman, dan sepupu yang ia tahu tidak akan pernah ia ingat, Miyuki akhirnya muncul dan mengaitkan lengannya pada lengan Sasuke.
Sasuke menoleh, "Bagaimana perasaanmu?"
"Ini luar biasa. Tapi kuharap keluargamu segera tiba di sini. Aku tidak sabar menunggunya bertemu orangtuaku."
Sasuke melihat jam tangannya. "Mereka akan segera datang. Ini perjalanan yang panjang dari Hakodate."
Mengamati ruangan itu, Sasuke akhirnya mengenali gaun biru Sakura. Gadis itu berada di sudut ruangan... duduk di pangkuan Gaara dengan kepala saling menempel, berbicara dengan nada rendah. Sasuke setengah jalan melintasi ruangan untuk menghampiri Sakura ketika ia melihat orangtua dan kakaknya, yang tampak mencarinya. Ia langsung menuju ke tempat mereka berdiri dan berbagi pelukan cepat dengan mereka.
"Hai, Nak," ucap Fugaku, menepuk pundak Sasuke.
Beberapa menit setelah keluarga Uchiha tiba, Miyuki bergabung dengan mereka, meraih lengan Mikoto, dan menyeretnya untuk bertemu ibunya. Sementara Sasuke bercakap-cakap dengan ayah dan kakaknya selama beberapa saat.
Akhirnya ketika calon ayah mertuanya bergabung dalam percakapan ayahnya dan Itachi, Sasuke berkesempatan berbalik ke arah yang semula ia tuju untuk berbicara dengan Sakura, hanya saja sekarang gadis itu dan Gaara tidak lagi di sudut dan menghilang entah kemana. Sasuke mengumpat pelan saat rasa bersalah menyergap tubuhnya. Ia bahkan belum berbicara dengan Sakura malam ini. Ia baru saja akan mencari Sakura ke seluruh ruangan ketika Miyuki melangkah ke depan ruangan dan mengetuk gelasnya untuk mendapatkan perhatian para tamu. Mengisyaratkan Sasuke agar bergabung dengannya, Sasuke perlahan-lahan naik dan berdiri di samping gadis itu.
"Aku hanya ingin berterima kasih atas kedatangan kalian malam ini," Miyuki memulai. "Ibu dan Ayahku, terima kasih sudah mengadakan pesta ini. Dan keluarga Sasuke, aku senang kalian bisa bergabung dengan kami." Ia melihat sekeliling ruangan sebelum melanjutkan. "Aku sangat senang dengan kenyataan bahwa aku akan menikah dengan pria yang luar biasa ini. Aku ingin kalian semua tahu bahwa Sasuke dan aku telah memutuskan untuk menikah akhir pekan di bulan Mei, jadi tandai kalender kalian, semuanya!"
Semua orang di ruangan itu bertepuk tangan dan Sasuke bergeser dengan tidak nyaman. Ia benci omong kosong semacam ini. Ia hanya ingin pulang, menyesap bir, dan bersantai.
"Sasuke-kun?" Miyuki menoleh pada pemuda itu. "Apa ada sesuatu yang ingin kau tambahkan?"
Sasuke berdeham, "Uh... terima kasih sudah datang..." Apa yang seharusnya ia katakan?
Miyuki tersenyum pada Sasuke dan kemudian menarik kepala pemuda itu ke bawah untuk sebuah ciuman di depan para tamu. Godaan dan siulan terdengar dari paman dan sepupu Miyuki. Ketika Sasuke menarik diri, ia dengan cepat memandangi ruangan dan menemukan Sakura, akhirnya. Gadis itu berdiri menjauh dari kerumunan, sendirian, menatap ke luar jendela. Ketika Miyuki berjalan ke salah satu bibinya, Sasuke segera melangkah menghampiri Sakura, berdiri disamping gadis itu.
"Hai orang asing," bisik Sasuke di telinga Sakura. Sakura berjengit, rasa terkejut menariknya keluar dari lamunannya.
"Hai, Sasuke," Sakura tidak menatap pemuda itu dan terus menatap ke luar jendela.
"Di mana Birdboy?"
