expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Nine Years #5



Ketika Sakura berhenti di depan bangunan yang biasanya ia sebut rumah, ia menghela napas, dan melangkah keluar dari mobil dan berjalan menuju teras depan rumahnya. Ia ragu-ragu bahkan untuk mengeluarkan kuncinya, tapi ini masih rumahnya juga, bukan? Akhirnya ia membuka kunci pintu dan menendangnya terbuka.
Di dalam rumah gelap dan itu sudah tidak mengejutkannya. Mungkin Sasori berada di atas, di kamar, meniduri wanita baru lagi.
Ia menaiki tangga dan langsung menuju kamar tidur. Tidak ada apapun di rumah ini yang membuatnya merasakan sesuatu lagi. Yang ia ingat hanyalah bahwa ia telah dikhianati.
Ketika ia membuka pintu dengan tendangan kakinya, di sana ia mendapati Sasori berbaring di tempat tidur menonton TV.
"Oh, terima kasih Tuhan!" Sasori melompat dari tempat tidur, "Aku sangat khawatir tentangmu!"
Sakura memutar matanya dan tersenyum meremehkan. "Kenapa repot-repot?" jawabnya dengan sarkastis, "Maksudku, kau punya pelacur itu untuk menemanimu, kenapa kau harus menghabiskan waktumu untuk mengkhawatirkanku?"
Sakura berjalan ke lemari dan mengeluarkan sebuah koper kemudian mulai mengepak beberapa barangnya, membingungkan Sasori. Mereka tidak membicarakan apa yang terjadi. Wanita itu hanya berkemas.
"Sakura, aku benar-benar minta maaf." ucap Sasori.
"Maaf?" Sakura tertawa kecil, "Maaf? Ha-ha," Ia menggelengkan kepalanya, "Apa itu berarti sesuatu bagiku?"
"Aku tidak ingin bercerai, Sakura," bisik Sasori, "Aku ingin kesempatan, semua orang pantas mendapat kesempatan kedua dan aku menuntut milikku."
Sakura dengan marah melemparkan koper ke lantai. "Orang-orang mendapatkan kesempatan kedua ketika mereka dapat memperbaiki sesuatu yang telah mereka lakukan. Tapi kau tidak dapat memperbaiki fakta bahwa aku pulang dan melihatmu berhubungan seks dengan wanita lain di tempat tidurku. Kau tidak akan pernah bisa memperbaikinya dan jika aku memberimu kesempatan, kau ingin tahu apa yang akan terjadi?" tanyanya, "Jika aku memberimu kesempatan, maka kau akan menyakitiku lagi dan pada akhirnya, itu tidak menyelesaikan apapun!".
"Aku tidak peduli," teriak Sasori, "Aku mencintaimu!"
"Mencintaiku, Sasori?" Sakura mencibir, "Kau mencintaiku? Aku yakin kau juga berkata seperti itu pada selingkuhanmu. Aku tidak percaya padamu."
"Aku tahu aku benar-benar mengacaukan semuanya, tapi aku bisa membuktikannya padamu jika kau mau memberiku kesempatan." Suara Sasori yang terdengar memohon hanya membuat Sakura semakin marah. Dan alkohol yang tadi ia minum benar-benar memberikan pengaruh tidak baik ketika ia marah.
"Kau hanya harus percaya-"
Sebelum Sasori menyelesaikan kalimatnya, ledakan marah dari Sakura membuat pria itu kembalu menutup mulut.
"Kau telah kehilangan hak untuk meminta kepercayaanku!" teriak Sakura, "Akibat aku memercayaimu aku terluka sekarang. Akibat aku memercayaimu aku akan menceraikanmu. Kau membuatku sakit!" ucap Sakura dengan jijik, "Aku mempercayaimu dan kau telah melukaiku lebih dalam dari yang siapapun lakukan seumur hidupku." desis Sakura.
"Aku mencintaimu," Sasori mengulangi, "Aku mencintaimu dan aku bersungguh-sungguh."
