Dua minggu kemudian - Nagano, Sabtu, 16.30.
"Dobe," Sasuke memandang Naruto dengan cemas seraya memperbaiki dasinya, berjalan mondar-mandir dan mengusap rambutnya dengan tangan, "Dia seharusnya berada di sini jam 4."
"Pengantin wanita selalu terlambat, tenanglah, Teme," jawab Naruto dengan santai dan mengangkat bahu.
Sasuke menghela napas, "Kau benar, tidak ada alasan untuk panik."
"Yup," Naruto juga memperbaiki tuksedonya dan menggumamkan sebuah lagu, "Jadi, kau ingin jalan-jalan dulu?"
Sasuke mengangguk, "Boleh, kenapa tidak."
Mereka berjalan keluar rumah Sai dan masuk ke halaman belakang yang sudah dipenuhi orang. Mereka melewati beberapa orang dan pergi ke pantai, tertawa dan membicarakan hal-hal bodoh, seperti ketika mereka masih remaja.
"Aku senang kita masih berteman, Teme," ucap Naruto saat mereka berhenti berjalan, "Maksudku, kupikir setelah kau pindah kita..." Ia berhenti dan mengusap lehernya, "Kau tahu."
Sasuke terkekeh. "Kurasa kau salah," Ia meninju lengan Naruto dengan main-main.
"Ti-dak. Aku selalu benar," protes Naruto, "Ingat ketika kau datang ke rumahku karena kau bingung tentang Sakura-chan?" Ia menyeringai dan Sasuke memutar matanya, "Akulah yang memberitahumu bahwa dia bukan adikmu."
"Ya," Sasuke mengangguk, "Kurasa aku tidak pernah mengucapkan terima kasih padamu, Dobe," Ia tersenyum tulus, "Kau lebih dari siapa pun yang pantas menjadi bestman-ku."
Naruto tertawa, "Tidak apa-apa. Pastikan kau menamai anak pertamamu dengan namaku."
"Tidak, namamu sangat jelek," Sasuke tertawa dan berlari ketika Naruto mengancam akan memukulnya, "Tentu saja anak pertamaku akan menjadi Sasuke Jr."
"Eww, Teme," Naruto tertawa juga, masih berusaha mengejar Sasuke, tapi sahabatnya selalu lebih cepat darinya. Mereka berhenti setelah beberapa menit, masih tertawa. Sasuke membungkuk, menguatkan lututnya saat ia mencoba mengatur napas. Naruto menyandarkan punggungnya ke mobil dan menggelengkan kepalanya. "Teme, kau semakin tua."
"Sebenarnya, kalian berdua yang semakin tua, Naruto," ucap seseorang yang membuat Sasuke dan Naruto menoleh ke pemilik suara itu.
"Coach..."
Mata Sasuke membelalak sedikit saat ia mendapati ayahnya berada di depannya. Uchiha Fugaku terlihat sama, tapi sekarang pria itu memakai kacamata dan memiliki beberapa kerutan di dahi dan di sisi matanya saat tersenyum.
Fugaku mengambil undangan pernikahan dari dalam saku jasnya, "Aku menerima ini," ucapnya singkat sambil menunjukkan amplop itu pada Sasuke.
Sasuke mengangguk, "Kami berharap kau akan datang."
"Aku um..." Naruto menyela, "Aku akan meninggalkan kalian berdua disini," Ia menepuk punggung Sasuke, "Jangan terlalu lama, Sakura-chan akan sampai di sini sebentar lagi."
"'Oke," jawab Sasuke dengan suara pelan dan ia bersandar ke mobil, menatap laut lagi. Fugaku bersandar di sisinya dan mereka tetap diam yang terasa seperti berabad-abad.
Terkadang sebuah sikap dapat menunjukkan dengan jelas dibanding sebuah kata-kata. Suara yang halus mungkin bisa lebih nyaring dibanding jeritan pada kesempatan tertentu.
Dalam beberapa kasus, ekspresi dapat menunjukkan dengan tepat apa yang terjadi denganmu. Dan udara, yang tidak bisa kita lihat, namun ada.
