"Jadi, Nichi," Sasuke berjalan kembali ke ruang makan dengan senyum palsu. "Apa yang akan kita lakukan hari ini?"
Nichi mengerutkan kening. "Apa kau jatuh?"
"Apa?" tanya Sasuke, secara otomatis mengangkat tangannya ke pipinya yang memerah.
"Pipimu merah." ucap Nichi memberitahu Sasuke dengan sungguh-sungguh. "Apa kau menabrak sesuatu?"
"Aku melompat-lompat di atas tempat tidur dan jatuh." Sasuke meringis dengan jawabannya sendiri.
"Apa orang itu juga melompat-lompat di atas tempat tidur?" Kerutan di kening Nichi semakin dalam.
"Apa?" Sasuke menggelengkan kepalanya.
"Aiko-basan bilang kau punya tamu, apa orang itu juga melompat-lompat di atas tempat tidur dan-"
"Tidak, lupakan saja. Aku sedang bercanda." Sasuke menghela napas. "Sekarang, jika kau menghabiskan pancake-mu, kita bisa bermain sepeda." ucap Sasuke untuk mengalihkan perhatian bocah itu.
"Yay!" teriak Nichi, dan kemudian mencoba memasukkan seluruh pancake ke mulutnya.
"Tapi batal jika kau membuat dirimu muntah karena cara makanmu seperti itu!" Sasuke memperingatkan. "Sudah cukup dengan mengompol hari ini."
Nichi mengangguk dan memperlambat cara makannya.
Meskipun kehilangan nafsu makan setelah menghadapi Hanabi, Sasuke duduk kembali di meja makan agar Nichi tidak terburu-buru.
"Jika aku berpegangan erat, bisakah kita mengebut?" tanya Nichi setelah menelan makanannya.
Sasuke membeku ketika ia menyadari bahwa ia telah setuju untuk membonceng seorang anak kecil tanpa persetujuan ibunya. Ia memaksakan dirinya untuk bernapas perlahan dan tersenyum.
"Kau harus menunjukkan padaku bahwa kau akan tetap tenang saat di atas sepeda." Sasuke mengangkat alis ke arah bocah itu. "Ibumu akan sangat marah padaku jika kau terluka. Shikamaru-jisan mungkin juga akan menangkapku."
Nichi menggelengkan kepalanya. "Shikamaru-jisan hanya menangkap orang jahat."
"Jika aku membiarkanmu terluka, dia akan berpikir aku adalah orang jahat." jawab Sasuke. "Selesaikan makanmu disini. Aku perlu mengambil sesuatu di atas."
Sasuke memanggil Ayame untuk menemani Nichi dan meninggalkan ruangan, bertanya-tanya apakah masih ada tali kekang kuda di gudang, dan jika memang masih ada, apakah tali itu bisa digunakan untuk menahan seorang anak di atas sepeda. Ia kemudian menyadari bahwa jika Nichi membuat gerakan tiba-tiba, itu bisa membuat sepeda tidak seimbang.
Setelah satu menit, Sasuke akhirnya memutuskan bahwa tali jubah mandinya akan menjadi solusi terbaik daripada tali kekang kuda. Tali jubah mandi lebih lembut teksturnya daripada tali kekang kuda.
Ia kembali ke bawah, mendapati bahwa Nichi telah menghabiskan semua kecuali beberapa gigitan pancake-nya.
"Apa kau akan memakan semua itu?" tanya Sasuke, menunjuk ke piring bocah itu.
Nichi menatap Sasuke dengan tatapan memohon.
"Tidak apa-apa jika kau tidak bisa menghabiskan beberapa gigitan terakhir. Kau sudah memakan cukup banyak pancake dan kau juga sudah menghabiskan semua baconmu." ucap Sasuke seraya tersenyum.
Nichi tersenyum lega. "Kalau begitu kita bisa bermain sekarang?"
Sasuke mengangguk, "Ayo."
Nichi turun dari kursinya dan berlari ke sisi Sasuke.
"Kau harus mengenakan ini." Sasuke memasang kupluk di atas kepala bocah itu. "Udara sedikit dingin."
Sasuke membimbing Nichi keluar dari pintu samping, dimana sebelumnya ia telah memerintahkan Aiko untuk mengeluarkan sepeda milik ibunya yang memiliki boncengan.
Sasuke menunjukkan pada Nichi bagian-bagian sepeda, fungsinya, cara mengayuh dan mengerem, ia kemudian mengangkat Nichi untuk duduk di boncengan. Sasuke kemudian melingkarkan tali jubah mandi di pinggang Nichi, mengikat anak itu dengan aman ke pinggangnya sendiri.
"Ini untuk memastikan kau tidak jatuh." Sasuke memberitahu Nichi. Bocah itu mengangguk dan melingkarkan lengannya ke pinggang Sasuke erat-erat.