Pada saat itu, air mata mengalir di wajah Sakura. Bukan hanya tangisan biasa. Itu tangisan marah dan tangisan terluka. Sasori hanya membuatnya kesal dengan terus mengatakan bahwa dia mencintainya. Kau tidak bisa menyebutnya cinta ketika kau melakukan perselingkuhan dan yang lebih menyebalkannya lagi ia tidak benar-benar tahu berapa kali pria itu selingkuh selama dua tahun mereka menikah. Tidak mungkin ini pertama kalinya jika Sasori punya nyali untuk melakukannya di kamar ini. Ruangan tempat mereka tidur.
"Kau terus mengatakan itu seolah itu berarti sesuatu," ucap Sakura pahit, "Aku. Tidak. Percaya. Padamu!"
Sasori menarik Sakura ke dadanya seolah wanita itu membutuhkan kenyamanannya. Sakura mendorong Sasori menjauh darinya sekuat tenaga membuat pria itu terhuyung ke lemari dan mungkin telah merobohkan koleksi sepatu Sakura di dalamnya.
Sakura kemudian melanjutkan berkemas secepat mungkin karena ia tahu bahwa jika ia tinggal di sini lebih lama lagi, ia akan kehilangan kesabarannya, dan jujur, ia hanya menginginkan Sasuke. Ia ingin memeluk Sasuke dan merasakan lengan berototnya di sekelilingnya. Ia menginginkan kenyamanan Sasuke. Bukan Sasori!
Ia bahkan tak mau repot-repot melipat pakaiannya. Ia hanya memasukkan semuanya ke dalam koper sekaligus lalu mengambil tas ransel besar dan mengepak sepatunya. Ia mengosongkan laci dan kemudian pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Saat ia mencuci wajahnya, ia merasakan sebuah tangan di pinggang dan pinggulnya menempel di punggung seseorang.
"Apa yang dia pikir dia lakukan?" batin Sakura.
Sakura mengangkat kepalanya dan Sasori menekan ciuman di lehernya. Itu membuat Sakura jijik lebih dari apapun di dunia ini. Itu membuatnya jijik dengan cara yang tidak mungkin bisa kau bayangkan.
"Jangan menyentuhku, Sasori."
Sasori tidak mendengarkan, tangannya mulai berkeliaran di dada Sakura dan mulai membuka kancing baju wanita itu. "Apa maksudmu jangan menyentuhmu, Sayang?"
Sakura memandang Sasori melalui cermin di depannya dan darahnya mulai mendidih. Pria itu mencoba untuk mengajaknya berhubungan seks setelah melakukan pengkhianatan hampir dua puluh empat jam yang lalu.
Sesuatu di dalam diri Sakura baru saja meledak dan ia meraih hair brush tepat di sebelahnya di wastafel dan membenturkannya ke cermin di depannya. Sasori terkejut dan semakin terkejut ketika melihat Sakura mengambil pecahan kaca dan mengancamnya.
"Jangan berani menyentuhku lagi, Sasori." ancam Sakura, "Jangan berani-beraninya kau!"
Sasori mengangkat tangannya ke atas tanda menyerah. "Baiklah," bisiknya pelan, "Letakkan kaca itu."
Sepanjang hari ini Sakura lewati tanpa menangis, tanpa menunjukkan emosi terhadap apa yang terjadi hanya karena ia bersama Sasuke dan pria itu selalu memunculkan bagian terbaik darinya. Ia baru saja terluka kemarin ketika ia menemukan Sasori di tempat tidur dengan wanita lain. Ia mengumpati pria itu, tapi ia tidak bereaksi keras seperti wanita yang diselingkuhi pada umumnya.
Dan sekarang, ini benar-benar menyakitinya dan membuatnya lebih frustasi, Sasori mencoba untuk membuat semuanya menjadi lebih baik hanya dengan berhubungan seks seolah mereka hanya terlibat argumen sederhana dan kemudian semua selesai.
Hell no!
"Menjauh."
