expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

The New Uchiha #7



"Kaasan, bisakah kau pulang sebentar besok?" tanya Sasuke di telepon.
"Tidak," Mikoto menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mau mengasuh anak ayahmu."
Sasuke mendengus. "Bukan itu. Hinata akan datang dan aku ingin kau menemaninya di sini."
Ibunya memutar matanya. "Kau tidak pernah memintaku untuk menemani ketika kau menyelinapkan Karin ke kamarmu. Atau Tayuya yang terlalu tua untukmu, atau gadis-gadis lain!"
Sasuke menggerutu.
"Kenapa kau ingin aku menemani Hinata?"
"Karena dia masih bisa dibilang seorang gadis kecil." Sasuke memprotes.
"Dia sembilan belas tahun sekarang, dan jika bukan karena ayahmu baru saja meninggal, dia akan menjadi istrimu dalam waktu dua minggu lagi." Ibunya mengingatkannya. "Aku tidak berpikir orang-orang akan peduli jika kau menyelinapkan dia ke kamarmu pada titik ini. Selain itu, aku mendengar sedikit gosip spekulatif tentang siapa tepatnya yang telah kau selinapkan ke dalam kamarmu sekarang. Kau lebih baik membuat klarifikasi resmi untuk menjelaskan kehadiran Nichi. Dan jika kau benar-benar membutuhkan orang untuk menemani Hinata, mintalah salah satu asistenmu untuk melakukannya."
Lalu sambungan telepon terputus, beberapa saat sebelum Ayame masuk untuk memberitahu Sasuke bahwa Nichi sudah bangun.
Sasuke berjalan ke lantai atas dan mendapati bocah itu bermain dengan keretanya.
"Papa, apa kau sudah mengecek rumahku? Apa kau menemukan mainan lamaku?" Nichi memiringkan kepalanya dan menatap Sasuke.
Sasuke tidak tega untuk mengoreksi panggilan Nichi padanya, ia tahu bocah itu tidak akan menyukai jawaban yang akan ia berikan.
"Tidak, semuanya hilang, Nichi." Sasuke duduk di karpet di samping bocah itu.
Mata hitam Nichi melebar dan bibir bawahnya bergetar. "Semua mainanku terbakar?"
"Semuanya terbakar." Sasuke membenarkan. "Semua mainanmu, pakaianmu, perabotan rumahmu, bahkan semua sayuran yang dimasukkan ibumu ke dalam toples-toples itu."
Setetes air mata tumpah di pipi Nichi.
"Jangan menangis." Sasuke menghapusnya dengan ibu jarinya. "Kita bisa membeli yang baru. Aku akan membawamu ke toko mainan dan kau bisa membeli yang baru seperti mainan lamamu."
Nichi merangkak naik ke pangkuan Sasuke dan meletakkan kepalanya di dada lelaki itu. "Tidak ada mainan seperti yang aku punya. Mama membuatkan sendiri semuanya."
Sasuke merangkul bocah itu dan meletakkan dagunya di atas kepala Nichi. "Aku tidak terkejut. Ibumu termasuk murid yang sangat kreatif dulu."
Nichi menatap Sasuke.
Sasuke mengusap puncak kepala bocah itu. "Apa kau masih ingin pergi ke toko mainan?" tawarnya. "Kau tahu, kau bisa menemukan sesuatu yang lain untuk dimainkan sampai ibumu bisa membuatkanmu beberapa mainan baru, bagaimana?"
"Oke." Nichi mengangguk.
Sasuke membantu bocah itu mandi dan mengenakan pakaian bersih. Ia membiarkan Nichi memakan beberapa permen untuk menghiburnya, dan kemudian membersihkan mulut dan tangan bocah itu.
***
Mereka kembali ke toko mainan yang pernah mereka kunjungi. Tidak perlu ke bagian kereta, karena Nichi sekarang telah memiliki segala mainan yang ada di bagian sana.
Nichi berjalan menuju sepeda kecil mainan.
"Tidak." Sasuke membawa bocah itu ke bagian lain. "Aku harus bicara dengan ibumu lagi tentang itu, ingat?" Sasuke melihat-lihat permainan lainnya. "Bagaimana dengan kartu domino? Kau pernah bermain kartu domino?"
Nichi menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu kita akan membelinya. Kau harus mencocokkan titik-titiknya, mengerti? Permainan ini akan mengajarkanmu untuk menghitung. Ibumu tidak akan menolaknya."