"Dia sedang mengangkat telepon, dia pergi sekitar lima menit yang lalu."
Sasuke berdiri di sebelah Sakura, pertama-tama memandang ke luar jendela dan kemudian ke sosok gadis disampingnya. Ada yang tidak beres dengan gadis itu.
"Saku? Kau baik-baik saja?" Sasuke menyenggol bahu Sakura dengan lengannya.
"Aku baik-baik saja. Hanya lelah." Sebenarnya, kau akan menikah dan itu membuatku sangat tidak baik. "Pekerjaanku sangat melelahkan akhir-akhir ini."
Sasuke memperhatikan bahwa suara Sakura datar, kehilangan semangat yang biasanya gadis itu miliki ketika berbicara tentang pekerjaannya.
"Aku minta maaf karena kita belum bisa mengobrol sampai sekarang... dan aku minta maaf pesta ini sangat aneh," bisik Sasuke, tangannya melingkar di pundak Sakura. Ia melihat bibir gadis itu melengkung membentuk senyum tipis. "Apa kau tidak rindu pergi ke Applebee bersamaku?"
Sakura memutar matanya, "Ini tidak aneh... ini hanya pesta pertunangan. Semuanya tidak akan aneh sampai resepsi." Ya Tuhan... jangan biarkan aku berpikir tentang resepsi. Itu terjadi setelah pernikahan.
"Sasuke-kun!"
Sasuke menoleh dan melihat Miyuki di belakangnya, melambai dengan bersemangat.
"Ya?" Sasuke berbalik ke arah Miyuki dan gadis itu melangkah secara spontan ke pelukan Sasuke ketika lengan pemuda itu terbuka.
"Oh, hai Sakura," ucap Miyuki asal. Sakura mengangguk.
"Bibi dan pamanku akan pulang. Apa kau mau bergabung denganku untuk mengantar mereka ke depan?"
"Uh... tentu." Sasuke menoleh pada Sakura, "Sampai nanti, Saku."
Mengangguk, Sakura dengan pelan menjawab, "Sampai nanti, Sasuke," dan kembali memandang ke jendela.
Miyuki dan Sasuke berjalan ke tempat Paman Takeda dan Bibi Emi berdiri dan Sasuke menjabat tangan pria itu. Paman Takeda tampak berusia sekitar 95 tahun.
"Sasuke, gadis yang kau ajak bicara di dekat jendela... siapa dia?" Paman Takeda mendesak.
Sasuke menatap Sakura, yang masih di tempat yang sama dengan posisi memunggunginya. "Oh, itu sahabatku, Haruno Sakura."
Paman Takeda tersenyum. "Bukankah kemiripannya aneh?"
Kemiripan? "Hah?" Sasuke jelas bingung.
"Kemiripan antara sahabatmu dan Miyuki... sungguh aneh!"
Sasuke memandang dari tunangannya ke sahabatnya dan kembali lagi. "Kurasa aku tidak melihatnya," ucap Sasuke akhirnya.
Paman Takeda terkekeh. "Kau serius? Mereka bisa dibilang seperti saudara."
Sasuke berpikir sejenak. Tentu, mereka berdua memiliki rambut merah muda dan mata hijau, tapi mulut Sakura lebih mungil dan mengoceh sejuta mil per menit. Rambut Sakura panjang dan rambut Miyuki lebih pendek... "Tidak, aku masih belum melihat dimana kemiripannya."
Paman Takeda hanya memutar matanya ke arah pemuda di depannya dan mengulurkan tangannya. "Baiklah, senang bertemu denganmu, Sasuke. Dan selamat datang di keluarga besar kami."
Setelah kepergian paman dan bibi Miyuki, Sasuke ditarik dari kerumunan satu ke kerumunan yang lain, dipaksa untuk berpelukan dan mengobrol sampai acara selesai. Ketika ruangan itu akhirnya mulai sepi dan ia bisa bernapas lagi, ia mencari-cari Sakura dan Gaara tapi mereka pasti sudah lama pergi. Ia merasakan sedikit rasa bersalah karena nyaris tidak bisa mengobrol banyak dengan Sakura, tapi ia tahu Sakura akan mengerti. Selain itu, ia akan menghubungi gadis itu besok.
