expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Nine Years #17



Jam delapan ketika Sakura bangun dari jam istirahatnya yang singkat dengan kondisi sehabis mabuk membuatnya berharap ia mati daripada hidup.
Bunuh aku sekarang!
"Oh sial!" Sakura bergumam ketika ia berguling di kasur berusaha menghindari sebisa mungkin sinar matahari yang mengintip melalui jendela ketika ia mendengar tawa pria dari sisi kiri ruangan dekat pintu.
Sakura duduk terlalu mendadak, menyebabkan kepalanya berputar dan ia memejamkan matanya, dan ketika ia membukanya kembali, Sasuke sudah ada di sampingnya dengan kantong cokelat dan cangkir putih di tangannya.
"Pagi, Cherry," Sasuke mengecup kening Sakura.
"Urgh, sial," erang Sakura. "Aku merasa seperti sampah dan aku mungkin juga terlihat seperti itu."
"Itu karena kau mabuk." Sasuke terkekeh. "Tapi aku yakin kau berharap kau tidak minum terlalu banyak tadi malam."
"Hentikan." ucap Sakura membela diri dengan wajah cemberut. "Aku sedang tidak ingin bercanda. Ino membenciku."
"Tidak, dia tidak membencimu." ucap Sasuke tersenyum. "Ini," Ia menyerahkan kantong coklat dan Sakura segera membukanya. "Aku membelikanmu secangkir kopi juga. Hitam. Tanpa krim, tanpa gula dengan croissant cokelat." ucapnya. "Makanlah."
"Kau memang seorang malaikat." Sakura mengambil kopi di tangan Sasuke dan menyesapnya. Ia bergumam, bahkan setelah hampir satu dekade, rasanya sudah tidak asing lagi. Ia tahu kopi ini dari mana. "Apa ini dari kedai Ichiraku?" tanya Sakura.
Sasuke mengangguk. "Kau ingat?"
"Ya." jawab Sakura. Ia dulu suka pergi ke sana. Paman Teuchi selalu menyisihkan sepotong pai apel panas untuknya setiap hari sepulang sekolah. "Ya Tuhan sudah lama sekali!"
"Benar." Sasuke setuju, mengambil croissant dari kantong cokelat dan menyuapi Sakura.
"Oke, aku serius sekarang," Sakura memulai. "Seberapa besar kira-kira Ino membenciku? Maksudku, aku mungkin adalah mimpi terburuknya dari masa lalunya yang muncul beberapa hari sebelum pernikahannya." Ia menelan croissant, nyaris tidak mengunyah dan meneguk kopinya lagi. "Ya Tuhan, aku sangat mengerikan."
Sasuke menyuapi Sakura lagi.
"Aku harus pergi." Sakura bergumam.
"Tidak." Sasuke mencium bibir Sakura. "Ino akan memikirkan semuanya. Maksudku, kau baru saja muncul setelah hampir satu dekade."
Sakura berhenti mengunyah. "Lihat? Bahkan kau meragukannya." ucapnya berdebat. "Aku tidak akan tinggal dan merusak hari pernikahannya." lanjutnya. "Aku akan kembali ke Tokyo."
Sasuke mengambil cangkir kopi dari tangan Sakura dan meletakkannya di atas laci bersamaan dengan kantong coklat berisi sisa croissant. Ia mendorong Sakura berbaring di tempat tidur dan menindih tubuh wanita itu.
"Kau tidak akan melakukan hal itu." ucap Sasuke, menatap mata hijau Sakura saat ia membelai rambut lembut wanita itu. "Ino hanya perlu waktu untuk memproses fakta bahwa kau ada di sini setelah sembilan tahun - hampir sepuluh." ucapnya. "Dan begitu dia punya waktu untuk memproses hal itu, kalian akan berbicara sebagai dua wanita dewasa dan aku akan berdansa denganmu di pernikahan itu, dan bahkan mungkin menciummu di lantai dansa itu."
Ha! Pernikahan...