"Aku tidak akan jatuh." Nichi menggelengkan kepalanya dengan serius. "Aku akan bertahan dengan sangat baik!"
Mereka berputar beberapa kali di sekitar halaman mansion dengan kecepatan pelan. Nichi dengan patuh berpegangan erat pada Sasuke dan duduk diam.
"Siap sedikit lebih cepat?" tanya Sasuke.
Nichi mengangguk dengan penuh semangat. "Siap!"
Sasuke mengayuh sedikit lebih cepat, sesekali tangannya terulur ke belakang memastikan Nichi tetap berada di tempatnya.
Setelah dua putaran di halaman, Nichi tertawa dan memohon. "Lebih cepat lagi! Ayo mengebut!"
"Baiklah, tapi kau harus tetap berpegangan erat." Sasuke memperingatkan.
"Oke!" seru Nichi. "Kedua tanganku sangat erat!"
"Anak pintar." puji Sasuke, ia bisa merasakan Nichi mencengkeram kemejanya.
Mereka bersepeda mengelilingi mansion selama lebih dari satu jam, dengan Nichi yang akhirnya mengajukan beberapa pertanyaan tentang bagian-bagian dari mansion yang sangat luas itu. Bocah itu tampak kagum tentang seberapa besar sebenarnya rumah itu.
Sasuke sedikit menambah kecepatan kayuhannya sampai akhirnya berhenti di halaman belakang di dekat kolam. Nichi terpental dan tertawa ketika Sasuke mengerem.
"Bagaimana?" tanya Sasuke pada bocah itu.
"Ini yang terbaik yang pernah ada!" Nichi berteriak, menarik talinya. "Lepaskan aku, cepat."
Sasuke melepaskan ikatannya dan menurunkan Nichi dari atas sepeda. Bocah itu kemudian berlari ke dalam rumah.
"Kau mau kemana?" panggil Sasuke berteriak.
"Aku mau ke kamar mandi!" Bocah itu balas berteriak.
Sasuke menyerahkan sepedanya pada Aiko dan mengikuti Nichi masuk ke dalam rumah, menunggu di luar pintu kamar mandi.
Ketika pintu terbuka, Nichi melompat keluar dan memeluk kaki Sasuke. "Terima kasih! Kau Papa terbaik!"
Kehangatan asing yang Sasuke rasakan di dadanya dimulai ketika Nichi pertama kali memeluknya dengan cepat digantikan oleh rasa dingin yang terasa menusuk. Ia meraih ke bawah dan melepas lengan Nichi, lalu berlutut di depan bocah itu.
"Nichi, aku bukan Papamu." ucap Sasuke dengan lembut.
"Tapi kau akan menjadi Papaku, karena aku mengajarimu." jawab Nichi, seolah-olah semuanya sesederhana itu.
Sasuke menghela napas dan menyisir rambutnya dengan tangan, bertanya-tanya bagaimana cara mengatasi ini, tepat ketika Ayame berjalan mendekati mereka.
"Seseorang datang mengantarkan surat ini, Uchiha-san." Ayame menyerahkan sebuah amplop dan kemudian berjalan pergi.
Sasuke mengerutkan kening, ia melihat tulisan tangan yang tidak dikenalnya. Ia membalik amplop itu dan menemukan bahwa pengirimnya adalah Sakura. Tentu saja, ponsel gadis itu turut terbakar, dan tidak ada cara lain selain mengirim surat. Ia membuka amplop itu, didalamnya terdapat surat dan sebuah amplop yang lebih kecil yang ditujukan untuk Nichi.
"Ini." Sasuke menyerahkan surat kedua pada bocah itu. "Mama menulis surat untukmu."
"Sungguh?" Nichi menarik amplop itu, sedikit merobek ujungnya.
Sasuke membuka suratnya sendiri dan mulai membaca.
Sasuke,
Terima kasih atas bantuanmu untuk merawat Nichi sementara aku belum bisa melakukannya. Aku telah menulis surat padanya juga. Harap pastikan surat itu tidak akan membuatnya kesal sebelum kau memberikannya padanya.
Ups. Sasuke melirik Nichi yang tampak tersenyum dan mengucapkan setiap kata-kata di dalam suratnya, jadi rupanya anak itu baik-baik saja, setidaknya untuk saat ini.
Jika tidak terlalu banyak masalah, bisakah kau membawanya ke rumah sakit untuk berkunjung? Dia dan aku tidak pernah berpisah sebelumnya, dan aku sangat merindukannya. Aku harap dia tidak memberimu terlalu banyak masalah. Kadang-kadang dia bisa sedikit nakal, tapi dia bisa juga menjadi anak yang sangat baik.
Sekali lagi terima kasih atas apa yang telah kau lakukan.
Sakura
"Bisakah kita pergi bertemu Mama?" tanya Nichi malu-malu.