Beberapa momen dalam hidup, manusia hanya takut pada apa yang tidak mereka ketahui atau tidak mereka lihat. Persis seperti itulah yang terjadi dengan Uchiha Fugaku.
Sementara Fugaku menunggu Sasuke berteriak padanya, mengatakan bahwa pemuda itu tidak menginginkannya lagi dalam hidupnya, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengetuk-ngetukkan sepatunya ke tanah dengan gugup. Setelan jas yang ia gunakan terasa mengecil dari sebelumnya dan ia merasa seperti akan sesak napas. Tangannya berkeringat dan wajahnya memerah karena cemas.
Sasuke tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tahu bahwa Fugaku mencoba untuk mengatakan bahwa ayahnya itu menyesal atas semua yang terjadi. Ayahnya tidak pernah pandai berbicara, tapi berada di sana untuk mendukung pernikahannya sudah cukup menunjukkan padanya bahwa ayahnya benar-benar menyesal atas segalanya. "Santailah, Tousan, semuanya baik-baik saja."
Fugaku mengalihkan perhatiannya pada putranya yang kini berusia 22 tahun, yang terkadang tampak lebih tenang dan dewasa darinya. Ia tidak pernah mengerti bagaimana Sasuke bisa begitu kuat selama bertahun-tahun ini, memperjuangkan cintanya pada Sakura ketika ia sendiri tidak bisa berjuang untuk Mikoto atau pun Mebuki.
Fugaku menarik napas dalam-dalam dan menepuk pundak Sasuke sedikit, berusaha menahan air mata yang ingin jatuh. Ia merasa berubah menjadi orang tua yang emosional dan ini tidak baik.
"Kau seorang Uchiha," ucap Sasuke mencoba bercanda, "Kau mengajariku bahwa Uchiha tidak boleh menangis."
Fugaku memberisenyuman kecil, "Kau jauh lebih kuat dari yang pernah kulakukan, Sasuke," ucalnya dan mendesah, "Ketika ibumu meninggalkan kita, aku sangat takut, tapi setiap kali aku melihatmu, kau akan memberiku kekuatan untuk melanjutkan hidupku," Ia menunduk menatap sepatunya, "Aku sangat marah saat itu. Aku tidak pernah mengira kau akan mengacaukan hidupku, serius," Sasuke menelan ludah tapi Fugaku tidak berhenti, "Tapi aku sadar, aku hanya marah pada diriku sendiri dan tidak tahu bagaimana menangani situasi... Maafkan aku."
"Tousan, ini—"
Fugaku mengangkat tangannya, menyela Sasuke, "Tidak. Biar aku selesaikan. Aku sudah menunggu untuk mengatakan hal-hal ini selama 4 tahun," Ia mengusap keringat dari keningnya, "Aku bukan orang favoritmu sekarang dan aku tahu aku berhutang budi padamu Nak, karena mengecewakanmu, memperlakukanmu dengan buruk, untuk segalanya," pungkasnya. "Jika kau dan Sakura bahagia bersama, itulah yang terpenting. Aku seharusnya mengatakan ini 4 tahun yang lalu."
Sasuke mengangguk setuju dan ia memandang ke depan lagi, menatap laut sekali lagi, tidak dapat menahan senyum kecil di wajahnya. "Terima kasih Tousan, ini sangat berarti."
"Teme!" teriak Naruto dari seberang jalan, "Sakura-chan sudah sampai di sini."
Uchiha Fugaku menepuk dada Sasuke dan tersenyum, "Pergilah, Nak. Tunanganmu sudah menunggumu."
"Kau tidak ikut?"
Ayahnya menggeleng. "Sampaikan saja pada Sakura, aku menyayanginya."
"Tousan, dia akan senang bertemu denganmu," Sasuke menatap ayagnya dengan mata memelas, "Tetaplah di sini."
"Aku tidak bisa," ucap Fugaku dengan berbisik dan memeluk Sasuke dengan erat, "Kau pasti akan memiliki kehidupan yang hebat," Ia mencium pipi Sasuke dan menambahkan, "Tolong jaga gadis kecilku."
"Aku akan menjaganya, Tousan," Sasuke tersenyum saat mereka saling menarik diri. "Sampai jumpa lagi?"