Mengumpat. Sakura lupa betapa ia dulu mencintai kata itu. Tapi pada titik tertentu, kenikmatan itu tampaknya memudar. Mungkin karena ia tidak benar-benar memiliki perayaan besar untuk pernikahan pertamanya, pernikahannya dengan Sasori; sial, itu pernikahan sederhana, membosankan, dan tidak intim sama sekali. Lima belas menit di balai kota - lalu makan malam, berjalan-jalan di tepi sungai yang menghadap ke jembatan dan berhubungan seks, setelah itu mengakhiri hari pernikahan mereka. Haha. Tidak ada yang benar-benar istimewa seperti dongeng yang sering kau lihat di film-film Disney.
Yang membuat Sakura bertanya-tanya sekarang, apakah ia dalam kondisi pikiran yang benar pada saat itu. Karena serius? Apa yang ia pikirkan saat itu?
"Bisakah aku menunda ini sampai setelah pernikahan?" tanya Sakura ketika ia tersadar dari lamunannya.
"Tidak." Sasuke menggelengkan kepalanya. "Kau dan Ino harus berbicara sekarang, hanya dalam beberapa jam saja, ada pernikahan yang akan terjadi dan jika ada kata-kata yang perlu diucapkan, kupikir kalian sebaiknya membereskannya sebelum hari besar." ucapnya. "Jangan jadi pengecut. Jadilah orang yang lebih berani, jadilah dirimu yang lebih baik dan bicaralah dengan Ino, karena alasan sebenarnya kau memutuskan untuk datang ke sini pada awalnya adalah untuk membereskan urusanmu." Ia mengingatkan Sakura. "Kau menjawab pertanyaan banyak orang semalam, tapi tidak satupun dari mereka adalah Ino, dan sepanjang malam kau hanya minum sampanye, melakukan segala cara untuk menghindari Ino, kau bahkan belum memiliki percakapan yang matang dengannya."
Sakura meringis pada Sasuke, mengetahui bahwa dirinya diamati dengan baik oleh pria itu. "Ini sepenuhnya salahmu." Ia menusuk hidung Sasuke.
Sasuke terkekeh dengan alis terangkat. "Bagaimana mungkin ini salahku?" tanyanya.
"Kenapa kau harus menjadi tetangga Ino," ucap Sakura.
"Aku tidak tahu, keluargaku dan keluarganya sudah dekat sejak dulu," Sasuke membalas. "Itu bukan salahku. Lagipula dia juga temanmu."
"Tapi kau yang membujukku untuk datang ke sini." Sakura menambahkan.
Sasuke memutar matanya. "Diamlah, Saku." Ia mencium bibir Sakura, lalu beralih ke bawah garis rahangnya, bergantian antara menghisap dan menggigit lehernya sebelum bergerak melintasi tulang selangka wanita itu.
Sakura mengerang. Lengannya dijepit di atas kepalanya, jari-jari Sasuke bergerak di kakinya naik turun.
***
Sekitar pukul satu, Sasuke dan Sakura meninggalkan kondominium untuk makan siang bersama keluarga yang lain di villa.
"Ini harus berjalan dengan baik." Sakura bergumam.
Sasuke meraih tangan mungil Sakura dan membawanya ke bibirnya. "Kita sudah membicarakan ini. Jadilah bagian dariku yang terbaik."
Sakura mendengus dan menghela nafas. "Oke. Oke. Aku akan menjadi yang terbaik untukmu."
"Dan seksi." ucap Sasuke.
"Aku tahu." Sakura mengangguk.
Sasuke memandang Sakura dari sudut matanya dan terkekeh. "Sombong?"
"Hei, itu fakta. Fakta tetaplah fakta." Sakura tersenyum manis. "Dan aku memang seksi... di atas segala hal."
***
Jujur ​​saja, makan siang terasa canggung.
Sakura tidak menyadari bahwa ini akan menjadi salah satu dari makan siang mewah. Ia lupa betapa kaya keluarga Ino, sama halnya dengan keluarga Sasuke, pantas saja mereka dekat dan menjalin kerjasama bisnis, tetangga pula.
