expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Nine Years #20 End



Sakura tak pernah berpikir ia akan mengatakan ini, tapi jujur saja ia senang kembali ke rumah lagi di mana segala sesuatu tidak tampak begitu aneh. Setelah satu minggu di Osaka, kembali ke Tokyo terasa luar biasa! Bukannya ia tidak menikmati seminggu di Osaka. Disana sangat dramatis, emosional, dan menyenangkan.
Ia harus banyak mendengarkan orang-orang dan banyak yang harus dikatakannya sebagai balasan, dan pada akhirnya, hanya satu kata yang mengakhiri seluruh perjalanan ini dan kata itu 'melegakan'.
Ia harus tetap berpegang pada senjatanya dan menghadapi masa lalunya karena agar ia dapat bergerak maju dengan hidupnya, ia harus meletakkan semua masa lalunya di belakang dan mengucapkan selamat tinggal.
Tapi sebanyak yang ia terima untuk dirinya sendiri, ia berhutang banyak pada Sasuke. Ia tidak mungkin selamat sepanjang minggu itu tanpa Sasuke di sisinya. Setelah membereskan semuanya dengan Ino, bahunya terasa lebih ringan dan ia merasa lebih damai dengan dirinya sendiri.
Ia bukan mengharapkan hal-hal kembali ke masa lalu antara ia dan Ino. Setiap orang pasti membutuhkan waktu untuk sembuh dari sebuah luka, tapi seiring berjalannya waktu, Sakura yakin bahwa ia dan Ino akan mencapai tahap di mana mereka dapat merasa cukup nyaman untuk duduk bersama di sofa dan mendiskusikan masalah mereka satu sama lain. Dengan secangkir teh lagi.
Dibutuhkan waktu untuk membangun kembali kepercayaan, dan ia yakin itu semua akhirnya akan terjadi.
Perjalanan dari bandara menuju rumah berlangsung cepat. Sudah cukup waktunya untuk mereka menjatuhkan koper, mengganti pakaian dan kembali untuk menjemput Lucky dari tempat penitipan hewan, dan kemudian pergi ke rumah Naruto untuk makan malam.
***
Menepi di jalan masuk rumah di pinggiran kota, Sakura harus mengakui bahwa ia terpesona. Rumah itu tidak sebesar rumah Sasuke, tapi tetap saja...
Rumah itu memiliki pintu garasi ganda, halaman luas, dengan rumput hijau segar dan kolam besar di halaman belakang. Bagi seorang bartender dan dokter hewan setempat, rumah itu sangat mengesankan.
"Aku akan mengambil Lucky, kau mengambil hadiahnya." ucap Sasuke pada Sakura ketika ia menarik kunci mobil.
Sakura mengangguk. "Oke."
Sasuke membuka bagasi mobil agar Sakura bisa mengambil hadiah-hadiah itu sementara ia berusaha mengeluarkan Lucky dari kursi belakang.
"Kau butuh bantuan?" tanya Sasuke.
Sakura menggelengkan kepalanya. "Tidak, Sasuke-kun."
"Baik." Sasuke mengangguk.
Mereka berjalan menuju teras depan bersama Lucky yang menarik Sasuke untuk lebih dekat ke arah suara pudel putih yang menggonggong dari dalam rumah.
Membunyikan bel dua kali, Naruto membukakan pintu kurang dari tiga puluh detik untuk menyambut pasangan itu dengan senyum bahagia di wajahnya.
"Hai." Sakura tersenyum kecil.
"Ya Tuhan, biarkan aku membantumu." tawar Naruto pada Sakura. "Kalian tidak seharusnya repot-repot."
Lucky balas menggonggong ketika pudel kecil milik Naruto membuat suara aneh sambil menggoyang-goyangkan ekornya.
"Kau bisa membiarkan mereka bermain." Naruto mengangguk pada Sasuke.
Lucky terlihat lebih senang begitu Sasuke melepaskan talinya.
Sasuke tertawa kecil ketika ia mengikuti Sakura dan Naruto masuk.
"Selamat datang!" Naruto menggerakkan tangannya ke sofa di ruang tamu dengan bangga. "Anggap rumah sendiri. Aku akan masuk sebentar untuk menaruh hadiah-hadiah keren ini."
"Tentu."
Dari dapur, ada yang beraroma sangat enak, menggelitik hidung Sasuke dan menggerutu, sementara Sakura mengamati foto-foto di dinding.
Beberapa menit kemudian, Naruto kembali, diikuti dengan wanita cantik.
"Hinata-chan, ini Sasuke dan Sakura." Naruto akhirnya memperkenalkan istrinya yang cantik pada teman-temannya.
Sasuke mengulurkan tangannya dengan sopan pada wanita itu dan tersenyum ketika wanita itu balas memperkenalkan dirinya.