Sasuke berlutut lagi di depan bocah itu. "Apa kau merindukan Mama?"
Nichi mengangguk. "Sangat, sangat, sangat."
"Baiklah, kita akan pergi mengunjunginya. Dan mungkin kita juga akan pergi makan siang. Bagaimana?"
Nichi tersenyum lebar. "Bisakah kita makan keripik ikan lagi?"
Sasuke memutar matanya. "Kita lihat saja nanti."
Wajah Nichi tiba-tiba muram.
"Nichi, kau kenapa?" tanya Sasuke.
"Aku ingin membuat gambar Mama tapi krayonku terbakar." ucap bocah itu cemberut. "Apa kau punya krayon?"
"Tidak, tapi mungkin kita bisa membelinya nanti," tawar Sasuke. "Jadi kau bisa menggambar Mama dan memberikannya lain kali."
Bocah itu mengangguk. Ekspresinya tiba-tiba berubah.
"Aku sangat bagus saat di atas sepeda, kan?" ucap Nichi dengan nada serius. "Aku berpegangan erat-erat dan aku benar-benar melakukan apa yang kau katakan."
"Ya, benar." Sasuke memuji. "Kau anak pintar."
"Maukah kau memberitahu Mama?" tanya Nichi dengan sedikit binar di matanya.
"Kenapa kau ingin aku memberitahu Mama?" tanya Sasuke.
"Agar Mama mengijinkanku punya sepeda!" Nichi memutar matanya seolah memberitahu Sasuke bahwa dia bodoh.
"Aku akan berbicara dengannya tentang hal itu." Sasuke berjanji.
Setelah itu, Aiko mengajak Nichi untuk mandi dan berganti pakaian sementara Sasuke melakukan hal yang sama.
Mereka bertemu kembali di ruang tamu dan Sasuke segera menggendong Nichi untuk masuk ke dalam mobil, menuju rumah sakit dimana Sakura dirawat.
***
Sakura sedang duduk di tempat tidur, menulis sesuatu.
"Mama!" Nichi menjerit, dan berlari menyeberangi ruangan. Ia melompat ke tempat tidur dan naik ke pangkuan Sakura. "Aku sayang Mama. Aku ingin kau pulang. Aku di rumah Mister Sasuke. Ada bak mandi sebesar kolam. Bisakah kita tinggal di sana? Dia adalah Papaku sekarang."
Kepala Sakura menoleh untuk menatap Sasuke, yang mengangkat tangannya karena terkejut. "Aku tidak mengatakan apapun padanya. Dia menarik kesimpulannya sendiri." ucap Sasuke bersikeras, menggelengkan kepalanya, matanya sedikit melebar.
"Kenapa dia menjadi Papamu sekarang?" tanya Sakura pada putranya.
"Karena dia merawatku. Dia membelikanku baju baru dan membawaku bermain sepeda dan dia mengikatku sehingga aku akan aman dan dia juga membuatku menghabiskan semua makananku." Nichi menjelaskan.
"Kau mengikatnya?" tanya Sakura mengangkat alis.
Sasuke mengisyaratkan dengan tangannya. "Aku mengikatnya ke pinggangku agar dia tidak jatuh dari sepeda. Aku khawatir dia akan lari dariku seperti di..." Ia terdiam, menyadari bahwa apa yang ia ucapkan terdengar lebih buruk dari menit ke menit.
"Aku pergi ke Jiraiya-jiisan." Nichi memberitahu ibunya dengan cemberut. "Mister Sasuke tidak tahu bahwa kita seharusnya pergi ke sana. Aku tidak benar-benar lari." Ia menggelengkan kepalanya. "Dan aku sangat bagus di atas sepeda. Aku berpegangan erat dan melakukan semua yang dikatakan Mister Sasuke." Ia mengangguk-angguk dan matanya berbinar.
"Dia sangat patuh saat aku memboncengnya menggunakan sepeda." Sasuke setuju.
"Bagaimana dengan hal-hal lainnya?" tanya Sakura.
"Sebagian besar dia sudah menjadi anak yang baik." Sasuke mengangkat bahu. "Dia membuatku takut saat tiba-tiba berlari ke toko Jiraiya dan dia sedikit kesulitan tidur semalam, tapi dia bertingkah sangat baik, terutama dalam situasi seperti ini."
"Mister Sasuke harus bersama kita, Mama, karena dia mirip denganku." Nichi memberitahu ibunya dalam sebuah bisikan keras.
"Apa maksudmu dia mirip denganmu?" tanya Sakura.
"Dia memiliki rambut sepertiku dan mata sepertiku. Dia mirip denganku, tidak seperti keluarga Inojin." Nichi menjelaskan seolah-olah orang dewasa itu bodoh.