Tapi... ada yang membuat Sakura sulit bernafas sepanjang makan siang ini, ketika ia dan Ino harus saling berkomentar satu sama lain tentang 'pergi begitu saja' dan 'kebencian' dan segala macam hal.
Sakura tak bisa melakukan ini. Ia tidak bisa menangani ini. Hal terakhir yang ia inginkan adalah berdebat dengan Ino.
Makan siang mulai berakhir saat satu persatu orang-orang mulai beranjak pergi. Menyisakan Sasuke, Sakura dan Ino.
Sakura mengambil minuman lagi dari nampan di depannya dan menenggaknya dalam satu tegukan. Ia membutuhkan alkohol.
"Hm, aku juga harus pergi." ucap Sasuke, menatap Ino dan Sakura bolak-balik, merasa canggung.
"Kau tidak bisa pergi." Sakura dan Ino berteriak serempak. Akhirnya setelah saling berkomentar dan berdebat sana sini, mereka bisa kompak juga.
Tiba-tiba ponsel Sasuke berdering. Ia mengeluarkannya dari sakunya dan memeriksa ID penelepon.
"Telepon kantor." Sasuke menunjukkan ponselnya ke Sakura dan mengangkat bahu. "Aku harus pergi." Ia berulang kali mengecup bibir Sakura dan memeluk Ino sebentar. "Jangan sampai kalian berdua saling membunuh."
Dan kemudian, hanya tersisa dua wanita itu...
Sakura menoleh ke arah Ino. Akhirnya benar-benar bertatap muka dan berduaan saja dengan Ino untuk pertama kalinya sejak kedatangannya.
"Umm, rambutmu bagus?" ucap Sakura. "Itu... itu bagus... untuk calon pengantin."
Rambut yang bagus? Serius Sakura? Tentu saja Ino memiliki rambut yang bagus - dia termasuk dari gen keluarga terpandang.
Dan seolah Ino sedang membaca pikiran Sakura, ia memutar matanya ke arah wanita berambut merah muda itu. "Sakura... persetan denganmu."
"Oke oke." Sakura mengangguk sambil menyengir canggung. "Aku pantas mendapatkannya."
Tuhan, tolong biarkan sesuatu terjadi! Kau perlu membantuku!
Sakura bahkan bukan orang yang religius, tapi di sinilah ia, memohon mukjizat akan tiba-tiba datang karena apapun akan lebih baik daripada hanya berdiri di depan Ino, menatap mata biru itu yang seolah-olah akan memakannya hidup-hidup.
Dan doanya terkabul ketika kesunyian mereka terputus oleh dering telepon Ino di dompetnya.
Yay! Terima kasih Tuhan, kau keren.
Ino berjalan sedikit menjauh untuk menjawab telepon. Sakura menghela napas untuk yang kesekian kalinya dan menyisir rambutnya dengan jarinya.
Sebagai pengacara, Sakura selalu pandai membaca bibir dan ekspresi orang lain, dan dari apa yang dilihatnya, Ino tampak tidak senang dengan siapapun dia tersambung di telepon itu.
Ketika Ino kembali, Sakura berpura-pura sibuk sendiri, menggulirkan teleponnya ke atas dan ke bawah.
"Sial!" Ino bergumam dengan kesal melalui giginya yang terkatup.
Sakura mengangkat kepalanya untuk menatap Ino. "Apa yang terjadi?" tanyanya.
Ino menggelengkan kepalanya. Ia sedang marah pada Sakura. Hal terakhir yang ia butuhkan adalah meminta bantuan pada wanita itu.
"Tidak ada." jawab Ino.
Sakura mengangkat alisnya. "Tapi tidak terlihat seperti 'tidak ada'." ucapnya, dengan jelas menyatakan bahwa ia tidak yakin, ia masih mengenal Ino dan bisa membacanya seperti buku terbuka.