"Aku bisa menghitung." Nichi bersikeras. "Satu. Dua. Tiga. Empat."
"Hebat." ucap Sasuke tersenyum kecil.
"Lima. Enam. Tujuh. Delapan." Nichi melanjutkan.
"Ayo, kita lihat boneka-boneka hewan itu." Sasuke menggiring bocah itu.
"Sembilan. Sepuluh. Sebelas. Dua belas." Nichi terus menghitung.
"Itu sangat bagus." puji Sasuke. "Kita nanti akan lihat seberapa jauh kau bisa menghitung. Tapi sekarang, kita memilih mainan dulu."
Nichi mengambil satu set boneka hewan kayu berukir, mengintip dari atas kotak transparan. "Papa, kenapa tidak ada rusa berwarna pink di sini?"
"Karena itu bukan buatan ibumu." Sasuke tertawa sendiri saat membayangkan bagaimana boneka rusa berwarna merah muda yang dibuat Sakura untuk Nichi.
"Bisakah aku mendapatkan ini?" Nichi mengangkat kotak transparan berisi boneka-boneka kecil itu.
"Bahkan tanpa rusa berwarna pink?" tanya Sasuke.
"Disini ada jerapah dan harimau. Itu bagus juga." Nichi mengangguk dengan serius.
Nichi menyerahkannya ke Sasuke, lalu berjalan ke boneka hewan lain. Ia dengan hati-hati melihat setiap lusinan bentuk di sana sebelum kembali ke Sasuke.
"Tidak ada rusa berwarna pink." gumam Nichi. "Aku punya. Mama yang membuatnya. Warnanya sama seperti rambut Mama."
Sasuke mengangguk. "Kau bisa meminta Mama membuatnya lagi kapan-kapan."
Nichi kembali melihat-lihat dan memilih sebuah boneka naga. "Aku mau yang ini."
Sasuke menunjuk ke boneka lain. "Apa kau ingin rusa itu juga, meskipun bukan berwarna pink?"
Nichi menggelengkan kepalanya. "Aku tidak suka yang itu. Aku suka buatan Mama. Tapi apa itu muat masuk ke dalam truk?"
"Apa?" Sasuke mengangkat alis.
"Aku punya truk yang bisa membawa bonekaku berkeliling." Nichi menatap Sasuke penuh harap.
"Kurasa disini mereka tidak menjual mainan truk seperti yang kau inginkan." Sasuke melihat ke bagian rak mainan lain. "Bagaimana jika bonekamu menaiki kereta Thomas yang ada dirumah saja?"
Sasuke menggandeng tangan bocah itu dan membawanya ke bagian yang lain.
"Papa, bisakah besok kita pergi membeli truk baru?" tanya Nichi, cukup keras.
Setengah pengunjung toko berhenti dan berbalik untuk memandang mereka.
"Ayo, kita lihat mainan yang lain sekarang." Sasuke segera menggiring bocah itu ke sisi rak yang lain, jauh dari pandangan sebagian besar pengunjung toko. "Tolong berhenti memanggilku Papa." ucapnya pada Nichi begitu mereka tidak lagi menjadi pusat perhatian.
"Tapi aku menyukaimu ketika kau adalah Papaku!" Nichi memprotes, berbicara cukup keras lagi.
Sasuke mengerang. "Ayo cari mainan yang kau inginkan dan kita segera pergi dari sini."
Nichi mengangguk patuh.
Setelah menghabiskan sekitar satu jam memilih mainan, Sasuke menggandeng tangan Nichi dan berjalan ke kasir untuk membayar belanjaannya, "Baiklah kalau begitu, ayo ke kasir dan kemudian kembali ke rumah."
Tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang gadis hamil menatap mereka dengan tatapan mematikan.
Seorang Uzumaki Karin, yang kini telah berganti marga mengikuti suaminya. Entah siapa, Sasuke lupa namanya.
"Karin." Sasuke mengangguk pada gadis itu.
Karin tiba-tiba menampar wajah Sasuke.
"Papa, apa ini tamu wanita yang datang untuk melompat-lompat di tempat tidur? Dia benar-benar gemuk." Nichi menarik-narik tangan Sasuke.
Karin menggeram. "Siapa setan kecil ini?"
Sasuke menghela napas. "Bukan seperti yang kau pikirkan."
"Bohong!" Karin memekik.
"Jangan bicarakan ini di sini sekarang." Sasuke menggelengkan kepalanya, berusaha keras mempertahankan ketenangannya.