"Kurasa dia memang mirip denganmu." Sakura tersenyum, melirik ke arah Sasuke, yang juga tampak sedikit geli. "Tapi kau tidak bisa memaksa seseorang untuk bersamamu hanya karena mereka terlihat sepertimu."
"Tapi Mister Sasuke ingin aku bersamanya. Dia bilang dia ingin aku menjadi keluarganya." Nichi memohon.
"Tidak sesederhana itu, Sayang." Sakura mencium kening putranya. "Sasuke dan aku harus membicarakan lebih banyak hal."
"Dan bicarakan juga tentang dia yang akan membelikanku sepeda." Nichi menginstruksikan.
Sasuke terkekeh.
Sakura menatap Nichi dengan tajam. "Kau tidak boleh meminta seseorang membelikan barang untukmu."
"Tapi Mister Sasuke bilang aku bisa minta apapun yang kuinginkan ketika aku bersamanya. Dia membelikanku tiga baju Thomas." Nichi mengangkat tiga jari untuk menegaskan maksudnya. "Dan banyaaaak permen."
"Dia dan aku harus membicarakan itu juga." Sakura menatap antara Nichi dan Sasuke.
Sasuke menundukkan kepalanya, merasa sedikit seperti anak yang sedang dimarahi.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Yamanaka Miyumi muncul.
"Miyumi-baasan!" Nichi berteriak, berlari melintasi ruangan untuk memeluk wanita paruh baya itu.
Miyumi mengangkat Nichi dan mencium pipinya, tampaknya menyadari bahwa ia telah memasuki situasi yang sedikit tegang.
"Hai, Sakura-chan, Uchiha." Miyumi mengangguk ramah. "Nichi-kun, aku bertaruh perawat disini tidak membuat teh seperti yang ibumu suka. Jadi kenapa kau tidak ikut ke kedai teh bersamaku saja dan kita akan membeli secangkir teh yang enak untuk ibumu."
"Bisakah kita membeli susu cokelat juga?" tanya Nichi.
"Jika mereka punya." Miyumi mengangguk, ia membimbing bocah itu keluar dari ruangan dan menutup pintu.
"Sasuke," Sakura menghela napas. "Kau tidak perlu membelikan banyak hadiah untuk Nichi. Aku mengerti mungkin hanya itu yang kau tahu, tapi aku tidak ingin dia tumbuh menjadi orang yang materialistis. Dan nanti akan sulit baginya jika kau belikan dia semua yang dia lihat dan kemudian dia kembali ke rumah bersamaku, di mana aku tidak mampu memanjakannya seperti dirimu."
Sasuke mengerutkan kening. "Dia seorang Uchiha. Sudah seharusnya dia memiliki barang-barang bagus. Aku tidak mengerti kenapa kau tidak membiarkanku memberikannya padanya, atau kenapa kau tidak mau mengambil uang dariku untuknya."
"Aku masih khawatir tentang apa yang akan terjadi pada Nichi jika kau menghilang." ucap Sakura. "Dia akan sangat terluka ketika kau menyingkirkannya."
"Aku tidak akan melakukannya." Sasuke memprotes.
"Apa nanti calon istrimu tidak akan keberatan jika kau menghabiskan waktu dengan anak haram?" Sakura mengangkat alis.
Kening Sasuke berkerut saat ia mempertimbangkan kata-kata Sakura. "Aku tidak tahu bagaimana perasaanku, tapi aku menginginkan Nichi dalam hidupku." ucap Sasuke akhirnya.
"Kau sudah memberitahu tunanganmu tentang Nichi?" tanya Sakura.
"Tidak," Sasuke menggelengkan kepalanya. "Tapi ini seharusnya tak menjadi masalah. Kami tidak akan menikah dalam waktu dekat. Tidak sampai musim semi atau besoknya atau besoknya. Aku cukup memberinya uang dan mengirimnya ke benua lain untuk liburan akhir pekan supaya aku bisa menghabiskan waktu bersama Nichi disini."
"Sasuke, kau tidak bisa begitu, itu bukan solusi yang baik." komentar Sakura.
"Kalau begitu, dia hanya harus belajar untuk menerima keberadaan Nichi di hidupku." jawab Sasuke keras kepala. "Sekarang, bagaimana denganmu, apa kau sudah mempertimbangkan di mana kau dan Nichi akan tinggal setelah kau keluar dari sini?"
Sakura menatap tangannya. "Keluarga Yamanaka telah menawarkan kami untuk tinggal bersama mereka, dan Shikamaru juga. Kami memiliki asuransi kecil. Tidak akan cukup untuk membeli rumah baru, tapi semoga saja itu bisa memberi kami tempat tinggal agar aku bisa kembali menulis artikel."
"Jangan konyol." ucap Sasuke. "Kalian akan tinggal di rumahku sampai kita menemukan rumah baru. Aku akan membelinya untuk kalian. Anggap saja itu tunjangan untuk Nichi selama tiga tahun."