***
Sakura memberikan ciuman selamat malam pada Gaara di mobil dan melangkah masuk ke apartemennya, ia melepas sepatunya dan duduk di sofa.
Aku mengatasi diriku dengan cukup baik, pikir Sakura. Tentu, ia mungkin seharusnya tidak menatap ke luar jendela selama seluruh percakapannya dengan Sasuke, tapi ia tidak bisa menahannya. Bintang-bintang tampak indah dan dengan menatap mereka, itu berarti ia tidak perlu benar-benar harus menatap Sasuke. Sepanjang waktu saat ia menatap ke luar jendela, ia berharap ia berada di tempat lain. Di tempat lain.
Dengan helaan napas sedih, Sakura bangkit dari sofa dan melangkah ke kamarnya. Melepaskan pakaiannya, ia menarik gaun tidurnya di atas kepalanya dan merangkak ke tempat tidur, bersembunyi di bawah selimut. Hanya menatap langit-langit.
Tentu, ia benar-benar hancur ketika Sasuke mengatakan padanya bahwa pemuda itu bertunangan, tapi sejak itu, ia benar-benar baik-baik saja. Ia teringat kembali pada percakapan mereka tepat setelah Sasuke melamar. Pemuda itu terdengar sangat bahagia ketika meneleponnya dan berkata "Dia bilang ya, Sakura. Aku tidak percaya aku akan menikah!" Mendengar Sasuke bahagia dan mengetahui bahwa ini adalah apa yang pemuda itu inginkan, dan dengan orang yang pemuda itu inginkan, hampir seperti perban di atas luka-lukanya. Sasuke layak mendapatkan kebahagiaan. Uchiha Sasuke telah menghabiskan banyak hidupnya berjuang dan sekarang, semuanya tampak berjalan sesuai keinginan pemuda itu. Melihat Sasuke bahagia adalah hal terpenting baginya.
Sakura menghela napas, berguling di tempat tidurnya. Aku tahu bahwa hidup akan berubah. Kita tidak dapat terus memiliki hubungan yang kita miliki sewaktu kuliah. Itu tidak mungkin. Ia telah melihat perubahan hubungan mereka ketika Miyuki muncul di kehidupan Sasuke; kemudian ketika ia lulus dan bahkan lebih banyak perubahan ketika Gaara muncul di kehidupannya. Hari-hari 'Sasuke dan Sakura' sepertinya sudah lama berlalu. Tidak akan pernah menjadi 'mereka berdua' lagi.
Sakura berguling ke sisi lain, merasa bersalah ketika ia membayangkan wajah Gaara. Mereka berdua berkencan secara resmi sekarang dan ia berusaha sekuat tenaga untuk jatuh cinta pada pemuda itu. Gaara peduli padanya, ia tahu itu. Mereka berbagi kecintaan yang sama pada pekerjaan dan mereka benar-benar sangat cocok. Gaara adalah tipe pria yang tepat yang ia butuhkan. Bahkan, Gaara sempurna untuknya. Kecuali pemuda itu tidak memiliki hati Sakura...
Sakura berharap bahwa ketika pernikahan Sasuke semakin dekat, ia akan bisa merelakan Sasuke pergi untuk selamanya dan memeluk Gaara sepenuhnya. Ia tidak berniat untuk berjalan dengan perasaan ini di dadanya selama sisa hidupnya. Ia menolak untuk membawa perasaan sakit yang bergejolak di perutnya ke mana pun ia pergi selamanya. Ia tahu ia bukan yang Sasuke inginkan. Jadi ia hanya harus berhenti berharap...
Dalam enam bulan, Sasuke akan menjadi suami seseorang. Pikiran itu membuatnya sakit. Ia tidak tahu bagaimana ia akan mempertahankan persahabatan mereka begitu Sasuke menikah. Sejujurnya, ia bahkan tidak tahu apakah ia masih mau mempertahankannya.
Ia harus melupakan perasaan ini untuk Sasuke. Dengan beban di dadanya, ia berguling dan membiarkan air mata membasahi pipinya sampai ia tertidur.