"Lalu apa? Kau ingin aku mengikutimu pulang? Mungkin ke kamarmu lagi?" ucap Karin sinis.
"Karin, diamlah..." mohon Sasuke seraya melirik sekitarnya.
"Oh, sekarang kau memohon padaku? Aku pernah memohon padamu dan kau bilang tidak?" Nada suara Karin meninggi di setiap kata-katanya.
Sasuke dengan cepat menarik Karin ke sudut yang tak terlalu menarik perhatian.
"Karin, kau tahu hubungan kita tidak akan berhasil. Itulah sebabnya aku selalu mengatakan tidak padamu. Yang terbaik bagi kita adalah dengan menikahi orang-orang yang dijodohkan oleh orang tua kita." ucap Sasuke dengan pelan.
"Terbaik untukmu, mungkin!" Karin berteriak.
Sasuke melihat sekitarnya lagi, tapi sepertinya tidak ada yang menonton, selain Nichi.
"Kau bertunangan dengan Hyuga Hinata. Kau membiarkan orang tuaku menikahkanku dengan laki-laki gemuk itu!" Karin melanjutkan.
"Tapi bukankah suamimu adalah keluarga yang baik dan kaya raya? Suamimu juga terlihat rendah hati..." Sasuke mencoba berdamai dengan Karin.
"Ya, dia sangat rendah hati serendah-rendahnya hingga berjalan pun tubuhnya tidak bisa tegak karena kegemukannya!" Karin melotot. "Aku punya kekhawatiran serius bahwa anakku akan memilih berguling daripada berjalan!"
Sasuke tidak bisa menghentikan tawanya, ia membayangkan keturunan Karin akan bertubuh gemuk seperti ayahnya dan berguling.
Karin memukul lengan Sasuke dengan keras. "Itu tidak lucu!" Ia tampak marah. "Aku sudah memohon padamu untuk membuatku hamil agar kita bisa menikah daripada dijodohkan dengan orang lain. Tapi kau terus menolak. Dan sekarang kau dengan bangganya membawa setan kecil ini jalan-jalan, rupanya kau telah menghamili seseorang selagi masih bersamaku!"
"Dia bukan anakku!" Sasuke bersikeras.
"Dia baru saja memanggilmu Papa!" Karin membantah. "Dan dia mirip sepertimu!"
"Karin, dengar..." Sasuke menghela napas. Ingin rasanya ia mengacak rambutnya tapi tangannya sedang menggandeng Nichi, sedangkan tangan yang satu lagi menenteng belanjaan mereka. "Ini... percaya saja padaku, aku bukan ayahnya."
Karin berlutut di depan Nichi. "Hai, sayang." Ia tersenyum manis. "Kau sangat tampan. Siapa nama ibumu?"
Nichi melingkarkan kedua lengannya di kaki Sasuke, menjauh dari gadis hamil di depannya. "Sakura." Ia berbisik.
Karin berjuang berdiri, perutnya yang membesar membuatnya susah bergerak bebas. Sasuke baru saja akan tertawa melihatnya jika saja Karin tidak memukulnya lagi.
"Dasar brengsek." Karin membentak Sasuke. "Hanabi memberitahuku..."
"Ooooooh, kau tidak seharusnya mengatakan kata itu!" potong Nichi saat mendengar Karin mengumpat, matanya membulat. "Saat Sai-jisan atau Shikamaru-jisan berkata..."
"Nichi, diam dulu." Sasuke mengerang. "Karin..."
"Kami sangat khawatir tentangmu!" ucap Karin. "Kau memberitahuku bahwa kau harus mengikuti studi di rumah dan tidak bersekolah karena kakakmu membutuhkanmu untuk membantu bisnisnya, tapi itu hanya alibi agar kau bisa bersenang-senang dengan Haruno Sakura lebih lama, eh? Apa kau yang menyarankan Haruno Kizashi untuk menjadikan anaknya sebagai pelunas hutang?"
"Sudah kubilang aku bukan ayahnya!" Sasuke mendesis.
"Apa Hinata tahu tentang ini?" Karin melotot. "Apa kau masih bercinta dengan Si rambut pink itu? Bagaimana caranya dia membuatmu mau mengajak anaknya berbelanja? Aku tahu kau benci berbelanja. Atau harus kukatakan, berapa banyak blowjob yang harus..."