Nada suara Sakura serius dan kaca yang dipegangnya masih teracung ke arah Sasori sampai pria itu berjalan keluar dari kamar mandi.
"Terus berjalan dan jangan menatapku."
Sasori melakukan persis seperti apa yang Sakura perintahkan. Ia tidak memandang Sakura, ia tidak menyentuh wanita itu. Ia terus berjalan keluar dari kamar mandi.
Tak lama kemudian, Sakura keluar dari kamar mandi, ia membungkuk di lantai dan mengambil kemeja dari koper untuk berganti pakaian. Lalu ia menutup koper dan tas ranselnya lalu mengangkatnya dari lantai.
"Kau menjijikan!" umpat Sakura tanpa rasa takut. "Kau brengsek dan satu-satunya yang lebih kecil dari penismu adalah harga dirimu sendiri. Aku akan meninggalkanmu." Ia menatap langsung ke mata Sasori dan melepas cincin pernikahan mereka di jarinya, "Dua setengah tahun aku bersamamu, percayalah padaku saat kubilang bahwa itu adalah waktu yang paling rentan dalam hidupku."
Ia melemparkan cincin itu ke arah Sasori dan melangkah pergi. Ia pergi seperti apa yang ia lakukan tadi malam, tapi sekarang, ia pergi tanpa air mata. Ia pergi dengan bangga, bermartabat, dan rasa marah terkumpul dalam setiap tetes darah di tubuhnya.
Dan sekarang ia siap untuk balas menyakiti Sasori dengan cara yang bahkan tak terbayangkan.
***
Hari Senin pagi tampak cerah dan Sakura sedang bersiap untuk bekerja, Sasuke berada di dapur sedang menikmati semangkuk salad buah dan membaca koran.
"Selamat pagi." sapa Sakura ceria; kau tidak akan menebak bahwa ia adalah seseorang yang banyak masalah akhir-akhir ini. Tapi bercerai sebenarnya membuatnya bahagia dan saat itulah ia menyadari betapa rapuhnya dirinya.
"Hn, kau terlihat seksi untuk bekerja hari ini, pengacara Haruno." goda Sasuke ketika Sakura berjalan ke dapur untuk membuat kopi segar.
"Ya Tuhan, kau genit sekali!" Sakura memutar matanya.
"Apa?" Sasuke cemberut, "Kau seksi. Tidak bolehkan seorang pria berkata jujur?"
Sakura memutar matanya ke arah Sasuke lagi dan membungkuk untuk mengecup pipi pria itu. "Jam berapa kau pulang malam ini?" tanyanya ketika ia sibuk membelai rambut pria itu.
Karena Sasuke telah baik dan cukup murah hati untuk membiarkannya tinggal di sini, Sakura berpikir paling tidak ia akan memasak makanan lezat untuk pria itu setelah seharian bekerja. Lagipula, ia tidak tahu kapan terakhir kali Sasuke makan masakan rumahan dan ditemani untuk makan malam.
"Hm," Sasuke bergumam, "Sekitar pukul tujuh... tujuh tiga puluh? Kenapa kau bertanya?"
"Tidak ada," Sakura melempar cengiran pada Sasuke, "Sampai jumpa nanti malam."
"Semoga harimu menyenangkan." Sasuke berteriak pada Sakura yang melangkah keluar rumah.
***
Sakura sampai di kantor sekitar pukul delapan. Ia tahu ia memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan dan ia siap untuk itu. Ia tak perlu khawatir tentang rengekan Sasori yang masih saja tak berhenti. 'Apa kau akan pulang untuk makan malam? Jam berapa kau selesai bekerja?'
Semuanya terasa nyaman... terasa bebas.
"Selamat pagi!" sapa Sakura dengan gembira menyambut asistennya.
Tenten balas tersenyum, "Hm, ada seseorang yang sepertinya sedang dalam mood yang bagus!"
Sakura mengangguk ketika ia menjatuhkan diri di kursinya dan membuka salah satu laci kosongnya dan memasukkan tasnya ke dalamnya. "Tentu saja!" jawabnya.