"Tentu," Fugaku tersenyum sebelum masuk ke dalam mobilnya dan pergi.
***
Sasuke tersenyum pada dirinya sendiri saat ia mendekati Sakura. Ia tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai upacara selesai, tapi yang penting sekarang mereka telah resmi menjadi suami istri dan semua orang telah menunggu dansa pertama mereka sebagai Tuan dan Nyonya Uchiha.
Sasuke melihat ke atas dan langit telah berubah menjadi kemerahan lembut dan oranye saat matahari mulai terbenam. Ia berdiri di depan Sakura dan gadis itu tersenyum manis padanya, sambil menggigit bibir. Sasuke dengan lembut membelai pipi Sakura dan gadis itu menutup matanya, merasakan gelombang kejut yang Sasuke kirimkan padanya dan angin sepoi-sepoi menyapu kulitnya.
Mereka saling memandang untuk waktu yang lama, dengan begitu banyak cinta, kekaguman, gairah, semua yang dirasakan pasangan pengantin baru. Sasuke meraih tangan kecil Sakura dan menarik gadis itu ke lantai dansa yang ditempatkan di tengah taman halaman belakang yang besar.
Sasuke menarik Sakura lebih dekat dan gadis itu terkikik, melingkarkan lengannya di leher Sasuke dan memberikan ciuman manis di kulit leher pemuda itu. Sasuke tersenyum dan memeluk pinggang Sakura, mulai bergerak perlahan mengikuti lagu itu.
Someday, when I'm awfully low
When the world is cold
I will feel a glow
Just thinking of you
And the way you look tonight
"Kau terlihat sangat cantik," Sasuke berbisik di telinga Sakura dan gadis itu mengeluarkan erangan lembut saat tangan Sasuke menelusuri punggungnya. Sakura menyandarkan kepalanya di bahu Sasuke, membelai tengkuk pemuda itu dengan jarinya. Jika saat ini ia ditanya apakah ia bisa menggambarkan perasaan yang begitu indah ini, Sakura tidak akan bisa berkata-kata sama sekali. Ini adalah cinta yang begitu besar, sangat murni, sangat alami. Rasanya begitu kuat, benar-benar... cinta abadi.
You're so lovely
With your smile so warm
And your cheeks so soft
There is nothing for me
But to love you
And the way you look tonight
Sasuke memberikan ciuman manis di rambut Sakura dan menghirup aromanya. Ia mendekatkan tubuhnya, jantung mereka berpacu dengan cepat, gelombang kejut seakan meletus di kulit mereka, cinta besar membakar mata mereka. Ini sempurna. Sakura diciptakan untuk Sasuke dan Sasuke diciptakan untuk Sakura, sesederhana itu. Dua belahan jiwa yang akhirnya bersatu kembali.
With each word your tenderness grows
Tearing my fears apart
And that laugh
That wrinkles your nose
It touches my foolish heart
Sakura menarik diri untuk bertatapan dengan Sasuke dan mereka berdua tersenyum. Semua orang bertepuk tangan tapi itu tidak membuat mereka terasa terganggu. Kini hanya mereka berdua di dunia kecil mereka, dunia kecil mereka yang sempurna.
"Aku mencintaimu," Sakura membelai pipi Sasuke dan pemuda itu memejamkan mata, menikmati sentuhan Sakura, "Kau adalah hidupku."
Sasuke membuka kembali matanya dan tersenyum, mengecup bibir Sakura. Saat ia akan menarik diri, Sakura menahan lehernya dan menempelkan bibirnya ke bibir Sasuke, membuka mulut Sasuke dengan lidahnya, mendapatkan erangan manis dari pemuda itu. Mereka berbagi ciuman penuh gairah, mengabaikab semua orang yang ada di sana.
Yes you're lovely,
Never, ever change
Keep that breathless glow
Won't you please arrange it
'Cause I love you
Just the way you look tonight
Saat mereka membuka mata lagi, tamu mereka juga sudah bergabung di lantai dansa, tapi tidak ada pasangan lain yang tampak lebih terikat atau jatuh cinta selain Sasuke dan Sakura. Tidak ada orang lain yang bisa semanis mereka.