"Diamlah, Karin!" Sasuke membentak gadis itu, melirik ke arah Nichi. "Jika kau ingin berbicara seperti orang dewasa yang beradab, datanglah ke rumahku. Kalau tidak, nikmati saja sisa harimu yang menyenangkan. Nichi dan aku harus pulang."
Sasuke tersentak secara mental ketika ia menyadari bahwa ia telah mengucapkan kata 'pulang.'
"Jadi, Si rambut pink dan bocah ini tinggal bersamamu?" Mata Karin terbelalak. "Aku jamin Hinata yang manis tidak tahu soal ini. Kenapa kau tidak membawa Hanabi saja dan punya dua wanita? Hanabi terlihat tertarik padamu, dia mungkin akan menerima tawaran itu dalam sekejap. Sekarang orang tuanya sedang mengatur perjodohan antara dia dan Shimura Danzo."
"Apa?" Giliran Sasuke yang terkejut. "Bukankah pria tua itu sudah sekitar delapan puluh tahun?"
Karin mengangkat bahu. "Laki-laki berdarah bangsawan yang bisa dinikahi di rentang usia kita hanya sedikit, jadi mau tak mau dia dinikahkan dengan laki-laki yang sedikit melewati usia yang biasa ditentukan dalam kontrak pernikahan."
"Itu keterlaluan." Sasuke menggelengkan kepalanya.
Karin mendengus. "Kita semua tidak bisa selalu mendapatkan tangkapan yang bagus di pasar pernikahan. Hanya kau yang beruntung. Kau dan Hinata, dia cantik, pintar, berbakat, manis, sempurna."
"Berbakat? Pintar?" Sasuke mengerutkan kening.
Karin melipat tangannya dan memandang Sasuke seolah lelaki itu bodoh. "Dia bisa memainkan piano dan biola dan bernyanyi. Apa kau tidak tahu itu?" Sasuke menggelengkan kepalanya. "Dan dia selalu berada di peringkat pertama di angkatannya. Dia tidak mungkin bodoh."
"Apa itu blowjob?" tanya Nichi menyela.
"Itu yang dilakukan ibumu pada ayahmu yang membuat ayahmu senang." Karin menyeringai.
Sasuke mulai membuka mulutnya untuk memprotes tapi terinterupsi ketika Karin menarik napas dengan kuat dan menekankan tangannya ke sisi perutnya yang bengkak.
"Apa kau baik-baik saja?" Wajah kecil Nichi mengerut karena khawatir. "Apa perutmu sakit?"
"Aku punya bayi di perutku." ucap Karin menjawab pertanyaan Nichi. "Kadang dia menendangku dan itu menyakitkan."
"Kau harus pergi ke rumah sakit dan mengeluarkannya." Nichi mengangguk. "Mama ada di rumah sakit. Kupikir dia akan punya bayi lagi, tapi Papa bilang tidak."
Mata Karin mulai melebar lagi. Sasuke segera menarik Nichi ke kasir untuk membayar barang-barang mereka sebelum Karin bisa mengatakan sepatah katapun.
Setelah selesai membayar, Sasuke menarik Nichi keluar toko dan segera masuk ke dalam mobil menghindari dua umpatan dari Karin.
***
Sasuke meminta Ayame untuk membawa mainan baru Nichi ke atas dan meminta Aiko membawakan segelas anggur. Ia kemudian duduk di sofa dan membenamkan kepalanya di tangannya.
Nichi memanjat ke sisi sofa dan menyandar di punggung Sasuke, mencoba melingkarkan lengan kecilnya di leher Sasuke dan menekankan kepalanya ke bahu Sasuke.
"Papa, aku ikut sedih bibi yang tadi jahat padamu."
"Aku bukan Papamu." Sasuke mengulang kalimat itu yang terasa sudah seperti kesekian kalinya.
"Tapi kau Papa yang baik. Kau menjagaku. Dan kau membawaku berbelanja meskipun bibi tadi mengatakan kau benci belanja. Dan apa itu blowjob?"
Aiko muncul membawa anggur pesanan Sasuke tepat pada saat itu, jadi ia menyuruh Aiko membawanya ke dapur kembali sebelum menarik Nichi ke pangkuannya dan menjawab.
"Blowjob adalah sesuatu yang sangat buruk untuk dikatakan, jadi aku tidak ingin mendengarmu mengatakannya lagi. Kau belum cukup umur untuk memahaminya."
Nichi mengangguk dengan serius.
"Aku tidak keberatan berbelanja denganmu. Aku hanya tak pernah suka pergi berbelanja dengan bibi yang tadi atau ibuku."