Tapi kemudian Sakura tersadar, kenapa juga Ino mau bercerita padanya? Setelah hampir satu dekade, sungguh ajaib jika Ino akan menyambutnya dengan lambaian tangan sederhana, 'hai'.
"Oke, baiklah, persetan denganku," ucap Sakura.
"Itu permintaan maafmu?" tanya Ino. "Persetan denganmu?"
"Kau tidak diharuskan menyukainya." ucap Sakura ofensif. "Setidaknya aku mengakui sesuatu, dan mencoba pergi ke sini."
"Kau penuh omong kosong." ucap Ino.
"Terserah." balas Sakura memutar matanya. "Jadi apa yang terjadi?"
Ino melihat arlojinya dan menghela napas. "Piring-piring baru yang kupesan yang seharusnya dikirimkan sore ini semuanya pecah lagi." Ia akhirnya memberitahu Sakura. "Petugas pengiriman mengalami kejang dan mengalami kecelakaan. Aku seharusnya sedikit lebih simpatik, tapi aku kesal."
Sakura ingin tersenyum - Ino versi dewasa tetap sama... tidak pernah berubah. Selalu stres dan gelisah sebelum momen besar.
"Aku tidak punya waktu untuk pergi karena aku harus fitting gaun dan mungkin aku harus terima jika nanti aku melayani tamu-tamuku dengan piring karton." ucap Ino. "Luar biasa. Sangat luar biasa!"
Seperti yang Sakura katakan, Ino versi dewasa tetap sama. Hanya lebih over-dramatik.
"Aku ingin membatalkan pernikahan ini."
Sangat over-dramatik.
"Kau tidak akan melakukan hal itu." ucap Sakura, berusaha menambahkan nada kasar seperti yang digunakan Sasuke padanya pagi ini. "Kau akan tetap menikah dengan Sai seandainya itu hal terakhir di dunia ini yang bisa kau lakukan." Sakura merasa bangga akan hal ini. "Sekarang beri aku alamatnya."
Ino ragu-ragu untuk melakukannya, tapi ia menyadari bahwa semakin banyak waktu yang ia habiskan untuk berdebat dengan Sakura tentang hal ini, semakin sedikit pula kesempatan untuk menyelesaikan masalah ini.
"Berikan padaku." Sakura mengulangi kali ini dengan lebih banyak nada otoritas. "Berhenti menjadi wanita keras kepala." ucapnya. "Aku akan membantumu. Tidak ada imbalan." Ia berjanji.
Sakura bukan mengharapkan permintaan maafnya diterima begitu cepat dengan ini. Mereka masih memiliki banyak hal untuk dibahas, tapi Sakura melihat ini sebagai kesempatan untuk setidaknya menjadi sedikit bagian dari seluruh pernikahan ini karena ia menyadari bahwa seandainya ia tetap tinggal selama sembilan tahun terakhir, ia akan merencanakan seluruh pernikahan ini untuk sahabatnya, karena memang seharusnya begitu.
Jadi ini adalah caranya untuk mulai ambil bagian selama sembilan tahun terakhir.
Masih dengan enggan, Ino meraih tasnya dan mengambil kartu putih dari dompetnya dan menyerahkannya pada Sakura.
"Hanya untuk memperjelas... ini tidak membuat kita berdamai." ucap Ino.
Sakura tersenyum. "Baik." Ia setuju. "Tidak berdamai. Hanya membantu."
"Oke."
Selama setengah detik, Sakura bersumpah ia melihat senyum merayap di pipi Ino dan ia lupa betapa hangatnya senyum itu dan bagaimana itu membuat mata birunya berkilau.
Sakura mengerjap dan senyum itu hilang.
Ino mengayunkan tasnya di atas bahunya dan berbalik pergi. Ketika Sakura memperhatikan kepergian Ino, ia merasa seperti tim Sakuino hampir ada lagi.
Mungkin butuh beberapa saat, tapi pasti ada harapan.