"Aku Hinata." Ia tampak berseri-seri saat berbagi pelukan dengan Sakura. "Akhirnya aku bisa bertemu kalian berdua. Naruto sudah bercerita banyak tentang kalian."
"Terima kasih sudah menerima kami." ucap Sakura.
Sakura hanya bisa merasa cemburu. Wanita itu bersinar dari ujung kepala sampai ujung kaki. Untuk seseorang yang baru saja melahirkan hampir dua minggu yang lalu, wanita itu pasti pulih dengan cepat. Wanita itu tampak seperti sedang dalam kondisi siap untuk pemotretan sampul majalah. Dia tampak hebat. Secara harfiah. Bahkan ditambah dengan rambut keunguannya yang panjang dan mata uniknya yang menusuk tajam.
***
Setelah makan malam lezat yang penuh dengan tawa hangat dan lelucon lucu, Sakura dan Hinata pergi ke kamar bayi, meninggalkan Sasuke dan Naruto di ruang tamu, mereka sedang menyaksikan encore dari final bola basket Miami Heat vs San Antonio Spurs.
Sakura terkekeh pelan saat ia menyaksikan bayi laki-laki itu menggeliat dan menguap karena kelaparan. "Dia sangat lucu." Ia berbisik.
Hinata tersenyum. "Terima kasih." ucapnya. "Dia memiliki senyum ayahnya."
Dan tepat saat itu, mata bayi itu terbuka lebar dan mata biru langitnya membuat hati Sakura melonjak kegirangan.
"Hai manis." Sakura menyapa anak itu dengan lembut. "Halo, bayi kecil."
"Kau bisa menggendongnya jika kau mau." ucap Hinata memberitahu Sakura ketika ia mengambil botol susu bayi laki-laki itu.
Wajah Sakura berseri-seri ketika ia mengangkat bayi laki-laki itu dari boxnya ke dalam pelukannya dengan hati-hati. Hatinya membengkak dalam kebahagiaan ketika bayi kecil itu tersenyum padanya dan menggenggam jari telunjuknya.
"Aku Sakura." Ia berbisik ketika ia mengayunkan bayi laki-laki itu di lengannya. "Aku teman ibu dan ayahmu. Siapa namamu?"
Bayi itu menggumam pelan.
"Ah, Boruto, kan?" Sakura terus mengayun-ayunkan lengannya dengan kagum. "Kau memiliki nama yang sangat keren dan kupikir kau sangat mirip dengan ibumu."
Hinata tak bisa menahan tawa. Sakura adalah orang pertama yang mengatakan bahwa Boruto mirip dengannya. Tidak ada seorangpun di keluarganya yang berpikir demikian.
Boruto menendangkan kaki kecilnya dan menggerak-gerakkan mulutnya. Sesuatu yang menurut Sakura sangat menggemaskan.
"Ya? Kau juga berpikir begitu?" tanya Sakura.
Boruto menguap.
"Aku tahu." Sakura berseru. "Sebentar ya, ibumu sedang membuatkanmu susu."
Tepat ketika Sakura mengatakannya, Hinata menyerahkan botol susu padanya dan memindahkan kursi lebih dekat ke tempat tidur untuk diduduki.
"Kau yakin?" tanya Sakura, sedikit terkejut.
Hinata mengangguk. "Dia akan menangis jika aku yang menggendongnya sekarang. Lagipula dia terlihat nyaman denganmu."
Sakura kembali menatap Boruto di lengannya dan tersenyum sekali lagi. "Saatnya minum susu, sayang?"
Ketika Sakura memberikan Boruto susu, Hinata tak bisa menahan senyum, ia menyaksikannya dari seberang ruangan. Sakura tampak seperti salah satu dari orang-orang yang diciptakan khusus untuk hal-hal seperti ini.
"Apa kau dan Sasuke sudah mempertimbangkan untuk mempunyai si kecil?" tanya Hinata dengan rasa ingin tahu.
Sakura hampir tersedak nafasnya sendiri, tapi ia berhasil menguasai diri dan merubahnya menjadi tawa ketika ia menatap Hinata.
"Kami belum sempat membicarakan hal itu." Sakura menjawab dengan jujur.
Berbicara tentang memiliki anak hampir membuat Sakura gila. Hanya beberapa hari yang lalu ia akhirnya mendengar kata-kata "Aku mencintaimu" lagi dari Sasuke setelah sembilan tahun dan itu luar biasa. Bayangkan saja bagaimana jika mereka berbicara tentang memiliki anak.
"Kenapa tidak?" tanya Hinata dengan alis terangkat. "Kau sangat baik dalam menghadapi anak-anak. Aku tahu kau akan menjadi ibu yang luar biasa."
Tawa lain keluar dari bibir Sakura. Lucu, bagaimana bisa Hinata mengatakan hal itu?