***
"Holy fuck, Miyuki? Kau benar-benar membutuhkan wedding planner?" Sasuke melotot pada map besar yang ada di lengan gadis itu.
"Oh, tenanglah, Sasuke-kun. Ibu dan ayahku yang akan membayarnya. Sekarang pernikahan impian kita hanya bisa menjadi impian saja." Miyuki menghela napas sedih ketika ia memikirkan pernikahan dongeng di kepalanya.
"Miyuki... jangan salah paham... tapi dari yang kudengar sebelumnya, wedding planner hanya menimbulkan masalah." Sasuke mengacak rambutnya. Hanya enam minggu setelah pesta pertunangan dan masih ada lima bulan lagi hingga hari pernikahan, tapi ia sudah bosan mendengar tentang undangan. Serius, siapa yang peduli dengan font apa itu dicetak. Dan haruskah kertas itu berwarna krem atau ecru? Bukankah itu warna yang sama? Dan haruskah cetak hitam atau sepia? Ia ingin bunuh diri atas undangan sialan itu.
"Sasuke-kun," Miyuki memecah kesunyian, "Kau ingin pernikahan kita pada hari Sabtu sore atau malam hari? Koordinator pernikahan di gerejaku perlu tahu."
Sasuke menoleh. "Kita tidak akan menikah di gerejamu." Ia menyadari nadanya keras begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya.
Miyuki tampak tersinggung. "Kenapa tidak? Aku sudah mengunjungi gereja itu sepanjang hidupku."
Sambil mendesah, Sasuke duduk di meja dapur. "Aku tidak ingin membahas ini sekarang, tapi... Aku bukan orang Kristen dan aku tidak ingin menikah di gereja."
Mulut Miyuki ternganga. "Kau akan merusak hariku yang sempurna hanya karena kau tidak nyaman?"
"Miyuki, apa kau akan merasa nyaman jika aku memintamu untuk menikah di Sinagog?"
Ekspresi ketakutan melintas di wajah Miyuki. "Tidak, aku tidak akan menikah di sana."
Sasuke berdiri. "Itulah yang kurasakan. Kita tidak akan menikah di gereja. Kita dapat menikah di tempat lain... kebun binatang, kebun raya bodoh, di mana pun itu. Kau bisa memilih di mana pun kau inginkan tanpa bertanya. Tapi kita tidak akan menikah di gereja." Matanya berkilat marah ketika bertemu dengan mata sedih Miyuki.
"Aku... aku mengerti. Pendetaku bisa menikahkan kita di mana saja."
"Dan satu hal lagi." tambah Sasuke. "Aku ingin seorang rabbi ada di sana juga. Kita akan menikah dengan keduanya."
"Sasuke!" Miyuki memekik.
"Apa? Kau menikahiku, kau menikahi kepercayaan Yahudi-ku..."
Miyuki berbalik dan meraih kunci mobilnya.
"Kau mau kemana?" Sasuke membentak gadis itu.
"Pergi menemui ibu dan ayahku untuk mendiskusikan... permintaanmu. Jangan menungguku." Miyuki membanting pintu dan Sasuke meringis. Keheningan menyelimuti apartemen dan tiba-tiba, ia merasa tidak begitu buruk. Perencanaan pernikahan sialan.
Berjalan ke sofa, ia menjatuhkan diri disana dan menyalakan TV. Menonton beberapa omong kosong bodoh dapat mengambil alih pikirannya.
***
Sebulan kemudian, Sasuke menyesal telah memberitahu Miyuki bahwa gadis itu bebas memilih di mana saja untuk menikah selain gereja. Miyuki masuk ke apartemen sepulang bekerja, dengan banyak pamflet.
"Sasuke-kun, kita akan menikah di country club. Mereka memiliki danau yang paling indah. Ibu dan ayahku memiliki keanggotaan di sana, dan mereka akan mengatur pernikahan di sana." Miyuki melompat pada Sasuke dan mengecup bibir pemuda itu. "Kita akan mengadakan pernikahan outdoor! Ini akan menjadi luar biasa!"