Sasuke menangkup kedua sisi wajah Sakura dengan tangannya dan mengecup bibir gadis itu, sebelum memeluk gadis itu dengan penuh kasih. Sakura mendongak dan melihat Sasuke tersenyum padanya dengan tatapan kagum, "Selamanya akan dimulai malam ini, Cherry."
Dan lagi, lima tahun setelah pertama kali Sakura menyadari bahwa Sasuke adalah pria impiannya, ia kini masih bisa merasakan kupu-kupu di dalam perutnya, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
***
Hari ini Malam Natal dan Sasuke tidak senang harus menghabiskannya di rumah sakit di Nagano. Tentu saja ia tidak keberatan, tapi ini tidak direncanakan. Lagipula ia tidak bisa mengingat kapan ia benar-benar merencanakan sesuatu dalam hidupnya. Jatuh cinta dengan seorang gadis yang seharusnya menjadi adik perempuannya pun tidak direncanakannya, bahkan menjadi fotografer atau pun jutawan.
Semua hal dalam hidup Sasuke sepertinya terjadi tanpa alasan, mungkin karena itu adalah takdirnya. Tapi bukan berarti Uchiha Sasuke percaya pada takdir sepenuhnya. Ia hanya harus membiasakannya, karena bagaimanapun, takdir akan menjadi satu-satunya kata untuk menjelaskan semua hal yang terjadi dalam hidup sampai hari ini.
Sasuke berdiri dan menghela napas dalam-dalam, membuat semua mata di koridor menatapnya sejenak. Ino menatapnya dengan simpatik dan tersenyum. Sai menyeringai padanya. Koharu tampak tersesat dengan pikirannya sendiri. Naruto dan Hinata tampak sedang membicarakan sesuatu dengan suara rendah. Mikio sedang tidur di pelukan Mebuki dan Jiro bersama Fugaku sedang membicarakan mobil. Mobil. Apakah kendaraan itu penting untuk dibicarakan sekarang?
Semua orang tampak memiliki reaksi yang berbeda saat ini, semuanya benar-benar santai, tapi Sasuke tidak punya alasan untuk merasa santai sama sekali. Saat ia berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, ia tidak bisa menahan untuk tidak memikirkan tentang hidupnya bersama Sakura. Mereka telah menikah selama dua tahun sekarang dan mereka sangat bahagia. Tidak pernah merasa sulit untuk beradaptasi satu sama lain karena mereka sudah pernah hidup bersama. Tidak ada hal yang mengejutkan satu sama lain karena mereka sudah sangat mengenal satu sama lain.
Sasuke dan Sakura telah melewati banyak hal bersama; masa kanak-kanak, remaja, dan sekarang mereka juga mulai menjalani masa dewasa bersama. Mereka adalah teman baik sebelumnya. Mereka sangat memperhatikan satu sama lain hingga mereka bersedia mati untuk melihat satu sama lain bahagia. Mereka bahkan tidak bisa membayangkan untuk berpisah lebih dari sehari.
Meskipun terdengar seperti novel, Sasuke dan Sakura memiliki kehidupan yang sempurna. Sakura adalah seorang jurnalis dan bekerja untuk Nagano Times seperti yang selalu gadis itu inginkan. Sasuke adalah seorang fotografer dan akan segera lulus dari kuliahnya. Sasuke memiliki sebuah studio kecil dan mulai memasuki dunia fotografi dengan foto-fotonya yang indah.
Tapi semuanya berubah tujuh bulan sebelum hari ini ketika Sakura memberitahu Sasuke bahwa ia hamil. Sasuke tidak pernah mengira ia bisa begitu bahagia dan gugup pada saat yang bersamaan. Ia merasa meragukan diri sendiri, ia tidak tahu bagaimana cara merawat bayi, tapi Sakura selalu mengatakan padanya bahwa ia akan menjadi ayah yang hebat. Semua yang Sakura katakan padanya ia akan percayai, sesederhana itu.