Sakura login di komputernya dan membuka file yang telah ia kerjakan pada hari Jumat lalu.
"Ada yang baru?" tanya Sakura pada asistennya.
Tenten mengangguk ketika ia mengetik sesuatu di tabletnya untuk melihat jadwal Sakura selama seminggu.
"Sebenarnya ya," jawab Tenten, "Salah satu kolegamu dari kantor pusat kota meminta cuti darurat dan dia memberikan kliennya padamu. Dia meninggalkan filenya dan dia mengatakan bahwa kau akan bisa mendapatkan pengarahan tentang kasus itu dari isi file yang dia berikan."
Biasanya Sakura akan mengeluh jika memiliki klien baru, tapi tidak hari ini. "Di mana filenya?" tanya Sakura.
Tenten mengetik beberapa hal di tabletnya. Ia telah membuat salinan file itu, dengan cara ini segalanya menjadi lebih teratur dan ia tak perlu khawatir tentang Sakura yang salah meletakkan folder di suatu tempat.
"Aku mengirimnya ke emailmu sekarang."
Sakura menyesap kopinya dan bergumam, "Terima kasih."
Sakura melihat file itu dan ia bingung. Yang ia lihat adalah file perceraian dan itu membuatnya menggelengkan kepalanya. Dan baru sekarang ia memikirkannya, ia tahu ia harus mulai mengajukan perceraiannya sendiri.
"Tenten?" panggil Sakura.
Tenten menjulurkan kepalanya ke dalam kantor Sakura dan bertepuk tangan untuk mendapatkan perhatian wanita itu. "Ya?"
"Apa dia mengatakan sesuatu tentang klien yang akan datang untuk meeting?"
"Biar kuperiksa lagi," ucap Tenten, "Aku tidak melampirkan jadwal meeting dalam file itu."
Beberapa menit kemudian, Tenten kembali dan meletakkan jadwal di depan Sakura.
"Jadi, aku ada meeting?"
Tenten mengangguk, "Jam lima."
Sakura menghela nafas, "Baiklah." Ia benar-benar berharap ini semua akan cepat berakhir untuk hari ini karena ia benar-benar ingin pulang sebelum Sasuke sampai di rumah lebih dulu.
***
Jam lima...
Sakura bersiap-siap untuk meetingnya. Ia harus membahas banyak hal karena dalam file itu tidak ada yang disebutkan tentang mengapa klien mengajukan perceraian atau apa yang mereka inginkan dari perceraian itu.
Ketukan di pintu kantornya terdengar dan ia tahu sudah saatnya bertemu kliennya.
"Silahkan masuk."
Sakura menyapa wanita itu. Dia terlihat sangat baik dan juga sangat tertekan. Hatinya sakit melihat wanita itu dan ia tahu ia harus melakukan segalanya yang mungkin bisa membantu.
"Aku Haruno Sakura..." Sakura memperkenalkan diri.
Wanita muda itu tersenyum lembut pada Sakura, "Aku Yuhi Kurenai," ucapnya, "Pengacaraku sebelumnya mengatakan bahwa kau adalah salah satu yang terbaik. Dia merekomendasikanmu padaku."
"Oh," Sakura tertawa kecil dan ia memberi isyarat pada wanita itu untuk duduk di depannya. Ia mengambil file dan meletakkannya di depannya lalu menarik kursinya lebih dekat ke meja. "Jadi, kasusmu perceraian?"
Kurenai mengangguk, "Aku sudah menikah dengan pria itu selama dua belas tahun." ucapnya.
Sakura tampak bingung. Dua belas tahun hidup dengan seseorang dan sekarang mereka akan bercerai. Hal ini hampir membuatnya skeptis tentang kalimat 'bahagia selamanya'.
"Apa yang dia lakukan?" tanya Sakura simpati.
"Berselingkuh..." jawab Kurenai.
Tentu saja...
"Melecehkanku... menuduhku tentang hal-hal yang tidak pernah kulakukan..."