Sasuke hanya setengah tersenyum pada Miyuki, menyadari bahwa ia telah menciptakan seorang monster. Aku akan menikah di country club. Ia butuh minum.
***
"Angsa? Apa kau gila?"
Miyuki cemberut, melempar foto ke arah Sasuke. "Kerumunan angsa akan berenang di danau saat kita menikah. Tidak bisakah kau bayangkan betapa indahnya pernikahan itu?"
Sasuke meletakkan garpunya dan memandang Miyuki. Menyisir rambutnya dengan kedua tangan, ia menghela napas. "Baiklah... angsa."
***
"Ya Tuhan, Gaara... di sana," erang Sakura, melengkungkan tubuhnya ke atas untuk mendorong jari-jari pemuda itu lebih jauh ke dalam dirinya.
Gaara mencondongkan tubuh ke arah Sakura, menatap ekspresi nikmat di wajah Sakura ketika ia menggerakkan jari-jarinya di dalam diri gadis itu...
Tubuh Sakura melengkung dari sofa lagi ketika tubuhnya mulai bergetar. Persetan, kau sudah dekat, pikir Gaara ketika ia membungkuk untuk menggigit payudara Sakura.
"Ayo, Sayang... hampir sampai..." Saat Gaara berbicara, ia mendengar ketukan di pintu apartemen Sakura. Sakura diam, mendengarkan.
"Abaikan saja, Sakura. Siapa pun itu pasti sebentar lagi akan pergi," Gaara, matanya tetap fokus pada puting Sakura. Menjilat bibirnya, ia mencondongkan tubuh ke depan lagi.
Ketukan lain terdengar di apartemen Sakura, menyebabkan gadis itu tersentak kaget. Ia mendorong Gaara dan mengumpat.
Sakura meraih jubahnya dan mengenakannya. Ia melihat melalui lubang intip. "Ini Sasuke, Gaara," bisiknya.
Gaara duduk di sofa. "Oke..."
"Aku akan segera kembali..." Sakura membuka pintu dan menyelinap keluar, menutupnya dengan pelan di belakangnya. "Hei, Sasuke," sapa Sakura sesantai mungkin, mengingat fakta bahwa ia benar-benar telanjang, basah kuyup, dan benar-benar terangsang di balik jubah tipisnya. Dan menatap Sasuke hanya membuat semuanya semakin panas sekitar sepuluh ribu derajat.
Mata Sasuke melebar. Matanya bergerak turun ke tubuh dan Sakura, mengamati rambut Sakura yang acak-acakan, pipinya yang memerah, napasnya yang memburu, dan tonjolan puting mungilnya yang sangat tegak menempel di jubahnya yang tipis. Ia bergidik, gairah berkumpul langsung di pangkal pahanya. Ia menegur dirinya sendiri karena ini adalah Sakura dan ia adalah seorang pria yang sudah bertunangan, tapi FUCK! Ia seorang pria dan ini? Pemandangan ini hampir terlalu menggairahkan, bahkan untuknya.
"Oh shit, Sakura. Aku minta maaf... aku mengganggumu dan Gaara..." Untuk satu dari beberapa kali dalam hidupnya, wajah Sasuke memerah.
Sakura merasa terhina. Mereka mungkin memiliki hubungan dekat tapi biasanya mereka tidak bertemu satu sama lain dalam keadaan seperti ini. Tubuhnya kesemutan dari sisa-sisa sentuhan Gaara dan dari kedekatannya dengan Sasuke.
"Oh... tidak apa-apa. Jadi, ada apa, Sasuke?"
Gaara, jelas. Sasuke meringis pada pikirannya tentang Sakura yang menggeliat di bawah pria itu.
Sasuke mundur selangkah, mengibaskan tangannya. "Bukan apa-apa, Sakura. Jangan khawatirkan tentang itu..." ia berbalik dan mulai pergi.
"Tunggu!" Sakura berteriak mengejar pemuda itu. "Sasuke!"
Sasuke berbalik dan menatap Sakura. "Bukan sesuatu yang mendesak, Saku... Dan kau jelas... uh... sibuk. Aku akan meneleponmu nanti..." Setelah itu ia berjalan pergi.