"Sasuke, tidak," Sakura menggelengkan kepalanya. "Kau tidak harus membelikan kami rumah. Dan aku hanya akan tinggal di rumahmu dengan satu syarat. Kau mempekerjakanku sebagai pelayan, dan biarkan aku tinggal bersama Nichi di salah satu tempat tinggal para pelayan."
"Tidak tidak!" Sasuke memprotes. "Seandainya sesuatu terjadi padaku, pada saat ini, Nichi adalah satu-satunya pewaris Uchiha. Pewaris Uchiha tidak akan tinggal di tempat para pelayan. Dan ibunya tidak akan menjadi pelayan."
"Sasuke," Sakura memulai.
"Sakura, dengar. Tinggallah di rumahku untuk saat ini. Mansion Uchiha cukup besar, kau bisa tinggal di bagian yang beseberangan denganku dan bahkan tidak perlu melihatku."
"Mama, kumohon!" Nichi berlari melintasi ruangan, sedikit menumpahkan susu cokelat dari cangkir yang tidak tertutup rapat. "Ayo tinggal dengan Mister Sasuke dan dia bisa menjadi Papaku!"
Sakura lega karena diselamatkan dari keharusan menjawab permintaan Nichi oleh seorang perawat yang masuk dengan membawa nampan makan siang. "Ini dia, Haruno-san. Sup, roti gulung, keju, dan puding karamel." Ia meletakkan makan siang Sakura di atas meja di sebelah tempat tidur, lalu bergegas keluar ruangan.
Nichi naik ke tempat tidur untuk melihat makan siang ibunya.
"Ini makanan rumah sakit yang tidak akan melukai tenggorokanku," Sakura menjelaskan.
"Aku lapar." Bocah itu menatap Sasuke.
"Kalau begitu beri Mama ciuman perpisahan." Sasuke menginstruksikan. "Kita akan membiarkan Mama memakan makan siangnya, dan aku akan membawamu untuk membeli sesuatu."
"Bisakah kita membeli keripik ikan?" tanya Nichi, matanya berbinar.
"Tentu, kurasa." Sasuke mengangkat bahu.
"Yay!" Nichi mencium pipi ibunya dan beranjak dari tempat tidur.
"Diskusi kita belum selesai." ucap Sakura pelan ketika Sasuke ditarik ke pintu oleh Nichi.
"Tentu." ucap Sasuke kembali.
***
Sasuke mengajak Nichi ke restoran favoritnya yang tak jauh dari rumah sakit. Karena menurutnya sudah cukup mereka berdua dijadikan subjek gosip, Sasuke kali ini ingin memilih tempat duduk yang sedikit tersembunyi.
Namun ketika mereka baru saja melangkah masuk ke restoran itu, Nichi menarik tangannya dan menunjuk ke akuarium. "Bisakah kita duduk di dekat kotak ikan itu?" tanyanya dengan penuh semangat.
Sasuke berbalik untuk menjawab Nichi, tepat saat seorang gadis muda berjalan berlawanan dengan mereka.
"Maaf. Aku tidak..." Gadis itu terdiam kaget ketika ia mendongak dan menyadari siapa yang ia tabrak.
"Hinata," ucap Sasuke.
"Ha... halo, Sasuke," Hinata tergagap, mundur selangkah. Sebuah suara kecil menarik perhatian Hinata, dan ia menatap sumber suara itu. Matanya melebar. "Oh, um, anakmu sangat tampan..." ucap Hinata, pipinya memerah.
Sasuke secara otomatis menyela untuk memperbaiki. "Dia bukan..."
Entah bagaimana, kini keheningan menyelimuti ruangan yang ramai dengan obrolan beberapa saat lalu itu. Dan Sasuke kemudian mendapati dirinya diinterupsi dengan suara nyaring yang cukup jelas, sebuah suara anak kecil, "Papa, siapa dia?" tanya Nichi.
Tampaknya setiap kepala di restoran itu kini menoleh ke arah mereka.
Sasuke dengan cepat meraih tangan Hinata dan menariknya menjauh dari tatapan para pengunjung yang ingin tahu. Sebelum ia bisa memikirkan jawaban untuk Nichi, pertanyaan lain muncul di kepalanya.
"Hinata, kenapa kau tidak berada di Osaka? Kuliah dimulai lebih dari seminggu yang lalu." Sasuke mengerutkan kening.
Hinata mengangkat bahu, wajahnya perlahan berubah menjadi ekspresi yang sedikit lebih tenang. "Kita diharuskan menikah bulan depan. Orang tuaku tidak mendaftarkanku di semester tahun ini karena mereka pikir aku akan terlalu sibuk berurusan dengan persiapan pernikahan. Mereka mengatakan bahwa istri tak perlu terlalu pintar."
Alis Sasuke mengerut jengkel. "Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan. Bisakah kau datang ke rumahku malam ini?"
