expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Friends with Benefits? #2




Hal pertama yang disadari Sakura adalah bahwa ia telah mabuk berat. Denyut di kepalanya beriringan dengan tempo detak jantungnya, berubah semakin cepat saat ia berusaha bangun. Ada rasa tebal di mulutnya dan ia menjulurkan lidah ke giginya dengan sia-sia  seolah ingin mengikis tekstur tak nyaman itu. Perutnya terasa melilit dan ia tak bisa menahan diri untuk tidak merintih di bantalnya.
Hal kedua yang Sakura rasakan adalah bahwa ia sakit. Bukan sakit seperti ia telah berkelahi, tapi jenis sakit yang berbeda. Bukan yang sepenuhnya tidak menyenangkan, hanya saja terasa aneh. Ia tidak bisa memastikan apakah keinginan untuk tidak bangun dari tempat tidurnya adalah pengaruh dari mabuk atau karena sakit di bagian intimnya.
Dan kemudian pikiran lain menyadarkannya, yang membuat kepalanya yang sudah berdenyut semakin berputar. Ia merasa hangat... lebih dari yang sewajarnya. Tapi rasa itu hanya berasal dari satu sisi. Tidak, bahkan itu tidak berasal dari tubuhnya. Itu berasal dari sesuatu yang ada di sisi kirinya. Seperti kehangatan yang berasal dari tubuh lain.
Membenci dirinya sendiri saat ia mencoba bergerak, ia memutar kepalanya ke kiri dan kemudian perlahan-lahan membuka matanya. Sinar matahari sangat menyiksanya dan membuatnya meringis, tapi ia melihat sesuatu di dekat wajahnya. Menyipitkan matanya, ia mendapati dirinya menatap sepasang mata hitam yang setengah terbuka. Mata hitam yang sangat familiar.
"Sial!"
"Persetan!"
Sakura berteriak dan pada saat yang sama, Sasuke juga berteriak. Keduanya melesat menjauh dari satu sama lain begitu cepat hingga mereka terguling ke sisi tempat tidur, membentur lantai dengan keras.
Sakura terduduk, dan karena menyadari bahwa ia telanjang, ia menarik seprai dari kasur dan membungkuskannya di sekitar tubuhnya. Sesaat kemudian, kepala Sasuke muncul dari sisi lain tempat tidur dan ia mengambil salah satu bantal, menutupi pangkuannya.
"Uh, Sasuke-kun?" tanya Sakura dengan ragu. Otaknya terasa penuh ketika ia mencoba mengingat apa yang ia lakukan di tempat tidur bersama Uchiha Sasuke, dengan telanjang. Seraya mengerang lagi, ia mencubit batang hidungnya dan berusaha menyingkirkan sakit kepala yang bergema di antara pelipisnya. Tuhan, ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan ibuprofen sekarang.
"Sakura, apa kita..." Sasuke terdiam, ia tidak bisa memaksa dirinya untuk menyelesaikan pertanyaan itu. Ketika Sakura menurunkan tangannya untuk menatap ke arah Sasuke, pemuda itu tampak sama bingungnya seperti dirinya.
"Aku tidak... aku tidak ingat," jawab Sakura. Lantai terasa sangat tidak nyaman. Ia melihat sekelilingnya untuk mencari tahu apakah ia bisa menemukan pakaiannya, tapi semua yang bisa ia lihat di dekatnya adalah sepasang kaus kaki. Jaket dan jeansnya berada di sisi lain ruangan di dekat sofa, tertumpuk di antara pakaian lain yang jelas bukan miliknya. Ia berdebat untuk mengambil pakaiannya tapi kepalanya berdenyut sangat hebat sehingga ia memutuskan untuk tidak bergerak banyak. Ia naik kembali ke tempat tidur, memastikan seprai tetap membungkus aman di sekitar tubuhnya.
Sasuke mengusap bibirnya dengan canggung sebelum ia duduk di hadapan Sakura di atas tempat tidur, bantal masih menutup rapat pangkuannya dan lengannya terlipat di dada seolah-olah ia mencoba untuk melindungi tubuhnya dari tatapan Sakura. Sakura memperhatikan bahwa Sasuke melirik celana jeansnya, yang tergeletak di bawah bangku piano.
"Kurasa kita melakukannya," ucap Sakura akhirnya, berusaha memikirkan malam sebelumnya. Sangat sulit, kombinasi mabuk semalam dan efek mabuk hari ini.