"Karena mereka tidak menyenangkan." lanjut Nichi mengangguk. "Aku lapar."
"Aiko, makan malam akan segera siap, bukan?" tanya Sasuke.
"Tentu, Uchiha-san." Aiko mengangguk ramah.
"Kalau begitu, kita harus mencuci tangan." Sasuke menurunkan Nichi ke lantai dan berdiri.
"Bisakah kita makan keripik ikan?" tanya bocah itu.
"Tidak, karena jika kau memakan keripik ikan terus-menerus, kau akan mulai tumbuh insang." ucap Sasuke memberitahu Nichi.
Mereka akhirnya memakan daging panggang, yang menurut Nichi juga ia sukai. Setelah makan, Sasuke membawa Nichi ke lantai atas untuk mandi. Ia memakaikan Nichi piyama bergambar anak anjing, dan membacakan sebuah cerita untuknya.
Nichi meringkuk ke sisi Sasuke dan berbisik, "Aku merindukan Mama."
"Dia mungkin bisa pulang besok." Sasuke meyakinkan bocah itu.
"Aku selalu mengucapkan selamat malam padanya. Dan dia menciumku. Di sini." Nichi menunjuk pipinya.
"Apa kau ingin aku menciummu di sana juga," Sasuke menawarkan.
Mata bocah itu berkaca-kaca. "Tidak, aku ingin Mama menciumku."
Sasuke menghela napas. "Apa kita perlu pergi ke rumah sakit lagi agar kau bisa mengucapkan selamat malam?"
Nichi mengangguk keras.
"Baiklah, ayo." Sasuke berdiri dan mengulurkan tangannya. Ia menggendong Nichi ke lantai bawah, memasuki mobilnya dan melesat ke rumah sakit.
Seorang wanita yang berbeda di meja resepsionis menyambut mereka setibanya di rumah sakit, yang ini jauh lebih tua daripada wanita sebelumnya.
"Anak ini ingin memberikan ciuman selamat malam untuk ibunya." Sasuke menjelaskan, siap untuk berargumen lain.
Wanita di meja resepsionis itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arah lift. "Silahkan kalau begitu."
Sasuke membawa Nichi menaiki lift, melangkah ke kamar Sakura, mengetuk pintu dengan pelan sebelum mendorongnya terbuka.
"Mama!" Nichi memekik, tertawa.
Sakura menoleh ke arah pintu, dan Sasuke terkejut melihat gadis itu cepat-cepat menghapus air matanya. "Nichi-kun! Sayang!"
Sasuke mendudukan Nichi di tempat tidur, di mana bocah itu langsung melemparkan dirinya ke dada ibunya. Sakura memeluknya erat.
"Aku merindukanmu, Mama. Aku ingin kau pulang bersamaku dan Papa." Nichi bergumam, wajahnya terkubur di bahu dan rambut Sakura.
"Aku juga merindukanmu, Sayang. Lebih dari yang kau tahu." Sakura berbisik, seraya melirik Sasuke.
Nichi menarik diri untuk melihat ibunya. "Mama, apa itu blowjob dan kenapa itu membuat Papa senang?"
Kepala Sakura terangkat dengan tatapan tajam ke arah Sasuke. Bahu Sasuke merosot dan tangannya menutupi wajahnya.
"Nichi, sudah kubilang itu kata yang buruk untuk diucapkan, dan jangan katakan itu lagi." Sasuke mengerang.
"Tapi Mama selalu bilang aku bisa menanyakan apa saja padanya." Nichi memprotes.
Sakura terus menatap Sasuke tajam, lelaki itu menghela napas.
"Kami bertemu Karin di toko mainan, dan dia mengatakan beberapa hal yang seharusnya tidak dia katakan. Kau tahu dia selalu seperti itu. Dia bertanya berapa banyak biaya bagiku untuk membawa Nichi berbelanja. Aku tidak menjawabnya, dan membawa Nichi pergi secepat mungkin, tapi Nichi masih mendengar beberapa hal yang seharusnya tidak dia dengar." jelas Sasuke.
Sakura mengangguk. "Nichi-kun, itu hal yang sangat buruk untuk dikatakan, dan aku tidak ingin mendengarmu mengatakannya lagi. Itu adalah sesuatu yang orang dewasa lakukan ketika mereka bersama. Aku akan berbicara denganmu lebih banyak tentang itu ketika kau sudah lebih dewasa. Ini bukan sesuatu yang perlu kau ketahui sekarang."