Mata Hinata beralih kembali ke Nichi sejenak sebelum ia menjawab. "Tidak," Ia menggelengkan kepalanya. "Orang tuaku mengadakan pesta makan malam, mencari pasangan untuk Hanabi. Aku harus ada di sana. Mungkin besok saat makan siang?"
"Baik." Sasuke mengangguk. "Kuharap kau bisa datang."
Hinata mengangguk, melirik lagi pada Nichi. "Semoga harimu menyenangkan, Sasuke."
Hinata berbalik dan berjalan menuju toilet wanita.
Sasuke menghela napas. "Nichi, apa kau benar-benar ingin keripik ikan?"
"Ya." Nichi mengangguk, menatap Sasuke seolah ada sesuatu yang salah dengan lelaki itu.
Sasuke menghela napas lagi, kemudian ia menggandeng Nichi untuk duduk di dekat akuarium, bocah itu terlalu sibuk dengan ikan di akuarium hingga menghiraukan makanannya.
"Kau belum menjawabku, Papa." ucap Nichi. "Siapa bibi itu?"
"Kenapa kau memanggilku seperti itu?" ucap Sasuke. "Aku bukan Papamu."
"Aku ingin kau menjadi Papaku." Nichi memiringkan kepalanya. "Dan kau ingin aku menjadi keluargamu, tapi aku tidak bisa menjadi saudaramu karena aku kecil dan kau besar."
Sasuke mengusap wajahnya. "Dia wanita yang akan aku nikahi."
"Tidak!" Nichi berteriak, melompat dari kursinya. "Aku tidak ingin kau menikahinya! Aku ingin kau menikahi Mama dan menjadi Papaku."
Semua orang di sekitar mereka memperhatikan mereka lagi.
"Ayo, Nichi." Sasuke berdiri. "Lagipula kau tidak makan makananmu, jadi lebih baik kita pulang saja."
"Bisakah aku membawa makananku?" Bocah itu duduk kembali.
"Apa?" Sasuke mengerutkan kening.
"Bisakah pelayan itu meletakkan makananku ke dalam kotak sehingga aku bisa membawanya pulang dan makan nanti." Nichi menjelaskan.
"Aku akan dengan senang hati melakukannya untuk anakmu." Sahut seorang pelayan yang tak sengaja melewati meja mereka dan tersenyum manis pada Sasuke.
Sasuke mendengus dan mengangguk. Tak repot-repot memperbaiki ucapan pelayan itu tentang Nichi adalah anaknya.
Pelayan itu mengambil piring Nichi dan membawanya ke belakang, kemudian kembali dengan makanan yang sudah dikemas dengan rapi di dalam kotak yang bisa dibawa pulang. Sasuke mengambil kotak itu di satu tangan dan menggandeng tangan Nichi di tangan yang lain.
Hebatnya, bocah itu tiba-tiba merasa lapar ketika mereka tiba di mansion, atau lebih tepatnya, karena tidak ada lagi akuarium yang membuatnya sibuk. Ayame akhirnya meletakkan makanan itu kembali di atas piring, meskipun Nichi protes bahwa ia bisa makan langsung dengan kotak itu.
Selesai makan siang, bocah itu menguap dan Sasuke segera membawanya ke lantai atas untuk tidur siang.
"Aku mohon jangan menikahi bibi itu." ucap Nichi dengan sedih. "Nikahi Mama dan menjadi Papaku."
Sasuke menghela napas. "Nichi, ini tidak sesederhana itu. Pertama, aku harus menikahi Hinata. Semua sudah diatur bagiku agar menikah dengannya sejak kami masih anak-anak. Kedua, ibumu tidak mau menikah denganku. Dia mungkin juga tidak ingin menikah dengan siapapun."
"Aku akan bicara dengannya." Nichi mengangguk, kemudian menguap lagi. "Aku akan memberitahunya untuk menikah denganmu."
"Nichi, aku harus menikahi Hinata." ulang Sasuke.
"Tapi mungkin dia tidak ingin menikah denganmu." Nichi menyarankan.
"Tidak masalah." Sasuke memberitahu Nichi, menarik selimut dan menyerahkan boneka beruang ke bocah itu.
"Seharusnya itu masalah." Nichi meringkuk ke tempat tidur. "Aku menyayangimu, Papa."
Tenggorokan Sasuke terasa tercekat. "Aku juga menyayangimu, Nichi."
Bocah itu menarik boneka beruang itu ke dadanya. "Aku merindukan mainanku yang lain. Apa mereka semua terbakar?"
"Aku akan mengeceknya nanti." Sasuke berjanji.
Ia berjalan ke pintu perlahan-lahan, mengamati tanda-tanda bahwa bocah itu akan melompat dari tempat tidur, tapi mata Nichi tertutup rapat saat Sasuke meninggalkan ruangan.