Sasuke menggerutu dan membiarkan kepalanya jatuh ke telapak tangannya, menutup matanya. "Akan lebih mudah untuk berpikir jika dunia berhenti berputar," Ia menggerutu.
"Ya, setidaknya kau tidak sedang sakit kepala," ucap Sakura, lalu bersandar ke sandaran tempat tidur. Ia memejamkan mata, menghalau sorotan sinar matahari dari jendelanya dan itu sedikit mengurangi rasa sakit di kepalanya.
Berusaha berpikir secara metodis, Sakura memutar kembali kejadian sepanjang malam sebisa mungkin. Mereka membuat perayaan dengan minum-minum di bar. Ia dan Sasuke menjadikan itu sebuah kompetisi, dan ia ingat bahwa ia minum lebih banyak daripada biasanya. Kemudian Naruto dan Hinata pergi, mengatakan sesuatu tentang perayaan secara pribadi, sedangkan ia mengajak Sasuke ke ruangannya karena ia tidak bisa membiarkan pemuda itu pulang sendiri. Lalu...
Oh yea, sekarang Sakura ingat. Kemudian mereka saling bercinta seperti binatang.
"Ya," gumam Sakura perlahan, butuh tiga detik lebih lama daripada seharusnya untuk ia mengeluarkan kata-kata selanjutnya. "Ya, seks itu pasti terjadi."
"Kurasa begitu," gumam Sasuke. "Jika tidak, itu mungkin akan menjadi mimpi yang benar-benar nyata." Mereka berdua hanya terdiam di sana, memandang ke mana saja asalkan tidak satu sama lain, dan kemudian Sasuke menambahkan, "Maaf."
"Kenapa?" tanya Sakura dengan heran. Ia merasa sedikit canggung dengan situasi ini, tapi ia tidak akan meminta maaf. "Maksudku, aku cukup yakin akulah yang memulainya. Dan itu jelas bukan jenis seks yang pantas dimintai maaf."
Sasuke menatap Sakura dengan ragu. "Maksudmu...?"
Sakura tidak bisa menahan senyum, sekali lagi tertegun melihat betapa naif partnernya itu ketika berada dalam situasi seperti ini. "Maksudku itu luar biasa."
"Oh." Telinga Sasuke berubah warna menjadi sedikit memerah, tapi Sakura memperhatikan bahwa sudut bibir pemuda itu sedikit tersungging. "Benarkah?"
"Yeah, ingatanku sedikit kabur, tapi jika kau ingin mencobanya lagi, kurasa tak masalah," Sakura berkata dengan santai. Ia mencoba memasukkan lelucon ke dalam komentarnya, jika Sasuke merasa tak nyaman dengan ide itu, pemuda itu cukup tertawa dan mereka bisa melupakannya, meskipun Sakura berharap Sasuke tidak akan melakukannya.
Sasuke mengamati wajah Sakura dengan serius. "Jadi kita seperti... friends with benefits?" tanyanya dengan tidak yakin. "Bukankah itu akan membuat hal-hal terasa aneh, kau tahu, di antara kita? Sebagai teman?"
"Tidak juga," jawab Sakura. "Kita berteman baik dan kita sudah melewati banyak hal bersama. Dan ini berhasil untuk mencapai apa yang kita inginkan, bukan? Untuk melepaskan ketegangan seksual. Maksudku, berhasil untukku. Apa juga berhasil bagimu?"
"Yeah," ucap Sasuke sedikit terlalu cepat. Ia berdeham dan berkata lebih tenang, "Ya, ya, ini berhasil."
"Oke, jadi kita bisa menganggap ini seperti hal biasa," lanjut Sakura. "Hanya sedikit menghilangkan stres satu sama lain. Kita tidak harus membuatnya menjadi sesuatu yang aneh. Ini akan menjadi seperti ketika kita minum bersama dan bersantai, atau seperti aku membantumu melewati hari liburmu."
Sasuke memicingkan matanya. "Sakura, kurasa hari libur malam denganmu akan menjadi peristiwa paling menegangkan dalam hidupku."
Sakura melemparkan bantal ke kepala Sasuke. "Aku serius," serunya. "Seks hanyalah naluri binatang diri kita, bukan? Jadi dengan cara ini kita bisa mengeluarkannya dan itu akan membuat kita lebih mudah untuk fokus pada pekerjaan."