Sakura memperhatikan semua itu. Ia harus mengajukan ini ketika di pengadilan. Ia dapat menggunakan semua ini untuk keuntungan kliennya agar proses berjalan lebih cepat dan memenangkan kasus.
"Aku turut bersedih." ucap Sakura bersimpati.
Kurenai mengangguk, "Berapa biaya untuk persidangan pertama?" tanyanya.
Sakura tidak tahu apakah Kurenai punya cukup uang untuk menyewa pengacara dan sebab koleganya memindahkan kasus ini padanya.
Ia mengesampingkan semua itu. Ia bisa melihat betapa putus asa dan tidak bahagianya wanita itu. Yang ia ingin lakukan hanyalah membantu.
"Mari kita bicarakan biayanya nanti." Sakura tersenyum, "Kita baru saja bertemu. Bagaimana dengan teh atau kopi? Lalu kita bisa mendiskusikan apa yang kau inginkan dari perceraian."
Kurenai mengangguk penuh terima kasih, "Itu ide luar biasa."
"Jadi, teh atau kopi?" tanya Sakura.
"Teh terdengar lebih enak."
Sakura mengangkat telepon kantor dan memutar nomor asistennya. "Tenten, bisakah kau membawakan teh untuk klienku dan secangkir kopi untukku, tolong?"
Tenten tersenyum di seberang sana, "Tentu."
"Terima kasih."
Minuman mereka datang beberapa menit kemudian dan seraya minum teh dan kopi, mereka membahas banyak hal.
"Aku sudah mencoba menceraikannya selama tiga tahun terakhir..."
"Jadi, kau menandatangani perjanjian pranikah?" tanya Sakura terkejut.
Kurenai mengangguk, "Ya." jawabnya, "Sebelum aku menikah dengan Asuma, dia selalu bilang bahwa dia akan sukses dan dia mengatakan padaku jika aku menikah dengannya, aku menikahinya karena cinta dan bukan karena uang."
Sakura menjalankan jari-jarinya ke rambutnya, "Jadi, kau tidak punya hak sepeser uang atas namamu?"
Kurenai menggelengkan kepalanya, "Tidak sepeserpun."
Ini sedikit sulit.
Sakura menghela napas penuh pengertian. Kebanyakan pengacara akan menyerah pada kasus wanita itu dan mengatakan bahwa mereka tidak dapat melakukan bisnis tanpa uang, tapi ia bukan pengacara yang seperti itu. Orang-orang melakukan pekerjaan ini karena uang dan sekali ini saja ia bertekad untuk tidak melakukannya karena itu. Ia nyaris tidak mengenal wanita ini, tapi ia hanya ingin membantu wanita malang itu dari situasi yang dia alami. Ia tidak akan menyerah.
"Ceritakan semua yang kau inginkan dari perceraian itu." Sakura memberitahu Kurenai dengan serius.
"Aku hanya ingin hak asuh penuh atas tiga anakku dan aku ingin dia terus membiayai ibuku untuk tetap menjalani perawatan di rumah sakit." ucap Kurenai, "Dan kemudian dia bebas memiliki semuanya... dia bebas memiliki semua uangnya, dia bisa memiliki rumahnya... dia bisa memiliki semuanya."
"Kau yakin?" tanya Sakura tak percaya.
Wanita malang itu tidak menginginkan apapun dari pria itu setelah dua belas tahun pelecehan... perselingkuhan... memberikan pria itu kebutuhan seks setiap kali dia menginginkannya, dan bekerja sebagai ibu dan istri.
Wanita itu tidak menginginkan apapun!
Kurenai mengangguk dengan penuh tekad. "Aku yakin." Ia mengulangi, "Dia bisa memiliki semuanya."
"Aku akan meneleponmu beberapa hari lagi untuk memberitahumu kapan kita akan pergi ke pengadilan." ucap Sakura.
Senyum yang mengembang di wajah wanita itu membuat hari Sakura lebih baik. Terkadang, membantu orang lain keluar dari situasi sulit memang cukup berpengaruh luar biasa. Tidak semuanya selalu tentang uang.