Sasuke bertemu Ayame di tangga yang memberitahunya bahwa Mikoto menelepon lewat telepon rumah dan segera meminta Sasuke untuk menghubungi kembali.
Sasuke bergegas mengambil ponselnya yang ia letakkan di kamar kemudian berjalan ke ruang tamu, ia mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari ibunya. Ia segera menghubungi ibunya kembali dengan videocall, tak butuh waktu lama hingga wajah ibunya muncul di layar.
"Aku lega rumah itu masih berdiri." Mikoto mengamati ke belakang Sasuke. "Itu pertanda baik."
"Kami baik-baik saja, Kaasan." Sasuke memutar matanya dan kemudian menjelaskan pada ibunya tentang Nichi yang memanggilnya orang jahat tadi pagi. Setelah berbincang cukup lama, akhirnya Sasuke mengajukan pertanyaan, "Kaasan, seberapa baik kau mengenal Hyuga Hinata?" tanyanya pada ibunya.
Mata Mikoto menyipit seketika. "Ada apa denganmu, Sasuke-kun? Kau jangan berpikir untuk mencoba kabur dari pernikahan ini..."
"Tidak," Sasuke meyakinkan ibunya, menggelengkan kepalanya. "Aku hanya... aku perlu berbicara dengannya tentang Nichi. Aku perlu memberitahunya tentang siapa Nichi dan bahwa anak itu akan ada di sekitarku, dan aku hanya bertanya-tanya bagaimana responnya."
"Ada beberapa pertanyaan yang perlu kau tanyakan pada dirimu sendiri sebelum berbicara dengannya." Ibunya mengingatkan. "Berapa lama kau akan menjaga anak dan ibunya? Selama beberapa minggu? Beberapa bulan? Atau sampai kau memiliki anak sendiri?" Mikoto menghela napas. "Dan pertanyaan terbesar, kenapa kau melakukan ini? Apa kau merasa bersalah tentang apa yang terjadi pada ibunya? Apa kau mencoba untuk menebus dosa-dosa ayahmu, dan jika benar, kenapa? Atau kau hanya mencoba untuk menggantikan adikmu?"
Sasuke tersentak kaget. "Aku tidak... Maksudku, aku bahkan tidak mengenalnya. Bagaimana aku bisa menggantikannya?"
"Kau dan Itachi sangat senang untuk memiliki adik laki-laki. Kau sedih ketika kita kehilangan dia. Dan kau semakin kecewa karena aku tidak punya kesempatan lagi untuk mengandung." Mikoto menggelengkan kepalanya. "Coba pikirkan, Sasuke-kun." Setelah itu sambungan telepon terputus dan Sasuke tak yakin apa yang coba ia pikirkan.
Memerintahkan Ayame untuk mengawasi Nichi, ia berjalan keluar dan mengemudi menuju rumah Sakura yang terbakar. Kali ini, ia memarkir mobilnya di dekat rumah itu, dari sana ia bisa mencium bau asap di udara.
Ia mendekati reruntuhan dengan hati-hati, tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Api sudah lama padam. Ia berjalan ke sekeliling rumah, mengamati puing-puingnya. Hanya tersisa cerobong asap yang berdiri tinggi, menghitam karena api dan patah di beberapa bagiannya. Ia berjalan ke tempat yang dianggapnya kamar Nichi, menarik puing-puing dengan tangannya, tapi tidak menemukan apapun yang bisa diselamatkan. Ia terus berjalan menuju dapur, menemukan sejumlah besar pecahan kaca. Semua makanan yang Sakura awetkan dengan hati-hati telah hancur.
Ia berjalan berkeliling di sisa-sisa rumah kecil itu, satu-satunya barang yang ia temukan yang mungkin bisa diselamatkan adalah kepala logam tempat tidur. Ia kini sepenuhnya memahami untuk pertama kalinya, bahwa semua yang dimiliki Sakura dan Nichi telah hilang.
Ia kemudian kembali ke mansion, Ayame memberitahunya bahwa Nichi masih tidur. Ia mengangguk, dan berjalan ke ruang tamu untuk menggunakan telepon rumah.
Ia menelepon editor majalah, memberitahu pria itu bahwa Sakura telah kehilangan segalanya dalam insiden kebakaran rumah, dan menanyakan apa yang diperlukan untuk bisa menulis artikel lagi.
"Tidak banyak." jawab pria itu. "Hanya pena, kertas, dan akses bahan penelitian jika perlu."
Sasuke mengangguk. "Baiklah kalau begitu."
"Aku turut berduka mendengar ketidakberuntungannya." ucap editor itu. "Tapi bolehkah aku bertanya sesuatu, apa kau ingin aku terus membeli semua yang dia kirimkan?"
"Apa?" Sasuke mengerutkan kening.