"Yeah, ini olahraga yang hebat," Sasuke menyeringai. Sakura menyesali kenyataan bahwa tak ada bantal lain didekatnya untuk dilemparkan pada Sasuke, jadi ia hanya bisa melempar tatapan kesal pada pemuda itu.
"Kalau begitu tidak usah dipikirkan," ucap Sakura, mengayunkan tangannya yang tidak memegang selimut ke arah Sasuke. "Aku berubah pikiran; ini terdengar seperti ide yang mengerikan."
"Tidak, tidak," ucap Sasuke dan semua candaan hilang dari wajahnya sekarang.
Sakura menatap Sasuke dengan skeptis, mencari tanda apa pun bahwa pemuda itu sedang menggodanya, tapi Sasuke hanya balas menatapnya dengan tegas. "Jadi kau setuju?"
"Hn," jawab Sasuke. "Tidak ada salahnya mencoba, bukan?"
"Oke," jawab Sakura. Mereka ragu-ragu sejenak dan kemudian Sakura mendongak ke arah Sasuke dengan senyum tentatif. "Jadi... teman seks?" tanyanya, mengulurkan tangan ke arah Sasuke.
Sasuke terkekeh tapi mengulurkan tangan dan meraih tangan Sakura, menjabatnya. "Teman seks."
Sakura bersandar ke sandaran tempat tidur lagi, menghembuskan nafas berat dan merasakan sakit di pangkal tengkoraknya sedikit mereda. "Sungguh pagi yang gila," gumamnya dan Sasuke terkekeh.
Sakura membuka matanya cukup lebar untuk memandang Sasuke dari ekor matanya. Sasuke masih duduk di kaki tempat tidurnya, kaki pemuda itu bersilang, dengan bantal di pangkuannya, meskipun sebenarnya Sakura bisa dengan jelas mengingat apa yang pemuda itu sembunyikan di bawah sana. Ia juga bisa melihat tubuh Sasuke yang tegap dan pundaknya yang lebar, dan bayang-bayang samar di sepanjang garis rahang pemuda itu. Gerakan Sasuke yang mengusap bibir bawahnya mengalihkan perhatian Sakura, dan juga tatapan penuh rasa ingin tahu di mata hitam yang berbadai itu. Sakura tak bisa menahan diri untuk tidak memutar kembali ke malam sebelumnya, ketika tatapan intens itu telah sepenuhnya tertuju pada dirinya. Kini kehangatan mulai menumpuk di dalam perutnya, membuatnya gelisah.
"Kau tahu, ini adalah pagi yang cukup menegangkan sejauh ini." ucap Sakura perlahan, memberi  tekanan di setiap kata-katanya.
Seringai samar terbentuk di bibir Sasuke saat ia melihat ke arah Sakura. "Hn, aku bisa melakukan sesuatu, jika kau mau," Ia menawarkan dengan cara yang acuh tak acuh.
"Itu kedengarannya seperti ide yang bagus," Sakura menyetujui dan membiarkan sprei yang membungkus tubuhnya merosot. Untuk sesaat Sasuke tampak tertegun, hingga Sakura mencondongkan tubuhnya dan menyeringai nakal, meraih tangan Sasuke dan menariknya ke tengah tempat tidur untuk bergabung dengannya.
***
Naruto menyesap tehnya dan meletakkannya di lantai di sebelahnya. Mengambil kapur kecil lagi, ia kembali menggambar pada papan tulis yang dipegangnya. Baru jam sepuluh pagi dan ia punya waktu sekitar satu jam lagi sampai makan siang. Dengan lidahnya di antara giginya, ia mulai mengisi papan.
Naruto belum selesai menulis kata-kata "Sabtu Spesial" di bagian atas ketika ia mendengar langkah kaki berdebam menuruni tangga. Ia menyeringai, karena ia tahu itu bukan langkah Sakura. Sedetik kemudian, Uchiha Sasuke muncul di tikungan, tampak puas dengan dirinya sendiri. Sasuke baru mengambil beberapa langkah ketika ia melihat Naruto, dan senyum menghilang dari wajahnya.
"Pagi, Teme," sapa Naruto, seraya melambaikan tangannya. "Sesuatu terjadi pada Sakura-chan?"
"Tidak," jawab Sasuke, menatap Naruto dengan curiga. "Kenapa?"