***
Malam itu adalah makan malam terakhir sebelum hari besar Ino besok, dan setelah makan malam yang lezat selesai, semua orang agak menjauhkan diri ke berbagai bagian dari rumah besar itu, sedangkan orang dewasa yang lebih tua sudah pergi lebih dulu. Dengan segelas anggur merah di tangan, Sakura bergabung dengan Shikamaru di teras tempat pria itu bersantai dan mencari udara segar.
Setiap orang mendapat giliran untuk menginterogasi Sakura tentang sembilan tahun terakhir. Semuanya, kecuali Shikamaru. Sakura memperhatikan betapa sunyinya Shikamaru tentang kepulangannya. Mereka belum memiliki kesempatan untuk melakukan obrolan pribadi dan ia tidak tahu apakah itu sebagai pertanda baik atau buruk.
Sembilan tahun yang lalu, Shikamaru adalah salah satu dari sahabatnya terlepas dari rasa sukanya yang gila pada Sakura yang membuat Sasuke sangat protektif dan posesif padanya.
Intinya, mereka memiliki banyak sejarah bersama.
"Jadi, bagaimana?" Sakura akhirnya berbicara.
Mereka berdiri berdampingan selama beberapa menit dan Sakura butuh waktu lama untuk menyadari bahwa ia harus memulai percakapan atau jika tidak, tidak akan ada percakapan sama sekali sampai pria itu pergi.
"Tidak apa-apa." jawab Shikamaru.
Ada nada dingin di suara pria itu yang membuat Sakura ingin merangkak keluar dan berlari. Ia tidak suka ini.
"Kau bisa bertanya." ucap Sakura memberitahu.
"Bertanya apa?" Shikamaru mengangkat bahu seolah tak peduli.
"Aku tidak tahu, apapun yang kau inginkan." jawab Sakura. "Kau sangat diam tentang kepulanganku kembali setelah hampir satu dekade. Kurasa kau punya banyak pertanyaan untuk dilemparkan padaku, sama seperti orang lain."
Shikamaru meneguk bir dinginnya. "Tidak." ucapnya. "Aku tidak akan menjadi seperti orang lain."
"Kenapa tidak?" tanya Sakura.
"Kau benar-benar pergi, Sakura. Dan itu satu dekade yang lalu. Aku tidak melihat perlunya mengulangi masa lalu. Kita biarkan saja begitu."
Hening kembali.
"Aku tahu ketika aku pergi, itu menyakiti kalian semua." ucap Sakura. "Itu juga menyakitiku."
Shikamaru menghela nafas. "Sudah kubilang, itu semua masa lalu." Ia mengulangi. "Sasuke mungkin sudah memaafkanmu karena dia bodoh, buta, jatuh cinta padamu - sungguh. Tapi jangan mengharapkan hal yang sama dari kami semua. Aku tidak lagi memaafkan."
Pada titik ini, dimaafkan adalah hal terakhir yang dicari Sakura. Ia tidak bisa tidak menjadi penasaran apa alasan dibalik semua ini. "Apa yang terjadi setelah aku pergi, Shikamaru?"
Bahkan jika segala sesuatunya memiliki peluang yang sangat minim untuk kembali normal, tapi Sakura berharap Shikamaru dapat memberitahunya tentang hal ini.
Mata Shikamaru melebar. Mengapa Sasuke tidak memberitahu Sakura?
"Tidak ada." Shikamaru berbohong melalui giginya yang terkatup. "Aku hanya bilang, tidak semua orang bisa memaafkan setelah menyaksikan sahabat mereka berjuang untuk waktu yang lama."
"Berjuang bagaimana?" tanya Sakura.
"Dia mencoba bunuh diri!" Shikamaru berkata dengan marah. Ini seharusnya tidak dibicarakan... selamanya! Sasuke telah membuat semua orang berjanji untuk tidak mengungkitnya, tapi Sakura berada di sini dan jujur ​itu​membuat Shikamaru kesal.
"A-Apa?" Air mata mengalir melalui mata hijau Sakura. Ia gemetar.