Sakura memperhatikan Sasuke, air mata mengalir di pipinya. Ia menyadari bahwa Sasuke tahu ia tidur dengan Gaara. Tapi mengkonfirmasi dengan berdiri di depan Sasuke seperti Izebel yang baru saja digunakan membuatnya merasa lebih buruk di seluruh situasi ini. Tentu saja, kemudian kenyataan dengan cepat menampar wajahnya. Lagipula Sasuke tidak peduli...
Melangkah keluar ke cuaca angin Februari yang dingin, Sasuke menghembuskan napas. Ia sudah mengenal Sakura sejak lama, tapi ia belum pernah melihat Sakura seperti itu. Sakura tampak benar-benar fuckable. Itu salah satu hal menggairahkan yang pernah dilihatnya. Sasuke menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus bayangan tentang Sakura ketika rasa bersalah mengepungnya karena memikirkan hal seperti itu tentang Sakura.
Aku harus ingat untuk menelepon lebih dulu. Aku tidak bisa lagi datang tiba-tiba...
***
Dua minggu setelah pertemuan memalukan di luar apartemen Sakura, Sasuke berkunjung lagi, setelah menelepon terlebih dulu, dengan membawa pizza dan enam kaleng bir. Miyuki sedang bekerja dan Gaara ada di suatu tempat, Sasuke tidak mendengarkan ketika Sakura memberitahunya karena ia selalu segera merasa tak nyaman setelah nama pria itu disebutkan. Dan untuk sekali ini, mereka berdua akhirnya bisa berkumpul.
Ketika Sasuke melangkah masuk ke dalam apartemen Sakura, pikirannya diserang dengan gambar-gambar puting kecil Sakura yang menonjol di balik jubah tipis gadis itu. Ia dengan cepat secara mental menendang pantatnya sendiri, ia menyingkirkan gambaran itu dari pikirannya dan meletakkan pizza di atas meja.
"Aku bilang pada mereka untuk menambahkan saus supaya kau tidak menggerutu kali ini," ucap Sasuke seraya mengambilkan beberapa piring. Sakura memberinya senyum tulus sebagai balasan.
Mereka berdua duduk di lantai ruang tamu, dengan makanan dan minuman di atas meja kopi.
Sakura melempar remote ke arah Sasuke. Menyalakan TV, ia mengganti-ganti saluran, berhenti pada tayangan 'Polisi Terliar Dunia'. Sakura memutar matanya saat Sasuke menyeringai, menatap acara itu dengan seksama.
"Ada apa dengan laki-laki dan pengejaran mobil?"
"Mereka hampir sekeren payudara, Sayang. Hampir..."
Mereka menonton selama beberapa menit, Sasuke membuat komentar acak tentang bajingan ini atau bajingan bodoh itu, sebelum tayangan selesai dan ia bosan lagi.
"Saku... apa menurutmu gila jika ada angsa di pernikahan?"
Sakura mengerutkan alisnya. "Angsa?"
Sasuke mengerang. "Ya, Miyuki ingin ada angsa berenang di danau di belakang kami ketika kami bertukar sumpah. Semuanya membuatku ingin muntah, tapi aku tidak bisa menolaknya. Aku diberitahu oleh ibunya untuk 'tutup mulut sekarang, dan memberikan penisku di malam pernikahan'."
Sakura memaksakan diri untuk tertawa, berusaha mengabaikan pemikiran yang sangat banyak tentang malam pernikahan Sasuke.
"Well, Sasuke... kau menikahi seorang gadis yang kaya. Aku tidak tahu apa yang kau harapkan tapi apa yang kau dapatkan sekarang? Itu normal."
Sasuke menggeram, bersandar di sofa di belakangnya.
"Saku, berjanjilah padaku bahwa ketika kau menikah, kau tidak akan melakukan semua hal gila ini. Aku tahu kau bukan tipe gadis yang menyukai hal ini tapi tetap saja... jangan menyiksa calon suamimu..."
Sakura mengangguk, ingin mengeluarkan tawa pahit. Pernikahannya sendiri? Ia harus bertahan hidup terlebih dahulu.
***
To be Continued