"Terima kasih banyak!" Kurenai menangis, "Apa yang kau lakukan untukku sangat berarti."
Sakura tersenyum, "Aku mengerti." jawabnya.
***
Sekitar hampir pukul tujuh; Sakura telah menyelesaikan meetingnya dan bersiap-siap pulang. Setelah pertemuan itu, ia menyadari betapa persen kemungkinan ia bersama Sasori. Semuanya dimulai dengan satu poin sebelum menjadi lebih buruk dan itu juga membuatnya menyadari betapa bahagianya ia karena Sasuke kembali dalam hidupnya.
Mungkin semuanya terjadi karena suatu alasan... setelah sembilan tahun yang panjang mungkin itulah cara Tuhan untuk menunjukkan padanya bahwa ia dan Sasuke selalu ditakdirkan untuk menjadi seperti ini.
Sakura mengambil tasnya dari laci yang ia letakkan sebelumnya ketika ia datang pagi ini dan mematikan komputernya. Ia melihat ke samping komputer dan melihat bingkai foto dirinya dan Sasori pada hari pernikahan mereka di atas meja. Itu tidak lagi berarti banyak baginya. Ia mengambil foto itu dari bingkainya dan merobeknya menjadi potongan-potongan kecil kemudian memasukkannya ke tempat sampah.
Ia mendorong kursinya ke bawah meja dan mematikan lampu.
"Kau pulang seawal ini?" ucap Tenten terkejut. Biasanya Sakura selalu bekerja lembur... bahkan setelah Tenten pulang; Sakura masih sering berada di kantor.
Dan hari ini wanita itu akan pulang, baru pukul tujuh...
Sakura tersenyum. "Ya," jawabnya, "Aku harus pergi bersama seseorang." Ia melemparkan kunci-kunci kantor pada Tenten. "Kunci saat kau pergi."
***
Sekitar pukul tujuh empat puluh, Sasuke membuka pintu rumahnya. Gelap, hanya ada nyala lilin yang membingungkannya, sampai aroma familiar dan memabukkan menghentikan langkahnya di tengah jalan menuju dapur. Ini adalah makanan favoritnya... ia tahu persis aromanya seperti ini dan itu membuatnya tersenyum.
"Saku...?" panggil Sasuke.
Dari tempat ia berdiri di ruang tamu, ia bisa melihat makanan di atas meja dan lilin menyala di sebelah sebotol anggur. Ini adalah pertama kalinya dalam waktu yang lama ia benar-benar makan makanan yang dimasak dari dapur rumahnya dalam dua tahun ia tinggal di sini.
Sakura muncul dari dapur saat mendengar suara Sasuke, ia mengenakan gaun hitam putih pendek kasual dengan hiasan bunga dan ikat pinggang kecil di pinggangnya. Ia juga mengenakan flat shoes warna hitam yang serasi dengan gaunnya. "Selamat Datang di rumah." sambut Sakura ceria.
Sasuke meletakkan kunci mobilnya di atas meja ruang tamu dan melepas jasnya lalu melemparkannya ke sofa. Ia berjalan ke dapur dan memeluk Sakura.
"Sekarang aku tahu kenapa kau bertanya jam berapa aku akan pulang." Sasuke mencubit hidung Sakura, "Terima kasih sudah melakukan ini."
Sakura memutar matanya pada Sasuke. Ia tidak ingin Sasuke terlalu percaya diri dan meninggikan egonya. Well, setidaknya ia tidak ingin pria itu menyimpulkan sesuatu yang salah dari makan malam ini.
"Jangan terlalu menyanjung dirimu sendiri," ucap Sakura, "Aku melakukan ini karena aku merasa kasihan pada dapurmu dan aku muak denganmu yang memesan makanan setiap malam."
Sasuke tertawa atas jawaban Sakura, ia menarik kursi untuk Sakura dan mencium pipi wanita itu. "Tidak masalah. Aku masih menghargainya."