Sakura tahu ia baik dalam menghadapi anak-anak. Hell, pada satu titik ia mencari nafkah untuk dirinya sendiri di masa remajanya. Jadi ia memahami anak-anak dan kebutuhan mereka untuk disayangi, diberi makan, dan bermain bersama, dan yang lainnya. Namun, ketakutan terburuknya di seluruh dunia adalah memiliki anak sendiri suatu hari nanti.
Agak konyol.
"Terima kasih." ucap Sakura akhirnya. "Tapi Sasuke dan aku ingin ini berjalan pelan-pelan saja. Kami masih punya beberapa hal untuk dikerjakan, jadi kupikir akan butuh waktu sebelum kita membicarakan masalah itu."
Hinata mengangguk penuh pengertian. "Yeah, kalian pasangan yang baik dan muda. Aku yakin pada saat kalian berdua memutuskannya, kau akan siap."
Ya, itu memang pernah terjadi!
Hinata yakin itu akan terjadi pada Sakura suatu hari nanti karena itu benar-benar perasaan yang luar biasa. Keseluruhan proses secara umum adalah pengalaman yang indah dan menyegarkan, dan setiap wanita berhak memiliki pengalaman itu setidaknya sekali dalam seumur hidup mereka. Kecuali itu pilihan mereka untuk tidak melakukannya.
"Kuharap begitu."
***
Sekitar pukul sepuluh lebih empat puluh, mobil mereka berhenti di jalan masuk rumah mereka. Setelah hari yang panjang bagi mereka berdua, Sakura merasa kelelahan melebihi batas kemampuannya.
Meskipun ia terbiasa merasakan kelelahan ini ketika ia bekerja berjam-jam di kantor, tapi kali ini berbeda. Setelah penerbangan panjang kembali dari Osaka, ia tidak mungkin jika hanya berbaring di tempat tidur, benar-benar telanjang dan langsung tertidur.
"Kau baik-baik saja?" tanya Sasuke dengan pandangan cemas di matanya ketika ia mengangkat Sakura duduk ke kap mobil dan Lucky berbaring di lantai di sebelah mereka. "Kau banyak diam. Apa yang terjadi?"
Sakura melempar senyum lelah ketika ia menyapukan jari-jarinya ke rambut Sasuke. Ia sibuk memikirkan apa yang dikatakan Hinata tentang anak-anak dan ia bertanya-tanya apakah Sasuke menginginkannya. Ketika ia berusia enam belas tahun - hampir tujuh belas tahun, ia dan Sasuke pernah merasakan ketakutan saat ia tak kunjung menstruasi dan mereka berdua takut karena mereka adalah remaja yang masih sekolah dan mereka tidak siap untuk memiliki anak. Tapi sekarang mereka sudah lebih tua dan lebih dewasa dengan kesempatan kedua untuk memiliki sesuatu yang benar-benar menakjubkan bersama.
Gagasan memiliki anak sendiri dan membesarkan mereka serta bertanggung jawab atas kehidupan masih membuat Sakura takut, mengingat ia pernah ingin membekukan ovumnya dan mengikat rahimnya di beberapa titik selama hubungannya dengan Sasori.
Tapi sekarang setelah ia memikirkannya, ia senang ia tidak melanjutkan proses itu. Dan selain itu, siapa yang mengatakan bahwa memiliki beberapa junior berlarian di sekitar rumah adalah hal terburuk yang bisa terjadi?
Ia bisa membayangkan semuanya sekarang. Rumah yang indah, pria tampan yang luar biasa, yang pulang ke rumah setiap malam dengan disambut seekor anjing yang sehat, empat bocah lucu - dua perempuan dan dua laki-laki.
Sakura tidak pernah membayangkan dongeng bahagia sebelumnya, tapi dengan Sasuke, itu berbeda. Itu selalu berbeda. Ia menatap mata pria itu, seluruh hidup mereka sudah dipetakan bersama dan ia bisa melihat hal itu - ia tahu itu tapi ia tidak ingin berangan terlalu jauh. Ia hanya... tidak tahu. Semua itu terlalu susah dijelaskan dan ia tidak ingin terbiasa dengan pikiran itu sampai pembicaraan ini muncul sendiri nantinya.
Akhirnya Sakura menjawab. "Aku baik-baik saja." Ia meyakinkan Sasuke. "Aku benar-benar lelah."
Sasuke mencari tanda-tanda di mata Sakura untuk melihat apakah ada masalah lain, dan untuk sekali ini, ia tidak menemukan apapun.
"Bagaimana dengan cokelat panas dan kayu manis dan menonton film? Terdengar sesuatu yang menenangkan?" tawar Sasuke.
Sakura tersenyum ketika ia mengecup bibir Sasuke. "Kau mengenalku terlalu baik," ia bergumam di bibir pria itu.
"Tentu saja." Sasuke terkekeh sebelum menurunkan Sakura dari kap mobil. Dan bersama-sama, mereka berjalan masuk ke dalam rumah dengan Lucky mengikuti di belakang mereka.
***
The End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)