"Ya!" ucap Shikamaru. "Setelah dia tenggelam dalam depresi berat, dia mencoba mencabut nyawanya sendiri." ucapnya. "Kau tidak tahu bagaimana rasa khawatir kami untuk meninggalkannya sendirian - kami harus berjaga-jaga sampai ke titik di mana orang tuanya ingin membawanya ke klinik untuk mendapatkan bantuan." Ia melanjutkan. "Di perguruan tinggi dia semakin sangat menyedihkan. Dia meniduri banyak gadis, berharap menemukan sesuatu yang dia miliki denganmu pada siapapun, tapi ketika itu tidak terjadi - aku akan menyaksikan sendiri dia mencabik-cabik dirinya dan benar-benar menangis seperti bayi." ucapnya. "Aku hampir kehilangan sahabatku. Tidak sekali, atau dua kali. Tapi tiga kali! Jadi Sakura.... jangan berharap aku menyambutmu kembali dengan tangan terbuka."
Sakura tidak bisa berpikir diantara rasa terkejutnya. Ia hanya berdiri di depan Shikamaru; membeku di tempat.
Sasuke berusaha bunuh diri karena dirinya.
Sakura sangat marah sehingga ia bahkan tidak menyadari bahwa ia berjalan kembali ke dalam rumah meskipun Shikamaru berteriak mengejarnya.
Sakura berjalan masuk dan mendapati Sasuke duduk di salah satu kursi di dapur bersama Ino dan Sai, menertawakan sesuatu.
"Kau mencoba bunuh diri?" tanya Sakura dengan napas terengah.
Ruangan menjadi sangat sunyi. Sangat sunyi, dan dingin!
Sasuke menatap Shikamaru dengan kekecewaan di matanya, karena ia tahu bahwa setelah ini Sakura tidak akan pernah berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Shikamaru mengangkat bahu dan melempar tatapan minta maaf. Ia marah dan semua itu keluar begitu saja.
"Kau tidak seharusnya tahu akan hal itu." ucap Sasuke.
"Menurutmu begitu?" Sakura berteriak marah dengan air mata mengalir di pipinya. "Aku benar-benar marah padamu! Apa yang kau pikirkan? Persetan untuk itu!"
"Hei!" Suara Ino bergema di dapur. "Kau tidak bisa marah tentang hal itu." ucapnya. "Kau pergi. Tidak ada yang tahu ke mana kau pergi!"
Ini bukan antara Sakura dan Ino saat ini. Mereka memiliki percakapan sendiri nanti. Tapi karena Ino jelas-jelas berusaha untuk melibatkan dirinya dalam percakapan ini - baiklah. "Persetan denganmu, Ino."
Saat itulah Sai melangkah maju untuk Ino. "Kau yang pergi, Sakura." ucapnya. "Kau yang meninggalkan kami semua."
"Mungkin jika kalian semua mau berpikir, kalian akan sadar, ini tidak pernah tentang kalian!" bentak Sakura.
Mengetahui bahwa Sasuke hampir bunuh diri, ditambah semua yang ia alami sendiri sebagai remaja yang tinggal di dunia tanpa apa-apa... tidur di tempat penampungan hanya untuk mendapatkan makanan dan tidur beberapa jam sebelum pergi ke sekolah, itu tidak mudah untuk Sakura. Tokyo tidak mudah baginya. Sepanjang pelariannya, itu adalah neraka baginya dan sekarang ia menghadapi orang-orang dari masa lalunya lagi setelah begitu lama...