Sasuke tak berpikir bahwa Sakura tahu betapa berartinya ini baginya. Sudah lama sekali sejak ia makan sesuatu yang tidak datang dari kurir makanan cepat saji, atau restoran, yang dalam banyak kasus menghabiskan banyak uang baginya. Dan juga sudah lama tak ada seseorang yang memasak makanan favoritnya.
Sasuke menarik kursinya sendiri setelah ia selesai membuka botol anggur. Ia menuangkan sebagian ke gelas Sakura sebelum menuangkannya ke gelasnya sendiri.
Makan malam segera dimulai setelah itu. Sasuke merasa bahwa yang ada di hadapannya adalah kentang tumbuk paling lezat yang pernah ia makan dalam jangka waktu yang lama. Meskipun ia membenci sayuran, ia tidak ingin ada yang tersisa malam ini karena ia sangat menghargai Sakura. Ia menghargai usaha Sakura untuk pulang kerja lebih awal dan mewujudkan makan malam ini.
Di meja itu juga terdapat sedikit kacang polong; sedikit wortel dan steak yang menurut Sasuke adalah yang terbaik yang pernah ia rasakan dalam kurun waktu yang lama.
"Jadi bagaimana harimu?" tanya Sakura. Ia tidak makan banyak. Ia bukan penggemar daging, tapi ia membuat pengecualian dengan memasaknya malam ini karena itu adalah favorit Sasuke dan dengan beberapa keajaiban, ia masih mengingat hal itu.
"Hn, baik." jawab Sasuke, "Bagaimana denganmu, Sakura?"
Sakura tersenyum, "Menarik."
Sasuke mengangkat alis bertanya. "Menarik, bagaimana?"
"Aku mempunyai klien baru dan dia akan bercerai setelah dua belas tahun menikah dan memiliki tiga anak." ucap Sakura.
Sasuke tampak bingung. Bukankah seharusnya itu membuat Sakura bersedih karena wanita itu berada dalam skenario yang sama... bedanya Sakura tidak menikah dengan Sasori selama dua belas tahun dan syukurlah mereka tidak memiliki tiga anak.
"Itu menyedihkan..."
Sakura mengangguk, "Aku tahu, tapi bukan itu bagian yang menarik."
"Lalu apa bagian yang menarik?"
"Bagian yang menarik adalah bahwa dia tidak memiliki hak sepeserpun atas namanya dan semua yang dia inginkan dari perceraian itu hanyalah hak asuh anak-anaknya. Dia bahkan tidak mampu membayarku." jelas Sakura memberitahu Sasuke.
"Dan apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanya Sasuke.
"Tidak ada," jawab Sakura, "Aku akan membantunya ke pengadilan. Aku tidak peduli dengan uang. Ketika ada anak-anak yang terlibat dalam pernikahan yang tidak bahagia, kau tidak boleh membiarkannya."
Sasuke tahu bahwa ini bukan alasan sebenarnya Sakura tak peduli dengan uang. Alasan sebenarnya Sakura tak peduli dengan uang adalah karena wanita itu memiliki hati. Sakura selalu menemukan cara untuk membantu orang ketika mereka dalam kesulitan, dan itu membuat Sasuke bangga.
"Kalau begitu," Sasuke mengambil gelas anggurnya dan bersorak untuk hari yang menyenangkan. "Cheers."
***
Setelah makan malam selesai, Sasuke membersihkan piring dan menyimpan sisa makanan di lemari es. Cukup adil, jika Sakura yang memasak, maka Sasuke bisa membersihkan meja setelahnya. Ia sudah terbiasa dengan hal itu beberapa kali seminggu.
Mempunyai rommate sebenarnya tidak buruk juga...
Mereka membawa sisa anggur ke ruang tamu dan menyalakan perapian. Mereka berpelukan dan menyaksikan pemandangan indah di luar jendela.
"Terima kasih sekali lagi." Sasuke berbisik ketika ia menatap Sakura yang meringkuk di dadanya di bawah selimut.
Sakura memiringkan kepalanya untuk menatap Sasuke dan tersenyum. "Sama-sama."
***
To be continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)