Sasuke tahu ia terlalu muda untuk menjadi seorang ayah, lagipula ia baru berusia 24 tahun, tapi ternyata hal terbaik dalam hidup terjadi tanpa alasan. Sakura dibawa padanya ketika gadis itu masih muda dan sekarang bayi mereka juga. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu ia bisa menyelesaikan ini selama ia memiliki Sakura disampingnya.
Sasuke menghela napas lagi. Mereka telah membawa Sakura ke ruang operasi selama satu jam sekarang dan ia tidak bisa mengendalikan emosinya lagi. Ia gugup, senang, khawatir... semuanya ada pada saat bersamaan. Ia merasa seperti ia bisa meledak kapan saja sekarang. Bayinya harus lahir lebih awal, terakhir kali ia melihat Sakura sebelum dibawa ke ruang operasi, gadis itu sangat kesakitan dan dokter tidak mengizinkannya ikut ke dalam. Ia menutup matanya dan bersandar di dinding rumah sakit, takut sesuatu bisa terjadi pada keluarganya.
Sebuah keluarga. Sekarang mereka adalah keluarga kecil, hanya bertiga. Hanya ia, Sakura dan bayi mereka... selamanya.
Sasuke mendengar semua orang berdiri dan ia tersadar dari lamunannya. Ia berhadapan dengan dokter di depannya, merasakan telapak tangannya benar-benar basah oleh keringat, "Apa mereka tidak apa-apa?" Ia menelan ludah dengan gugup, "Istri dan bayiku?"
Dokter tersenyum pada Sasuke. "Semuanya baik-baik saja sekarang, Selamat."
Sasuke menghela napas lega dan menyeringai. Ia menoleh ke samping dan semua orang tersenyum dan berpelukan. "Boleh aku melihat mereka?"
"Tentu saja. Ikuti aku, Uchiha-san."
Sasuke mengangguk, menoleh ke belakang dan mendapatkan senyuman yang membesarkan hati dari ibu dan ayahnya. Sasuke mengikuti dokter itu menyusuri koridor dan masuk ke pusat bersalin. Ia sudah sangat gugup dan ia harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja beberapa kali sebelum masuk ke kamar Sakura.
Begitu ia berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, ia bisa melihat gadisnya duduk di tempat tidur dengan bungkusan kecil di pelukannya. Sakura mendongak dan ia tersenyum ketika ia melihat mata Sasuke berkaca-kaca dan ada senyum di wajah pemuda itu.
"Kemarilah Boo," Sakura berbisik pada Sasuke, agar tidak membangunkan bayinya, "Putrimu ingin bertemu denganmu."
Sasuke menahan napas dan tersentak, "A-Apa dia perempuan?" Ia merasakan jantungnya berdegup cepat di dalam dadanya dan Sakura mengangguk pelan, menatap bayi dalam pelukannya lagi.
Sasuke melangkah lebih dekat ke mereka dan duduk tepat di samping Sakura, menatap bayi kemerahan yang sedang tidur nyenyak di pelukan istrinya. Uchiha Sasuke benar-benar terhipnotis oleh bayi perempuannya. Putrinya membuka matanya sejenak dan Sasuke menyeringai. Ia tidak bisa percaya bahwa ia membantu membuat menciptakan manusia kecil berharga yang ada di pelukan Sakura sekarang. Putri mereka adalah setengah dari Sakura, setengah dari dirinya, 100 persen cinta mereka dan ia merasa terhormat menjadi orang yang berada dalam situasi sekarang, Malam Natal, bersama Sakura-nya, bersama bayi mereka, mengalami begitu banyak cinta dan kebahagiaan.
"Ya Tuhan, dia cantik."
Sakura mendesah lelah dan menyandarkan kepalanya di bahu Sasuke. Sasuke menempatkan ciuman manis dan lembut di kening istrinya, "Ini hadiah terbaik yang pernah bisa kau berikan padaku, Saku," Sasuke kemudian mengelus pipi bayi perempuannya, air matanya sudah membasahi wajahnya dan ia mencium kening bayi itu juga.
Sasuke menyeka air matanya dan dengan senang hati menerima bayi dari pelukan Sakura ketika gadis itu menawarkan untuk menggendongnya, dengan hati-hati ia meraih putri kecilnya dan membuatnya nyaman dalam pelukannya yang besar. Bayi mereka tampak sangat kecil di gendongannya.