"Seperti ketika Sai-jisan menghisap rokok yang terbuat dari gulma dan Miyumi-baasan berteriak padanya dan memberitahunya untuk tidak membohongiku dan Inojin untuk hal-hal seperti itu?" Nichi memiringkan kepalanya.
"Ya, sangat mirip seperti itu." Sakura setuju.
"Oke, Mama." Nichi menguap. "Mister Sasuke membawaku ke toko mainan siang tadi. Kami membeli banyak boneka binatang dan naga ini," Ia menunjukkan pada Sakura boneka naga di dekapannya. "Dan permainan menghitung titik-titik. Aku bisa menghitung dengan benar."
"Aku tahu kau bisa." Sakura berbaring di tempat tidur, Nichi meringkuk di sampingnya.
"Kami makan daging panggang untuk makan malam. Aku suka itu." Mata Nichi tertutup rapat, tapi tiba-tiba ia membukanya kembali. "Di toko mainan ada banyak binatang, tapi mereka tidak punya rusa berwarna pink. Apa kau akan membuatkanku rusa baru, Mama?" Ia menguap lagi.
Sakura mencium pipi anaknya, dan kemudian mulai membelai rambutnya. "Tentu saja." Ia berjanji.
"Aku ingin kita tinggal bersama Papa. Aku suka tinggal di sana, tapi aku ingin kau juga di sana." Nichi merengek.
"Sasuke dan aku harus membicarakan banyak hal." Sakura berkata dengan lembut.
"Bicara tentang sepedaku?" Nichi memohon.
"Tidurlah, Sayang, kita akan bicara besok." Sakura berbisik.
Mata Nichi tertutup, dan napasnya mulai teratur.
"Maaf tentang apa yang terjadi dengan Karin hari ini." Sasuke memberitahu Sakura pelan.
"Kau tidak bisa menahan apa yang orang lain akan katakan." Sakura mengangkat bahu. "Dan ayahku selalu berkata jangan khawatirkan tentang apa yang dipikirkan orang lain, karena kebanyakan dari mereka tidak terlalu sering berpikir."
"Kenapa kau menangis?" tanya Sasuke.
Sakura tidak menatap mata Sasuke. "Aku merindukan Nichi. Terima kasih telah membawanya untuk menemuiku."
Sasuke melipat tangannya. "Kau pasti merindukan banyak orang ketika kau berada di apartemen ayahku dan kau tidak pernah menangis."
"Semua berbeda ketika kau memiliki anak. Suatu hari kau akan mengerti." Sakura menjawab dengan mudah tapi masih tidak menatap mata Sasuke. "Apa kau mengecek rumahku?"
"Aku melakukannya." Sasuke mengangguk.
"Apa ada yang bisa diselamatkan?" tanya Sakura dengan lembut.
"Tidak. Maaf." ucap Sasuke. "Semuanya hilang. Bahkan semua sayuran yang kau masukkan ke dalam toples."
Sakura menghirup napas dalam-dalam. "Aku mungkin akan keluar dari sini besok. Apa kau bersedia membiarkan Nichi tinggal bersamamu beberapa hari lagi? Aku benci menanyakan hal ini, tapi kami tidak punya tempat untuk pulang, dan aku..."
"Tentu saja dia akan tinggal bersamaku." Sasuke menyela. "Dan kau juga."
"Sasuke, aku tidak bisa..." Sakura menggelengkan kepalanya.
"Kau ibunya. Dia merindukanmu setiap hari, kau seharusnya bersamanya," ucap Sasuke. "Tidak ada argumen."
"Aku tidak bisa berterima kasih pada rumahku yang terbakar, tapi jika tidak, Nichi tidak akan menghabiskan waktu denganmu." Sakura akhirnya menatap Sasuke. "Dia tidak pernah dekat dengan orang lain seperti dia dekat denganmu dalam waktu yang singkat. Dan kau sepertinya sangat peduli padanya. Kau benar-benar membuatku terkejut."
"Aku juga benar-benar terkejut." jawab Sasuke dengan jujur. Ia menatap Nichi, yang tertidur lelap. "Aku akan membawanya pulang sekarang dan menidurkannya. Kami akan kembali besok untuk menjemputmu pulang."
"Ini hanya sementara." Sakura berkeras.
"Sampai kita menemukan sesuatu yang cocok untukmu dan Nichi." Sasuke setuju.
***
To be continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)