"Kepergianku itu membunuhku juga!" ucap Sakura. "Tapi aku tahu itu pasti akan terjadi. Aku tidak pernah punya rumah jadi aku tidak pernah berharap untuk tinggal selamanya di satu tempat, tapi kemudian keluarga angkatku seperti pembunuh berantai dan ketakutanku menjadi nyata." Ia melanjutkan. "Aku harus pergi. Aku harus pergi karena aku bisa melihatnya malam itu. Aku memulai dari awal lagi. Aku akan dimasukkan kembali ke dalam sistem asuh dan dikirim entah kemana yang aku tidak tahu dan itu akan lebih menyakitkan. Jadi aku pergi." Ia menelan ludah. "Aku harus melakukannya sendiri dan itu bukan karena aku terlalu sombong atau merasa diriku benar. Aku hanya harus dan aku membencinya setiap hari. Itu adalah neraka. Aku menderita. Aku kedinginan, tersesat, kelaparan, kesepian dan hatiku hancur." Ia menggigit keras bibirnya dan meringis karena rasa darahnya sendiri. "Setiap malam aku berpikir untuk kembali tapi aku harus bergerak maju, aku sudah bertahan sejauh ini. Aku miskin. Aku harus bekerja sangat keras untuk mendapatkan beasiswa. Untuk menyekolahkan diriku di sekolah hukum - aku melakukan pekerjaan yang buruk, tapi aku bisa melalui semua itu, ingatan yang kumiliki tentang kalian itu membantuku. Kenangan tentang kalian membuatku terus maju."
Pada saat ia berhenti, ia menangis. Ino terisak. Shikamaru dan Sai hanya terdiam. Sasuke juga hanya diam dan Sakura tahu betul bahwa pria itu sangat marah.
Ya. Ini sudah lama ditunggu.
"Jadi, ya. Aku tidak lari untuk mengejar sunset." Sakura terkekeh.
Tidak ada yang lucu. Hanya saja ini menyebalkan.
"Aku melewati omong kosong yang tak pernah kuketahui, tapi aku cukup kuat untuk mengatasi semuanya. Aku sudah menikah, bercerai. Bertemu dengan masa laluku, aku menampar wajahnya setelah hampir sepuluh tahun. Pria yang kucintai..." Sakura memandang semua orang di sana. "...cinta dalam hidupku, dia bahkan tidak bisa menatap mataku dan mengatakan bahwa dia mencintaiku lagi karena betapa aku telah menyakitinya dan sekarang aku baru tahu bahwa dia mencoba menghilangkan nyawanya sendiri lebih dari sekali."
Dada Sasuke mengencang dan giginya terkatup pada kata-kata yang diucapkan Sakura.
"Ya aku." Sakura tertawa. "Aku payah. Jadi adakah hal lain yang ingin kalian tambahkan tentang semua yang telah kulakukan setelah aku pergi, karena percayalah padaku... aku bisa mengatasinya. Lemparkan semuanya padaku dan kita bisa mengatasinya, dan kemudian tutup mulut tentang semua itu untuk selamanya karena aku bukan orang yang mau mendapatkan semua omong kosong itu lagi."
Tidak ada yang berbicara.
"Ayolah." Sakura memaksa mereka. "Tidak ada? Ini adalah kesempatan terakhir kalian untuk mengangkat omong kosong ini, jadi gunakan dengan bijak."
Masih hening.
Sakura merasa seperti sedang berada dalam film horor. Kau tahu bagian yang hening itu - itu terasa hampir melegakan dan kau pikir itu sudah selesai sampai tiba-tiba terjadi suatu hal jahat yang membuatmu berlari sangat cepat dan sang tokoh utama akan berteriak lalu semuanya berubah menjadi omong kosong lagi.
...Ya, Sakura menunggu saat itu terjadi.
Dan ketika itu tidak kunjung datang, ia berbalik dan berjalan keluar dari rumah begitu cepat hingga ia benar-benar tidak tahu jalanan itu naik atau turun.
Ia mengeluarkan ponselnya dan memanggil taksi ketika ia berjalan keluar dari teras. Ia tahu datang ke Osaka adalah ide yang buruk karena berbagai alasan, dan sekali lagi, ia benar. Tempat yang dulu sangat ia cintai sekarang membawa begitu banyak luka. Ia hanya ingin berlari.
Itu yang biasa ia lakukan. Jadi ia melakukan apa yang ia tahu. Ia berlari dan tidak pernah melihat ke belakang.
***
To be continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)