Sasuke menyandarkan punggungnya ke ranjang rumah sakit yang besar dan bayi itu mengerang pelan dalam tidurnya.
"Dia terlihat seperti malaikat," Sakura menyimpulkan, meringkuk pada Sasuke, merasakan seluruh tubuhnya sakit. "Kau punya nama untuknya?"
Sasuke mengangkat bahu. "Aku..." Ia mengamati wajah bayi kecilnya. "Aku tidak tahu," gumamnya dan Sakura terkikik.
"Tidak apa-apa, kita bisa menunggu sampai besok."
Sasuke terkekeh pelan dan menatap penuh cinta pada istrinya, lebih dari sebelumnya. "Kau sangat membuatku kagum," Ia membungkuk untuk memberikan ciuman manis di bibir Sakura, "Aku tidak pernah membayangkan kita akan memiliki hal kecil yang begitu berharga seperti bayi kita ini suatu hari nanti."
Sakura tersenyum dan menutup matanya, merasa mengantuk, "Kaulah yang mengatakan bahwa kita akan memberikan cucu-cucu yang cantik pada Kaasan dan Tousan suatu hari nanti," Ia menguap lebar.
"Istirahatlah, Cherry," Sasuke melingkarkan satu tangan ke tubuh Sakura dan gadis itu mengerang pelan, meringkuk pada Sasuke lebih dalam. Sasuke memeluk dua princessnya dengan aman, merasa menjadi pria paling beruntung di dunia.
"Sasuke-kun?" Sakura berjuang untuk berbicara dengan benar, menguap lagi, "Aku punya nama untuk bayi kita," gumamnya, membuka matanya sejenak sebelum menutupnya lagi.
"Ya, Saku?"
"Bagaimana dengan Uchiha Sarada," Sakura mengucapkan nama itu dengan jelas dan melempar senyuman.
Sasuke tersenyum dan menganggukkan kepalanya meskipun Sakura sudah tertidur lelap lagi dan tak bisa melihatnya. Senyuman kecil muncul di wajahnya saat putrinya merintih pelan sebelum menguap seperti ibunya. "Selamat datang di dunia, Sarada."
***
Sasuke masuk ke dalam apartemen mewah mereka, membawa banyak tas berisi hadiah dan boneka beruang besar untuk gadis kecilnya. Ia meletakkan hadiah itu di bawah pohon Natal dan menatap jam tangannya, pukul 5.30 sore. Keluarga mereka akan tiba satu jam lagi untuk makan malam Natal dan masih belum ada tanda-tanda bahwa Sakura dan Sarada sudah siap. Ia menghela napas, ia mungkin harus memberitahu Sakura jam berapa sekarang dan istrinya itu akan panik untuk menyelesaikan semuanya tepat waktu.
Sasuke melepas kemejanya dan melepas sepatunya, berjalan ke kamarnya, memanggil Sakura. Tiba-tiba, seorang bocah mungil berlari keluar dari kamar mandi, benar-benar telanjang, memeluk bebek kuning plastik di dadanya. Sasuke tidak bisa menahan tawa ketika putrinya yang berusia 12 bulan bersembunyi di bawah meja ruang tamu.
Sasuke menunduk ke bawah meja dan menggendong bocah itu, berdiri dengan gadis kecil di pelukannya. Uchiha Sarada dengan erat menempel di lehernya dan terkikik pada ayahnya, "Pa-pa."
"Hei," Sasuke memberikan ciuman manis di kening gadis kecil itu, "Melarikan diri dari mama lagi, eh?"
Sasuke menggelitik sisi tubuh Sarada sedikit dan mendapatkan tawa kecil dari bocah itu.
"Ah, ini dia." Sakura menghela napas lega, menyisir rambutnya dengan tangan dan melangkah lebih dekat dengan handuk merah muda di lengannya. "Sarada-chan, kau tidak boleh lari dari mama seperti itu."
"Kupikir dia akan menjadi bayi air," Sasuke menyeringai dan memandang Sakura yang telah menjadi istrinya selama 3 tahun. Sakura terlihat sangat seksi dengan bajunya yang sedikit basah, yang menempel di tubuhnya dan rambutnya di sanggul berantakan. "Sulit memandikannya lagi, eh?"
Sakura memiringkan kepalanya ke samping, "Aku sudah memandikannya, tapi kau tahu putrimu suka berjalan telanjang di sekitar rumah. Setiap kali aku mencoba memakaikan baju padanya, dia segera melepasnya."
Sasuke tertawa dan melingkarkan lengannya di pinggang Sakura, menariknya mendekatkan dan mencium lehernya, "Hm, aku merindukanmu."
Sakura menyingkirkan rambut Sasuke dari mata pemuda itu dan mengecup bibirnya, "Aku juga merindukanmu."
"Ma-ma..." Sarada tampak protes dan Sakura terkikik, membungkuskan handuk di tubuh kecil putrinya dan mengambil bocah itu dari pelukan ayahnya.
"Ha, dia sepertinya cemburu," canda Sasuke sambil mencium pipi Sarada, "Terkadang kau terlihat seperti mamamu."
"Hei!" Sakura memukul dada Sasuke sambil bercanda, "Teruslah bermimpi, eh."
Sasuke terkekeh dan meraih Sarada dari pelukan istrinya lagi. "Biarkan Papa yang memakaikan baju untukmu," Ia memandang istrinya, "Aku akan menunjukkan bagaimana seorang profesional bekerja, Saku."
"Yeah, yeah," ucap Sakura sarkatis saat Sasuke dan Sarada berjalan menjauh darinya, "Sarada, sayang?"
Sarada menoleh ke belakang begitu ia mendengar suara ibunya.
"Pastikan kau menyulitkan Papamu juga, oke?"
Sarada hanya terkikik dan Sasuke memutar matanya, "Aku punya cara yang baik untuk menghadapimu," ucapnya pada gadis kecilnya dan kembali menoleh ke arah Sakura, "Dia tidak bisa menahan pesonaku, sama seperti mamanya."
Sial. Dia benar sekali. "Aku benci kalau kau sombong begitu, Uchiha Sasuke."
Sasuke menyeringai. "Aku tahu kau tetap mencintaiku, Uchiha Sakura," candanya dan Sakura menggigit bibirnya untuk menahan senyum. "Tapi jangan khawatir, aku juga mencintaimu," Sasukr berjalan kembali pada Sakura dan memberikan ciuman di bibir istrinya itu, "Dan aku akan menunjukkan padamu nanti bagaimana aku mencintaimu."
Sakura terkikik, "Kau yang terbaik."
Empat jam kemudian seluruh keluarga telah berkumpul di ruang tamu menunggu hadiah. Sakura duduk di depan pohon Natal dengan Sarada di pangkuannya. Mikio duduk di samping Sakura, memperhatikan Sasuke yang berjalan ke ruang tamu.
"Bisakah aku dulu?" tanya Mikio dengan cemas dan Sasuke menyipitkan mata padanya sambil bercanda sebelum tertawa.
"Baiklah, silakan."
"Luar biasa," Mikio melompat dari lantai dan membungkuk di depan pohon. Sasuke memutar matanya dan duduk di samping Sakura di lantai, Sarada merangkak ke arah ayahnya tepat pada saat ayahnya itu duduk.
Sakura memandang Sasuke dan tersenyum. Sasuke adalah ayah dan suami yang baik, ia sangat merasa benar ketika ia memilih Sasuke, ketika takdir memilihkan Sasuke untuknya. Sasuke menatap istrinya dari sudut matanya dan menyeringai, "Apa?"
"Tidak ada," Sakura menarik wajah Sasuke lebih dekat dan mencium bibir suaminya itu, "Aku sangat mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu, Cherry," jawab Sasuke, mengecup bibir Sakura lagi dan tersenyum, "Setiap hari semakin banyak."
"Jadi, aku sudah membelikan hadiah untuk Sarada," ucap Mikio dengan puas dan berjongkok di depan Sasuke yang memangku Sarada.
Sasuke dan Sarada menatap putri mereka yang sedang mengisap jempolnya seraya memandang Mikio dengan mata hitamnya yang bulat.
"Aku membeli ini dengan uangku sendiri."
"Oh, benarkah, Miki?" Sakura tersenyum pada Mikio dan bocah laki-laki itu mengangguk bangga.
"Ini adalah boneka kelinci."
"Oh tidak, aku sedang merasa déjà vu di sini," ucap Mebuki bercanda dan memandang Koharu yang juga tertawa sekarang.
"Apa?" Sasuke dan Sakura bertanya bersamaan, keduanya tampak bingung.
"Tidak ada," jawab kedua wanita itu dan Sasuke mengangkat bahu. Mikio membuka kotak itu dan meraih boneka kelinci itu, memberikannya pada Sarada. Gadis kecil itu menyengir lebar dan mulai memakan telinga kelincinya.
"Selamat Natal," Mikio memberi ciuman di pipi Sarada dan tersenyum, "Aku menyayangimu."
Mata Sakura membelalak dan ia melihat ke arah Sasuke, yang memiliki ekspresi yang sama. Koharu tertawa lebih keras dan menambahkan, "Kau tidak boleh cemburu sekarang, Sasuke. Kau bertingkah sama seperti itu pada Sakura dulu."
"Ini hanya kasih sayang antar saudara, Sasuke-kun," ucap Sakura, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Mereka masih kecil."
"Ya, saat kau dan Sasuke tidak terpisahkan, kalian juga masih kecil," Fugaku mengejek mereka dan Mebuki tersenyum padanya.
Sarada merangkak ke arah Mikio dan memeluknya. Bocah laki-laki itu menyeringai dan melihat ke arah Sakura, "Aku akan membelikannya boneka setiap Natal dan ketika Sarada semakin besar, aku akan memberikan perhiasan," Ia mengelus rambut Sarada dan melanjutkan, "Aku dengar di TV bahwa perempuan suka perhiasan."
Sasuke berdeham dan Sakura hanya bisa menertawakan reaksi suaminya, "Ini hanya kasih sayang antar saudara, Sasuke-kun," Ia mengingatkan suaminya lagi.
"Hmm," Sasuke menyetujui dengan nada sarkatis, "Begitu banyak untuk kasih sayang antar saudara, eh."
"Dan ketika kami besar," Mikio terus berbicara tapi berhenti sejenak untuk berpikir. "Sekitar 20 tahun, aku akan menikahi Sarada," Mikio menyelesaikan pidatonya, meraih tangan gadis kecil itu dan tersenyum, "Kita akan bersama selama sisa hidup kita dan bermain sepanjang hari, Sarada."
Sarada terkikik dan Sasuke menggelengkan kepalanya, melingkarkan lengannya di pinggang Sakura, berbisik di telinga istrinya, "Pastikan aku tidak akan melupakan ini ketika Sarada berusia 15 tahun."
Sakura memutar matanya dan memukul dada Sasuke sambil bercanda, "Apa kau menyesali sesuatu?"
Sasuke menggelengkan kepalanya lagi dan berbisik di bibir Sakura, "Tidak pernah," Ia membelai pipi istrnya, "Aku mencintaimu selamanya," Ia tersenyum dan menambahkan dengan main-main, "Dan aku selalu memberitahumu aku akan menikahimu ketika kita dewasa."
"Ya, ya," Sakura terkikik dan mengecup bibir Sasuke, "Aku senang kau menepati janjimu, Booboo."
"Ya," Sasuke tersenyum bangga dan menggunakan teorinya sendiri dari beberapa tahun sebelumnya, "Ini takdir kita untuk bersama," Sakura terkikik lagi dan Sasuke mengelus pipinya, "Dan kau ingat apa yang kau katakan padaku ketika kita mulai pacaran?"
"Hm?" tanya Sakura dengan berbisik, tenggelam dalam dunia kecil mereka lagi.
Sasuke menyeringai, tahu mereka akan bersama selama sisa hidup mereka, "Takdir adalah hal yang tak terelakkan."
"Artinya..." Sakura menyeringai, "Aku akan terjebak denganmu untuk waktu yang sangat lama."
Sasuke mengangkat alisnya, tersenyum main-main pada Sakura, "Kedengarannya menyenangkan, bukan?"
***
The End.