"Ayahmu telah memerintahkan kami untuk membeli semua artikelnya, bahkan meskipun kami tidak mempublikasikannya. Tentu saja beberapa kali kami bisa mengeluarkan salah satu artikel lamanya ketika kami membutuhkan sesuatu untuk mengisi halaman." ucap editor itu memberitahu Sasuke.
"Ya, terus beli semuanya." Sasuke menginstruksikan. "Kita mampu membelinya, dan dia butuh uang."
"Baik, kami akan lakukan sesuai keinginanmu." Editor itu setuju dan kemudian sambungan telepon terputus.
Sasuke naik ke lantai atas menuju kamarnya sendiri, merasa sangat lelah dengan hari ini. Ia berganti pakaian dan menyelinap ke bawah selimutnya, memejamkan mata dan membiarkan kantuk menguasainya.
"Tousan." Sasuke melipat tangannya.
"Sasuke." Lelaki itu menganggukkan kepalanya.
"Kau tahu tentang Nichi?" tanya Sasuke.
"Siapa?"
"Anak Haruno Sakura." ucap Sasuke.
"Aku hanya tahu dia punya anak." Fugaku mengangkat bahu.
"Dia benar anakmu?" tanya Sasuke dengan gusar, ia yakin ayahnya sengaja bersikap seperti itu.
"Sepertinya." Fugaku sama sekali tak peduli. "Aku tidak perlu bertanya. Lagipula aku bisa mendapatkan apapun yang kuinginkan."
"Kenapa kau membeli perusahaan majalah miliknya?" tanya Sasuke, mengerutkan kening. "Kenapa kau juga memberi perintah untuk membeli semua artikelnya? Kenapa kau ingin memberikan warisan padanya?"
"Aku berhutang padanya." Fugaku menggerutu. "Jika semua yang kulakukan padanya di apartemen itu diketahui publik, reputasiku akan rusak. Yeah, meskipun publik tahu bahwa Haruno Kizashi sendiri yang menyerahkan anaknya padaku dengan sukarela sebagai penebus hutangnya, tapi tetap saja nama baikku akan tercoreng jika publik tahu aku menghamilinya, publik hanya tahu bahwa Haruno kecil itu hanya menjadi pembantu di apartemenku." Fugaku terkekeh. "Untung saja dia tidak tampak tertarik untuk menceritakan detail kisahnya pada polisi. Aku secara tak langsung memberikan bantuan keuangan karena dia telah menahan diri untuk tidak menceritakan semuanya. Aku mengatur agar Nara dan istrinya membeli properti tak berguna miliknya, aku membeli perusahaan majalah darinya dengan harga lebih tinggi dari yang seharusnya, dan aku memastikan dia tidak pernah memiliki masalah dalam penjualan artikelnya. Ini menguntungkanku. Jadi sebagai hadiah terakhir, aku memberikan uang warisan padanya."
Sasuke geram, "Kau memperkosa seorang gadis remaja, membuatnya hamil, dan memerasnya untuk tidak memberitahu siapapun!"
"Tidak juga," Fugaku mengangkat bahu. "Pemerasan berarti aku mengancam atau menyakitinya jika dia menceritakan apa yang terjadi padanya. Tapi yang kulakukan adalah sebaliknya. Aku hanya menghargai tindakan diamnya."
Sasuke menggelengkan kepalanya. "Kau benar-benar bajingan, kau tahu itu? Memberinya hadiah karena dia diam? Kau brengsek!"
Fugaku memutar matanya. "Kau bertindak seolah-olah bertanggung jawab atas mereka."
"Kau tahu bocah itu adalah putramu! Tapi kau memperlakukan mereka seolah-olah mereka hanya boneka!" Sasuke berteriak.
"Sasuke, tolong." Fugaku memasang wajah jijik. "Kau terdengar seperti wanita histeris. Sudahlah, lagipula aku sudah memberinya hadiah warisan. Ini sama-sama menguntungkan, bukan? Aku tak perlu khawatir tentang reputasiku, dan dia tak perlu mendapat malu karena hamil diluar nikah, dan juga bisa mendapatkan apapun dengan uang warisan itu."
Sasuke bangun terengah-engah, ia melihat sekelilingnya dan menyadari bahwa ia masih berada di dalam kamarnya. Mimpi itu sangat nyata! Sial! Ayahnya benar-benar brengsek.
***
To be continued.
Saya click utk chapter 10 tapi yg ada ceritanya dr chapter 6..apa mungkin sy tersalah click ya..thank you..cerita yang bagus 😘
BalasHapusTerima kasih utk ceritanya 😍..sy cuma konfius utk chapter 10..click link chapter 10 tapi yg keluarnya chapter 6..apa mungkin sy salah link ya
BalasHapusMaaf ya, itu kesalahan saya, tapi sudah saya edit linknya, thank you sudah memberitahu :)
Hapus