"Hanya bertanya-tanya apa yang membawa Tuan Keras Kepala begitu pagi muncul di sini," jawab Naruto menggoda. "Jika pemilik kamar diatas membuat masalah, aku akan mengusirnya. Aku tidak mau ada pengaruh buruk semacam itu di sekitar resort usahaku."
"Tentu saja tidak," jawab Sasuke sarkatis. "Kupastikan reputasi bersihmu tidak akan tercoreng."
"Bagus, itu yang kumau, Teme." ucap Naruto, seraya menunjuk ke arah Sasuke dengan kapurnya.
Sasuke memutar matanya. "Tenang saja, Dobe," ucapnya datar. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sakura hanya tidur karena mabuk berat, berkat alkohol yang kau pesan itu."
"Sudah kubilang itu barang bagus," seru Naruto puas. "Oke, baiklah kalau begitu, selama dia tidak melakukan kenakalan apapun. Kau awasi baik-baik Sakura-chan, Teme; jauhkan dia dari segala sesuatu yang... jorok." Naruto menekankan kata itu secara signifikan dan menggoyangkan alisnya.
Sasuke berjalan menjauh tanpa menanggapi. Dan tepat saat itu, Naruto melihat titik kemerahan di bagian belakang leher Sasuke.
"Jangan takut untuk memberi Sakura-chan sedikit kasih sayang jika kau ingin," Naruto berseru. Sasuke bahkan tak mau repot-repot untuk melirik Naruto, ia terus berjalan menuju mobilnya dan pergi. Naruto tertawa sendiri ketika ia selesai menggambar, lalu berjalan masuk ke dalam, menuju dapur.
"Jadi, itu berhasil?" tanya Hinata, mendongak dari cangkir teh yang ia pegang.
Naruto menyeringai dan duduk di samping Hinata, meletakkan barang-barangnya di konter dapur. "Oh, pasti."
Hinata menggelengkan kepalanya. "Aku tidak percaya rencana kecilmu benar-benar berhasil. Kau berhasil membuat mereka bersama."
"Um, tidak benar-benar bersama, tepatnya," ucap Naruto sambil mengangkat bahu setengah hati. "Mereka tidur bersama tapi mereka belum menjadi pasangan. Jika mereka menjalin hubungan, Teme akan tetap di sana bersama Sakura-chan sepanjang hari dan tidak akan pergi. Percayalah padaku, tidak ada seorang pria yang bisa meninggalkan Sakura-chan jika tidak mendesak."
"Kau pasti bercanda," ucap Hinata. "Ya Tuhan, mereka berdua sungguh aneh."
"Mereka sama-sama keras kepala." Naruto menghabiskan teh terakhirnya dan kemudian menoleh ke samping ke arah Hinata, meletakkan satu siku di atas meja dan memasang seringainya. "Jangan khawatir, aku akan membuat mereka bersama. Tidak diragukan lagi."
"Kau tampak sangat yakin akan dirimu sendiri, Naruto-kun." ucap Hinata sarkatis.
"Itulah aku," jawab Naruto bangga. "Lagi pula mereka adalah semacam takdir yang tidak bisa kau halangi."
"Kupikir kau tidak percaya pada takdir, Naruto-kun." ucap Hinata, melengkungkan alis ingin tahu.
"Aku tidak percaya jika itu berhubungan denganku," ucap Naruto putus asa. "Tapi untuk mereka berdua? Yeah, ini semacam nasib aneh. Aku akan membuat mereka bersama dalam waktu singkat."
Hinata tertawa. "Kurasa sudah lama sekali sampai sejauh ini, aku sangat ragu kau akan membuat mereka bersama begitu cepat," ucapnya. "Bahkan jika mereka benar-benar menjalin hubungan, aku bertaruh itu akan membutuhkan setidaknya beberapa bulan lagi."
Seringai yang terbentuk di wajah Naruto melebar. "Aku bertaruh, Hinata-chan," serunya. "Aku berani bertaruh, aku bisa membuat mereka bersama dalam dua minggu."
"Dua minggu," ulang Hinata dengan skeptis. "Kau butuh satu setengah tahun untuk membuat mereka tidur bersama, dan kau pikir kau bisa menjadikan mereka pasangan nyata dalam dua minggu?" Naruto hanya mengangguk semangat. "Oh kau begitu optimis."
Naruto menyeringai saat ia meraih tangan Hinata yang terulur dan menggoyangkannya. "Luar biasa, bukan," ucapnya. "Permainan dimulai."
***
To be Continued.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan :)